Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Senin, 18 Agustus 2014

Kakek Ingin Meninggal Di Tanggal 17 Agustus

 Tiap tanggal 17 agustus, aku dan keluargaku selalu berziarah ke pemakaman yang tak jauh dari rumah, tempat kakek disemayamkan 19 tahun silam.
Kakekku layaknya orang tua pada umumnya, beruban dan berkeriput tebal, namun diluar kerentaannya kakek adalah sosok yang hebat dalam ingatanku. Aku ingat kepala kakekku setengah botak akibat ledakan granat di masa perang dan ia sering mengatakan dengan spontan tentang keinginannya yang meninggal pada hari peringatan kemerdekaan, entah apa yang melatarinya, sampai sekarang pun aku masih terus bertanya-tanya.
Kakek pertama kalinya di rekrut oleh pemerintah Jepang menjadi tentara Seinen Dojo (Barisan Pemuda) sebelum ia bergabung kyodo boei giyugun atau PETA pada tahun 1943. Dengan celana karung goni ia dan puluhan temannya mendapat latihan militer dari Jepang yang keras. Sebelum pukul lima dia dan kawan sekomandonya akan mengelilingi lapangan sambil mendendangkan lagu Jepang-lagu yang pernah dia ajarkan padaku tapi kemudian aku lupakan.

Sehari sebelum kemerdekaan dikumandangkan kakek turun ke medang perang, bersama teman-temannya di mengempur benteng Belanda yang diduduki Jepang pada masa pemerintahannya. Dengan tekad yang kuat kakek menyerahkan jiwa dan raganya dalam bentrokan tersebut, ia bahkan rela meninggalkan tunangannya untuk turun ke medan laga dan membiarkan tunangannya itu menikah dengan saudagar kaya kemudian.
Kakek mengempur benteng dengan gagahnya, dengan gesit ia dan kawan-kawannya melucuti senjata tentara Jepang membuat Jepang mundur hingga benteng itupun berhasil diduduki oleh tentara bangsa Indonesia, sekalipun korban di pihak bangsa Indonesia bergelimangan dan darah mengenang dimana-mana, kakek dan segelintir kawannya yang tersisa pulang dengan kemenangkan yang membengkakkan dada.
Kebanggaan yang membengkakan dada lama-lama memakan hatinya. Setelah kemerdekaan dikumandangkan di seluruh penjuru tanah air, setelah sang saka pertama hasil jahitan sederhana ibu Fatmawati Soekarno berkibar dan teks proklamasi di bacakan, setelah rakyat Indonesia bersorak atas harapan baru tentang kemerdekaan bangsa dan kemakmuranya, kakek masih di rumah reotya. Keberhasilannya sebagai saksi mata sejarah kemerdekaan negara Indonesia yang juga membuatnya menemukan setitik cerah perbaikan hidup.
Ia masih tetap sama seperti sebelum kemerdekaan Indonesia dibacakan, keluarganya masih sama keadaannya, seperti masih sama memandang tempe adalah barang mewah dan nasi aking*(nasi bekas yang dikeringakan) sebagai bahan makanan sehari-hari. Bahkan sampai berpuluh-puluh tahun setelah kemerdekaan kakek dan keluarganya masih dalam keadaan taraf hidup yang sama.
Lalu entah bagaimana awal mulanya kakek dengan lantang berkata pada anak-anaknya tentang keinginannya yang meninggal di tanggal kemerdekaan, 17 agustus.
“Aku ingin mati tanggal 17 agustus.” Ucapannya yang kemudian seperti menjadi bagian dari rangkaian ritual penyambutan kemerdekaan di kampung kami.
Dan setelah bertahun-tahun kematiannya aku baru menyadari mengapa kakek bersikeras ingin meninggal di tanggal 17 agustus, hal itu bermula dari cerita pak dhe pada suatu hari.
“Dulu kakekmu sering berkata kalau beliau ingin sekali meninggal pada tanggal 17 agustus. kupikir itu adalah bagian dari pikiran dangkal kakekmu,” cerita pak dhe, “beliau memandang lebih mulia meninggal di tanggal 17 sebagai refleksi pandangan putus asanya tantang mati di tanggal 17 agustus 1940-an, masa perang lebih baik dari hidup sampai sekarang. Setidaknya para pejuang yang tak di kenal namanya itu tetap di kenang sebagai kusuma bangsa, bukan veteran perang yang terus saja berjuang bahkan ketika penjajah asing sudah pulang ke negaranya.”
Aku mengangguk, “di negeri ini veteran menjadi barang tua yang paling-paling akan masuk toko antik sebagai pajangan atau paling beruntung terdampar di museum.”
“Menjadi veteran perang tak membuat mantan pejuang mendapat perlindungan negara sebagaimana mestinya, kehidupan kami masih di bwah taraf kesusahan sampai ibu menikah dengan ayah, ayah yang seorang pegawai negeri cukup berpenghasilan mengubah kehidupan kami sekeluarga.”

Tahulah aku tahu mengapa kakek berhasrat sekali meninggal di tanggal 17 agustus, tapi aku masih tidak mampu memahami mengapa di desa ini, setelah kematian kakek sesuai hasratnya menjadikan tanggal 17 hari yang sakral untuk meninggal, semua orang berlomba ingin meninggal tanggal 17 dan ketika ada yang meninggal di tanggal tersebut orang-orang akan berbondong-bondong berziarah dan minta do’a ke makamnya.  Termasuk makam kakek yang sekarang di bangun cungkup* dan tempat tabor bunga serta minyak melati atau srimpi.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar