يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍۢ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًۭا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌۭ
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [QS. Al Hujuraat (49):13]
Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia yang Terancam
Konflik yang berakhir pada pelanggaran HAM; pembunuhan, pembantaian, penyiksaan, dan penindasan dan lain sebagainya, terhadap suatu golongan masyarakat tertentu, di Indonesia seperti telah menjadi bagian dari budaya masyarakat kita sendiri, sekalipun kita tidak bisa membantah sejarah bahwa Indonesia memang memiliki latar belakang sejarah modern yang dipenuhi konflik dan pelanggaran HAM. Fakta ini bisa dilihat dari berbagai rupa konflik dan yang pernah dialami oleh Indonesia, mulai dari pelanggaran HAM yang bersifat vertikal maupun yang bersifat horisontal, dari zaman Orde baru, yang sering dikaitan dengan isu pelanggaran HAM oleh aparat negara terhadap warga, konflik negara dengan separatisme Aceh dan Papua, kasus Mesuji sampai dengan konflik masyarakat dengan masyarakat akibat perebutan sumber daya alam, penyerangan komunitas terhadap komunitas lain yang belakangan ini marak terjadi; perang sampit, konflik Maluku, konflik Syiah-Sunni (Madura) dll.
Dan jika
tidak segera ditangani persatuan dan kesatuan Indonesia sebagai NKRI terancam
dengan adanya konflik tersebut. Keberadaan konflik tersebut tidak lepas dari
keanekaragaman
kultural
masyarakat Indonesia yang terbentuk dari kondisi sosio-kultural maupun
geografis yang begitu beragam dan luas. Secara geografis, Indonesia memiliki
banyak pulau dimana setiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang
membentuk suatu masyarakat dengan kultur tertentu.
“Kondisi itu
akan semakin berbahaya jika ada isu-isu suku ras, agama, etnik dan antar
golongan (SARA) yang sengaja dimainkan pihak-pihak tertentu,” ujar pakar
psikologi konflik dari Universitas Pertahanan (Unhan) Dr.Ichsan Malik dalam
beritatrans.com di Bandung, Selasa (28/10/2014).
Masalah
disintegrasi bangsa merupakan permasalahan kompleks sebagai akibat akumulasi
permasalahan Ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan yang saling
tumpang tindih, apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan bijaksana untuk
menanggulangi sampai pada akar permasalahannya maka akan menjadi problem yang
berkepanjangan.
Prof. Dr. M.
Mohtar Mas'oed dalam kata sambutannya di buku 'Menangani Konflik di Indonesia'
yang ditulis Dr. Bambang W. Soeharto, M.Si, mengatakan bahwa kita (bangsa
Indonesia) mempunyai reputasi sebagai bangsa yang kurang kepandaian (dalam)
mengelola konflik.
Selama ini
pemerintah hanya terpaku dengan penyelesaian konflik secara retorika semata,
yang mengacu pada teori-teori tentang konflik berdasar pada analisis ilmuwan,
namun melupakan bahwa kita adalah manusia dan akar dari segala permasalahan
kita adalah apa yang ada dalam diri kita (moral dan etika atau akhlak)
Dan salah
satu yang berperan serta memiliki pengaruh besar dalam pembentukan aklak adalah
adanya organisasi berbasis keagamaan yang mampu memberikan pengajarkan agama
lewat pendidikan seperti Masdrasah. Sehingga kelak terbentuk pribadi masyarakat
yang bermoral sebagai pondasi dasar terciptanya kehidupan berbangsa yang
sebagaimana kita semua harapkan.
Karakteristik Pemimpin Ideal
"Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan ta’atilah Rosul (Nya), dan Ulil
amri (orang yang memegang perkara) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan
Rosul (Al-Hadits/sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".
(QS. An-Nisaa', No. Surat: 4, Ayat: 59).
UUD
'45 BAB III, tentang KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA, Pasal 6, ayat 1 dan 2, yang
berbunyi:
(1) Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani, untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(1) Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani, untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Pemimpin dan kepemimpinan merupakan persoalan keseharian
dalam kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, berusaha, berbangsa dan
bernegara. Kemajuan dan kemunduran masyarakat, organisasi, usaha, bangsa dan
megara antara lain dipengaruhi oleh para pemimpinnya. Oleh karena itu sejumlah
teori tentang pemimpin dan kepemimpinanpun bermunculan dan kian berkembang.
Menurut Drs. H.
Malayu S.P. Hasibuan, “Pemimpin
adalah seseorang dengan wewenang kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk
mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam mencapai tujuan.” Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Robert Tanembaum
“Pemimpin adalah mereka yang menggunakan wewenang
formal untuk mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para bawahan yang
bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi demi mencapai
tujuan perusahaan.” Sedangkan menurut Prof.
Maccoby, “Pemimpin pertama-tama harus seorang yang mampu menumbuhkan dan
mengembangkan segala yang terbaik dalam diri para bawahannya. Pemimpin yang
baik untuk masa kini adalah orang yang religius, dalam artian menerima
kepercayaan etnis dan moral dari berbagai agama secara kumulatif, kendatipun ia
sendiri mungkin menolak ketentuan gaib dan ide ketuhanan yang berlainan.”
Kontribusi
Muhammadiyah di Bidang Pembenahan Akhlak Bangsa Dan Menciptakan Pemimpin Yang
Ideal
Jika kita
menitik sebentar ke belakang, ke zaman sebelum kemerdekaan, di mana kesadaran
membentuk kesatuan dan persatuan sebagai sebuah negara yang berdaulat belum
ada, organisasi berbasis Islam termasuk Muhammadiyah sangat berperan dalam
mempersatukan masyarakat untuk maju dan berjuang dalam meraih kemerdekaan. Pada tahun 1930-an, menjelang Perang Dunia II,
pemimpin-pemimpin Muhammadiyah, di antaranya KH Mas Mansyur, Prof. Kahar
Muzakir, dan Dr. Sukiman Wirjosandjoyo, mensponsori berdirinya Partai Islam Indonesia.
KH. Mas Mansyur juga aktif di GAPI, bahkan diunggulkan sebagai ketua Majelis
Rakyat Indonesia, yang merupakan badan parlemen dari kaum pergerakan nasional.
Semenjak masa berdirinya, banyak kader Muhammadiyah yang ikut berjuang,
misalnya di perang kemerdekaan. Sementara itu setelah Indonesia merdeka, mulai
bergerak kembali ke berbagai bidang, selain terjun dalam perjuangan fisik
seperti membantu melawan agresi Belanda maupun bidang non-fisik seperti
pemberihan pelatihan keagamaan dan bantuan kesehatan. Sementara itu, pada zaman
revolusi dan demokrasi liberal, banyak anggota Muhammadiyah yang memasuki
partai politik Masyumi, untuk berdiri di garis depan sebagai perwakilan suara
rakyat.
Muhammadiyah yang dikenal sebagai organisasi yang telah mengembuskan jiwa
pembaruan Islam di Indonesia dan bergerak di berbagai bidang kehidupan umat,
memberikan titik tekan tersendiri bagi dunia pendidikan. Karena Muhammadiyah
sadar bahwa segala jenis permasalah bermula dari akhlak manusia yang buruk.
Jadi untuk menciptakan bangsa yang kuat maka akhlak bangsa pun harus dibenahi.
Langkah yang diambil Muhammadiyah antara lain, (1) memperteguh iman,
menggembirakan dan memperkuat ibadah, serta mempertinggi akhlak; (2) mempergiat
dan memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurniannya;
(3) memajukan dan memperbarui pendidikan, pengajaran dan kebudayaan serta
memperluas ilmu pengetahuan menurut tuntunan Islam; (4) menggiatkan dan
menggembirakan dakwah Islam serta amar ma’ruf nahi munkar; (5) mendirikan, menggembirakan
dan memelihara tempat ibadah dan wakaf; (6) membimbing kaum wanita ke arah
kesadaran beragama dan berorganisasi; (7) membimbing para pemuda agar menjadi
orang Islam berarti; (8) membimbing ke arah kehidupan dan penghidupan sesuai
dengan ajaran Islam; (9) menggerakkan dan menumbuhkan rasa tolong menolong
dalam kebajikan takwa; (10) menanam kesadaran agar tuntunan dan peraturan Islam
berlaku dalam masyarakat.
Dan hal tersebut tercermin dalam salah satu langkah
Muhammadiyah menciptakan kader-kader muda yang sesuai semangat Muhammadiyah
seperti IMM Airlangga misalnya, yang sering melakukan bakti sosial sebagai
wujud kepedulian dan pembelajaran kepribadian.
Sebelum mengakhiri tulisan ini marilah kita ingat kembali pesan KH. Ahmad
Dahlan sebagai berikut, “…Aku ingin berpesan pula hendaknya kamu bekerja dengan
bersungguh-sungguh, bijaksana dan tetap berhati-hati, dan waspada dalam
menggerakkan Muhammadiyah dan menggerakkan tenaga umat. Hal ini jangan kau kira
urusan kecil. Inilah pesanku, siapa saja yang mengindahkan pesanku, tanda
mereka tetap mencintai aku dan Muhammadiyah.” Selain itu beliau melanjutkan,
“Adapun untuk menjaga keselamatan Muhammadiyah, maka perlulah kita berusaha dan
menjalankan serta mengikuti garis khittahku; hendaklah kamu sekali-kali tidak
menduakan pandangan Muhammadiyah dengan perkumpulan lain, jangan sentimen,
jangan sakit hati kalau menerima celaan dan kritikan, jangan sombong, jangan berbesar
hati kalau menerima pujian, jangan jubirya (ujub, kibir, riya), ikhlas dan
murnikan hati kalau sedang berkorban harta benda, pikiran dan tenaga, dan harus
bersungguh hati dan tetap tegak pendirianmu!”
"Fishabul
Khairat!"
Menurut Dahlan “Gerakan
Pencerahan untuk Indonesia Berkemajuan maka kekuatan kedalam itu harus lebih
diutamakan Sebelum melangkah lebih jauh untuk keluar, maka strategi yang
dilakukan adalah penguatan diri kedalam, jangan sampai kita keluar tapi didalam
malah berantakan.