Kakekku layaknya orang tua pada umumnya, beruban dan
berkeriput tebal, namun diluar kerentaannya kakek adalah sosok yang hebat dalam
ingatanku. Aku ingat kepala kakekku setengah botak akibat ledakan granat di
masa perang dan ia sering mengatakan dengan spontan tentang keinginannya yang
meninggal pada hari peringatan kemerdekaan, entah apa yang melatarinya, sampai
sekarang pun aku masih terus bertanya-tanya.
Kakek pertama kalinya di rekrut oleh pemerintah Jepang
menjadi tentara Seinen Dojo (Barisan
Pemuda) sebelum ia bergabung kyodo boei
giyugun atau PETA pada tahun 1943. Dengan celana karung goni ia dan puluhan
temannya mendapat latihan militer dari Jepang yang keras. Sebelum pukul lima
dia dan kawan sekomandonya akan mengelilingi lapangan sambil mendendangkan lagu
Jepang-lagu yang pernah dia ajarkan padaku tapi kemudian aku lupakan.
Sehari sebelum kemerdekaan dikumandangkan kakek turun
ke medang perang, bersama teman-temannya di mengempur benteng Belanda yang
diduduki Jepang pada masa pemerintahannya. Dengan tekad yang kuat kakek
menyerahkan jiwa dan raganya dalam bentrokan tersebut, ia bahkan rela
meninggalkan tunangannya untuk turun ke medan laga dan membiarkan tunangannya
itu menikah dengan saudagar kaya kemudian.
Kakek mengempur benteng dengan gagahnya, dengan gesit
ia dan kawan-kawannya melucuti senjata tentara Jepang membuat Jepang mundur
hingga benteng itupun berhasil diduduki oleh tentara bangsa Indonesia,
sekalipun korban di pihak bangsa Indonesia bergelimangan dan darah mengenang
dimana-mana, kakek dan segelintir kawannya yang tersisa pulang dengan
kemenangkan yang membengkakkan dada.
Kebanggaan yang membengkakan dada lama-lama memakan
hatinya. Setelah kemerdekaan dikumandangkan di seluruh penjuru tanah air,
setelah sang saka pertama hasil jahitan sederhana ibu Fatmawati Soekarno
berkibar dan teks proklamasi di bacakan, setelah rakyat Indonesia bersorak atas
harapan baru tentang kemerdekaan bangsa dan kemakmuranya, kakek masih di rumah
reotya. Keberhasilannya sebagai saksi mata sejarah kemerdekaan negara Indonesia
yang juga membuatnya menemukan setitik cerah perbaikan hidup.
Ia masih tetap sama seperti sebelum kemerdekaan
Indonesia dibacakan, keluarganya masih sama keadaannya, seperti masih sama
memandang tempe adalah barang mewah dan nasi
aking*(nasi bekas yang dikeringakan) sebagai bahan makanan sehari-hari.
Bahkan sampai berpuluh-puluh tahun setelah kemerdekaan kakek dan keluarganya
masih dalam keadaan taraf hidup yang sama.
Lalu entah bagaimana awal mulanya kakek dengan lantang
berkata pada anak-anaknya tentang keinginannya yang meninggal di tanggal
kemerdekaan, 17 agustus.
“Aku ingin mati tanggal 17 agustus.” Ucapannya yang
kemudian seperti menjadi bagian dari rangkaian ritual penyambutan kemerdekaan
di kampung kami.
Dan setelah bertahun-tahun kematiannya aku baru
menyadari mengapa kakek bersikeras ingin meninggal di tanggal 17 agustus, hal
itu bermula dari cerita pak dhe pada suatu hari.
“Dulu kakekmu sering berkata kalau beliau ingin sekali
meninggal pada tanggal 17 agustus. kupikir itu adalah bagian dari pikiran
dangkal kakekmu,” cerita pak dhe, “beliau memandang lebih mulia meninggal di
tanggal 17 sebagai refleksi pandangan putus asanya tantang mati di tanggal 17
agustus 1940-an, masa perang lebih baik dari hidup sampai sekarang. Setidaknya
para pejuang yang tak di kenal namanya itu tetap di kenang sebagai kusuma
bangsa, bukan veteran perang yang terus saja berjuang bahkan ketika penjajah
asing sudah pulang ke negaranya.”
Aku mengangguk, “di negeri ini veteran menjadi barang
tua yang paling-paling akan masuk toko antik sebagai pajangan atau paling
beruntung terdampar di museum.”
“Menjadi veteran perang tak membuat mantan pejuang
mendapat perlindungan negara sebagaimana mestinya, kehidupan kami masih di bwah
taraf kesusahan sampai ibu menikah dengan ayah, ayah yang seorang pegawai
negeri cukup berpenghasilan mengubah kehidupan kami sekeluarga.”
Tahulah aku tahu mengapa kakek berhasrat sekali
meninggal di tanggal 17 agustus, tapi aku masih tidak mampu memahami mengapa di
desa ini, setelah kematian kakek sesuai hasratnya menjadikan tanggal 17 hari
yang sakral untuk meninggal, semua orang berlomba ingin meninggal tanggal 17
dan ketika ada yang meninggal di tanggal tersebut orang-orang akan
berbondong-bondong berziarah dan minta do’a ke makamnya. Termasuk makam kakek yang sekarang di bangun cungkup* dan tempat tabor bunga serta
minyak melati atau srimpi.