Sikap hidup
pragmatis pada sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini mengakibatkan
terkikisnya nilai-nilai luhur budaya bangsa. Demikian halnya dengan budaya
kekerasan dan anarkisme sosial turut memperparah kondisi sosial budaya bangsa
Indonesia. Nilai kearifan lokal (local wisdom) yang santun, ramah,
saling menghormati, arif, dan religius seakan terkikis dan tereduksi gaya hidup
instan dan modern. Masyarakat sangat mudah tersulut emosinya, pemarah, brutal,
kasar, dan vulgar tanpa mampu mengendalikan hawa nafsunya, seperti perilaku
para demonstran yang membakar kendaraan atau rumah, merusak gedung, serta
berkata kasar, dalam berunjuk rasa seperti yang ditayangkan di televisi.
Fenomena itu dapat menjadi representasi melemahnya karakter bangsa yang
terkenal ramah, santun, berpekerti luhur, dan berbudi mulia.
Sebagai
bangsa yang beradab dan bermartabat, situasi yang demikian itu jelas tidak
menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa
depan bangsa yang cerdas cendekia, bijak bestari, terampil, berbudi pekerti
luhur, berderajat mulia, berperadaban tinggi, dan senantiasa berbakti kepada
Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu, dibutuhkan paradigma pendidikan kejiwaan
yang berorientasi pada karakter bangsa, yang tidak sekadar memburu kepentingan
kognitif (pikir, nalar, dan logika), tetapi juga memperhatikan dan
mengintegrasi persoalan moral dan keluhuran budi pekerti. Hal itu sejalan
dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
yaitu fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membangun watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa dan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Pendidikan
kejiwaan yang berorientasi pada pembentukan karakter bangsa itu