Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Senin, 01 Desember 2014

Toko, Buku, Penjual, Pembeli,, Sastra, dan "Asu"*


--diambil dari sudut pandang pembaca individual
Agaknya bangsa ini terlalu malu untuk menyebut dirinya sendiri sebagai manusia yang baru tersadar dari penjajahan, terlebih bagi peminat buku yang jumlahnya bisa kita hitung dengan jari, itupun belum lagi jika kita pisahkan mana pembaca udik, pembaca asu, dan pembaca "Asu", jumlah yang bisa kita hitung dalam beberapa detik saja. Yang mana baru terbebas penjajahan sensor sastra.
Ketika ekonimi pasar berkuasa, kapitalisme mengeser segala bentuk sosialisme dan sejenisnya. Para penjual asu akan lebih mementingkan keuntungan yang diberikan oleh mayoritas pembeli, dengan kata lain pembeli yang memiliki massa terbanyak akan mendapatkan kemudahan fasilitas sehingga tanpa mereka sadari, mereka membuat sekat mistis dengan pembeli minoritas. Terlebih budaya hedonisme memang telah menyergap manusia dari segi manapun, baik disadari maupun tidak. Bahkan tak terkecuali di toko buku, di toko buku asu, mereka mencoba menampilkan sebuah ruang rekreasi penikmat bacaan yang memanjakan, rak-rak di penuhi warna-warna berbagai sampul menarik yang didesain penerbit, seolah merayu pembaca untuk mengumulinya-layaknya seorang pelacur yang menjajakan dirinya di pinggir trotoar, tak lupa juga gambar-gambar menawan ditampilkan, yang jelas ingin menyamarkan dan memoles kekurangan isi di dalamnya.
Sastra memang telah menjadi sebuah komoditi yang tak terhindarkan lagi pada masa ini. Ia menawarkan sesuatu sesuai keinginan pembacanya— momen yang menyebabkan dirinya bukan lagi sesuatu yang khas dan tertentu. Sastra asu-pun menjelma menjadi semacam lolipop manis yang mengikis lapisan gigi anak-anak. Sedangkan Sastra "Asu" semakin
terpinggirkan di pojok rak dengan jejeran seadanya, warnanya yang pucat semakin membuatnya berkesan bahwa toko buku bekas, atau yang lebih elite sedikit-toko antik, lebih cocok untuknya. Tapi jelas ini sebuah selera-yang bergantung pada kemampuan membaca seseorang. Namun bukan berarti kemampuan tidak dapat meningkat. Bagaimana pun kemampuan akan terus berkembang sesuai tingkat kematangan seseorang. Itupun kembali pada usaha belajar pribadi tersebut.
Jadi tak salah jika pengusaha asu memajang lebih banyak buku-buku asu pop yang penuh lubang dan carut marut itu. Ini murni tentang kemampuan seseorang dalam memahami bacaan. Seumpama seorang anak Tk yang tak mungkin mampu memahami buku kalkulus dan sejenisnya milik seorang mahasiswa.
Secara pribadi, saya mafhum, karena kita memang adalah bangsa berkebutuhan khusus yang membutuhkan waktu yang lebih lama untuk move on. Setidaknya sekarang, patut kita bersyukur telah terbebas dari jerat lembaga pustaka yang menyensor karya-karya sastra. Tak ada lagi pembakaran karya sastra dengan paksa, seluruh penulis bisa mengekploitasi imajinasi mereka sepuasnya. Entah itu imajinasi mesum ataupun imajinasi yang lebih condong kepada utopia, dan lain sebagainya. Dan untuk sekarang, kita membutuhkan sastra, setidaknya sekelas sastra nobel dari Indonesia untuk memberi wawasan terutama bagi orang berpengetahuan sastra sempit seperti saya.
Penulis "Asu" tak perlu menunggu masyarakat asu untuk dapat menerimanya, karena mungkin saat ini mereka menolaknya namun di generasi selajutnya karya-karya "Asu" akan bisa diterima, dipuja atau bahkan bisa merubah arus budaya bangsa.
*mengambil kata Joko Pinurbo dalam cerpennya Jalan Asu-kalau tidak salah ingat
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar