Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Jumat, 30 Mei 2014

Manis, Pahit Sebutir Kuldi


Aku menatap matanya, dalam-dalam seolah mengali sebuah kejujuran dan ketulusan yang mendamaikan. Entah, mataku yang sedang berkabut atau matanya yang sedang tak jujur.
“Cobalah sedikit saja,” Katanya menuangkan secangkir anggur dari belahan tubuhnya.
“Ayolah…Ayolah…sedikit saja, cobalah!” Seseorang lain dalam diriku bersorai. Berjingkrak dan meringkik seperti kuda liar yang baru dilepaskan dari kandangnya. Aku pasrah dan membiarkan iblis dalam kepala memenangkan permainannya. Lantas, aku hanya bisa pasrah, aku yang memulai semuanya. Maka tak bisa kuhindari ketika aku terlentang di atas bara. Peluh membasah. Aku tertidur. Aku melihat surga dan neraka menjadi satu jiwa.
000
Di suatu ketika, kala aku terlelap, aku tidur tengkurap. Kerap terdengar dengkur-dengkur pohon malam yang menaungi tidurku. Aku sering terjaga, lantas terserang sebuah dilema. Seolah sebagian tubuhku itu kosong keronta tapi aku tak tahu harus diisi apa. Aku juga sering

Kamis, 15 Mei 2014

Saudara Jauh


Cerpen Orhan Pamuk (Suara Merdeka, 21 Maret 2010)
 

KAMI berjalan di sepanjang Jalan Valikonagi, menikmati malam musim semi yang sejuk. Pertunangan kami baru saja diresmikan; kami sedang mabuk dan dalam semangat yang tinggi. Kami baru saja ke Fuaye, restoran mewah baru di Nisantasi; saat makan malam bersama orangtuaku, kami membicarakan panjang lebar segala persiapan pesta pertunangan yang dijadwalkan pertengahan Juni.

Dalam perjalanan pulang ke rumah Sibel sore itu, saat lenganku merangkul dengan penuh kasih bahunya yang kokoh, ia tiba-tiba berujar, “Oh, tas yang indah!” Walaupun pikiranku dikaburkan oleh anggur yang memabukkan, aku berusaha mengingat tas tangan dan nama butiknya, dan

Boys and Girls

Cerpen Alice Munro

Cerpen ini diterjemahkan oleh Rio Johan

AYAHKU seorang peternak rubah. Artinya, dia memelihara rubah perak, dalam kandang; dan pada musim gugur dan awal musim dingin, sewaktu bulu-bulu mereka prima, dia akan membunuh dan menguliti mereka dan menjual bulu mereka ke Perusahaan Teluk Hudson atau Pedagang Bulu Montreal. Perusahaan-perusahaan iniah yang menyuplai kalender-kalender heroik untuk kami gantung, masing-masing satu untuk tiap sisi pintu dapur. Dengan latar belakang langit biru yang dingin dan hutan pinus hitam dan

Daftar Peraih Nobel Sastra


Penghargaan Nobel Kesusastraan Atau Nobel Prize In Literature adalah salah satu dari lima kategori yang ada dalam Penghargaan Nobel yang diadakan atas permintaan penemu dan industrialis Swedia Alfred Nobel. Penghargaan Nobel sendiri adalah suatu ajang penganugerahan kepada orang-orang yang telah memberikan

Rabu, 14 Mei 2014

Kritik Sastra; Cerpen Kacamata karya Noor H. Dee

Oleh : Ardy Kresna Crenata

Cerpen Kacamata (Koran Tempo, 11 Mei 2014)

karya Noor H. Dee.

SEPULANG bekerja, lelaki itu menunggu kereta di stasiun yang sepi.
Seorang bocah, mungkin berusia 10 tahun, menghampiri lelaki itu dan menawarkan kacamata kepadanya.
Kacamatanya, Tuan, kata bocah itu. Harganya lima belas ribu.
Mata lelaki itu masih sehat dan baik-baik saja, tetapi ia

tetap membeli kacamata itu. Kembaliannya untuk kamu saja, ujar

Free Radicals


Oleh Alice Munro
Cerpen ini diterjemahkan oleh Rio Johan http://www.kemudian.com/node/275023
MULANYA, orang terus-terusan menelepon, cuma untuk memastikan Nita tidak terlalu murung, tidak terlalu kesepian, tidak makan terlalu sedikit atau minum terlalu banyak. (Dia sudah jadi peminum anggur yang rajin sampai-sampai banyak yang lupa kalau dia sebetulnya dilarang minum sama sekali.) Dia menahan mereka, tanpa terdengar berduka seagung-agungnya atau ceria yang tak wajar atau kosong pikiran atau kebingungan. Dia bilang dia tidak butuh sembako; dia mampu bertahan dengan tangannya sendiri. Dia sudah cukup jenuh dengan pil-pil resep dokter dan perangko-perangko untuk

Biografi Motinggo Busye

Motinggo Busye yang bernama asli Bustami Djalid (lahir di Kupangkota, Bandar Lampung, 21 November 1937 – meninggal di Jakarta, 18 Juni 1999 pada umur 61 tahun) adalah seorang sastrawan terkemuka, sutradara, dan seniman asal Indonesia. Ia terkenal lewat novel-novelnya yang bercerita tentang Seks dan kehidupan malam seperti Mama Cross (1966) dan Tante Maryati (1967). Karyanya yang berjudul Malam Jahanam terpilih menjadi naskah drama terbaik Departemen P & K dan menjadi bacaan wajib di sekolah seni dan

Senin, 12 Mei 2014

Cerita Mini; Pantat

Seorang wanita, memakai beach pant menyodorkan pantatnya di mukaku. Aku mengeram sambil memandang cela diantara belahannya. 
Aku menepuk pantatnya dengan gemas. Berharap tepukanku penuh kutukan yang membuat pantat itu bisulan hingga di tahun-tahun ke depan.
"Ahh maaf-maaf." Dia menoleh. "Saya

Esai Sastra; Meretas Bangunan Estetika Perpuisian Abdul Wachid B.S. dalam Tafsir Hermeneutika

(Artikel ini dikutip dari Jurnal Kebudayaan Islam, IBDA', Volume 3, Tahun 2005, Edisi 2, Hal. 193-215)


Meretas Bangunan Estetika Perpuisian
Abdul Wachid B.S. dalam Tafsir Hermeneutika

oleh Heru Kurniawan

Abstract: Esthetics have important role in poem, because it stand parallel with meaning, as body or container that contain meaning, idea, thought, and message. With hermeneutic interpretation, we can interpret the meaning of esthetics symbols of Abdul Wachid B.S’s poetry. From his several works, by adequate philosophic-religiosity understanding, we can find that its poem talk about transcendental love through two esthetics feature: first, based on reality awareness, and second, transcendental love which have based on love and longing to The Most Beautiful (Allah). Hence, we can obtain meaning through the real symbolism that able to brighten reader’s heart.
Keywords: poem’s esthetics, hermeneutic, symbol, profane-transcendent, feminine image.

---Pengantar

Estetika dalam karya sastra (puisi) begitu penting keberadaannya karena hakikat karya sastra merupakan karya imajinatif yang bermediakan

Esai Sastra; "KEINDAHAN YANG RUMIT DAN KEINDAHAN YANG SEDERHANA"

oleh Abdul Wachid B.S.


Ketika Gus Mus (K.H. A. Mustofa Bisri) memberi "Kata Pengantar" kepada buku sajak saya yang pertama, Rumah Cahaya (1995), beliau menulis bahwa sajak yang rumit itulah yang bagus, dan sajak-sajak Abdul Wachid B.S. itu rumit, dan karenanya bagus, penuh lambang-lambang... dst.

Tetapi, saya menerima "Kata Pengantar" itu sebagai tarbiyah untuk

Diskusi dan Baca Puisi "Nadi Hang Tuah"


Oleh Raudal Tanjung Banua
DISKUSI DAN BACA PUISI "NADI HANG TUAH"
Bersama Sapardi Djoko Damono, Al-Azhar, Tan Lioe Ie, dan lain-lain

Lembaga Kajian Kebudayaan Akar Indonesia (LK2AI) mengadakan peluncuran buku puisi menguak negeri airmata: nadi hang tuah bertempat di Amphitheater, Taman Budaya Yogyakarta, Sabtu, 10 April 2010 mulai pukul 19.00 WIB. Buku setebal 300 halaman yang diterbitkan Akar Indonesia tahun 2010 itu, merupakan karya Abdul Kadir Ibrahim (Akib), seorang penyair Indonesia kelahiran Natuna, dan sekarang bermukim di Tanjungpinang, Propinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Acara terbuka untuk umum dan gratis tersebut, akan diisi diskusi sastra oleh Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, sastrawan yang juga guru besar Fakultas Sastra UI dan Al Azhar, budayawan Melayu Riau, dipandu sastrawan Joni Ariadinata. Selain itu, Walikota Tanjungpinang, Hj. Suryatati A. Manan dan tokoh pers Riau yang juga seorang pengarang, Rida K. Liamsi, akan hadir sebagai pembanding.

Kegiatan ini disemarakkan pembacaan dan musikalisasi puisi yang menampilkan Bambang Darto, Iman Rohmansyah, Hoesnizar Hood, Tan Lioe Ie, kelompok Sobaya dan Abdul Kadir Ibrahim sendiri. Mereka akan membacakan dan menggubah puisi-puisi Akib yang kaya khazanah Melayu, dengan tipografi yang unik, mengingatkan konsepsi “puisi mantra” Sutardji Calzoum Bachri, meski memiliki capaian masing-masing, sebagaimana juga Ibrahim Sattah, penyair Riau lainnya. Uniknya lagi, dalam berbagai kesempatan Akib menulis puisinya dengan aksara Arab-Melayu atau aksara pegon yang sudah mulai punah, karena itu sejumlah puisi beraksara “Arab gundul” itu tetap dipertahankan di dalam buku yang diluncurkan.

Menurut Nur Wahida Idris, ketua penerbit Akar dan salah seorang panitia, kegiatan ini sengaja dilaksanakan pada bulan April karena sekaligus ditujukan memperingati hari wafatnya Chairil Anwar. Selain itu, juga untuk mengumumkan di hadapan publik Yogyakarta bahwa Tanjungpinang yang terpilih sebagai tuan rumah Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III, siap melaksanakan event tersebut bulan Oktober mendatang.
LK2AI sendiri, menurut Wahida, selama ini cukup aktif menyelenggarakan event seni budaya di antaranya diskusi dan pertunjukan sastra bersama KH Mustofa Bisri, Radhar Pancha Dahana, Bertold Damshauser, Agus Sarjono, Saut Situmorang, Jamal D. Rahman dan lain-lain. Melalui devisi penerbit Akar Indonesia, lembaga ini juga konsisten menerbitkan buku-buku sastra serta Jurnal Cerpen Indonesia. *




Pengantar Buku "menguak negeri air mata: nadi hang tuah"

Kehadiran khazanah Melayu dalam karya sastra Indonesia tentu bukanlah hal baru, sebab tokoh-tokohnya sudah semenjak lama berjejak, dan pencapaiannya mengharu-biru teks-teks sastra tanah air. Para tokohnya datang dan pergi, medan pergulatannya berbagai-bagai, dan pencapaian estetik mereka pun terus kokoh-meninggi. Nama-nama semacam Raja Ali Haji, BM Syamsuddin, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Taufik Ikram Jamil—untuk menyebut sebagian kecil—merupakan sosok yang mencuatkan geliat estetik khas Melayu di jagad sastra Indonesia.

Namun, dalam perkembangannya kemudian, sosok dan pencapaian itu tidak sepenuhnya sampai secara “adil” kepada publik, sebagian tidak mendapat akses yang cukup, sebagian “tertutup” oleh kebesaran nama yang lain, sebagian lagi mungkin mundur teratur, dan entah soal apa lagi. Salah satu perkara yang perlu didudukkan secara proporsional adalah perihal “kemegahan” nama Sutardji Calzoum Bachri. Dalam jagad kepenyairan Nasional, ia terutama dipandang dari keunikan khazanah Melayu yang mewarnai puisi-puisi “mantra”-nya. Sayang, Tardji seakan dianggap satu-satunya penyair yang bergulat secara intens dengan akar kulturalnya, minus kegelisahan kreator lain.

Anggapan ini tentu akan merugikan Tardji sendiri dan masyarakat Melayu secara umum. Setidaknya karena Tardji dianggap sebagai sosok yang mencuat begitu saja, personal dan nyaris ahistoris, dari kevakuman lingkungan dan masyarakatnya—dalam hal ini masyarakat kreatif Melayu. Padahal, kita tahu, Tardji tidak berasal dari “ruang kosong-hampa”—pinjam istilah Subagio Sastrowardoyo—melainkan dari ruang sosial dan kultural Melayu yang berlimpah-ruah dengan roh dan atmosfir kreatifnya.

Dalam kenyataan itulah kita akan bersua dengan sosok-sosok lain yang berdampingan dengan Tardji, saling mencari dan bergulat, saling isi dan berkompetisi. Atau kita bisa meminjam istilah Umbu Landu Paranggi,”Saling asah dan asuh, saling gosok dan gesek,” dalam membayangkan proses kreatif mereka, sebutlah yang mungkin pernah berlangsung di “Kota Gurindam Negeri Pantun”, Tanjungpinang.

Ya, di kota inilah Sutardji Calzoum Bachri bersama Rida K. Liamsi (dulu Iskandar Leo), Ibrahim Sattah, Hasan Junus, Hoesnizar Hood, Abdul Kadir Ibrahim (akrab disapa Akib) dan yang lain-lain, pernah mencecap pergulatan kolektif. Baik secara langsung bersama-sama, maupun dari segi spirit yang saling terhubung. Alhasil, pencapaian yang tidak kalah menarik juga berhasil diraih Ibrahim Sattah dengan sajak-sajaknya yang memuat kekayaan khazanah Melayu (apakah tema, kosa kata maupun tipografi) dan pembacaan yang tak kalah atraktif. Beberapa pihak menganggap teks dan penampilan Ibrahim Sattah tidak kalah menarik dibanding Tardji.

Bersamaan dengan itu, Abdul Kadir Ibrahim (lahir di Natuna, 4 Juni 1966) muncul pula dengan puisi-puisinya yang berangkat dari akar kultur Melayu, dan itu tidak dapat dinisbikan. Meski berangkat dari akar yang sama, namun secara estetis Akib berbeda dengan Tardji maupun Sattah. Salah satu perbedaan itu dapat diamati dari intensitas Akib menggali dan memadu-padankan ungkapan Melayu yang lugas dengan model puitisasi ayat-ayat Allah di dalam Al-quran. Alhasil, puisi Akib tidak perlu berbelit dan berpanjang-panjang untuk menyatakan sesuatu, melainkan langsung menghentak, tetapi kaya rasa, suasana dan nuansa.

Lebih jauh, puisi Akib tidak berhenti pada ungkapan, kata-kata atau bentuk semata, namun memuat nilai dan emosi yang menghunjam kalbu pembaca. Perpaduan ini niscaya merupakan kejelian Akib memaknai korelasi alam-Melayu dengan ranah spritualitas Islam yang menjadi dasar pijak puak Melayu. Kekhasan pencarian Akib lebih lengkap lagi lantaran ia menulis langsung sebagian sajak-sajaknya dengan aksara Arab-Melayu yang dikenal dengan “Arab Gundul” atau “Arab Pegon”. Aksara ini, sedari dulu menjadi media lontaran kalam bagi masyarakat Melayu, khususnya di Kepulauan Riau—meski belakangan mulai terkikis zaman.

Demikianlah, singkat kata, puisi Akib mendapat apresiasi yang baik dari pengamat dan publik pembaca. Meski diinterupsi oleh berbagai pekerjaan mulai sebagai guru, jurnalis, sampai kepala dinas, namun ia tetap meluangkan waktu untuk menuliskan puisinya. Puisinya terbit dalam dua buku, masing-masing 66 menguak (Bengkel Teater Bersama, 1991; cetakan kedua Unri Press, 2004) dan negeri airmata (Unri Press, 2004). Kajian cukup mendalam dari kedua antologinya tersebut berupa esei dan makalah dari sejumlah pengamat sudah pula diterbitkan dalam buku Akib: Penyair Cakrawala Sastra Indonesia—menguak negeri airmata (Akar Indonesia, 2008).

Terbitnya kajian yang cukup komprehensif tersebut kemudian mendorong kami memikirkan ketersediaan puisi-puisi Akib dalam satu buku utuh. Apalagi puisi-puisi tersebut sebelumnya terbit dalam dua buku terpisah, dan dalam rentang waktu yang sudah lama pula. Menyatukan kedua buku tersebut niscaya dapat lebih memudahkan pengamat dan pencinta puisi tanah air untuk menikmati karya Akib, juga secara utuh. Setidaknya, kita dapat tahu bahwa penggalian khazanah Melayu masih terus berlangsung, dari berbagai kreator, dan dengan berbagai teknik.

Kami menorehkan judul baru menjadi menguak negeri airmata—nadi hang tuah untuk kedua buku yang disatukan ini. Di samping itu, mengingat tidak banyak kajian puisi yang diterbitkan di negeri ini, maka pendampingannya dengan karya bahasan kami pandang dapat memberi nilai lebih: ada karya, ada bahasan. Tidak kalah penting adalah memuat puisi-puisi Akib yang ia tulis langsung dengan aksara Arab-Melayu. Kami memandangnya sebagai dokumentasi penting sekaligus ingin menginspirasi pemerintah dan masyarakat untuk kembali mengangkat harkat dan martabat aksara berharga tersebut.

Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Abdul Kadir Ibrahim yang bekerja sama dengan kami untuk semua upaya budaya ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada sejumlah pihak yang membantu, di antaranya Ibu Hj. Suryatati A. Manan, Walikota Tanjungpinang yang memberi apresiasi tinggi; Bapak Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono yang mengizinkan ulasannya sebagai esei pembuka; Bapak Drs. Abdul Malik, M. Pd, yang berjasa merangkai ragam-pendapat dalam narasi yang jernih, serta semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Akhirulkallam, kami ucapkan selamat menikmati puisi-puisi Akib di dalam buku ini.

Yogyakarta, Januari 2010

Akar Indonesia





Minggu, 11 Mei 2014

Kritik Sastra; Keringat Karya Jorge Amado


Oleh : Ardy Kresna Crenata

Cerpen Jorge Amado (Koran Tempo, 27 April 2014)
Image336
(Gambar oleh Munzir Fadly)
MEREKA menuruni tangga bersamaan. Ketika mereka sampai di pintu keluar, orang asing itu mencoba mengajaknya bercakap-cakap. Ruap napasnya yang panas menyapu wajah si wiraniaga. Malam ini udara terasa gerah dan lembap, tak ada angin berembus. Namun, si orang asing pasti sedang kedinginan karena ia terus melesakkan tangannya ke dalam saku mantel. Matan

Pelajaran Hari Ini


Note Dan Ultimatum Untuk Diri Sendiri Jalan Menuju Bahagia

1-Fokus menjaga kedamaian hati. Tutup telinga untuk hal-hal yang sampah dan mengesek prinsipil serta idealisme. Tutup telinga dari tetangga-tetangga tidak bahagia sehingga sok bahagia dengan menyebut-nyebutkannya sekujur dirinya.

2-Berhenti membaca status yang alay, mengeluh dan bersifat pribadi yang memuat ego semata d

Kritik Sastra; Cerpen "Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu, dan Omong Kosong yang Harus Ada" karya Dea Anugrah.

Oleh : Ardy Kresna Crenata

Cerpen Koran Tempo kemarin, 4 Mei 2014: "Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu, dan Omong Kosong yang Harus Ada" karya Dea Anugrah.



(Gambar oleh Munzir Fadly)
HALO, di mana?”
Kau menerima panggilan di ponselmu dan memulai percakapan dengan suara berat. Sangat berat.
“Heh, kalau kuusir dari rumah, tanggung sendiri risikonya!”
“Ya, di mana? Kamu sekarang di mana?”
Barangkali telepon itu dari istri atau kekasihmu yang kau ajak tinggal serumah. Dan saat ini jelas sedang ada masalah. Tapi sepertinya bukan soal baru. Dari caramu bicara, terasa ada kejengahan yang nyaris meledak.
“Kok nggak jawab?”

Nenek Berbicara Cinta

Ketika aku kecil dulu, aku percaya bahwa cinta itu semacam gula-gula berwarna-warna yang membuat lidah terusan saja mengunyah tanpa henti-hentinya. Menikmati tiap incinya dan memintanya lagi dan lagi.
Lalu aku berubah pikiran. Cinta tak selamanya menyenangkan perasa. Aku patah hati untuk pertama kalinya. Cinta rasanya berubah, membuat muak dan sakit rasanya. Karena rasa sakit yang kurasa aku mulai kehilangan arah. Aku carut marut dan berat badanku menyusut.

Kanvas Dan Lukisan Gadis Boneka



(1)
Mungkin engkau setiap hari berpijak diantara rerumputan, tetapi engkau tak akan bisa tahu bau rumput yang sebenarnya tanpa menunduk dan menciumnya terlebih dahulu bau tanah tempat rumput tumbuh dan berdendang.
***
(2)
Sore yang jingga saat sekawanan camar berlayar di antara awan. Di balik bukit seorang bocah laki-laki muncul dengan segerombolan dombanya. Mengiring hewan berkaki empat itu kembali ke rumahnya.
‘Tak lelahkah ia bersama domba-domba? Tak bosankah ia mengembala; mengatur, merawat  dan mengarahkan hewan-hewannya yang terkadang berhasrat semaunya itu? Bagaimana Laki-laki muda itu mampu menjadi pemimpin di dunianya sendiri.’

Tolong Aku Sekarang!!


Masih terdengar hiruk pikuk suara itu, para kepala-kepala kecil yang muncul dari hantu masa laluku. Lebar-lebar mulut mereka dengan gigi-gigi yang terlihat bergerigih. Mereka masih tertawa dengan membawa benda kecil berwarna gelap dan bersayap. Tak lupa dua antena panjang dikepalanya.
“Hahahahaaa....”suara mereka riang. “Iiiiihhhhh...ini...” si anak kecil kepala plontos melemparkan seekor kecoa kearahku. Aku menjerit sejadi-jadinya dan lari kesetanan sedang mereka tertawa dengan renyahnya.
000
Awal bulan juni aku bermigrasi kekota. Hari pertama aku dirumah baru suamiku tak terjadi satu apapun yang mencurigakanku. Semuanya berjalan sebagaimana biasanya. Namun seiring berjalannya waktu yang berlalu aku mulai mencium bau kecurigaan yang kian hari makin menyengat. Dan disanalah ia, dengan koloninya, berpuluh berkumpul dalam pesta yang mengeksekusiku berdiri.

Dongeng Anak-anak; Penyesalan Si Wortel


Matahari bersinar dengan hangat, seorang Pak tani tua dengan semangatnya bergegas ke ladangnya untuk melihat tanaman wortel miliknya yang mulai tumbuh. Terlihat tunas-tunas daun diantara tanah merah.
Pak tani yang gembira merawat tanaman wortelnya dengan kasih dan selalu memenuhi kebutuhan air dan pupuk bagi wartel-wortelnya. Dan waktupun semakin berlalu, tunas-tunas wortel tumbuh subur dan semakin membesar.
Diantara tanaman wortel yang subuh itu ada satu buah wortel yang lebih besar dan lebih subur dari wortel-wortel yang lain, karena dia sering mengambil jatah air d

Tes DNA


Siang itu, tiga Polisi dengan mobil bersirenenya berhenti disebuah rumah duka. Duka atas meninggalnya anak perempuan ketiga dari rumah itu. Yang ditemukan oleh warga mengapung busuk disebuah danau dengan celana yang melorot sampai lutut.
Sebelum meninggalnya gadis itu, beberapa orang melihat

Petunjuk Ibu Tentang Kehidupan


Sore, di beranda rumah seperti biasa. Dengan segelas wedang jahe, ubi rebus dan suara tawamu yang membumbung tinggi dan membuatnya terukir rapi dalam benakku. Memetakan senyummu yang selalu menghangatkanku bahkan ditahun-tahun kedepan-saat jauh dari keberadaanmu senyummu masih saja menemaniku.

Rahasia Sang Rahasia


Kami menemukannya terdampar diantara deru ombak. Saat wajah ombak mengulung tanpa ampun, disela bebatuan karang terjuntai rambut-rambut keperakan yang memantulkan matahari dini hari. Dan dengan mata kepala kami sendiri, kami menyaksikan bagaimana manusia itu merangkak memulihkan kesadarannya.

Garis wajahnya yang pucat mengisahkan dengan bisu bagaimana dia terbawa sampai sini bersama dengan lipatan-lipatan dingin dan goresan-goresan keriput yang tercipta mendadak, seakan satu persatunya dengan jelas mengumandangkan berapa lama waktu yang dia tempuh untuk berbaring goyang diatas hamparan permadani lautan. Satu hal lagi yang kami percayai sebagai mu'jizat, Ketika dengan pasti tanganNYa membawa gadis ini sampai disini, ditengah kami.

Dongeng Halua Putri


Pada zaman dahulu hiduplah sepasang saudagar yang sangat kaya raya, memiliki kapal-kapal yang banyak dan besar serta barang dagangan yang melimpah, hidup mereka serba kecukupan dan mereka saling mencintai satu sama lain. Tapi dengan semua yang mereka miliki mereka merasa ada yang kurang karena tiadanya kehadiran anak ditengah-tengah keluarga yang akan menyempurnakan kebahagiaan mereka.

Kutunggu Antrian


Hampir setengah jam, tanpa alas kaki utuh aku berdiri diantara kebulan bau manusia yang bercampur menjadi satu-kesatuan yang hampir menonjok indra pembauan. Dibawah terik panas ini, kuintip matahari yang seakan dipanggil dari padang mahsyar dengan secepat kilat ia menyenggat mataku yang berair perih duka.
 “Sesungguhnya aku telah memberikan padamu ni’mat yang banyak. Maka dirikanlah sholat karena tuhanmu dan berqurbanlah.” (QS:Al Kautsar)

Sabtu, 10 Mei 2014

Pentas Akhir Sekolah


Pagi yang riang dalam balutan wajah-wajah penuh duka yang tranparan. Tawa-tawa mengema disegala penjuru sekolah seakan mengajak ranting dan dahan akasia untuk ikut serta, namun mereka tetap diam dan bungkam. Dalam nuansa pesta terakhir kita, sebelum kita kepakan sayap dan terbang dari pelataran SMA, dalam riang yang berbalut duka. Jalinan yang kita rajut mungkin akan terurai dengan sendirinya. Kawan inilah saatnya.

Penyelamat


"Hhhuffh." wanita bersyal itu menghembuskan nafas panjang sebelum menekan bel pintu di salah satu rumah mewah di daerah Whitechapel. Daerah yang hampir tiga bulan ini dihantui oleh teror mencekam seorang pembunuh berdarah dingin. Bahkan jalanan yang ramai dan megah itu ketika menyentuh malam akan menjadi senyap dan menakutkan siapa saja.

Akhir Cinta


Mungkin engkau memiliki kisah dimana engkau hanya mampu melihat seseorang yang kau anggap berharga dari jauh. Mungkin engkau pernah mendapatkan kesejukan dari mata yang bahkan tak bisa kau pandangi selama beberapa menit sekalipun. Mungkin engkau pernah sembunyi-sembunyi melihatnya dari sudut matamu. Mungkin engkau pernah diam-diam melakukan sesuatu untuknya dan mungkin engkau pernah merasa seluruh dunia adalah sepenuhnya dia. Ya, engkau mencintainya dan rasa cintamu yang sedalam-dalamnya. Namun seiring berjalannya waktu engkau semakin menjadi angin lalu yang numpang lewat disisinya. Cinta yang kuyakini mampukan menjaganya dikala malam dan hembusan nafasnya yang menjadi bagian kehidupan namun jika dia berbahagia, melihatnya tersenyum dan terhapuskan gurat kesedihan dimatanya saja merupakan energi yang bisa menegakkan diri hingga akhir nanti.

Kamis, 08 Mei 2014

Kenari Musim Dingin


“Seorang gadis kecil berjubah merah yang akan mengingatkanmu pada si tudung merah yang tengah menghadapi serigala dalam dongeng anak-anak sedang berjalan sendirian. Tapi si tudung merah kita ini sepertinya tak akan mampu melawan sang serigalanya.”

Gadis berjubah merah dengan langkah berat yang dirantai derita, berjalan terseok–seok diantara kelembutan salju putih yang seakan tak berdosa. Gadis itu tidak menghiraukan kaki telanjangnya yang seakan menginjak duri–duri ketika menginjak tumpukan salju. Yang bertubi–tubi menusuknya.