Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Senin, 09 Maret 2015

Sejarah Sastra Jepang Modern Bagian III

Kawabata Yasunari

Yasunari Kawabata adalah adalah seorang novelis Jepang yang prosa liriknya membuat ia memenangkan Penghargaan Nobel dalam Sastra pada 1968. Ia menjadi orang Jepang pertama yang memperoleh penghargaan tersebut. Karya-karyanya hingga kini masih dibaca bahkan di dunia internasional.
Sementara masih menjadi mahasiswa, Kawabata menghidupkan kembali majalah sastra Universitas Tokyo, "Shin-shichō" (Arus Pemikiran Baru) yang telah mati lebih dari empat tahun. Di situ ia menerbitkan cerita pendeknya yang pertama, "Shokonsai Ikkei" ("Suasana pada suatu pemanggilan arwah") -- sebuah karya yang

Sejarah Sastra Jepang Modern Bagian II

Periode antara pergantian abad dan dominisasi militerisme pada tahun 1930-an, memproduksi tiga penulis besar, yaitu Mori Ōgai, Natsume Soseki dan  Ryunosuke Akutagawa.

Mori Ogai

Mori Ogai adalah novelis Jepang, penerjemah, kritikus, sekaligus dokter militer, peneliti kedokteran, dan seorang birokrat. Setelah lulus sebagai dokter, Mori diterima di korps dokter militer angkatan darat, dan belajar ke Jerman selama 4 tahun atas biaya negara. Sepulangnya dari Jerman, Mori menerbitkan antologi puisi terjemahan berjudul Omokage dan novel Maihime (Dancing Girl). Improvisatoren (The Improvisatore: or, Life in Italy) oleh Hans Christian Andersen diterjemahkannya sebagai Sokkyō Shijin. Moori terinspirasi oleh sastra  Jerman dan memainkan peran utama dalam gerakan sastra Jepang romantis. Mori mulai aktif sebagai penulis sejak menerbitkan majalah Shigarami Sōshi. Setelah diangkat sebagai Inspektur Jenderal Korps Dokter Militer Angkatan Darat, Mori menghentikan kegiatan tulis menulis untuk sementara. Namun setelah terbitnya majalah Subaru, ia kembali menulis dan menghasilkan

Minggu, 08 Maret 2015

Sejarah Sastra Jepang Modern Bagian I

Restorasi Meiji merupakan langkah awal bagi Jepang untuk menuju zaman modern. Jepang menyadari akibat politik isolasi yang berlangsung lama, sehingga memasukkan kebudayaan barat yang tergesa-gesa. Begitu juga bidang kesusastraan banyak menerima pengaruh dan dorongan dari kebudayaan barat, dan kemudian berkembang dalam negara Jepang. Kesusastraan zaman modern mencerminkan manusia yang hidup dalam masyarakat modern yang cenderung mempunyai sifat borjuis yang menganut paham liberal dan demokrasi. Pada periode awal masuknya kesusastraan barat dipelopori oleh golongan terpelajar yang dimulai dengan kesusastraan terjemahan. Tokoh-tokoh yang mewakili pelancaran jalannya Bunmei Kaika (Revolusi Kebudayaan) yaitu Fukuzawa Yukichi dan Nishi Amane. 

Fukuzawa Yukichi

Fukuzawa Yukichi adalah penulis Jepang, ahli Rangaku sekaligus samurai Domain Nakatsu, penerjemah, pengusaha, pengajar yang mendirikan Universitas Keio. Ia diberangkatkan ke Amerika Serikat sebagai anggota delegasi Jepang dan melakukan perjalanan ke Eropa setahun sebelum Restorasi Meiji. Fukuzawa menerbitkan banyak sekali buku dan artikel, di antaranya Gakumon no Susume (Dorongan untuk Belajar) (1872-1876) dan Bunmeiron no Gairyaku (Garis Besar Teori Peradaban) (1875).  "Langit tidak menciptakan seseorang dengan harkat di atas atau di bawah orang lainnya." adalah kalimat pembuka Gakumon no Susume yang dikenal anak-anak sekolah di Jepang. 
Sebagian besar tulisannya diterbitkan oleh penerbit universitas atau surat kabar Jinji Shimpo yang

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA SEBAGAI UPAYA PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA



Sikap hidup pragmatis pada sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini mengakibatkan terkikisnya nilai-nilai luhur budaya bangsa. Demikian halnya dengan budaya kekerasan dan anarkisme sosial turut memperparah kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Nilai kearifan lokal (local wisdom) yang santun, ramah, saling menghormati, arif, dan religius seakan terkikis dan tereduksi gaya hidup instan dan modern. Masyarakat sangat mudah tersulut emosinya, pemarah, brutal, kasar, dan vulgar tanpa mampu mengendalikan hawa nafsunya, seperti perilaku para demonstran yang membakar kendaraan atau rumah, merusak gedung, serta berkata kasar, dalam berunjuk rasa seperti yang ditayangkan di televisi. Fenomena itu dapat menjadi representasi melemahnya karakter bangsa yang terkenal ramah, santun, berpekerti luhur, dan berbudi mulia.
Sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, situasi yang demikian itu jelas tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan bangsa yang cerdas cendekia, bijak bestari, terampil, berbudi pekerti luhur, berderajat mulia, berperadaban tinggi, dan senantiasa berbakti kepada Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu, dibutuhkan paradigma pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada karakter bangsa, yang tidak sekadar memburu kepentingan kognitif (pikir, nalar, dan logika), tetapi juga memperhatikan dan mengintegrasi persoalan moral dan keluhuran budi pekerti. Hal itu sejalan dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membangun watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada pembentukan karakter bangsa itu

Pandangan Hamka Mengenai Akal Budi Dan Perkembangan Kaum Muslimin


 Innama bu’ist-tu li utammima makarimal akhlaq!

“Aku diutus tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti mulia.”

Demikianlah sabda nabi Muhammad s.a.w, menyatakan maksud kedatangannya kea lama dunia ini. Orang yang memahami bahasa Arab dapatlah mengerti maksud dari kalimat ‘Innama’ diawal sabda beliau. Yang juga disebut dengan kalimat ‘Adatu hashr’ yaitu kata-kata menonjolkan satu maksud dan meniadakan yang lain. Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai ‘tidak lain kedatanganku ini hanya semata-mata untuk menyempurnakan budi-pekerti (akhlaq) yang mulai.” Jelas junjungan kita dalam menghargai usaha kemanusiaan sejak beribu tahun yang lalu.
Ingatlah bagaimana perjalanan beliau sejak muda hingga usia 40 tahun dalam menghadapi masalah kemanusiaan yang rumit tersebut. Dimulai dari usia beliau yang sangat belia dalam memperjuangkan dan memperteguh diri, hingga beliau pun mendapat gelar dari masyarakat pada saat itu dengan sebutan ‘Al-Amin’ yang berarti orang yang sangat dipercayai. Dan ketika genap usia 40 tahun, diterimalah perintah suci dari Allah YME untuk melanjutkan dan menyempurakan kegiatan sebagai utusan Tuhan yang telah diserukan kepadanya.
Kerusakan dan kekacauan jiwa menyebabkan manusia tidak memiliki tujuan hidup. Tiga belas tahun lamanya nabi Muhammad berada di Mekkah untuk menjelaskan tujuan hidup dan menegakkan sesuatu yang dapat membentuk budi, yaitu tujuan keesaan kepada dzat yang meliputi dan menguasai seluruh alam-benda, yang maudjud ini. Itulah yang terkenal dengan kalimat pokok ajaran, yaitu Tauhid.
Belum ada perintah yang mengenai hukum-hukum syariat diturunkan di