Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Jumat, 26 Juni 2015

Ibu, Ayah, Dan Harapanku Yang Tersisa Di Kepulauan Seribu

Pulau itu adalah ibu, dengan ribuan pasir yang disebut kasih. Dan laut yang kupanggil ayah, adalah kumpulan ombak perasaan yang buihnya dalam ingatanku selalu menyentuh pasir ibu. Namun laut adalah gelombang yang tak pernah tinggal diam, ia selalu bergelombang tak pernah tetap tinggal disebuah pesisir daratan. Dan ialah laut yang senantiasa berpetualang. Lantas pergi, lenyap. Ayah...

Sejak hilangnya kehadiran sosok ayah yang tak pernah kuingat kapan terjadinya, namun hanya segumpal perasaan yang terkadang bersemayam. Kerinduan. Gelompang pasang ayah tak pernah lagi datang membasahi pulau ibu atau bahkan sekedar mengunjungiku.

Dan sepuluh tahun sudah lamanya, sejak tak pernah kuhirup aroma ayah disetiap musimnya. Karenanya aku mengundang mereka berdua datang ke pulau ini. Kuselipkan surat undangan dengan bau laut dan pantai dalam seribu gugusan pulau kepingan harapan. Akhirnya mereka pun datang, itulah yang kudengar. Dengan kebahagiaan yang meledak-ledak aku menyambut mereka dengan
serangkaian bunga-bunga tulisan yang kutitipkan pada penjaga pantai. 




Penjaga pantai itu mengabarkan, ibu dan ayahku, mereka bertatapan dengan pandangan mata yang buram ketika keduanya saling bertemu setelah sekian waktu terpisahkan. Aku berkhayal, ada sebuah bola besi kasat mata diantara mereka yang menjadi pembatas keberadaan satu sama lain.

"Kamu ada dimana?" suara ibu menghubungiku.

"Sebentar lagi sampai, baru transit dari Muara Angke. Kapal penyebranganya telat Bu!" jelasku. "Ibu dan Ayah santai saja dulu disana."

"Tapi ibu tak nyaman sama ayahmu. Kamu kan tahu sendiri!"

"Hanya sebentar bu, saya segera sampai kok."

Aku masih ingat, bagaimana ibu dulu menyiapkan kopi untuk ayah di pagi hari dengan kasih. Pukul lima pagi beliau sudah bergelut di dapur, bercampur asap dan terkadang jelaga dari kompor minyak miliknya. Aku masih berusia Tk ketika kami masih tinggal serumah. Dulu dalam rumah kecil kami hanya kebahagian yang kami kenal memenuhi sekujur atsmosfer rumah. Namun sejak ayah pergi, hanya bau anyir yang terkadang terlepas masuk ke ruang tamu. Bahkan tak jarang bangkai-bangkai omongan tetangga yang membicarakan ketidak becusan ibu menjadi istri sehingga suaminya minggat dari rumah sering kucuri dengar diam-diam.

Segala kenangan buruk dan sakit hati kuharapkan tak merusak sedikit pun rencana mempertemukan mereka setelah sekian lama. 

Jarum jam menunjukan 13:45 ketika kakiku menginjak pasir pulau Bidadari. Aku melihat ibu tak jauh dari labuhan kapal yang kunaiki. Ia melambai, aku melihat sinar kelegaan dimatanya. Mungkin ia merasa kedatanganku bisa melepaskan rantai kekikukan diantara mereka. Ibu mengapit tanganku, seolah tak ingin aku pergi sejengkal pun darinya.

Aku baru bertemu dengan ayah sejam setelah kedatanganku. Ia sedang duduk disebuah bangku di bawah pohon-pohon sukun yang rindang. Segelas es teh manis di tangannya. Sesekali dia meneguknya. 

"Ibu sedang tidur," kataku ketika mendekatinya, dia mendongakkan wajahnya kearahku.

"Oh ya..." responnya kagok.

"Aku dulu ingat, di depan rumah kita dulu ada pohon sukun yang tak pernah terlihat berbuah. Ayah sering kali ingin menebangnya tapi ibu tak pernah mengizinkan, sebagai peneduh rumah katanya. Dan ketika ayah nekad menebangnya-hal yang membuat ibu marah besar- aku dan ayah pergi ke pasar, kita membeli satu buah sukun yang besar..."

"Lalu ibumu yang merebusnya, kita makan bersama buah sukun itu. Rasanya manis sekali." Ayah menatapku.

"Sudah waktunya, Ibu maupun Ayah saling melupakan apa yang telah terjadi di masa lalu."

"Ayah sudah berusaha, tapi sepertinya hati ibumu sudah tertutup buat ayah."

"Apa ayah masih mencintai ibu?"

Ada jeda dalam suaranya, "tak pernah ada wanita lain dihati ayah."

"Ya, karena itulah ayah tak pernah menikah lagi. Aku rasa sama halnya dengan ibu, tak pernah ada laki-laki yang mengantikan posisi ayah sebagai suami maupun jauh dalam lebuh hatinya." Aku bertanya mencari penegasan, "apa ayah mau kembali dengan ibu?"

"Ya, kalau ibumu juga mau."

Setelah mendapat kepastian dari pihak ayah, aku mendekati ibu. Aku tak perlu mencari kepastian dari ibu, karena selama aku tinggal bersamanya aku masih mendengar suara-suara tangisan malam ibu untuk ayah. Hanya kemarahan dari masa lalu saja yang membuatnya enggan untuk bersatu kembali dengan ayah. Dan ketika kami tiba di penangkaran penyu-aku tahu bahwa ibu takjub dengan hewan yang satu itu-aku mencoba mendekatkan mereka berdua. Namun ego ibu masih bersikukuh, belum luruh juga dengan langkah ayah yang menyapanya.

Kami pergi ke pulau Pramuka keesokan harinya. Aku ingin memperlihatkan kepada ibu surga lain di bawah laut, diantara terumbu karang dan ikan-ikan kecil, diantara pasir dan anemon laut. Surga bawah laut yang akan memperlihatkan padanya betapa hubungan kecil dapat berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan sekitar.


Namun ternyata rencana itu tidak berjalan lancar. Sebuah pengecekan kesehatan dasar menunjukan kadar gula dalam darah ibu meningkat-aku jadi menyangkut pautkan kadar gula ibu dengan pertemuan mereka setelah sekian tahun ini.

Malam harinya, kami ke pulau Tidung. Harapan terakhir. Di sana ada jembatan yang menghubungkan dua pulau, jembatan cinta namanya. Aku sangat berharap di jembatan itu ayah dan ibuku, bisa berbicara berdua. Menyelesaikan ganjalan diantara mereka. Membungkus suramnya masa lalu dan membuangnya jauh-jauh ke laut lepas. Sebentar lagi.


 
###

#Post ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi menulis cerpen "Awesome Journey". Yang diselengarakan oleh yayasan Kehati dan Nulisbuku.com.


Nb: semua gambar diambil dari  http://www.tempatwisatamu.com/
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar