Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Kamis, 04 Desember 2014

Feminisme Radikal Vs Kaum Patriarki Dalam Novel Maya-Ayu Utami

Yasmin Vs Maya, (Part Maya)

Tidak seperti biasa, ketika membaca Saman dan Larung atau Seri Bilangan Fu, yang selalu merasa bosan dan menghentikan membaca pada 20 halaman terakhir. Novel Maya, yang di daulat sebagai penutup dari dwilogi dan serial pendahulunya tersebut-yang lebih cenderung sebagai kelanjutan Saman-Larung ketimbang Seri Bilangan Fu, membuat saya bosan pada 20 halaman awal namun berhasil membawa saya pada dunia memaki-serapah pada bab-bab pertengahan cerita.
Dimulai dari kisah Yasmin yang mendapat surat dari kekasihnya yang hilang-Saman, lalu menemukan batu Supersemar yang sangat berharga diantara tumpukan tulisan pria gelapnya, yang kemudian menuntunnya ke perdepokan Suhubudi yang mistis dan kejawen. Sejak membaca Saman saya memang tak tertarik dengan kisah Yasmin-Saman, terlebih pada Maya ini. Saya menemukan keseruan cerita berawal dari pertunjukan sendatari Ramayana, yang dipentaskan oleh kaum cebol-klan Saduki, yang dikisahkan hidup di pojok barat dan terpencil dalam pedepokan Suhubudi tersebut.
Diantara para cebol. Maya dikenal sebagai pemeran Sita atau Shinta dan Tuyul pemeran Rama-lah yang membuat saya menikmati suguhan Ayu Utami. Diluar dari kekerdilannya-dalam novel ini saya beranggapan bahwa kerdil adalah lambang kemampuan berfikir bukan bentuk badan, Maya adalah

Menelaah Feminisme Radikal dan Manusia Kerdil Dalam Novel Maya-Ayu Utami


-I-
Nama Ayu Utami identik dengan Sastra wangi dan kontroversinya. Sastra wangi sumber utama kontroversi dalam karya-karyanya adalah kebebasan dalam mendiskusikan seksualitas dengan segala aspeknya.
Hal tersebut dilakukan pengiat sastra wangi untuk membongkar dinding yang selama ini membungkam wacana. Ayu Utami sendiri menegaskan bahwa para pria sudah sejak lama mengumbar seksualitas di media. Dan wacana seksual dari perspektif perempuan  memang diperlukan. Sudah wajar, bila satu bentuk perjuangan atau langkah terobosan dianggap sebagai berlebihan oleh pihak yang ingin mempertahankan status quo, sebagaimana rezim Suharto (Time Asia, 20 November 2005). Dan apa yang mereka sampaikan hanyalah  sesuatu yang memang terjadi di masyarakat. Mereka mengungkapkan  sesuatu yang dianggap tabu oleh generasi pendahulunya. Pendapat itu didukung oleh Julia Suryakusmana, yang  menyatakan bahwa budaya tradisional bangsa kita sebenarnya sangat  seksual. Yang terjadi adalah skizoprenia antara kenyataan sejarah dengan apa yang disebut dengan ‘nilai-nilai Ketimuran.’ Pernyataan Julia  ini menegaskan bahwa apa yang para pengarang perempuan kemas dengan bahasa-bahasa yang dianggap ‘kotor’ itu betul-betul merupakan  refleksi dari kenyataan di dunia moden, atau bahkan cerminan budaya  yang sudah sejak dulu memang seksis.
Dan kecaman negatif kebanyakan muncul dari para sastrawan senior, misalnya Taufiq Ismail, yang menyatakan sebagai berikut:
Penulis-penulis perempuan, muda usia, berlomba mencabulcabulkan karya, asyik menggarap

Senin, 01 Desember 2014

Yogya; sebuah perjalanan spiritual, budaya, dan relaksasi diri (meditasi)


  
Gunung Kidul dalam sesi istirahat
-sudah lama sebenarnya saya ingin menulis hal ini, namun beberapa kali waktu datang dan menjemput saya, sehingga tak membiarkan saya untuk menyelesaikan postingan ini-oke anggaplah ini sebagai sebuah pembenaran belaka.

Foto 1
Di bulan September kemarin kami-aku, suamiku, temannya, dan juga kekasihnya, bersama-sama mengunjungi saudara jauh kami-tepatnya ayah angkat saya. Kami menginap di rumah beliau, sekalipun hanya tiga hari saja namun hal tersebut sudah membuat kami masing-masing mendapatkan kenangan yang tak terlupakan bersama.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Foto 1 di ambil di sebuah pagi yang asri di rumah Abah Mentari Jiwa. Rumahnya selalu menjadi

Toko, Buku, Penjual, Pembeli,, Sastra, dan "Asu"*


--diambil dari sudut pandang pembaca individual
Agaknya bangsa ini terlalu malu untuk menyebut dirinya sendiri sebagai manusia yang baru tersadar dari penjajahan, terlebih bagi peminat buku yang jumlahnya bisa kita hitung dengan jari, itupun belum lagi jika kita pisahkan mana pembaca udik, pembaca asu, dan pembaca "Asu", jumlah yang bisa kita hitung dalam beberapa detik saja. Yang mana baru terbebas penjajahan sensor sastra.
Ketika ekonimi pasar berkuasa, kapitalisme mengeser segala bentuk sosialisme dan sejenisnya. Para penjual asu akan lebih mementingkan keuntungan yang diberikan oleh mayoritas pembeli, dengan kata lain pembeli yang memiliki massa terbanyak akan mendapatkan kemudahan fasilitas sehingga tanpa mereka sadari, mereka membuat sekat mistis dengan pembeli minoritas. Terlebih budaya hedonisme memang telah menyergap manusia dari segi manapun, baik disadari maupun tidak. Bahkan tak terkecuali di toko buku, di toko buku asu, mereka mencoba menampilkan sebuah ruang rekreasi penikmat bacaan yang memanjakan, rak-rak di penuhi warna-warna berbagai sampul menarik yang didesain penerbit, seolah merayu pembaca untuk mengumulinya-layaknya seorang pelacur yang menjajakan dirinya di pinggir trotoar, tak lupa juga gambar-gambar menawan ditampilkan, yang jelas ingin menyamarkan dan memoles kekurangan isi di dalamnya.
Sastra memang telah menjadi sebuah komoditi yang tak terhindarkan lagi pada masa ini. Ia menawarkan sesuatu sesuai keinginan pembacanya— momen yang menyebabkan dirinya bukan lagi sesuatu yang khas dan tertentu. Sastra asu-pun menjelma menjadi semacam lolipop manis yang mengikis lapisan gigi anak-anak. Sedangkan Sastra "Asu" semakin