Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Kamis, 04 Desember 2014

Menelaah Feminisme Radikal dan Manusia Kerdil Dalam Novel Maya-Ayu Utami


-I-
Nama Ayu Utami identik dengan Sastra wangi dan kontroversinya. Sastra wangi sumber utama kontroversi dalam karya-karyanya adalah kebebasan dalam mendiskusikan seksualitas dengan segala aspeknya.
Hal tersebut dilakukan pengiat sastra wangi untuk membongkar dinding yang selama ini membungkam wacana. Ayu Utami sendiri menegaskan bahwa para pria sudah sejak lama mengumbar seksualitas di media. Dan wacana seksual dari perspektif perempuan  memang diperlukan. Sudah wajar, bila satu bentuk perjuangan atau langkah terobosan dianggap sebagai berlebihan oleh pihak yang ingin mempertahankan status quo, sebagaimana rezim Suharto (Time Asia, 20 November 2005). Dan apa yang mereka sampaikan hanyalah  sesuatu yang memang terjadi di masyarakat. Mereka mengungkapkan  sesuatu yang dianggap tabu oleh generasi pendahulunya. Pendapat itu didukung oleh Julia Suryakusmana, yang  menyatakan bahwa budaya tradisional bangsa kita sebenarnya sangat  seksual. Yang terjadi adalah skizoprenia antara kenyataan sejarah dengan apa yang disebut dengan ‘nilai-nilai Ketimuran.’ Pernyataan Julia  ini menegaskan bahwa apa yang para pengarang perempuan kemas dengan bahasa-bahasa yang dianggap ‘kotor’ itu betul-betul merupakan  refleksi dari kenyataan di dunia moden, atau bahkan cerminan budaya  yang sudah sejak dulu memang seksis.
Dan kecaman negatif kebanyakan muncul dari para sastrawan senior, misalnya Taufiq Ismail, yang menyatakan sebagai berikut:
Penulis-penulis perempuan, muda usia, berlomba mencabulcabulkan karya, asyik menggarap
wilayah selangkang dan sekitarnya dalam Gerakan Syahwat Merdeka/Dari halamanhalaman buku mereka menyebar hawa lendir yang mirip aroma bangkai anak tikus telantar tiga hari di selokan pasar desa/Aku  melihat orang-orang menutup hidung dan jijik karenanya. Jijik. Malu aku memikirkannya. (Ridwan:2003).
Sastra-wangi merupakan bentuk pertahanan dari kaum perempuan terhadap dominasi definisi seksual dari budaya laki-laki. Hal ini juga diungkapkan oleh Ayu Utami.
In a patriarchal society, probably, the taboo is discussing sex for the interest of women. For a patriarchal society, the taboo is making women the subjects in sexual matters. So far, people  exploit sex, but, by objectifying women. What I write is no more crude than those pictures or rape stories that they write. But I want to make women become the subjects. That's considered
taboo. (Time Asia, 20 November 2005).

Karya-karya pengarang perempuan tersebut merupakan upaya untuk menampilkan wanita sebagai subyek, bukan sebagai obyek seksual, seperti yang selama ini dilakukan oleh masyarakat patriarkis. Sastra-wangi merupakan wilayah adu kekuatan antara kaum subordinat perempuan dengan masyarakat patriarkis sebagai penguasa budaya.
Jadi isu "perempuan dan seks" masih menjadi fokus utama dalam novel Saman, Larung, Seri Bilang Fu, hingga Maya. Namun beberapa kritikus mengatakan bahwa tekanan pada isu itu hanyalah stereotipe hasil politik sastra yang berpusat pada sensasi untuk menjerat pembaca semata.
Terlepas dari semua itu, novel Maya sendiri selain masih memuat konten isu perempuan dan seks namun ketidakadilan gender, stereotip perempuan dan laki-laki yang di lukiskan dalam dua orang manusia kerdil bernama Maya dan Tuyul dengan sangat gamblang dan perlu digaris bawahi.
-II-
Maya merupakan buku ketiga dari seri Bilangan Fu karya Ayu utami yang terbit pada December 2013 oleh Kepustakaan Populer Gramedia . Berbeda dari dua buku sebelumnya, “Manjali dan Cakrabirawa” serta “Lalita” yang menampilkan lengkap tiga orang tokoh utamanya, dalam buku ketiga ini, tokoh utama yang muncul hanya Parang Jati saja.
Kisahnya pun dimulai setelah dua tahun Saman dinyatakan hilang, kini Yasmin menerima tiga pucuk surat dari kekasih gelapnya itu. Bersama surat itu Saman juga mengirimkan sebutir batu akik. Untuk menjawab peristiwa misterius itu Yasmin yang sesungguhnya sangat rasional terpaksa pergi ke seorang guru kebatinan, Suhubudi, ayah dari Parang Jati. Di Padepokan Suhubudi Yasmin justru terlibat dalam suatu kejadian lain yang baginya merupakan perjalanan batin untuk memahami diri sendiri, cintanya, dan negerinya—sementara Parang Jati menjawab teka-teki tentang keberadaan Saman. Cerita ini berlatar peristiwa Reformasi 1998.
Latar dominan yang diambil kali ini adalah di Candi Prambanan dan Padepokan Suhubudi. Ayu Utami masih setia mengambil latar sejarah lengsernya mantan Presiden RI paling kontriversial, Soeharto di tahun 1998. Dalam Maya, Ayu Utami mempertemukan tokoh dari dwilogi “Saman” “Larung” dengan tokoh-tokoh dari Bilangan Fu. Dalam Maya pembaca akan menemukan akhir cerita dwilogi tersebut.
Selain cerita seputar Yasmin dan pencariannya tentang Saman, yang membawanya ke perdepokan Suhubudi. Ayu Utami juga menampilkan hal-hal yang selalu diingkari oleh manusia yang dia gambarkan sebagai makhluk-makhluk buruk rupa dan tidak sempurna yang membentuk pemukiman jauh dari keramaian di sebelah barat perdepokan Suhubudi.
Diantara makhluk kerdil tersebut ada yang di panggil oleh Suhubudi dengan nama Maya dan Tuyul. Maya adalah seorang penari yang memerankan karakter Sita atau Shinta, sedangkan Tuyul adalah pemeran Rama dalam sendatari Ramayana tersebut.
-III-
Pada abad ke-9 M cerita Ramayana telah dipahatkan pada dinding-dinding candi Prambanan. Epik Ramayana sendiri di Indonesia digubah tahun 925 M pada waktu pemerintahan raja Mpu Sendok. Tetapi Prof. H. Kern dan Prof. Stutterheim memastikan bahwa Ramayana Jawa kuno itu ditulis pada jaman kerajaan Kediri yaitu sekitar abad ke-11 atau ke-12.
Ramayana sendiri berkisah tentang penculikan Sita oleh Rahwana dan Rama menyelamatkannya dengan bantuan pasukan kera. Kisah ini menuturkan kesetiaan dan ajaran kesempurnaan tentang seorang istri dalam kebudayaan Jawa. Setiap istri dituntut menjadi sumur-kasur-dapur. Tukang bersih-bersih, patner di ranjang, dan penyedia makanan dalam rumah. Istri juga disebut sebagai ‘kanca wengking’ atau teman belakang, yang mana berarti membatasi wanita hanya pada ruang lingkup domestik saja.
Dan dalam novel Maya, seorang kerdil bernama Maya yang merasa menjadi seorang Sita bukan hanya dalam sendatari semata, ia merasa sebagai Sita bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Sita-nya Rama atau Maya-nya Tuyul.
Karena memiliki perasaan begitu, rasa pengabdiannya yang sangat besar kepada Tuyul membuatnya hanya mengenal menurut pada gurulaki-Tuyul semata, dan mengabaikan segala yang ada bahkan Ayu Utami menyebut wanita tak sempurna itu tak punya logika yang lurus. Ia hanya punya keinginan untuk menjadi berharga (Hal 171).
Maya sangat mengagungkan Tuyul, dia sangat berpegang teguh pada ajaran bahwa sudah lumrah lelaki jadi panutan istri. Walau buruk rupa, ia harus dihormati. Walau bau harus diciumi…janganlah istri merengut, tapi bersikaplah merendahkan diri. Wanita mulia dalam benaknya adalah Sita, yang menjaga kehormatan demi suami, patuh pada gurulaki, sekalipun suami di luar memiliki banyak istri maupun gundik. Begitupun dengan Tuyul yang suka berhubungan dengan pelacur normal di luar pedepokan.
Selain itu Maya juga digambarkan sebagai tokoh yang mudah sekali dirayu oleh Tuyul dan dihasut untuk berbuat kejahatan. Demi menuruti gurulaki. Ia pun menculik putri Yasmin. Awalnya Tuyul memberitahu kepada Maya bahwa Yasmin adalah seorang wanita menjijikan yang tidak bermoral, yang mana tidak menjaga kehormatannya hanya untuk suaminya sendiri, bahkan wanita cantik itu memiliki anak haram dari pria lain. Karena dianggap melanggar konsep inilah yang membuat Maya begitu membenci Yasmin, bahkan dalam kepalanya orang seperti Yasmin yang tak memiliki kehormatan haruslah dihukum dengan berat. Seorang wanita akan terhormat jika seluruh tubuhnya tertutup, dan wanita seperti Yasmin haruslah diarak telanjang keliling kampung agar malu dan jera. Dan mirisnya hukuman seperti ini sudah biasa terjadi dalam masyarakat kita sejak zaman dahulu. Di India sendiri, yang merupakan kiblat kebudayaan di masa lampau budaya menelanjangi perempuan masih ada dan tumbuh subur.
Bagai kutub yang berbeda dari Maya, Yasmin di gambarkan sebagai perempuan modern yang bebas. Ia tak lagi terikat oleh ajaran-ajaran adat yang membelenggu wanita. Namun melalui Yasmin, Ayu utami mengambarkan sosok wanita yang memiliki kebebasan radikal. Ayu Utami memberikan perbandingan antara Feminisme radikal dengan kaum patriarki melalui tokoh Yasmin dan Maya.
----





Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar