Kawabata
Yasunari
Yasunari
Kawabata adalah adalah seorang novelis Jepang yang prosa liriknya membuat ia
memenangkan Penghargaan Nobel dalam Sastra pada 1968. Ia menjadi orang Jepang
pertama yang memperoleh penghargaan tersebut. Karya-karyanya hingga kini masih
dibaca bahkan di dunia internasional.
Sementara
masih menjadi mahasiswa, Kawabata menghidupkan kembali majalah sastra
Universitas Tokyo, "Shin-shichō" (Arus Pemikiran Baru) yang telah
mati lebih dari empat tahun. Di situ ia menerbitkan cerita pendeknya yang
pertama, "Shokonsai Ikkei" ("Suasana pada suatu pemanggilan
arwah") -- sebuah karya yang
hingga kini masih diakui nilai sastranya. Ketika kuliah, ia beralih jurusan ke Sastra Jepang dan menulis skripsi yang berjudul, "Sejarah singkat novel-novel Jepang". Ia lulus pada Maret 1924. Pada Oktober 1924, ia, Kataoka Teppei, Yokomitsu Riichi dan sejumlah penulis muda lainnya memulai sebuah jurnal sastra baru Bungei Jidai (Zaman Artistik). Jurnal ini adalah reaksi terhadap aliran sastra Jepang yang lama dan mapan, khususnya aliran Naturalis, sementara pada saat yang sama juga bertentangan dengan sastra kaum buruh atau aliran Sosialis/Komunis. Ini adalah gerakan "seni untuk seni", yang dipengaruhi oleh Kubisme Eropa, Ekspresionisme, Dada dan gaya modernis lainnya. "Shinkankaku-ha" sering kali keliru ditafsirkan sebagai "Neo-Impresionisme." Istilah "Shinkankakuha," yang digunakan Kawabata dan Yokomitsu untuk menggambarkan filsafatnya, tidaklah dimaksudkan sebagai versi baru atau pemulihan dari Impresionisme; gerakan mereka dipusatkan pada upaya memberikan "impresi baru," atau, lebih tepatnya, "sensasi baru" dalam penulisan sastra. (Okubo Takaki [2004] Kawabata Yasunari--Utsukushi Nihon no Watashi. Minerva Shobo)
hingga kini masih diakui nilai sastranya. Ketika kuliah, ia beralih jurusan ke Sastra Jepang dan menulis skripsi yang berjudul, "Sejarah singkat novel-novel Jepang". Ia lulus pada Maret 1924. Pada Oktober 1924, ia, Kataoka Teppei, Yokomitsu Riichi dan sejumlah penulis muda lainnya memulai sebuah jurnal sastra baru Bungei Jidai (Zaman Artistik). Jurnal ini adalah reaksi terhadap aliran sastra Jepang yang lama dan mapan, khususnya aliran Naturalis, sementara pada saat yang sama juga bertentangan dengan sastra kaum buruh atau aliran Sosialis/Komunis. Ini adalah gerakan "seni untuk seni", yang dipengaruhi oleh Kubisme Eropa, Ekspresionisme, Dada dan gaya modernis lainnya. "Shinkankaku-ha" sering kali keliru ditafsirkan sebagai "Neo-Impresionisme." Istilah "Shinkankakuha," yang digunakan Kawabata dan Yokomitsu untuk menggambarkan filsafatnya, tidaklah dimaksudkan sebagai versi baru atau pemulihan dari Impresionisme; gerakan mereka dipusatkan pada upaya memberikan "impresi baru," atau, lebih tepatnya, "sensasi baru" dalam penulisan sastra. (Okubo Takaki [2004] Kawabata Yasunari--Utsukushi Nihon no Watashi. Minerva Shobo)
Kawabata
mulai mendapatkan pengakuan dengan sejumlah cerita pendek tak lama setelah ia
lulus, dan memperoleh kemasyhuran dengan "Gadis Penari dari Izu" pada
1926, sebuah cerita yang menjelajahi erotisisme orang muda yang sedang
berkembang. Kebanyakan karyanya di kemudian hari menjelajahi tema-tema serupa.
Salah
satu novelnya yang paling terkenal adalah Negeri Salju, yang dimulai pada 1934,
dan pertama kali diterbitkan secara
bertahap sejak 1935 hingga 1937. Negeri
Salju adalah sebuah cerita yang gamblang mengenai sebuah hubungan cinta antara
seorang amatir (dilettante) Tokyo dengan seorang geisha desa, yang berlangsung
di sebuah kota dengan sumber air panas yang jauh di sebelah barat dari
Pegunungan Alpen Jepang. Novel ini memantapkan Kawabata sebagai salah satu
pengarang terkemuka Jepang dan langsung menjadi sebuah klasik, yang digambarkan
oleh Edward G. Seidensticker "barangkali (merupakan) adikarya
Kawabata".
Setelah
berakhirnya Perang Dunia II, suksesnya berlanjut dengan novel-novel seperti
Seribu Burung Bangau (sebuah cerita tentang cinta yang bernasib malang), Suara
Gunung, Rumah Perawan, Kecantikan dan Kesedihan, dan Ibu kota Lama .
Buku
yang ia sendiri anggap sebagai karyanya yang terbaik adalah Empu Go (1951)
adalah sebuah kontras yang tajam dengan karya-karyanya yang lain. Ini adalah
sebuah kisah setengah fiksi tentang sebuah pertandingan besar Go pada 1938,
yang benar-benar dilaporkannya dalam kelompok surat kabar Mainichi. Ini adalah
permainan terakhir dari karier empu Shūsai, dan ia dikalahkan oleh penantang
mudanya, dan meninggal sekitar setahun kemudian. Meskipun pada permukaannya
cerita ini mengharukan, sebagai penceritaan kembali mengenai sebuah perjuangan
puncak oleh sejumlah pembaca kisah ini dianggap sebagai paralel simbolis dari
kekalahan Jepang pada Perang Dunia II.
Sebagai
presiden P.E.N. Jepang selama bertahun-tahun setelah perang, Kawabata merupakan
kekuatan pendorong di balik penerjemahan sastra Jepang ke dalam bahasa Inggris
dan bahasa-bahasa Barat lainnya.
Kenzaburo
Oe
Kenzaburo
Oe adalah adalah tokoh besar dalam sastra Jepang modern. Karyanya, yang banyak
dipengaruhi oleh sastra Perancis dan Amerika serta teori sastra, sarat dengan
isu-isu politis, sosial, dan filosofis seperti senjata nuklir, non-konformisme
sosial dan eksistensialisme. Oe dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra pada
tahun 1994. Pada usia delapan tahun, Oe menempuh perjalanan jauh menggunakan
kereta menuju Tokyo, dan pada tahun berikutnya dia terdaftar di Departemen
Sastra Prancis di Universitas Tokyo, dimana ia menerima instruksi di bawah
bimbingan Profesor Kazuo Watanabe, seorang spesialis dalam Francois Rabelais.
Pikiran Watanabe pada humanisme, yang datang dari studi tentang Renaissance
Perancis, membantu membentuk pandangan dasar Oe tentang masyarakat dan kondisi
manusia.
Oe
mulai menulis pada tahun 1957, saat masih menjadi mahasiswa sastra Prancis di
Universitas Tokyo. Karya-karyanya dari tahun 1957, melalui 1958 - dari cerita
pendek, The Catch, yang membuatnya memenangkan Penghargaan Akutagawa, untuk
novel pertamanya, Memushiri Kouchi (1958) - menggambarkan tragedi perang yang
mencabik-cabik kehidupan indah dari seorang pemuda di pedesaan. Shisa no Ogori
(1957), sebuah cerita pendek, dan novel yang berjudul The Youth Who Came Late
(1961). Oe menggambarkan kehidupan mahasiswa di Tokyo, sebuah kota di mana
bayang-bayang gelap dari pendudukan AS masih ada. Jelas dalam karya-karya ini
mendapat pengaruh kuat dari Jean-Paul Sartre dan penulis Prancis modern
lainnya.
Oe memenangkan
penghargaan Nobel bidang kesusastraan pada tahun 1994 yang kemudian
mendorongnya untuk memulai mengejar bentuk baru dari sebuah sastra dan
kehidupan baru bagi dirinya sendiri.
Haruki
Murakami
Haruki
Murakami adalah seorang penulis dan penerjemah Jepang. Karyanya dideskripsikan
oleh Virginia Quarterly Review sebagai “mudah dimengerti, namun dalam dan
kompleks”.
Novel-novel
Haruki Murakami menggambarkan kegelisahan dan keterasingan yang dirasakan
individu dalam masyarakat Jepang modern. Tulisannya sangat dipengaruhi oleh
budaya Amerika, dipenuhi perujukan dan pengagungan pada film, musik, dan budaya
pop Barat. Karakter-karakter dalam ceritanya menerima budaya tersebut sebagai
bagian yang padu dengan kehidupan Jepang masa kini. Anak-anak muda Jepang
menggemarinya karena karya-karyanya menyuarakan apa yang mereka alami, mereka
dengan mudah mengidentifikasi diri dengan karakter dalam ceritanya, tetapi
generasi tua mengkritiknya sebagai terlalu terbaratkan. Kata mereka, Murakami
menggambarkan masyarakat Jepang secara sangat negatif.
Murakami
secara terang-terangan mendeklarasikan keinginannya untuk berbeda dari
pendahulunya. Dalam sebuah wawancara pada 1991 dia berkata, "Saya ingin
mengubah sastra Jepang dari sebelah dalam." Dia bisa disebut seorang
pemberontak dalam panorama literatur Jepang. "Kebanyakan novelis
Jepang," kata Murakami, "kecanduan pada keindahan bahasa. Saya
ingin mengubah itu."
"Menulis
dalam bahasa Jepang bagi orang Jepang mempunyai satu gaya tertentu yang kaku.
Orang harus mengikuti gaya itu. Tapi gaya saya berbeda, dengan atmosfer yang
sangat Amerika. Saya mencari gaya baru untuk pembaca Jepang dan saya pikir saya
sudah mendapat pijakan." Pijakan itu sungguh kuat jika melihat posisi yang
telah diraihnya sekarang. Novel pertama Murakami, Hear the Wind Sing, terbit
pada 1979, ketika dia masih berstatus pemilik sebuah bar jazz di Tokyo yang
didirikannya usai menamatkan studi di Waseda. Kini selusin judul buku telah
ditulisnya, lebih dari dua belas juta eksemplar bukunya beredar di Jepang, dia
telah menerima serangkaian penghargaan bergengsi, dan novelnya telah
diterjemahkan ke dalam lebih dari empat belas bahasa. A Wild Sheep Chase adalah
novelnya yang ketiga, berisi kisah aneh tentang seorang pria yang dipancing
masuk ke dunia antah-berantah yang mistis untuk mencari seekor domba misterius.
Murakami
menyebut novel ini sebagai kisah fantasi petualangan. Kritikus menyebutnya
sebagai gabungan cerita detektif dengan fabel, misteri, dan komedi di mana
mimpi, halusinasi,imajinasi liar lebih penting daripada bukti-bukti nyata.
Protagonisnya
adalah seorang pekerja di biro penerjemahan yang menandai hari-hari yang
dilewatinya lewat lagu-lagu yang didengarnya di radio. Seperti di kebanyakan
novelnya yang lain, sang protagonis hanya disebut sebagai "Boku"atau
"Watashi", yang keduanya berarti aku atau saya. Secara geografis
latar novelnya adalah Jepang, tapi pengalaman protagonis sama sekali tidak
bergantung pada tempat itu karena ceritanya dipenuhi oleh perujukan pada budaya
pop Amerika tahun 1960-an.
Lewat
novel inilah Murakami pertama kali dikenal di Amerika setelah edisi berbahasa
Inggrisnya terbit pada Oktober 1989. Buku itu segera mendapat sambutan hebat di
kalangan pembaca bahasa itu. Ulasan, wawancara dan foto besar Murakami
bermunculan di The New York Times Book Review, Washington Post, Wall Street
Journal, San Francisco Chronicle, Los Angeles Times, dan sejumlah majalah serta
jurnal sastra lain. Gaya tulisnya diperbandingkan dengan Kafka, Don DeLillo,
Tom Robbins, Chandler, Salinger, Borges, tapi kemudian diakui sebagai orisinal.
Penerbitnya di Jepang, Kodansha, menyebut baru kali ini sebuah novel Jepang
modern didiskusikan dengan begitu luas di lingkaran sastra dan penerbitan
Amerika. Tak lama kemudian novel ini terbit pula di Inggris, Prancis, Jerman,
Italia, Korea, Belanda, dan Spanyol.
Empat
kumpulan cerpen antara 1982 dan 1986, sebuah novel pada 1985, Hard Boiled
Wonderland yang meraih penghargaan prestisius Tanizaki Prize. Disusul
berturut-turut dalam jarak dua tahun oleh Norwegian Wood (1987) dan Dance,
Dance, Dance (1989) yang merupakan sekuel bagi A Wild Sheep Chase.
Secara
keseluruhan, karya Murakami dapat dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama adalah
fabel fantasi seperti A Wild Sheep Chase, yang merupakan buku ketiga dalam
sebuah trilogi. Dua buku pertama dalam trilogi ini adalah Hear the Wind Sing
(1979) dan Pinball 1973 (1974). Termasuk juga dalam kategori ini adalah Wind Up
Bird Chronicle (1994) yang menyoroti tindakan Jepang di Manchuria dalam Perang
Dunia kedua. Buku-buku dalam kategori inilah yang paling kuat mencerminkan
kecenderungan surelisme dan realisme magis Murakami.
Kategori
kedua adalah kisah cinta seperti Norwegian Wood, sebuah novel yang melambungkan
kepopulerannya. Para kritikus menyebut kepopuleran novel ini adalah karena
tokoh utamanya terlalu banyak melakukan hubungan seks dan membicarakan soal itu
secara sangat ringan dan terbuka. Bagi Murakami sendiri, Norwegian Wood
merupakan buku yang unik karena ditulis dalam gaya realisme murni dan sangat
linear. Dia menyukai buku itu tapi tidak berencana menulis lagi dalam gaya
seperti itu. Karyanya yang juga termasuk dalam kategori kedua ini adalah
Sputnik Sweetheart (2001).
Kategori
ketiga adalah buku-buku nonfiksi, Underground (1998) dan After the Quake
(2000). Kedua buku ini ditulisnya sebagai respons terhadap dua kejadian penting
yang menimpa Jepang: serangan gas sarin oleh kelompok kultus Aum Shinrikyo
terhadap penumpang kereta bawah tanah di Tokyo pada 1995 dan gempa besar di
Kobe pada 1997. Kedua peristiwa itu terjadi ketika Murakami berada di
"pengasingannya", menulis di Yunani dan menjadi pengajar tamu pada
Universitas Princeton dan Tufts. Dia merasa harus memperlihatkan kepeduliannya
pada kejadian besar itu.
Untuk
menulis Underground Murakami mewawancara sekitar 65 orang penumpang kereta
bawah tanah yang diserang itu. Dalam proses itu dia menemukan pengenalan baru
tentang negerinya, tentang para pekerja keras yang berdesak-desakan setiap pagi
di dalam gerbong kereta. "Saya mengagumi mereka," katanya.
"Tapi tak ingin menjadi seperti mereka." After the Quake merupakan
kumpulan cerita pendek yang menelusuri apa yang terjadi pada keluarga keluarga
di Kobe setelah gempa besar itu. Kedua buku ini seperti menunjukkan perubahan
pada diri Murakami, dari seorang yang ingin menjauh menjadi seorang yang
kembali ke komitmen pada negerinya.