-I-
Nama
Ayu Utami identik dengan Sastra wangi dan kontroversinya. Sastra wangi sumber
utama kontroversi dalam karya-karyanya adalah kebebasan dalam mendiskusikan
seksualitas dengan segala aspeknya.
Hal
tersebut dilakukan pengiat sastra wangi untuk membongkar dinding yang selama
ini membungkam wacana. Ayu Utami sendiri menegaskan bahwa para pria sudah sejak
lama mengumbar seksualitas di media. Dan wacana seksual dari perspektif
perempuan memang diperlukan. Sudah
wajar, bila satu bentuk perjuangan atau langkah terobosan dianggap sebagai
berlebihan oleh pihak yang ingin mempertahankan status quo, sebagaimana rezim
Suharto (Time Asia, 20 November 2005). Dan apa yang mereka sampaikan hanyalah sesuatu yang memang terjadi di masyarakat.
Mereka mengungkapkan sesuatu yang
dianggap tabu oleh generasi pendahulunya. Pendapat itu didukung oleh Julia
Suryakusmana, yang menyatakan bahwa
budaya tradisional bangsa kita sebenarnya sangat seksual. Yang terjadi adalah skizoprenia
antara kenyataan sejarah dengan apa yang disebut dengan ‘nilai-nilai
Ketimuran.’ Pernyataan Julia ini
menegaskan bahwa apa yang para pengarang perempuan kemas dengan bahasa-bahasa
yang dianggap ‘kotor’ itu betul-betul merupakan
refleksi dari kenyataan di dunia moden, atau bahkan cerminan budaya yang sudah sejak dulu memang seksis.
Dan
kecaman negatif kebanyakan muncul dari para sastrawan senior, misalnya Taufiq
Ismail, yang menyatakan sebagai berikut:
Penulis-penulis
perempuan, muda usia, berlomba mencabulcabulkan karya, asyik menggarap
wilayah
selangkang dan sekitarnya dalam Gerakan Syahwat Merdeka/Dari halamanhalaman
buku mereka menyebar hawa lendir yang mirip aroma bangkai anak tikus telantar
tiga hari di selokan pasar desa/Aku melihat
orang-orang menutup hidung dan jijik karenanya. Jijik. Malu aku memikirkannya. (Ridwan:2003).
Sastra-wangi
merupakan bentuk pertahanan dari kaum perempuan terhadap dominasi definisi seksual
dari budaya laki-laki. Hal ini juga diungkapkan oleh Ayu Utami.
In
a patriarchal society, probably, the taboo is discussing sex for the interest
of women. For a patriarchal society, the taboo is making women the subjects in sexual
matters. So far, people exploit sex,
but, by objectifying women. What I write is no more crude than those pictures
or rape stories that they write. But I want to make women become the subjects.
That's considered
taboo.
(Time Asia, 20 November 2005).
Karya-karya
pengarang perempuan tersebut merupakan upaya untuk menampilkan wanita sebagai
subyek, bukan sebagai obyek seksual, seperti yang selama ini dilakukan oleh
masyarakat patriarkis. Sastra-wangi merupakan wilayah adu kekuatan antara kaum
subordinat perempuan dengan masyarakat patriarkis sebagai penguasa budaya.
Jadi
isu "perempuan dan seks" masih menjadi fokus utama dalam novel Saman,
Larung, Seri Bilang Fu, hingga Maya. Namun beberapa kritikus mengatakan bahwa tekanan
pada isu itu hanyalah stereotipe hasil politik sastra yang berpusat pada
sensasi untuk menjerat pembaca semata.
Terlepas
dari semua itu, novel Maya sendiri selain masih memuat konten isu perempuan dan
seks namun ketidakadilan gender, stereotip perempuan dan laki-laki yang di
lukiskan dalam dua orang manusia kerdil bernama Maya dan Tuyul dengan sangat
gamblang dan perlu digaris bawahi.
-II-
Maya
merupakan buku ketiga dari seri Bilangan Fu karya Ayu utami yang terbit pada December
2013 oleh Kepustakaan Populer Gramedia . Berbeda dari dua buku sebelumnya,
“Manjali dan Cakrabirawa” serta “Lalita” yang menampilkan lengkap tiga orang
tokoh utamanya, dalam buku ketiga ini, tokoh utama yang muncul hanya Parang
Jati saja.
Kisahnya
pun dimulai setelah dua tahun Saman dinyatakan hilang, kini Yasmin menerima
tiga pucuk surat dari kekasih gelapnya itu. Bersama surat itu Saman juga
mengirimkan sebutir batu akik. Untuk menjawab peristiwa misterius itu Yasmin
yang sesungguhnya sangat rasional terpaksa pergi ke seorang guru kebatinan,
Suhubudi, ayah dari Parang Jati. Di Padepokan Suhubudi Yasmin justru terlibat
dalam suatu kejadian lain yang baginya merupakan perjalanan batin untuk
memahami diri sendiri, cintanya, dan negerinya—sementara Parang Jati menjawab
teka-teki tentang keberadaan Saman. Cerita ini berlatar peristiwa Reformasi
1998.
Latar
dominan yang diambil kali ini adalah di Candi Prambanan dan Padepokan Suhubudi.
Ayu Utami masih setia mengambil latar sejarah lengsernya mantan Presiden RI
paling kontriversial, Soeharto di tahun 1998. Dalam Maya, Ayu Utami
mempertemukan tokoh dari dwilogi “Saman” “Larung” dengan tokoh-tokoh dari
Bilangan Fu. Dalam Maya pembaca akan menemukan akhir cerita dwilogi tersebut.
Selain
cerita seputar Yasmin dan pencariannya tentang Saman, yang membawanya ke
perdepokan Suhubudi. Ayu Utami juga menampilkan hal-hal yang selalu diingkari
oleh manusia yang dia gambarkan sebagai makhluk-makhluk buruk rupa dan tidak
sempurna yang membentuk pemukiman jauh dari keramaian di sebelah barat perdepokan
Suhubudi.
Diantara
makhluk kerdil tersebut ada yang di panggil oleh Suhubudi dengan nama Maya dan
Tuyul. Maya adalah seorang penari yang memerankan karakter Sita atau Shinta,
sedangkan Tuyul adalah pemeran Rama dalam sendatari Ramayana tersebut.
-III-
Pada abad ke-9 M cerita Ramayana telah dipahatkan pada
dinding-dinding candi Prambanan. Epik Ramayana sendiri di Indonesia digubah
tahun 925 M pada waktu pemerintahan raja Mpu Sendok. Tetapi Prof. H. Kern dan
Prof. Stutterheim memastikan bahwa Ramayana Jawa kuno itu ditulis pada jaman
kerajaan Kediri yaitu sekitar abad ke-11 atau ke-12.
Ramayana
sendiri berkisah tentang penculikan Sita oleh Rahwana dan Rama menyelamatkannya
dengan bantuan pasukan kera. Kisah ini menuturkan kesetiaan dan ajaran kesempurnaan
tentang seorang istri dalam kebudayaan Jawa. Setiap istri dituntut menjadi
sumur-kasur-dapur. Tukang bersih-bersih, patner di ranjang, dan penyedia
makanan dalam rumah. Istri juga disebut sebagai ‘kanca wengking’ atau teman
belakang, yang mana berarti membatasi wanita hanya pada ruang lingkup domestik
saja.
Dan
dalam novel Maya, seorang kerdil bernama Maya yang merasa menjadi seorang Sita
bukan hanya dalam sendatari semata, ia merasa sebagai Sita bahkan dalam
kehidupan sehari-hari. Sita-nya Rama atau Maya-nya Tuyul.
Karena
memiliki perasaan begitu, rasa pengabdiannya yang sangat besar kepada Tuyul
membuatnya hanya mengenal menurut pada gurulaki-Tuyul semata, dan mengabaikan
segala yang ada bahkan Ayu Utami menyebut wanita tak sempurna itu tak punya
logika yang lurus. Ia hanya punya keinginan untuk menjadi berharga (Hal 171).
Maya
sangat mengagungkan Tuyul, dia sangat berpegang teguh pada ajaran bahwa sudah
lumrah lelaki jadi panutan istri. Walau buruk rupa, ia harus dihormati. Walau bau
harus diciumi…janganlah istri merengut, tapi bersikaplah merendahkan diri.
Wanita mulia dalam benaknya adalah Sita, yang menjaga kehormatan demi suami,
patuh pada gurulaki, sekalipun suami di luar memiliki banyak istri maupun
gundik. Begitupun dengan Tuyul yang suka berhubungan dengan pelacur normal di
luar pedepokan.
Selain
itu Maya juga digambarkan sebagai tokoh yang mudah sekali dirayu oleh Tuyul dan
dihasut untuk berbuat kejahatan. Demi menuruti gurulaki. Ia pun menculik putri
Yasmin. Awalnya Tuyul memberitahu kepada Maya bahwa Yasmin adalah seorang
wanita menjijikan yang tidak bermoral, yang mana tidak menjaga kehormatannya
hanya untuk suaminya sendiri, bahkan wanita cantik itu memiliki anak haram dari
pria lain. Karena dianggap melanggar konsep inilah yang membuat Maya begitu
membenci Yasmin, bahkan dalam kepalanya orang seperti Yasmin yang tak memiliki
kehormatan haruslah dihukum dengan berat. Seorang wanita akan terhormat jika
seluruh tubuhnya tertutup, dan wanita seperti Yasmin haruslah diarak telanjang
keliling kampung agar malu dan jera. Dan mirisnya hukuman seperti ini sudah
biasa terjadi dalam masyarakat kita sejak zaman dahulu. Di India sendiri, yang
merupakan kiblat kebudayaan di masa lampau budaya menelanjangi perempuan masih
ada dan tumbuh subur.
Bagai
kutub yang berbeda dari Maya, Yasmin di gambarkan sebagai perempuan modern yang
bebas. Ia tak lagi terikat oleh ajaran-ajaran adat yang membelenggu wanita. Namun
melalui Yasmin, Ayu utami mengambarkan sosok wanita yang memiliki kebebasan
radikal. Ayu Utami memberikan perbandingan antara Feminisme radikal dengan kaum
patriarki melalui tokoh Yasmin dan Maya.
----