Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Jumat, 30 Mei 2014

Manis, Pahit Sebutir Kuldi


Aku menatap matanya, dalam-dalam seolah mengali sebuah kejujuran dan ketulusan yang mendamaikan. Entah, mataku yang sedang berkabut atau matanya yang sedang tak jujur.
“Cobalah sedikit saja,” Katanya menuangkan secangkir anggur dari belahan tubuhnya.
“Ayolah…Ayolah…sedikit saja, cobalah!” Seseorang lain dalam diriku bersorai. Berjingkrak dan meringkik seperti kuda liar yang baru dilepaskan dari kandangnya. Aku pasrah dan membiarkan iblis dalam kepala memenangkan permainannya. Lantas, aku hanya bisa pasrah, aku yang memulai semuanya. Maka tak bisa kuhindari ketika aku terlentang di atas bara. Peluh membasah. Aku tertidur. Aku melihat surga dan neraka menjadi satu jiwa.
000
Di suatu ketika, kala aku terlelap, aku tidur tengkurap. Kerap terdengar dengkur-dengkur pohon malam yang menaungi tidurku. Aku sering terjaga, lantas terserang sebuah dilema. Seolah sebagian tubuhku itu kosong keronta tapi aku tak tahu harus diisi apa. Aku juga sering
mengapai sesuatu di sampingku, tapi hanya ruang hampa yang bisa kujamah. Tak ada siapa-siapa.
Sudah begitu lama rasanya. Aku menghitung keganjilan dalam diriku. Apa gerangan yang bisa mengenapiku? Seperti rusukku yang berjumlah banyak sebelah. Dengan apa aku mengenapinya? Dan dimana aku mendapatkannya?. Tak kusangka, rupanya aku mendambanya. Pengenap jiwa yang mampu membuatku melihat kesempurnaan surga.
Hingga aku bertemu denganya. Di sebuah taman yang indah aku melihat matanya. Bersinar mengoda. Aku jatuh cinta. Aku terbakar rasa. Aku bahagia. Aku mengejarnya, aku bersamanya, membangun sebuah istana cinta.
Suatu hari, ketika bertatapan dengan Bunda, ia tertegun lama. Entah apa yang dia lihat dimatanya. dia terlihat resah dan sekilas terlihat sinar pandangan yang curiga. Dia lantas menyapa dan mengajakku bicara.
“Ada apa Bunda?” tanyaku kepadanya.
Dia duduk di bangku, di sampingku. “ ada yang ingin Bunda bicarakan kepadamu,” Mata Bunda menatap tajam kearahku.
“Sepertinya sangat penting,” Aku menebak.
“Tentu saja,” katanya, “Bunda melihat perubahan sikapmu belakangan ini. Ada sesuatu yang berbeda.”
“Saya tidak merasakannya Bunda,” Aku memang sudah biasa berbicara sopan kepada Bunda. Sebagaimana ajarannya.
“Tentu, hanya orang lain yang bisa melihat perubahanmu itu.”
“Apa yang Bunda lihat?”
“Kau berubah dalam gaya berpakaian dan berprilaku. Sekarang anak Bunda sepertinya sudah beranjak dewasa.”
“Maksud Bunda?”
“Ada seorang gadis bukan yang kau suka bukan?”
Aku malu ditebak seperti itu, tapi tak ada rahasia antara aku dan Bunda. “Iya benar Bunda. Dia teman sekelasku. Gadis yang cantik.”
“Jatuh cinta itu ibaratnya seperti pohon. Engkau adalah tanah dan kekasihmu adalah pupuk. Jika tanah dan pupuknya bagus, maka buahmu akan manis tapi jika tanah dan pupukmu jelek maka buah pohonmupun jelek. Apa kamu mengerti maksud pembicaraan ini?”
“Tidak. Apa maksud Bunda sebenarnya?”
“Masa depanmu masih panjang. Jangan bermain-main dengan cinta. Masih panjang waktumu untuk menikah. Jadikan cinta dan cita-cita itu harus saling mendukung bukannya saling menghalangi,” Bunda berbicara panjang lebar.
“Iya Bun.”
“Jangan sekalipun menyentuh larangan. Ingat norma dan aturan. Ingat nak, jangan tergoda. Larangan adalah larangan. Jangan menyentuhnya apalagi memakannya,” Kata Bunda penuh penekanan.
Hingga malam aku masih mengingat perkataan Bunda sejelas warna langit malam yang hitam dari beranda kamar kostnya, kekasihku. Lalu dia mendekat kemudian mengajakku ke ruang tamunya, kemudian ke kamarnya. Kita berdua. Saat itu egalanya mulai menguap dari ingatanku, dimataku hanya ada gadisku yang begitu cantik untukku.
Kami berdendang dan merajut tubuh masing-masing. Sampai suara di kepalaku berbisik. Aku mengeliat dan meronta tapi suara itu semakin lama semakin jelas saja. Ada seseorang dalam diriku yang membawa api. Aku melawannya dan iapun pergi. Bnerkah pergi? Tidak, rupanya ia bukan benar-benar pergi, ia hanya bergeser dan menempel di kepala kekasihku.
Aku menatap matanya, dalam-dalam seolah mengali sebuah alasan untuk melepaskan ikatan panas ini. Tapi matanya meyakinkan. Hatiku terlanjur bergejolak dan penuh bisikan. Ahh, apa salahnya mencoba sedikit saja. Sekali saja.
“Cobalah sedikit saja,” Katanya menuangkan secangkir anggur dari belahan tubuhnya.
“Ayolah…Ayolah…sedikit saja, cobalah,” Seseorang lain dalam diriku bersorai. Berjingkrak dan meringkik seperti kuda liar yang baru dilepaskan dari kandangnya. Aku pasrah dan membiarkan iblis dalam kepala memenangkan permainannya. Lantas, aku hanya bisa pasrah, aku yang memulai semuanya. Maka tak bisa kuhindari ketika aku terlentang di atas bara. Peluh membasah. Aku tertidur. Aku melihat surga dan neraka menjadi satu jiwa.
000
Serakah adalah sifat manusia. Manusia tidak akan pernah merasa puas. Lagi dan lagi, begitu seterusnya. Aku terjebak. Aku telah membuat monster yang tidak pernah berhenti. Aku ketagihan buah kuldi. Enak betul memang rasanya, aku tidak bisa berhenti. Aku telah ketergantungan padanya.
Lalu tiga bulan setelahnya. Gadisku merapat. Katanya dia telat. Aku menemaninya di pojok sekolah, bolos pelajaran tak apa, aku hanya ingin menghapus gundah di wajah cantiknya. Dia mengulang, dia telah telat. Jantungku hampir sekarat. Nafasku megap-megap.
Ayah mengebrak meja, meraup kaca, wajahnya merah penuh amarah sedang Bunda hanya bisa menanggis saja. Aku tertangkap basah pada dosa yang tak bisa kututupi. Aku masih berhati, akan kukawini gadisku meski tanpa menunggu melepas masa SMA. Kami takut menunggu dan membuang waktu lebih lama lagi, karena kalau bayiku sudah tumbuh akan membuat perutnya bengkak mengundang malu.
Tiga hari sebelum ujian aku menikahinya. Aku melirik gadisku, istriku, aku melihat matanya. Kabut telah tebal disana. Aku dan anakku, hanya itu kini yang jadi masa depannya, setelah ia kubur dalam-dalam mimpinya melanjutkan sekolah dan menjadi guru TK.
Sedangkan aku masih melanjutkan studiku. Terkadang aku tergoda wanita di tempat kuliah. Aku menghela nafas menahannya. Setelah setahun berlalu usia pernikahanku, istriku mulai terganggu. Makian terlempar padaku. Aku membunuh impiannya katanya, ia ingin melanjutkan kuliah. Aku melarangnya, siapa nanti yang menjaga anak kami.
Ia marah, ia murka, ia lalu pergi dari rumah. Seminggu kemudian gugatan cerai melayang. Siapa yang ingin punya riwayat rumah tangga yang hancur? Posisi istri bukan lagi seorang pacar. Istri adalah bagian dari diri. Kini ia pergi. Biji kuldi rupanya menjadi duri dalam langkah kakiku selama ini. Aku menyesal, tapi penyesalanku tak berarti lagi.

Ahh!

6 M2 2014

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar