Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Senin, 09 Maret 2015

Sejarah Sastra Jepang Modern Bagian III

Kawabata Yasunari

Yasunari Kawabata adalah adalah seorang novelis Jepang yang prosa liriknya membuat ia memenangkan Penghargaan Nobel dalam Sastra pada 1968. Ia menjadi orang Jepang pertama yang memperoleh penghargaan tersebut. Karya-karyanya hingga kini masih dibaca bahkan di dunia internasional.
Sementara masih menjadi mahasiswa, Kawabata menghidupkan kembali majalah sastra Universitas Tokyo, "Shin-shichō" (Arus Pemikiran Baru) yang telah mati lebih dari empat tahun. Di situ ia menerbitkan cerita pendeknya yang pertama, "Shokonsai Ikkei" ("Suasana pada suatu pemanggilan arwah") -- sebuah karya yang
hingga kini masih diakui nilai sastranya. Ketika kuliah, ia beralih jurusan ke Sastra Jepang dan menulis skripsi yang berjudul, "Sejarah singkat novel-novel Jepang". Ia lulus pada Maret 1924. Pada Oktober 1924, ia, Kataoka Teppei, Yokomitsu Riichi dan sejumlah penulis muda lainnya memulai sebuah jurnal sastra baru Bungei Jidai (Zaman Artistik). Jurnal ini adalah reaksi terhadap aliran sastra Jepang yang lama dan mapan, khususnya aliran Naturalis, sementara pada saat yang sama juga bertentangan dengan sastra kaum buruh atau aliran Sosialis/Komunis. Ini adalah gerakan "seni untuk seni", yang dipengaruhi oleh Kubisme Eropa, Ekspresionisme, Dada dan gaya modernis lainnya. "Shinkankaku-ha" sering kali keliru ditafsirkan sebagai "Neo-Impresionisme." Istilah "Shinkankakuha," yang digunakan Kawabata dan Yokomitsu untuk menggambarkan filsafatnya, tidaklah dimaksudkan sebagai versi baru atau pemulihan dari Impresionisme; gerakan mereka dipusatkan pada upaya memberikan "impresi baru," atau, lebih tepatnya, "sensasi baru" dalam penulisan sastra. (Okubo Takaki [2004] Kawabata Yasunari--Utsukushi Nihon no Watashi. Minerva Shobo)
Kawabata mulai mendapatkan pengakuan dengan sejumlah cerita pendek tak lama setelah ia lulus, dan memperoleh kemasyhuran dengan "Gadis Penari dari Izu" pada 1926, sebuah cerita yang menjelajahi erotisisme orang muda yang sedang berkembang. Kebanyakan karyanya di kemudian hari menjelajahi tema-tema serupa.
Salah satu novelnya yang paling terkenal adalah Negeri Salju, yang dimulai pada 1934, dan pertama kali diterbitkan secara
bertahap sejak 1935 hingga 1937. Negeri Salju adalah sebuah cerita yang gamblang mengenai sebuah hubungan cinta antara seorang amatir (dilettante) Tokyo dengan seorang geisha desa, yang berlangsung di sebuah kota dengan sumber air panas yang jauh di sebelah barat dari Pegunungan Alpen Jepang. Novel ini memantapkan Kawabata sebagai salah satu pengarang terkemuka Jepang dan langsung menjadi sebuah klasik, yang digambarkan oleh Edward G. Seidensticker "barangkali (merupakan) adikarya Kawabata".
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, suksesnya berlanjut dengan novel-novel seperti Seribu Burung Bangau (sebuah cerita tentang cinta yang bernasib malang), Suara Gunung, Rumah Perawan, Kecantikan dan Kesedihan, dan Ibu kota Lama .
Buku yang ia sendiri anggap sebagai karyanya yang terbaik adalah Empu Go (1951) adalah sebuah kontras yang tajam dengan karya-karyanya yang lain. Ini adalah sebuah kisah setengah fiksi tentang sebuah pertandingan besar Go pada 1938, yang benar-benar dilaporkannya dalam kelompok surat kabar Mainichi. Ini adalah permainan terakhir dari karier empu Shūsai, dan ia dikalahkan oleh penantang mudanya, dan meninggal sekitar setahun kemudian. Meskipun pada permukaannya cerita ini mengharukan, sebagai penceritaan kembali mengenai sebuah perjuangan puncak oleh sejumlah pembaca kisah ini dianggap sebagai paralel simbolis dari kekalahan Jepang pada Perang Dunia II.

Sebagai presiden P.E.N. Jepang selama bertahun-tahun setelah perang, Kawabata merupakan kekuatan pendorong di balik penerjemahan sastra Jepang ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa Barat lainnya.


Kenzaburo Oe

Kenzaburo Oe adalah adalah tokoh besar dalam sastra Jepang modern. Karyanya, yang banyak dipengaruhi oleh sastra Perancis dan Amerika serta teori sastra, sarat dengan isu-isu politis, sosial, dan filosofis seperti senjata nuklir, non-konformisme sosial dan eksistensialisme. Oe dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra pada tahun 1994. Pada usia delapan tahun, Oe menempuh perjalanan jauh menggunakan kereta menuju Tokyo, dan pada tahun berikutnya dia terdaftar di Departemen Sastra Prancis di Universitas Tokyo, dimana ia menerima instruksi di bawah bimbingan Profesor Kazuo Watanabe, seorang spesialis dalam Francois Rabelais. Pikiran Watanabe pada humanisme, yang datang dari studi tentang Renaissance Perancis, membantu membentuk pandangan dasar Oe tentang masyarakat dan kondisi manusia.
Oe mulai menulis pada tahun 1957, saat masih menjadi mahasiswa sastra Prancis di Universitas Tokyo. Karya-karyanya dari tahun 1957, melalui 1958 - dari cerita pendek, The Catch, yang membuatnya memenangkan Penghargaan Akutagawa, untuk novel pertamanya, Memushiri Kouchi (1958) - menggambarkan tragedi perang yang mencabik-cabik kehidupan indah dari seorang pemuda di pedesaan. Shisa no Ogori (1957), sebuah cerita pendek, dan novel yang berjudul The Youth Who Came Late (1961). Oe menggambarkan kehidupan mahasiswa di Tokyo, sebuah kota di mana bayang-bayang gelap dari pendudukan AS masih ada. Jelas dalam karya-karya ini mendapat pengaruh kuat dari Jean-Paul Sartre dan penulis Prancis modern lainnya.
Oe memenangkan penghargaan Nobel bidang kesusastraan pada tahun 1994 yang kemudian mendorongnya untuk memulai mengejar bentuk baru dari sebuah sastra dan kehidupan baru bagi dirinya sendiri.


Haruki Murakami

Haruki Murakami adalah seorang penulis dan penerjemah Jepang. Karyanya dideskripsikan oleh Virginia Quarterly Review sebagai “mudah dimengerti, namun dalam dan kompleks”.
Novel-novel Haruki Murakami menggambarkan kegelisahan dan keterasingan yang dirasakan individu dalam masyarakat Jepang modern. Tulisannya sangat dipengaruhi oleh budaya Amerika, dipenuhi perujukan dan pengagungan pada film, musik, dan budaya pop Barat. Karakter-karakter dalam ceritanya menerima budaya tersebut sebagai bagian yang padu dengan kehidupan Jepang masa kini. Anak-anak muda Jepang menggemarinya karena karya-karyanya menyuarakan apa yang mereka alami, mereka dengan mudah mengidentifikasi diri dengan karakter dalam ceritanya, tetapi generasi tua mengkritiknya sebagai terlalu terbaratkan. Kata mereka, Murakami menggambarkan masyarakat Jepang secara sangat negatif.
Murakami secara terang-terangan mendeklarasikan keinginannya untuk berbeda dari pendahulunya. Dalam sebuah wawancara pada 1991 dia berkata, "Saya ingin mengubah sastra Jepang dari sebelah dalam." Dia bisa disebut seorang pemberontak dalam panorama literatur Jepang. "Kebanyakan novelis Jepang,"  kata Murakami, "kecanduan pada keindahan bahasa. Saya ingin mengubah itu."
"Menulis dalam bahasa Jepang bagi orang Jepang mempunyai satu gaya tertentu yang kaku. Orang harus mengikuti gaya itu. Tapi gaya saya berbeda, dengan atmosfer yang sangat Amerika. Saya mencari gaya baru untuk pembaca Jepang dan saya pikir saya sudah mendapat pijakan." Pijakan itu sungguh kuat jika melihat posisi yang telah diraihnya sekarang. Novel pertama Murakami, Hear the Wind Sing, terbit pada 1979, ketika dia masih berstatus pemilik sebuah bar jazz di Tokyo yang didirikannya usai menamatkan studi di Waseda. Kini selusin judul buku telah ditulisnya, lebih dari dua belas juta eksemplar bukunya beredar di Jepang, dia telah menerima serangkaian penghargaan bergengsi, dan novelnya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari empat belas bahasa. A Wild Sheep Chase adalah novelnya yang ketiga, berisi kisah aneh tentang seorang pria yang dipancing masuk ke dunia antah-berantah yang mistis untuk mencari seekor domba misterius.
Murakami menyebut novel ini sebagai kisah fantasi petualangan. Kritikus menyebutnya sebagai gabungan cerita detektif dengan fabel, misteri, dan komedi di mana mimpi, halusinasi,imajinasi liar lebih penting daripada bukti-bukti nyata.
Protagonisnya adalah seorang pekerja di biro penerjemahan yang menandai hari-hari yang dilewatinya lewat lagu-lagu yang didengarnya di radio. Seperti di kebanyakan novelnya yang lain, sang protagonis hanya disebut sebagai "Boku"atau "Watashi", yang keduanya berarti aku atau saya. Secara geografis latar novelnya adalah Jepang, tapi pengalaman protagonis sama sekali tidak bergantung pada tempat itu karena ceritanya dipenuhi oleh perujukan pada budaya pop Amerika tahun 1960-an.
Lewat novel inilah Murakami pertama kali dikenal di Amerika setelah edisi berbahasa Inggrisnya terbit pada Oktober 1989. Buku itu segera mendapat sambutan hebat di kalangan pembaca bahasa itu. Ulasan, wawancara dan foto besar Murakami bermunculan di The New York Times Book Review, Washington Post, Wall Street Journal, San Francisco Chronicle, Los Angeles Times, dan sejumlah majalah serta jurnal sastra lain. Gaya tulisnya diperbandingkan dengan Kafka, Don DeLillo, Tom Robbins, Chandler, Salinger, Borges, tapi kemudian diakui sebagai orisinal. Penerbitnya di Jepang, Kodansha, menyebut baru kali ini sebuah novel Jepang modern didiskusikan dengan begitu luas di lingkaran sastra dan penerbitan Amerika. Tak lama kemudian novel ini terbit pula di Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Korea, Belanda, dan Spanyol.
Empat kumpulan cerpen antara 1982 dan 1986, sebuah novel pada 1985, Hard Boiled Wonderland yang meraih penghargaan prestisius Tanizaki Prize. Disusul berturut-turut dalam jarak dua tahun oleh Norwegian Wood (1987) dan Dance, Dance, Dance (1989) yang merupakan sekuel bagi A Wild Sheep Chase.
Secara keseluruhan, karya Murakami dapat dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama adalah fabel fantasi seperti A Wild Sheep Chase, yang merupakan buku ketiga dalam sebuah trilogi. Dua buku pertama dalam trilogi ini adalah Hear the Wind Sing (1979) dan Pinball 1973 (1974). Termasuk juga dalam kategori ini adalah Wind Up Bird Chronicle (1994) yang menyoroti tindakan Jepang di Manchuria dalam Perang Dunia kedua. Buku-buku dalam kategori inilah yang paling kuat mencerminkan kecenderungan surelisme dan realisme magis Murakami.
Kategori kedua adalah kisah cinta seperti Norwegian Wood, sebuah novel yang melambungkan kepopulerannya. Para kritikus menyebut kepopuleran novel ini adalah karena tokoh utamanya terlalu banyak melakukan hubungan seks dan membicarakan soal itu secara sangat ringan dan terbuka. Bagi Murakami sendiri, Norwegian Wood merupakan buku yang unik karena ditulis dalam gaya realisme murni dan sangat linear. Dia menyukai buku itu tapi tidak berencana menulis lagi dalam gaya seperti itu. Karyanya yang juga termasuk dalam kategori kedua ini adalah Sputnik Sweetheart (2001).
Kategori ketiga adalah buku-buku nonfiksi, Underground (1998) dan After the Quake (2000). Kedua buku ini ditulisnya sebagai respons terhadap dua kejadian penting yang menimpa Jepang: serangan gas sarin oleh kelompok kultus Aum Shinrikyo terhadap penumpang kereta bawah tanah di Tokyo pada 1995 dan gempa besar di Kobe pada 1997. Kedua peristiwa itu terjadi ketika Murakami berada di "pengasingannya", menulis di Yunani dan menjadi pengajar tamu pada Universitas Princeton dan Tufts. Dia merasa harus memperlihatkan kepeduliannya pada kejadian besar itu.
Untuk menulis Underground Murakami mewawancara sekitar 65 orang penumpang kereta bawah tanah yang diserang itu. Dalam proses itu dia menemukan pengenalan baru tentang negerinya, tentang para pekerja keras yang berdesak-desakan setiap pagi di dalam gerbong kereta. "Saya mengagumi mereka,"  katanya. "Tapi tak ingin menjadi seperti mereka." After the Quake merupakan kumpulan cerita pendek yang menelusuri apa yang terjadi pada keluarga keluarga di Kobe setelah gempa besar itu. Kedua buku ini seperti menunjukkan perubahan pada diri Murakami, dari seorang yang ingin menjauh menjadi seorang yang kembali ke komitmen pada negerinya.







Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar