Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari
bahasa Yunani yaitu krites yang berarti ”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang berarti ”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan”. Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah
satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis,
penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni.
Menurut Graham Hough (1966: 3) bahwa kritik sastra itu bukan
hanya terbatas pada penyuntingan dan penetapan teks, interpretasi , dan
pertimbangan nilai, melainkan kritik sastra meliputi masalah yang lebih luas
tentang apakah kesusastraan itu, untuk apa, dan bagaimana hubungannya dengan
masalah-masalah kemanusiaan yang lain.
Abrams dalam Pengkajian sastra (2005: 57) mendeskripsikan bahwa
kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan,
klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra.
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, Studi sastra
(ilmu sastra) mencakup tiga bidang, yakni: teori sastra, kritik sastra, dan
sejarah sastra. Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling mengait.
Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang
ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks
sastra.
FUNGSI KRITIK SASTRA
Menurut Pradopo fungsi utama kritik sastra dapat digolongkan
menjadi tiga yaitu:
1. Untuk perkembangan ilmu sastra
sendiri. Kritik sastra dapat membantu penyusunan teori sastra dan sejarah
sastra. Hal ini tersirat dalam ungkapan Rene wellek “karya sastra itu tidak
dapat dianalisis, digolong-golongkan, dan dinilai tanpa dukungan
prinsip-prinsip kritik sastra.”.
2. Untuk perkembangan kesusastraan,
maksudnya adalah kritik sastra membantu perkembangan kesusastraan suatu bangsa
dengan menjelaskan karya sastra mengenai baik buruknya karya sastra dan
menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra.
3. Sebagai penerangan masyarakat pada
umumnya yang menginginkan penjelasan tentang karya sastra, kritik sastra
menguraikan (mengsnalisis, menginterpretasi, dan menilai) karya sastra agar
masyarakat umum dapat
mengambil manfaat kritik sastra ini bagi pemahaman dan apresiasinya
terhadap karya sastra (Pradopo, 2009: 93).
Berdasarkan uraian di atas dapat digolongkan kembali fungsi
kritik satra menjadi dua:
1. Fungsi kritik sastra untuk pembaca:
a. Membantu memahami karya sastra
b. Menunjukkan keindahan yang terdapat
dalam karya sastra,
c. Menunjukkan parameter atau ukuran
dalam menilai suatu karya sastra,
d. Menunjukkan nilai-nilai yang dapat
dipetik dari sebuah karya sastra.
2.
Fungsi kritik
sastra untuk pengarang:
a. Mengetahui kekurangan atau kelemahan
karyanya,
b. Mengetahui kelebihan karyanya,
c. Mengetahui masalah-msalah yang mungkin
dijadikan tema karangannya.
MANFAAT KRITIK SASTRA
Manfaat dari kritik sastra dapat diuraikan menjadi:
1.
Manfaat
kritik sastra bagi penulis:
a. Memperluas wawasan penulis baik yang
berkaitan dengan soal bahasa, objek atau tema-tema karangan, maupun teknik
bersastra.
b. Menumbuhsuburkan motivasi untuk
mengarang.
c. Meningkatkan kualitas karangan.
2.
Manfaat
kritik sastra bagi pembaca:
a. Menjembatani kesenjangan antara
pembaca kepada karya sastra.
b. Menumbuhkan kecintaan pembaca kepada
karya sastra.
c. Meningkatkan kemanpuan mengapresiasi
karya sastra.
d. Membuka mata hati dan pikirtan pembaca
akan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra.
3.
Manfaat
kritik sastra bagi perkembangan sastra:
a. Mendorong laju perkembangan sastra
baik kualitatif maupun kuantitatif.
b. Memperluas cakrawala atau permasalahan yang ada dalam karya sastra.
Berikut ini adalah contok Kritik Sastra dan respon penulis karya sastra yang ditulis. Diluar polemik yang terjadi, yang merupakan respon secara individu. Namun sebagai pembaca, penikmat sastra dan penulis kita bisa mengambil pelajaran darinya, bahwa sebuah kritik sastra itu bukanlah media yang dapat menghancurkan karya sastra tersebut tapi sebuah kritik sastra akan membantu seorang penulis untuk lebih bersikap dewasa dan bijak dalam kepenulisan sastranya asal kritik diungkapkan tanpa emosi dan ditanggapi pun tanpa emosi serta menekankan objektifitas.
Ronggeng Dukuh Paruk :Cacat Latar yang Fatal oleh : F. Rahardi
Kesan utama yang
segera timbul sehabis baca novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
(Gramedia, Jakarta 1982) adalah adanya sebuah latar (setting) yang sangat
bagus. Latar tersebut terbentuk suasana alam pedesaan dengan lingkungan flora
serta faunanya dan Ahmad Tohari berhasil melukiskannya dengan bahasa yang bagus
dan menarik. Kesan yan begitu mendalam terhadap latar tersebut juga lebih
diperkuat lagi oleh tidak terlalu luarbiasanya unsur-unsur lain seperti
kerangka cerita, tema, alur, karakter tokoh dan lain-lain. Komentar terhadap
latar yang cukup bagus tersebut ternyata sangat dominan pada setiap pembicaraan
terhadap Ronggreng Dukuh Paruk, baik dalam pembicaraan lisan maupun tertulis.
Sayang sekali, bahwa ternyata dalam latar yang kuat dan bagus tersebut
tersembunyi cacat yang sangat fatal, berupa kesalahan, penamatan yang kurang
cermat maupun keteledoran.Tak pelak lagi,
Ronggreng Dukuh Paruk adalah sebuah novel realis. Artinya, karya fiksi tersebut
berangkat dari peristiwa-peristiwa yang dapat, bahkan lazim terjadi di
masyarakat dan penulis berusaha untuk melukiskannya dengan gaya sepersis
mungkin meskipun di sana-sini ada yang agak didramatisir. Dalam situasi seperti
ini, kesalahan, kejanggalan dan kekurangcermatan tentu akan mengganggu. Lain
halnya dalam karya fiksi yang sifatnya satiris, surealis atau absurd. Dalam
keadaan seperti ini, penjungkirbalikan fakta atau unsur-unsur yang terdapat
dalam fiksi merupakan sesuatu yang sah. Kesepakatan seperti ini tidak hanya
melulu monopoli sastra atau dunia perfiksian. Dalam seni lukis, drama dan
lain-lain juga ada kesepakatan serupa.***Berikut ini kami akan
memaparkan kesalahan, kejanggalan, serta kekurangancermatan Ahmad Tohari dalam
karyanya tersebut. Dengan pertimbangan bahwa apabila saya melakukan kutipan
karya asli maka tulisan ini akan menjadi sangat panjang, maka dalam kesempatan
ini saya hanya menyebut halaman serta alinea lalu langsung ke permasalahan yang
akan dibahas. Saya mulai dari bagian pertama novel, hal 5 alinea II. Di sini
penulis menyebut bahwa “kerokot” adalah tumbuhan jenis kaktus yang hanya muncul
di sawah pada saat kemarau berjaya. Itu tidak betul. Kerokot yang tumbuh di
sawah dukuh paruk itu nama latinnya Alternanthera sesilis atau disebut
“keremek” atau “keramak”. Tumbuhan ini termasuk famili bayam-bayaman
(Amaranthaceae) yang jauh sekali berbeda dengan kaktus yang merupakan sub
famili dari sekulen (Succulentus) yang kesemuanya berasal dari benua Amerika
(Pereskieae, Opuntieae dan Cereeae atau Cacteae). Ini merupakan suatu kesalahan
yang cukup fatal untuk ukuran seorang novelis yang pernah memenangkan hadian
Sayembara Penulisan Roman DKJ dan untuk penerbit Gramedia.Kesalahan kedua masih
ada di halaman 5 alinea selanjutnya. Penulis melukiskan bagaimana ganasnya
burung alap-alap memangsa pipit dengan cara mengejar lalu menggigit menggunakan
paruh. Padahal semua jenis burung ordo Falcoiformes selalu menangkap mangsanya
dengan menggunakan cakar dan dengan cara menyambar. Jelas dalam hal ini penulis
malas untuk membuka-buka raferensi. Alasan bahwa perubahan perangai alap-alap
tersebut adalah untuk tujuan mendramatisir suasana tentunya kurang kena.Mesih soal satwa,
kali ini menyangkut katak dan kodok. Di halaman 25 alinea V dan halaman 88
alinea I, penulis menceritakan bahwa kodok adalah bangsa reptil, yang setelah
malamnya kawin paginya akan nampak telurnya. Juga disebutkan bahwa suara katak
pohon lebih jarang, atau tak sesering katak dan kodok hijau. Semua itu tidak
betul. Kodok itu termasuk golongan amfibi. Yang masuk reptil adalah buaya,
penyu, biawak, ular dan lain-lain. Cara kawin kodok juga seperti ikan. Artinya
begitu mereka kawin, si betina mengeluarkan telur sementara si jantan
memuncratkan sperma. Telur dan sperma ketemu di air di luar tubuh mereka. Jadi
alat kelamin mereka tak saling masuk seperti pada reptil atau mamalia. Artinya
pada saat mereka kawin itu telur sudah ada. Juga tidak benar bahwa katak pohon
(Rana rhacopharos) bersuara lebih jarang daripada kodok atau katak hijau.
Soalnya semua jenis rana (katak pohon, katak hijau, katak sawah, katak rawa dan
katak batu serta rana-rana lain dari luar negeri), suaranya memang keluar
dengan tenggang waktu terutama yang jantan. Yang bersuara ribut tak
berkeputusan adalah bufo alias bangkong.Masih tetap soal
satwa, sekarang yang mendapat giliran adalah kelelawar. Di hal 14 alinea II
penulis menyebut adanya kelelawar dan kalong serta kampret yang makan daun waru
lantaran tak ada buah dan serangga. Sebenarnya, “kelelawar” adalah nama umum
untuk ordo Chiroptera yang di tanah air kita ada tiga.Pertama kalong
(Pteporus vampirus) yang paling besar dan makan buah-buahan, kedua codot
(Pteporus edulis) yang lebih kecil dan juga makan buah-buahan, yang ketiga
kampret (Microchiroptera) yang hanya makan serangga. Jadi kalau kampret ada di
daun waru, itu untuk makan serangga entah semut entah apa dan bukan untuk
mengganyang daun tersebut.***Untuk lebih
menegaskan pada para pembaca bahwa penulis betul-betul akrab dengan lingkungan
pedesaan, di hal 6 alinea II dan III diceritakan bagaimana caranya tanaman
kapuk dan dadap menyebarkan jenisnya ke tempat yang jauh dengan bantuan angin.
Tapi yang nampak justru kesan bahwa penulis kurang akrab dengan lingkungannya.
Tentang pohon randu penulis menyebut bahwa setelah buah menghitam, lalu pecah
dan isinya (kapuknya) berhamburan kena angin. Yang betul adalah, kalau baru
berwarna hitam, kapuk dan randu itu belum pecah karena ini baru fase masak.
Setelah kering dan berwarna cokelat, baru kulit tersebut pecah lalu jatuh. Nah,
pada saat itu si kapuk telanjang demikian, matahari mengembangkannya lalu
menghamburkannya kemana-mana, atau tidak ada angin. Itu tentang randu, sekarang
tentang dadap. Ahmat Tohari hanya menyebut bahwa dadap memilih cara yang sama
untuk penyebaran jenisnya, yakni dengan menggunakan kulit polongnya yang dapat
terang seperti baling-baling. Padahal yang bisa demikian ini hanyalah dadap
serep yang tidak berduri (Erythrina sumbummrans), dadap ayam atau dadap duri
(Erythrinaorientalis) lain lagi sebab polongnya mirip buncis.Sekarang ganti
tentang singkong. Di halaman 7 alinea IV, penulis berusaha mendramatisir
suasana. Tiga orang anak kecil tidak kuat mencabut singkong di tanah kapur yang
kering membatu. Baru setelah dikencingi beramai-ramai maka singkong tersebut
dapat dicabut. Sungguh fantastis. Orang Gunung Kidul serta Wonogiri pasti akan
ketawa membaca kisah demikian. Tanah kapur itu senantiasa remah dan mudah
hancur baik di musim penghujan maupun kemarau. Dan ingat, lapisan tanah subur
di tanah kapur itu hanya terpendam dangkal sekali. Logikanya, mencabut singkong
di tanah kapur sangat mudah. Lain halnya di tanah liat. Tanah jenis ini di
musim kemarau memang keras dan membatu.Sekarang pindah ke
halaman 15 alinea I. Penulis menyebut bahwa karbohidrat yang terkandung dalam
singkong kering itu telah banyak rusak hingga anak-anak tak cukup kalori.
Karbohidrat dan kalori singkong kering itu justru tinggi. Kalau si singkong
rusak atau sengaja dirusak (dibuat leye dan gatot) justru malah lebih mudah
dicerna oleh mulut maupun perut. Lain halnya kalau Ahmad Tohari mau bicara soal
gizi, yang bukan melulu menyangkut karbohidrat atau kalori tapi juga protein,
lemak, vitamin dan mineral. Jangankan singkong kering, singkong segarpun
kandungan lemak serta proteinnya sangat rendah yakni 0,45 dan 0,19%.Lalu darimana
orang-orang dukuh Paruk mendapatkan lemak protein, vitamin dan mineral?
Tentunya dari tempe bonkrek yang digoreng dan sayuran. Tapi soal tempe bongkrek
pun penulis telah membuat kesalahan yang cukup fatal. Di halaman 30 sampai
dengan 39 penulis menceritakan adegan orang-orang yang sekarat karena keracunan
tempe bongkrek. Yang dilukiskan oleh penulis, para korban tersebut (termasuk
Santayib yang sengaja makan tempe buatannya sendiri), seperti mabuk alkohol.
Nafas mereka memburu, mata mereka melotot dan sebagainya. Padahal salah satu
akibat racun bongkrek adalah terhambatnya pembentukan Adenosine Triphosphat
(ATP) yang setelah diubah menjadi Adenosine Diphosphat (ADP) akan menghasilkan
enersi untuk gerakan otot dan lain-lain. Dengan terhambatnya pembentukan ADP,
si korban cenderung seperti lumpuh, mata sulit dibuka (kelopak mata
menggantung) dan juga sesak nafas. Kalau sekiranya Ahmad Tohari belum pernah
menyaksikan sendiri bagaimana keadaan orang keracunan tempe bongkrek, tentunya
dituntut untuk tanya sana-sini atau rajin membuka-buka referensi.Masih tentang tempe
bongkrek, di halaman 49 alinea I penulis membayangkan bagaimana orang-orang
pandai ingin tahu tentang pengaruh racun bongkrek terhadap jantung, sel-sel
otak serta bagaimana si racun membunuh sel-sel darah merah. Teka-teki bongkrek
memang baru dapat dipecahkan dengan pasti tahun 1973 oleh Prof. Lijmbach dari
negeri Belanda, tapi para ahli, di tahun terjadinya Ronggeng Dukuh Paruk tentu
tidak pernah berpikir bahwa racun bongkrek itu kerjanya sama dengan kerja
Plasmodium malaria.***Tema sentral novel
ini ada di sekitar ronggreng atau tayub atau tledek. Tapi nampaknya penulis
agak malas untuk sedikit bersusahpayah mencari informasi soal ronggeng. Saya
tahu, pada saat Ahmad Tohari menulis novel ini (di atas tahun 80) Ronggeng
memang sudah teramat jarang. Tapi di perpustakaan tentunya ada segudang
informasi. Penulis tahu soal “bukak klambu” dan sebagainya tapi masalah calung
dan lampu bisa salah. Di halaman 19 alinea II dan III penulis menyebut bahwa tali
ijuk calung putus dimakan tikus dan ngengat tapi bubuk dan anai-anai (rayap)
justru tidak makan bambunya. Setahu saya, di mana-mana tikus, ngengat dan rayap
jauh lebih suka bambu daripada tali ijuk. Jadi logikanya, gamelan bambu tadi
hancur karena tikus, ngengat, bubuk dan anai-anai, sementara tali ijuk masih
utuh. Tapi entahlah. Barangkali tikus, ngengat dan rayap di dukuh Paruk punya
gigi palsu dari baja, hingga kuat mengerat ijuk.Kejanggalan tentang
lampu saya dapatkan di halaman 20 alinea III. Untuk acara ronggeng, sebuah
lampu tersebut dipasang cincin penerang. Begini ya, dulu, di abad-abad yang
banyak ditulis, acara ronggeng selalu menggunakan penerangan obor. Setelah
diketemukan lampu pompa (“petromak” dan “stromking”), acara-acara serupa tentu
menggunakan jasa lampu tekan tersebut. Dukuh Paruk di tahun 50/60-an tersebut
memang miskin. Tapi toh lampu-lampu semacam itu ada yang menyewakan dengan
harga murah? Saya ingat, acara wayang, ketoprak dan lain-lain di dukuh yang
paling udik sekalipun di tahun 1950-an selalu menggunakan lampu pompa sewaan.
Lain halnya kalau kisah ini terjadi di Irian Jaya sana.Lalu apa akibatnya
kalau yang digunakan lampu minyak besar seperti yang dikemukakan oleh penulis?
Pertama kurang terang, dan kedua akan mati-mati melulu. Dalam acara wayang di
desa-desa, para bandar dadu atau penjual rokok memang lazim juga menggunakan
lampu minyak tersebut, tapi hanya untuk menerangi dagangannya dan bukan areal
ronggeng. Lagi pula, semprong lampu tersebut terlebih dahulu disambung dengan
kertas sampai panjang agar si lampu tidak mati-mati melulu kena angin.Tentang perangkat
wayang orang serta ronggeng, penulis juga bingung. Meskipun ini terjadi di
dunia anak-anak, tapi anak-anak desa di Jawa tentunya hafal betul mana itu
badong (badongan) dan mana pula kuluk serta sumping. Badong itu memakainya di
punggung seperti pada tokoh Gatotkaca, sementara kuluk itu memakainya di kepala
karena kuluk itu memang topi. Yang laxim, daun bacang alias pakel alias
Magnefera foetida itu hanya dibuat kuluk oleh anak-anak di Jawa, karena
ukurannya yang kecil. Yang lazim dipakai untuk badongan adalah daun keluwih
atau sukun (Artocarpus communis). Ini terdapat di halaman 10.Bukan hanya soal
ronggeng yang ada cacatnya. Bercerita soal perangkat desa atau pamong desa pun
penulis kurang sempurna. Dalam novel ini penulis menyebut-nyebut adanya seorang
kamitua. Padahal di Jawa, kamitua itu adalah kepala dukuh alias bekel yang mengepalai
dukuh tempat kepala desa berdomisili. Kamitua yang statusnya selain sebagai
kepala dukuh juga sebagai wakil kepala desa, yang lazim disebut “lurah” tapi
sebenarnya salah. (Silahkan baca Undang-Undang nomor 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa). Jadi logikanya, dimana ada kamitua, disitu pasti ada kepala
desa. Kalau tidak ada kepala desa, cukup ada kepala dukuh alias bekel. Tentu
saja terbuka kemungkinan bahwa di suatu pedukuhan, ada kesalahkaprahan. Tapi
seperti halnya kesalahan pada sebutan kepala desa yang di bebebrapa tempat
dipanggil “lurah” maka bagi seorang penulis perlu dituntut untuk memberikan
penjelasan pada pembaca atau menggunakan istilah yang betul saja.***Kejanggalan dan
kesalahan ini masih terus berlanjut. Penulis berulangkali menekankan bahwa
dukuh Paruk adalah sebuah pedukuhan miskin. Sampai-sampai, anak-anak makan
dengan menggunakan daun pisang tiap hari. Ini terlalu ekstrim. Orang desa itu
bisanya praktis. Tahun 50-an memang belum ada plastik termasuk piring plastik.
Tapi toh sudah ada piring seng atau alumunium? Bagaimana kalau mereka tak kuat
beli piring seng atau aluminium? Biasanya pakai layah atau cobek tanah atau
tempurung kelapa. Daun pisang itu mahal dan bagi warga dukuh Paruk terlalu
berharga untuk disobeki tiap hari. Mending dibawa ke pasar ditukar garam dan
sabun.Begitu miskinnya dan
udiknya dukuh Paruk itu, kita maklumlah sudah. Tapi kenapa kalau di halman 30
penulis menceritakan tentang anak-anak yang makan pakai daun pisang, justru di
halaman 43 penulis berkisah tentang bau bunga sedap malam. Padahal bunga sedap
malam itu merupakan tanaman hias yang mahal asal dari Meksiko (Polianthes
tuberosa). Masuk ke Jawa tentunya dibawa para orang bule pada zaman kolonial
dulu dan hanya terbatas ditanam di rumah-rumah orang kaya di kota atau di
kebun-kebun bunga di Bandungan, Kopeng atau Tawangmangu, paling tidak di
Baturaden. Kenapa bisa nyelonong masuk ke dukuh Paruk? Masih sempatkah
orang-orang dukuh Paruk keluyuran ke Baturaden atau Purwokerto untuk mencari
bibit bunga sedap malam?Selanjutnya di
halaman 87, penulis juga menunjukkan ketidakakrabannya terhadap musim dan
serangga. Dia menyebut : “Langit pekat meski hujan belum lagi turun. Selagi
tanah basah, jengkerik dan gangsir malas berbunyi. Orong-orong
menggantikannya”. Ini memang musim hujan, tetapi kalau ada kalimat : Hujan
belum lagi turun lalu disambung selagi tanah basah tentunya kalimat jadi rancu.
Lagipula, cengkerik dan gangsir itu bertelurnya memang di musim kemarau dan
menetasnya di musim hujan. Jadi di awal musim hujan tersebut memang belum ada
cengkerik serta gangsir yang dapat berbunyi karena sayapnya memang belum
tumbuh. Yang tua-tua tentunya sudah habis. Juga, cengkerik dan gangsir itu
berbunyinya memang jauh lebih malam daripada orong-orong yang mulai “ngentir” di
saat maghrib. Soalnya rangsang untuk berbunyi itu datangnya dari perubahan suhu
udara. Orong-orong sudah mau berbunyi dengan sedikit saja penurunan suhu udara,
sementara untuk gangsir dan cengkerik harus cukup banyak penurunan suhu udara.Di halaman 102
penulis menyebut ada kadal (bengkarung) yang nyelonong begitu saja lalu melahap
capung yang lagi hinggap di tanah. Ada dua kejanggalan. Kadal tidak pernah
mengejar mangsanya dengan tergesa-gesa dan capuing hidupnya dekat air serta
tidak pernah hinggap langsung di tanah. Minimal hinggapnya di rumput. Jadi
adegan kadal ini nampak sekedar tempelan. Logikanya, kalau Rasus, dan Srintil
ada di kuburan yang banyak pohon-pohon besarnya, mereka itu kejatuhan tahi
burung atau pantatnya digigit semut.Barangkali puncak
dari kecerobohan penulis adalah di halaman 51 dan 106. Di halaman 51 dia
menyebut adanya semut “burangrang”. Semut burangrang itu tidak ada. Yang ada
semut ngangrang (jawa), rangrang (sunda) atau kerengga (indonesia) yang nama
ilmiahnya Oecophylla smaragdina. Lalu apa pula itu, burangrang? Itu nama gunung
di kawasan Priangan (tinggi 2.064 m). Ini barangkali masih kalah dengan di
halaman 106. Penulis menyebut di sore hari (menjelang maghrib) ada bianglala di
langit barat. Mestinya kan di timur? Ini menurut Pak Guru SD.***Masih banyak memang
kejanggalan-kejanggalan yang saya temukan tapi tentunya tak dapat semuanya
dibahas di sini. Sebab kalau semuanya dibahas, bahasan tersebut salah-salah
akan jadi sebuah novel tersendiri. Tentu saja penulis punya hak untuk berdalih,
bahwa ini karya sastra atau fiksi yang merupakan hasil imajinasi belaka. Jadi
boleh tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Dalih tersebut tentunya sah
apabila penulis, seperti telah saya sebut di atas, memang sengaja membuat
kejanggalan dan kesalahan demi efek humor, satir, surealis atau absurd. Pada
karya yang realis, ketelitian dan ketepatan data mutlak perlu. Hemingway adalah
contoh yang paling mudah. The Old Man and The Sea sungguh merupakan pameran
latar yang bagus, menyatu, utuh dan juga tepat. Dia tentu tak hanya sekedar
berimajinasi atau sesekali ikut mancing tapi pasti mengadakan riset lama. Ini
terbukti dari pelukisannya yang sungguh sangat natural tentang seluk beluk
kehidupan pemancing di laut.Tapi tentu saja Ahmad
Tohari tak harus berkecil hati meskipun di masa mendatang lebih dituntut untuk
berhati-hati. Anda tidak sendirian. Y.B. Mangunwijaya dengan Burung-burung
Manyarnya yang banyak dipuji-puji bahkan memenangkan hadiah Asia Tenggara itu
pun ternyata tak luput dari cacat fatal meski tidak banyak. Antara lain dia
menyebut amben sebagai “panggung”. Padahal amben itu balai-balai (ranjang) yang
terbuat dari bambu. Burung ketilang dia sebut makan wijen. Padahal burung ini
bukan pemakan biji-bijian. Ketilang hanya makan buah-buahan dan serangga. Ada
juga adegan membidikkan pelanting atau ketapel sambil memanjat pohon. Padahal
itu sangat sulit untuk dilakukan. Yang paling fatal, Romo Mangun menyebut wijen
sebagai butiran kecil semacam buah rumput. Yang betul wijen itu tumbuhan yang masuk
famili biji-bijian dan bukan rumput-rumputan. Nampaknya Romo Mangun dalam hal
ini telah bersusahpayah membuka Ensiklopedia Umum terbitan Yayasan Kanisius
(1977). Tapi apa lacur, diskripsi tentang wijen dalam Ensiklopedia tersebut
ternyata salah. Di situ wijen juga disebut sebagai rumput-rumputan. Memang,
untuk menghasilkan karya yang prima, kita tidak hanya dituntut agar bersemangat
menggebu-gebu tapi juga bersikap teliti dan mau bekerja keras. Sayang,
sasterawan kita umumnya mau cepat melejit lalu hantam kromo begitu saja. ***Sumber : Majalah
Horison, Edisi Januari 1984
Kecongkakan Akademik Dalam Kritik Sastra Salam buat Pak Guru Biologi Oleh : Ahmad Tohari
Novel saya Ronggeng Dukuh Paruk (RDP), Gramedia 1982 mendapat kehormatan dibicarakan oleh banyak pengamat dan ahli sastra. Sebagai pemain alam yang bahkan sukar melakukan studi kepustakaan, pembicaraan para pengamat dan ahli sastra tersebut amat menguntungkan saya. Jadilah saya seorang petatar yang begitu ikhlas dan setia mendengarkan ceramah para penatar. Semua saya lakukan demi peningkatan pengetahuan saya di bidang sastra.
Sikap ini secara
konsisten saya pertahankan juga ketika mambaca tulisan F. Rahardi (FR), “Cacat
Latar yang Fatal” (Horison, Nomor 1 tahun 1984). Tetapi kemudian saya terkejut
ketika membaca suara FR : “Sayang, sastrawan kita pada umumnya mau cepat
melejit lalu hantem kromo begitu saja”.Karena FR sedang
membicarakan RDP, maka sayalah yang merasa paling terkena oleh pernyataan yang
sangat tidak simpatik ini, sebuah pernyataan yang sama sekali tidak layak
keluar dari seorang yang konon punya jabatan redaktur sebuah majalah yang
berkeintelekan. Pernyataan itu bersahaja. Tetapi mengenai langsung hati seorang
dusun – yang seperti demikian adanya – tak pernah bermaksud cepat melejit dan main
hantam kromo dalam arti apa pun juga. Bahkan sebagai orang baru dalam penulisan
novel, amit-amit, saya masih risi disebut orang sastrawan.Baiklah. FR telah
keluar garis obyektif dalam kritiknya terhadap RDP, dan inilah kecerobohannya
yang paling besar bila diingat FR pun seorang penulis. Maka saya pun telah
diundangnya untuk berbuat sesuatu yang saya sendiri tak suka; menanggapi sebuah
kritik sastra yang seharusnya ditulis “kritik sastra”.Tulisan FR tersebut
sebetulnya telah dikirim ke Kompas 12 Oktober lalu sebagai surat pembaca.
Kemudian saya dihubungi oleh Gramedia berkenaan dengan surat pembaca yang
dikirim FR, agar saya menanggapinya. Ketika saya datang ke Gramedia, 3 November
1983 dengan surat tanggapan, ternyata FR telah mencabut suratnya sehari
sebelumnya. Jadilah, draft surat pembaca yang sudah di ACC itu gagal muncul di
Kompas.Saya kecewa
menghadapi sikap FR yang tidak konsisten ini. Padahal ketika itu saya ingin
menyatakan rasa terimakasih karena FR mau menunjukkan beberapa kesalahan saya yang
bersifat pasti. Bersamaan dengan itu saya mengajak FR berdialog tentang hal-hal
yang menurut FR adalah “kejanggalan yang menyolok” tetapi menurut saya sama
sekali tidak. Juga ingin saya buktikan bahwa seorang seperti FR masih bisa
berfikir hitam-putih, linier, bahkan tercium bau kepongahan akademiknya.Kini setelah sedikit
dipermak, tulisan yang semula dikirim FR ke Kompas, muncul di Horison dengan
jiwa subyektif yang lebih menyolok. Sudah saya akui bahwa dalam menulis RDP
saya melakukan beberapa kesalahan, antara lain pernyataan saya bahwa krokot
adalah jenis kaktus, bahwa kodok termasuk reptil dan bahwa dalam hal membunuh
manusia racun bongkrek telah mematikan sel-sel darah merah. Saya tak bisa lain
kecuali meminta maaf kepada Gramedia dan para pembaca atas kekhilafan ini. Saya
sebut kekhilafan sebab pada dasarnya saya juga pernah belajar biologi meski
hanya sampai taraf sekolah dasar.Rasanya tak pernah
diragukan lagi bahwa faktor kebenaran ilmiah merupakan bagian penting yang
menopang kemantapan sebuah karya fiksi. Saya yang masih baru pun menyadari
betul hal ini. Lalu mengapa seorang seperti saya masih juga melakukan
kesalahan, jawabnya tak usah berbelit-belit : manusiawi! Selagi sebagai pihak
yang melakukan salah bersedia memperbaiki diri, dan pihak yang menunjukkan
kesalahan (dalam hal ini FR) bertindak dalam garis kewajaran, maka kebaikan
akan diperoleh oleh semua pihak. Habis perkara.Atau, taraf kesalahan
tertentu memang menjadi relatif bila dilihat oleh berbagai pihak. Misalnya,
dalam terjemahan Laki-laki Tua dan Laut, Sapardi Djoko Damono menulis
“kura-kura” yang seharusnya “penyu”. Dan Romo Mangun menyubut wijen termasuk
jenis rumput. Kedua-duanya adalah kesalahan. Dan seorang redaktur majalah
pertanian boleh berhirup-pikuk dalam menaggapi kesalahan itu. Tetapi jangan
salahkan awam dan tak usah ajak mereka berhura-hura. Sebab dalam hal fiksi
bagaimana juga pesan sastralah yang terpenting, tanpa mengurangi kedudukan
terhormat kebenaran ilmiah di dalamnya, dan tanpa mengingkari nilai ideal bahwa
sebuah karya fiksi menjadi lebih baik bila tidak disertai kesalahan-kesalahan
ilmiah.Bukan hanya FR
seorang yang mengetahui kesalahan Sapardi atau Romo Mangun, melainkan juga
seorang dusun seperti saya. Lalu salahkah saya bila saya tak tertarik buat
meributkan kesalahan kedua penulis tenar itu karena perhatian saya lebih
terpusat kepada keindahan pesan sastranya? Tidak! Sebab saya sadar betul yang
sedang saya hadapi adalah buku sastra, bukan buku pelajaran biologi milik adik
saya. Antara keduanya pasti ada jarak meski – seperti yang sudah saya katakan –
faktor kebenaran ilmiah tidak boleh diabaikan begitu saja.Saya merasa sama
dengan FR dalam hal penghargaan terhadap kebenaran ilmiah. Bedanya, sebagai
anak dusun saya langsung belajar terhadap alam, sementara FR lebih banyak
berdiri di atas tumpukan referensi dengan sikap yang pongah pula. Kepongahan
itu terbukti dari anggapannya bahwa apa saja yang terdapat di dalam buku teks
merupakan kebenaran mutlak, tanpa kecuali. Terdapat kesan pula bahwa FR
menganggap kebenaran buku teks sudah meliputi semua aspek biologi dengan
hukum-hukumnya yang tegar dan lurus. Sementara itu seorang anak Dukuh Paruk
masih tetap dalam fitrahnya, menganggap hukum-hukum alam tetap bersifat nisbi
karena hanya Sang Pencipta Alamlah yang punya sifat mutlak. Masih ada lagi, FR
menolak kebenaran yang tidak disebutkan dalam referensi meskipun kebenaran itu
merupakan pengetahuan elementer bagi anak-anak dusun. Aneh, seorang yang bangga
dengan “yang serba ilmiah” berwatak integris demikian, suatu watak tertutup
yang tidak bisa disebut sebagai ciri fikiran orang yang maju. Contohnya, dengan
gaya mencemooh FR menolak pernyataan saya bahwa ular hijau memakan burung
(dalam suratnya kepada Kompas yang ditariknya kembali). Saya tahu alasan FR
satu-satunya; dia tidak menemukan keterangan demikian di dalam buku teks. Dan
sikap pongah ini hanya mungkin diubah bila FR meninggalkan menara gadingnya,
meninggalkan textbook-thinking dan lebih banyak terjun ke lapangan. Saya
berharap FR bukan hanya akan menjumpai ular hijau memakan burung malainkan juga
kerbau yang “ngasin” makan tanah, tikus busuk (pemakan serangga) yang menangkap
katak buat dimakannya, dan keblek (kelelawar yang “blak-blek” mengepakkan sayap
di atas tanah halaman) yang mencari kepik tahi, tetapi pada akhirnya tahi kotok
dimakannya juga. Nah, saya tidak tahu bagaimana sikap FR ketika membaca sajian
King Features Syndicate yang pernah melalui The Ripley’s True Life Adventures
membuat kesaksian burung tekukur (pemakan biji-bijian) namun pada saat-saat
tertentu ikut nimbrung makan laron. Protes?FR mengatakan dalam
suratnya bahwa sulit bagi ular hijau buat menangkap seekor burung. Menurut alur
pikiran demikian maka akan jauh lebih sulit bagi burung hantu buat menangkap
ikan karena burung itu jelas bukan jenis unggas air dan kakinya tanpa sirip,
tidak seperti itik. Biarlah FR dengan semangat buku teksnya. Tetapi bagi
anak-anak dusun memang demikian adanya. Burung hantu bisa menyelam dan
menangkap ikan. Kami suka mengikat paruh anak burung hantu agar jatah ikan yang
diberikan induknya utuh, buat kami.Apabila FR
memustahilkan ular hijau makan burung, maka tentu saja dia begitu heran
mendengar kelelawar makan daun waru. Begini. Apabila kemarau terlalu panjang
maka populasi serangga mestinya merosot. Maka kelelawar menyimpang dari
kebiasaannya dan makan dedaunan, dalam hal ini daun waru. Saya hanya bisa
mengatakan itu fakta. Bahkan ketika di kampung kami dilakukan penyemprotan hama
wereng dari udara, maka pada hari berikutnya bukan hanya daun waru yang dimangsa
kelelawar, melainkan juga daun lembayung. Believe it or not, terserah kepada
FR. Hanya saya yakin fakta penyimpangan itu tidak atau belum tercantum dalam
buku-buku teks. Apabila sampai terjadi keterlambatan pencatatan fakta ilmiah
semacam ini siapakah yang pantas dituduh teledor, anak dusun seperti Rasus
ataukah seorang kutu buku seperti FR. Atau kalau saya bertanya mengapa ayam
kampung sebagian besar menetaskan telurnya pada hari Jumat, apakah kira-kira FR
bisa menemukan jawabnya dalam buku pelajaran biologi sekarang ini?Kepongahan akademik
FR tampak lagi ketika dia bicara soal burung alap-alap dan pipit. Dalam RDP
saya tidak menulis alap-alap menyambar pipit dengan paruhnya, melainkan
menggigit pipit dengan paruhnya. Bahwa sebelum menggigit mangsanya alap-alap
itu lebih dulu menyambar dengan cakarnya, pasti benar. Tetapi apakah nalarnya
buat menyalahkan pernyataan saya di atas? Atau kalau FR adalah anak Dukuh
Paruk, maka akan sulit baginya menentukan jarak waktu antara menyambar dan
menggigit itu. Hampir bersamaan! Betul alap-alap menyambar mangsanya dengan
cakar. Tetapi pada detik yang hampir bersamaan paruhnya beraksi. Dan sesaat
sebelum hinggap pada dahan, alap-alap harus memindahkan mangsanya dari cakar ke
mulut. Kalau tidak, dia tidak akan bisa hinggap.Sesuai dengan
kemampuan RDP saya tulis pada taraf wawasan awam. Kala dua ekor bangkong sedang
bergendongan di dalam air, kami yang awam akan mengatakan kedua binatang itu
sedang kawin. Tentu saja bukan hanya FR yang tahu bahwa bangkong menempuh cara
fertilisasi eksternal. Rasus pun tahu, meski dia hanya tamatan paket kejar.
Masalahnya Rasus memperhitungkan bahwa kebanyakan pembaca adalah awam dalam
biologi seperti dirinya sendiri. Lalu saya menulis : “Yang bersuara dengan
selang waktu yang jarang adalah katak pohon”. Menurut logika FR maka tak ada
katak dari species lain yang bersuara jarang atau lebih jarang. Aneh, siapa
pula yang menyuruh FR berlogika demikian. Pernyataan saya di atas jelas tidak
menutup pintu bagi pernyataan lain bahwa katak hijau, katak batu serta
rana-rana lain juga bersuara jarang.Dan fikiran linier FR
muncul lagi beberapa kali. Saya katakan bahwa pohon dadap menyebar bijinya
dengan kulit polong yang terbang berputar sebagai baling-baling. Bahwa yang
mempunyai ciri demikian adalah jenis dadap srep, memang. Tetapi haruskah saya
menyertakan keterangan bahwa ada dadap lain yang tidak demikian? Kalau misalnya
saya menulis kerbau berkulit kehitam-hitaman, haruskah saya juga menyertakan
keterangan selanjutnya bahwa ada kerbau yang bule, bahkan belang? Menurut saya,
sama sekali tidak perlu selama RDP adalah sebuah novel, bukan buku pelajaran
biologi.Sungguh membosankan
mengikuti jalan fikiran FR. Tetapi saya memang ingin membuktikan bahwa sikap
yang terlalu bersemangat hampir selalu membuat orang meninggalkan kewajaran. FR
mempersoalkan kalimat saya : “Langit pekat meski hujan belum turun. Selagi tanah
basah jangkrik dan gangsir malas berbunyi”. Hujan belum turun, kenapa tanah
sudah basah? Begitu pikiran FR. Begitu hitam-putihnya jalan fikiran FR sehingga
dia bertanya demikian. Menurut saya bisa terjadi bahkan banjir sepanjang hari
meski pada hari yang sama tak ada jatuh hujan. Darimana banjir? Tentulah dari
hujan yang jatuh pada periode waktu sebelumnya. Mana yang rancu, kalimat saya
atau logika FR?Soal lampu juga tak
luput dari pengamatan FR yang super jeli. Silakan buka kembali RDP. Ketika saya
melukiskan adegan Srintil menari dengan penerangan lampu bercincin, kelompok
ronggeng belum resmi terbentuk. Baru kali pertama dicoba. Dalam situasi
demikian yang justru masuk akal adalah aspek praktis. Buat penerangan misalnya,
pakai saja lampu yang biasa dipasang pada ruang depan. Apa yang janggal dan apa
pula yang aneh. Mau sewa lampu pompa? Lha, wong baru jajal-jajalan, Mas!Gaplek. FR
membayangkan singkong yang dikeringkan itu tersimpan rapi dalam suatu tempat di
sebuah balai penelitian pasca panen. Di sana memang gaplek bisa berada dalam
kondisi prima. Tetapi cobalah sekali-kali ke Gunung Kidul atau Wonogiri. FR tak
mungkin bisa tertawa bila melihat kondisi penyimpanan gaplek cara tradisional.
Ya dimakan ngengat, ya ditumbuhi jamur, ya lembap keadaannya. Dalam keadaan
demikian pasti (saya ulang, pasti!) karbohidrat yang dikandungnya rusak.
Rasanya pahit dan keasam-asaman. Silakan coba.Kamitua. FR
menafsirkan kata ini mutlak dalam kaitannya dengan UU nomor 5 tahun 1979. Salut
buat dia yang pergi ke mana-man sambil mengepit buku. Dan saya memang tidak
sejauh itu. Sekali lagi RDP memang ditulis atas dasar wawasan awam. Kamitua,
menurut pengertian saya yang awam ini adalah figur yang dituakan dalam suatu
kelompok atau urusan tertentu. Misalnya kamitua (sesepuh) trah Raharden adalah
Bapak F. Rahardi, misalnya. Atau orang yang dituakan dalam kegiatan pembangunan
sebuah mushallah bisa juga disebut kamitua proyek tersebut. Cacatkah pengertian
saya ini? Menurut FR, tentu. Tetapi silakan tanya dulu mereka yang awam di
kalangan awami. Dan anehnya justru pengertian kamitua menurut UU tersebut tidak
saya temui di daerah Banyumas. Di sana hanya ada lurah (atau penatus), kemudian
bau, carik, Polisi desa, kebayan, kayim. Kamitua? Tidak ada. Lalu kalau saya
diminta FR untuk menyebut istilah yang betul, aturan mana yang mesti saya
pakai? Tolonglah saya ini.Di kampung saya,
semut besar berwarna merah bernama burangrang, klangkrang, krangkrang,
klangrang, dan masih ada beberapa nama lagi. Bila di tempat lain semut besar
itu bernama lain pula, wajar. “Pare” di Jawa Tengah adalah sejenis buah sayuran
yang pahir rasanya (eh, tolong sebut nama menurut binomium nomenklatur-nya).
Tetapi “pare” di tanah Pasundan adalah “padi”. Gaplek di kampung saya adalah
singkong kering. Tetapi di kampung lain, masih di Banyumas, gaplek adalah ampas
kelapa (tepatnya, bungkil buatan pabrik). Kalau saya mau menyebut gejala
perbedaan makna kata ini sebagai sebuah kecerobohan, apa kira-kira dalil yang
bisa saya gunakan?FR juga memustahilkan
ada bianglala di barat pada sore hari. Memang begitulah rumus umumnya. Namun
saya persilakan FR membuat percobaan sederhana. Pagi-pagi, semprotkan air
dengan mulut ke arah timur. Jangan kaget bila gejala bianglala pun bakal
tampak. Bingung? Mintalah keterangan seorang anak SD. Dia akan mengatakan bahwa
sinar pantulan pun bisa juga menghasilkan gejala bianglala. Apa pula bila yang
memantulkan cahaya matahari adalah segumpal awan.Kalau saya akan
menyebut sebuah naif terbesar bagi seorang ahli biologi (tanda kutip) seperti
FR adalah pernyataannya bahwa capung tidak pernah hinggap di atas tanah.
Bagaimana, ya. Inilah kepongahan seorang yang terlalu lama mendekam di menara
gading yang beratap tempurung sambil tekun membaca buku-buku teks, tetapi tak
sekali pun menoleh ke jendela. Baik. Saya akan berusaha percaya bahwa capung
yang suka mengapung di udara itu tidak pernah hinggap di tanah. Untuk ini FR
harus menunjukkan bukti yang lebih kuat daripada pengetahuan elementer kami :
capung dari hampir semua jenisnya sering hinggap di tanah. Kami yakin, seyakin
akan terbitnya matahari besok pagi!Kadal memang merayap
pelan-pelan ke arah mangsanya. Itu betul. Tetapi FR tidak akan bisa menjamin
bahwa kadal akan berhasil menangkap mangsanya pada kesempatan pertama. Kalau
terjadi demikian kadal akan terus mengejar capung atau belalang yang
dilihatnya. Kadal juga akan berlari mengejar mangsa yang bergerak. Pokoknya
soal kadal nyelonong mengejar capung, bagi siapa saja kecuali FR adalah perkara
wajar, sungguh wajar. Justru takaran ini yang paling pantas dipakai oleh
seorang penulis fiksi, bukan takaran para ahli tingkahlaku binatang.Ironisnya FR sendiri
membuat kesalahan yang (apa namanya) ketika menulis sebuah cerpen dalam majalah
ini. Dia katakan ada kucing yang selalu menerkam burung merpati. Nanti dulu,
Mas. Kucing jenis apa itu. Soalnya kucing di kampung saya kok tidak mau
menerkam anak ayam, yang justru lebih gampang daripada menerkam merpati.
Tetangga saya memelihara segudang merpati, kucing dan anjing sekaligus. Mereka
ayem-ayem saja. Apakah kucing dalam cerpen FR itu telah makan obat perangsang?
Atau kucing hutan yang kesasar. Memang dalam cerpen FR dikatakan sang
kucing sedang menyusui anak-anaknya, jadi biasanya lebih buas. Tetapi apakah
tak ada mangsa lain kecuali merpati . . . melulu.Masih tentang kucing
tetapi di luar cerpen FR. Cobalah perhatikan kucing-kucing di kota-kota besar
yang kurang bernafsu menerkam tikus lantaran banyak sisa makanan di bak-bak
sampah. Malah saya melihat dengan mata kepala ada kucing tenang-tenang saja
meskipun seekor tikus berlalu di dekatnya. Ini perlu saya kemukakan karena saya
percaya bahwa dalam hidup ini selalu terjadi penyimpangan-penyimpangan. Saya
juga percaya, penyimpangan demikian menjadi unsur penting dalam perkembangan
berbagai bentuk dan aspek hayati. Pada kenyataannya teori evolusi bermula dari
penyimpangan hukum biologi.Jerapah, misalnya.
Ketika makanan masih cukup tersedia di permukaan tanah, lehernya biasa. Tetapi
karena terjadi perubahan maka makanannya harus didapatnya dari pohon yang
tinggi. Dia beradaptasi dan sebagai konsekuensinya, lehernya molor demikian
panjang. Konon pula, homo sapiens pada mulanya pinthecus, kemudian berevolusi
menjadi pinthecanthropus yang tidak erectus, seterusnya menjadi
pinthecanthropus erectus. Persetan dengan ada-tidaknya the missing link toh
banyak sekali orang percaya bahwa dari mamalia kelompok primata-lah akhirnya
terjadi bentuk homo sapiens. Kita perhatikan, “pada awal cerita evolusi” pasti
terjadi penyimpangan-penyimpangan norma biologi. Kalau demikian mengapa saya
harus heran ada kelelawar melalap daun waru atau lembayung, atau tupai
mengganyang si kaki seribu? Mengapa pula ada orang menganggap aneh ada bunga
sedap malam tumbuh di Dukuh Paruk, apalagi bila diingat ronggeng di sana
(sebelum Srintil tentunya) sering dibawa ke tempat plesiran seperti Baturaden
dan kembali membawa kembang “elite” itu?Akhirnya. Saya telah
berkata kelewat banyak. Namun saya sesungguhnya hanya ingin berkata kepada FR,
“Wajar-wajar sajalah”. RDP tentu saja bukan sebuah masterpiece.
Membandingkannya dengan The Old Man And The Sea, rasanya terlalu ekstrem dan
tidak adil. Sama tidak adilnya bila saya membandingkan FR dengan pengamat
sastra yang mana pun juga. Saya sendiri sejak semula sadar akan banyaknya
kekurangan pada RDP dan makin banyak kekurangan yang saya ketahui setelah
membaca resensi dan kritik terhadap RDP. Menunjukkan kesalahan dan kekurangan
yang terdapat dalam RDP selalu saya terima dengan tulus dan rasa terimakasih.
Namun persoalannya menjadi sedikit bergeser kalau ada orang mengatakan saya mau
cepat melejit lalu main hantam kromo begitu saja.Boleh jadi FR hendak
menulis lebih lanjut setelah membaca tulisan ini. Silakan. Tetapi dari pihak
saya, cukup sekali ini saja. Terus terang saya tidak bernafsu untuk melakukan
polemik. ***Tinggarjaya, 20
Februari.’80Sumber : Majalah Horison Edisi Maret 1984
Masih Sekitar Ronggeng Dukuh Paruk Hantam Kromo Bikin Keqi F. Rahardi
Seandainya saya hanya menulis yang wajar-wajar saja dalam Cacat Latar yang Fatal (Horison 1/1984) tanpa adanya embel-embel hantam kromo segala macam, maka Ahmad Tohari konon tidak akan begitu keqi. Begitulah kira-kira yang dapat saya tangkap dari tulisannya Kecongkakan Akademik dalam Kritik Sastra (Horison 3/1984). Syukur alhamdulillah, sebab pertanyaan saya yang konon meskipun bersahaja tapi sangat tidak simpatik tersebut saya tulis bukannya tanpa dasar.Selain keqi terhadap istilah hantam kromo, Ahmad Tohari barangkali pula menyebut bahwasanya dia adalah orang dusun yang akrab dengan lingkungannya, sementara saya adalah seorang akademikus, guru biologi, kutu buku, jalan pikiran linier, berada di atas menara gading dan sebagainya. Itu salah besar.Dalam tulisannya tersebut, Ahmad Tohari juga menyebut-nyebut bahwa saya tidak konsisten lantaran mencabut surat pembaca saya untuk Kompas. Justru dengan mencabut tulisan saya yang belum terlanjur dimuat tersebut, saya telah mengikuti aturan main yang baik dalam dunia tulis-menulis. Ceritanya begini. Seusai kirim surat pembaca tersebut, saya banyak bercerita kepada kawan-kawan perihal cacat latar dalam Ronggeng Dukuh Paruk, umumnya mereka menyuruh saya membeberkannya di Horison. Hilangnya soal ular hijau dalam artikel saya di Horison, bukannya lantaran saya tak berhasil menemukan referensinya di buku-buku. Saya tahu bahwa ular hijau memang tidak pernah makan burung dewasa yang sehat-walafiat sehabis kawin. Biasanya dia memang hanya makan anak burung, kodok atau kalau toh makan burung dewasa paling burung yang lagi sakit-sakitan. Kenapa? Karena burung dewasa yang sehat, sulit ditangkap.Saya berkesimpulan bahwa tanggapan Ahmad Tohari terhadap tulisan saya, pada hakikatnya hanya lebih mempertegas bahwa dia sebenarnya sama sekali tidak akrab dengan permasalahan yang tengah dibicarakan. Saya sadar bahwa bila tanggapan tersebut saya uraikan lebih lanjut, maka yang ada kemudian bukannya ngomong-ngomong soal sastra tapi debat kusir tentang masalah biologi. Tapi apa boleh buat. Ronggeng Dukuh Paruk sudah terlanjur mengorbit dengan cap dagang Punya Latar Lingkungan Pedesaan yang memikat, ironisnya justru disitulah letak cacatnya.Soal lampu Ahmad Tohari bilang, kan ini lagi coba-coba. Jadi lampunya juga seadanya. Saya tahu. Tapi masalahnya bukan itu. Lampu minyak dengan cincin penerang seperti yang dikemukakan Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk, kalanya ditaruh di luar ruangan untuk penerangan ronggeng itu kurang terang dan akan mati-mati melulu kena angin. Kalau saja Ahmad Tohari mengusai masalah ini karena mengaku sebagai anak dusun, tentu akan dijelaskan bahwa dalam acara tersebut lampu akan mati-mati terus kena angin atau untung tidak ada angin hingga lampunya selamat.Ahmad Tohari juga menyebut saya tidak tahu soal capung, padahal justru sebaliknya. Capung itu tidak mau hinggap di tanah, karena binatang itu nalurinya tajam. Kalau dia hinggap di tanah, jarak pandangnya ke alam jadi sangat sempit. Akibatnya musuh-musuhnya akan lebih mudah mendekatinya untuk menyegap. Itulah sebabnya dia lebih senang hinggap di tempat yang agak ketinggian.Masalah alap-alap yang saya sebutkan tidak pernah menangkap mangsanya dengan cakar juga dibantah oleh Ahmad Tohari. Katanya alap-alap sekaligus menangkap dengan cakar lalu mematuk. Begitu mau hinggap, mangsa yang masih ada di cakar tersebut buru-buru dipindahkan ke paruh sebab kalau tidak bagaimana elang mau hinggap? Begitulah pernyataan Ahmad Tohari. Waktu kecil dulu saya pernah mengejar elang yang menangkap anak ayam saya. Yang saya saksikan ya dengan cakar menerkamnya. Begitu hinggap di dahan, elang tersebut ya langsung hinggap begitu saja dengan cakar yang masih mencengkeram mangsanya. Dan sekarang, dalam acara tivi yang sering saya saksikan, burung elang yang menangkap mangsanya ya persis seperti yang pernah saya sebutkan tadi. Begitu pula dalam film-film, buku serta gambar-gambar yang saya saksikan kemudian. Jadi kalau elang di Dukuh Paruk menangkap pipit dengan paruh, ini memang istimewa demi efek dramatis. Boleh saja.Ahmad Tohari telah keliru menafsirkan bahwasanya saya ini akademikus, mungkin tamatan IPB. Anggapan demikian timbul barangkali lantaran dia tahu bahwa saya kerja di majalah pertanian. Itulah sebabnya dia menganggap bahwa saya tidak tahu menahu soal singkong dan gaplek lantaran yang saya hadapi adalah singkong yang disimpan di laboratorium. Keliru mas. Saya pernah mengecap yang namanya leye, gogik, tiwul, gatot dan lain-lain dan tahu bagaimana proses pembuatannya. Leye itu singkong yang sengaha dibusukkan sampai hancur. Baunya jelas bukan main, rasanya juga tidak seenak beras Cianjur. Gatot itu singkong yang juga dibusukkan sampai hitam berjamur. Tapi semua tadi nilai kalorinya tetap tinggi. Kita ngomong soal kalori lo, bukannya gizi. Tapi Ahmad Tohari mengatakan bahwa singkong-singkong tersebut kalorinya rusak. Itu salah besar. Pertama, orang desa itu justru pintar menyimpan bahan makanan. Mereka biasa menaruh singkong kering mereka di para-para di atas tungku. Asap dan suhu panas dari tungku punya daya pengawet yang tinggi. Ini diketahui oleh orang desa. Jadi jangan anggap orang desa itu bodoh hingga membiarkan begitu saja singkong mereka hingga jadi rusak. Lagi pula, singkong yang rusak, baik oleh bakteri (leye, tapai), oleh jamur (gatot), atau serangga (gaplek), kalorinya tidak pernah rusak. Justru dengan rusaknya fisik singkong tersebut oleh bakteri, hamcur atau serangga, bahan makanan tersebut malah lebih mudah dicerna oleh perut manusia. Saya tahu bahwa sebenarnya Ahmad Tohari agak kebingungan dengan istilah karbohidrat, kalori dan gizi. Kenapa istilah-istilah itu disebut? Kan lebih enak dan lebih sederhana bilang bahwa orang-orang Dukuh Paruk itu kurang makan begitu saja?Debat kusir soal biologi ini masih akan saya teruskan. Dadap srep dan dadap duri itu jumlahnya sama banyak. Malah di kampung-kampung tertentu, terutama yang berhawa panas, jumlah dadap duri jauh lebih banyak dibandingkan dengan dadap srep. Jadi membandingkan dadap dengan kerbau jelas keliru. Kerbau bulai (albino) atau belang (di Sulteng) itu memang sangat jarang. Jadi kalau ada orang menyebut kerbau, asosiasi kita warna bulunya pasti hitam tak pernah terlintas ke benak kita danya kerbau bulai meskipun di pembicara tak menyebutkannya. Tapi kalau disebut dadap, orang jawa pasti akan tanya : dadap apa? Dadap srep atau dadap duri? Pun membandingkan bianglala di langit dengan pelangi yang dibikin oleh anak-anak dengan cara menyemprotkan air melawan sinar matahari jelas tidak masuk akal. Pengetahuan Ahmad Tohari di bidang perpelangian ternyata juga masih rendah. Orang Jawa itu kenal 3 macam pelangi atau bianglala. Pertama kluwung yang merupakan tangganya para bidadari dan bentuknya melengkung setengah lingkaran. Kedua tejo yang merupakan pertanda turunnya semacam berkah atau keberuntungan, bentuknya cuma sepotong dan bisa berada di langit mana saja. Ketiga kalangan yang bentuknya melingkar 360 derajat dan mengelilingi matahari yang sedikit disaput awan pada waktu sekitar tengah hari. Itu semua dalam bahasa Indonesia disebut pelangi atau bianglala.Ahmad Tohari mengakui bahwa burangrang dan kamitua adalah istilah di kampungnya atau istilah Dukuh Paruk. Mungkin pada waktu menulis Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari tidak pernah memikirkan bahwa novel tersebut bakal dibaca oleh bangsa Indonesia yang bahasa daerahnya macam-macam hingga tidak akan tahu istilah-istilah Khas Dukuh Paruk.Soal bunga sedap malam Ahmad Tohari toh masih juga berkelit. Bukankah rombongan ronggeng sebelum srintil ada kemungkinan dipanggil sampai ke Baturaden lalu pulangnya bawa oleh-oleh bunga sedap malam itu tergolong bunga yang sulit perawatannya meskipun tak serumit gladiol atau krisan. Katanya Dukuh Paruk itu sudah lama tak punya ronggreng. Jadi datangnya bunga sedap malam ke Dukuh Paruk jelas sudah lama juga. Apakah orang-orang desa yang miskin seperti orang Dukuh Paruk itu masih sempat merawat bunga sedap malam hingga tetap dapat hidup lestari berbunga setelah sekian lama. Mungkin saja kalau orang Dukuh Paruk jauh lebih mementingkan keindahan bunga daripada perut. Mengenai soal kodok, Ahmad Tohari masih juga meragukan pengetahuan saya. Ketahuilah, bahwa waktu kecil saya paling gemar mencari kodok hijau di sawah. Waktu jadi guru SD saya juga sering tidur di hutan bersama para mandor serta pak polisi hutan yang saya tempati. Jadi saya hafal suara kodok hijau dan katak pohon. Lebih-lebih setelah di Jakarta saya banyak belajar soal perkodokan gara-gara ada order untuk menulis buku mengenai beternak kodok. Untuk itu saya bukan hanya nongkrong di perpustakaan seperti yang diduga Ahmad Tohari, tapi keluyuran ke tempat-tempat orang beternak kodok, ke rawa-rawa, sungai yang banyak kodok batunya, ke Lembaga Biologi Nasional/LIPI, ke Museum Zoologi dan sebagainya. Dan alhamdulillah, buku saya soal kodok yang sudah cetakan ke empat itu toh belum juga dibantah orang.Sebenarnya masalahnya sangat sederhana. Ronggeng Dukuh Paruk tetap saya anggap sebagai novel yang cukup baik dan menarik. Ada tiga masalah sentral yang menonjol dalam novel tersebut. Ronggeng, Permasalahan di Dukuh Paruk dan Lingkungan pedesaan berikut flora serta faunanya. Sebagai seorang pemula, Ahmad Tohari sudah cukup menguasi teknik-teknik dasar menulis prosa, baik penokohan, alur, maupun latar. Sayangnya, keterampilan tersebut tidak diimbangi dengan ketelitian atau kejelian untuk mengamati lingkungan. Saya memang tahu bahwa latar novel tersebut memang ada di kawasan desa kelahiran serta tempat tinggal sang penulis setelah “mudik” dari Jakarta. Tapi hanya itu saja belumlah cukup untuk bekal melukiskan sebuah latar yang dapat dipertanggungjawabkan secara akal sehat. Seorang sastrawan selalu dituntut untuk peka terhadap lingkungan tempat tinggalnya.Dalam hal ini sebenarnya yang bersikap sok ilmiah bukannya saya dengan tulisan saya terdahulu, tapi justru Ahmad Tohari sendiri. Novelis yang baik justru hanya akan menceritakan apa yang dilihat, didengar dan dihayati di sekitarnya sesuai dengan persepsinya sebagai seorang pengarang.Tentang kritik Ahmad Tohari terhadap cerpan saya Kucing dan Burung yang pernah dimuat di Horison tahun lalu, saya tak perlu mengomentari atau membela diri. Silahkan!***
Sumber : Majalah Horison, Mei 1984
Sumber Tulisan :
Arin H.Widy