Periode
antara pergantian abad dan dominisasi militerisme pada tahun 1930-an,
memproduksi tiga penulis besar, yaitu Mori Ōgai, Natsume Soseki dan
Ryunosuke Akutagawa.
Mori
Ogai
Mori
Ogai adalah novelis Jepang, penerjemah, kritikus, sekaligus dokter militer,
peneliti kedokteran, dan seorang birokrat. Setelah lulus sebagai dokter,
Mori diterima di korps dokter militer angkatan darat, dan belajar ke Jerman
selama 4 tahun atas biaya negara. Sepulangnya dari Jerman, Mori menerbitkan
antologi puisi terjemahan berjudul Omokage dan novel Maihime (Dancing Girl).
Improvisatoren (The Improvisatore: or, Life in Italy) oleh Hans Christian
Andersen diterjemahkannya sebagai Sokkyō Shijin. Moori terinspirasi oleh sastra
Jerman dan memainkan peran utama dalam gerakan sastra Jepang romantis.
Mori mulai aktif sebagai penulis sejak menerbitkan majalah Shigarami
Sōshi. Setelah diangkat sebagai Inspektur Jenderal Korps Dokter Militer
Angkatan Darat, Mori menghentikan kegiatan tulis menulis untuk sementara. Namun
setelah terbitnya majalah Subaru, ia kembali menulis dan menghasilkan
karya-karya, seperti: Wita Sekusuarisu (vita sexualis) dan Gan (The Wild Geese). Novel Okitsu Yagoemon no Isho ditulisnya setelah peristiwa junshi yang dilakukan Nogi Maresuke. Sejak itu pula, Moori menulis novel yang bertemakan sejarah, seperti Abe Ichizoku, Takasebune, dan biografi tokoh sejarah Shibue Chūsai. Sebagai birokrat, Mori menjabat direktur Museum Kekaisaran (sekarang Museum Nasional Tokyo, Museum Nasional Nara, dan Museum Nasional Kyoto), serta direktur pertama dari Akademi Seni Kekaisaran (sekarang Japan Art Academy). Karena banyaknya ilmu pengetahuan yang dikuasainya, Moori Ogai dijuluki Teebesu Hyakuman no Taito (Seratus pintu kota Tebes). Novel The Wild Geese (1912) menjadi karya terbaik yang ia tulis. Novel tersebut menggambarkan kisah pedih tentang cinta yang tidak terpenuhi, dengan latar belakang perubahan sosial yang dramatis yang datang dengan jatuhnya rezim Meiji, tokoh wanita muda dalam novel tersebut dipaksa menjadi kekasih dari seorang lintah darat karena kemiskinannya.
karya-karya, seperti: Wita Sekusuarisu (vita sexualis) dan Gan (The Wild Geese). Novel Okitsu Yagoemon no Isho ditulisnya setelah peristiwa junshi yang dilakukan Nogi Maresuke. Sejak itu pula, Moori menulis novel yang bertemakan sejarah, seperti Abe Ichizoku, Takasebune, dan biografi tokoh sejarah Shibue Chūsai. Sebagai birokrat, Mori menjabat direktur Museum Kekaisaran (sekarang Museum Nasional Tokyo, Museum Nasional Nara, dan Museum Nasional Kyoto), serta direktur pertama dari Akademi Seni Kekaisaran (sekarang Japan Art Academy). Karena banyaknya ilmu pengetahuan yang dikuasainya, Moori Ogai dijuluki Teebesu Hyakuman no Taito (Seratus pintu kota Tebes). Novel The Wild Geese (1912) menjadi karya terbaik yang ia tulis. Novel tersebut menggambarkan kisah pedih tentang cinta yang tidak terpenuhi, dengan latar belakang perubahan sosial yang dramatis yang datang dengan jatuhnya rezim Meiji, tokoh wanita muda dalam novel tersebut dipaksa menjadi kekasih dari seorang lintah darat karena kemiskinannya.
Kesusatraan
Jepang dalam aliran naturalisme tumbuh berkembang akibat dari pengaruh
pengarang Perancis bernama Emile Zola. Titik tolak dalam aliran ini terjadi
saat munculnya sebuah buku yang berjudul Ishibigaku. Shimazaki Tooson memulai
karirnya sebagai penyair yang memperkenalkan karya-karyanya melalui media
kesusastraan bernama Bungakukai. Shimazaki Tooson merupakan nama pena. Nama
aslinya adalah Shimazaki Haruki. Shimazaki Tooson ialah seorang penulis Jepang
yang aktif di era Meiji, Taisho dan Showa periode awal Jepang.
Shimazaki
Toson
Novel
pertamanya Hakai (melanggar petuah) diterbitkan pada tahun 1906. Novel tersebut
merupakan novel bergaya naturalisme pertama di Jepang karena dianggap sebagai
peristiwa penting dalam realisme Jepang. Hakai melukiskan tentang rahasia
pribadi manusia modern yang mengalami kehidupan yang resah karena harus
menyembunyikan rahasia tetapi berakhir dengan bentuk pengakuan pelakunya. Novel
keduanya, Haru, diterbitkan pada tahun 1908. Haru merupakan sebuah cerita
otobiografi sentimental yang penuh dengan kebahagiaan saat bersama dengan
kelompok penulis Bungakukai. Novel ketiganya, Ie, diterbitkan pada tahun
1910-1911. Novel tersebut banyak dianggap sebagai masterpiece dari Shimazaki
Toson. Ie menggambarkan tentang kemunduran yang bergerak lambat dari dua
keluarga provinsi yang berhubugan dengan peran utama. Lalu, Toson, menciptakan
skandal besar dengan novil berikutnya, Shinsei, yang diterbitkan pada tahun
1918-1919. Shinsei merupakan sebuah karya yang lebih emosional daripada Ie yang
menceritakan tentang otobiografinya yang memiliki hubungan di luar pernikahan
dengan keponakannya, Komako, dan ayahnya Komako (yang merupakan kakak tertua
Toson) mengetahui tentang hubungan asmara mereka, tapi menyembunyikannya.
Ketika Komako hamil, Toson melarikan diri ke Perancis, meninggalkan Koamko,
untuk menghindari konfrontasi dengan keluarganya. Toson mencoba
membenarkan perilakunya dengan mengungkapkan bahwa ayahnya telah melakukan dosa
yang sama dan bahwa ia tidak bisa menghindari kutukan dari garis
keturunannya. Masyarakat umum tidak melihatnya seperti itu (tidak setuju
dengan apa yang Toson lakukan) dan Toson dikecam dari berbagai bidang karena
kelakuannya yang vulgar dan kotor dengan mencoba memanfaatkan insiden
memalukan tersebut dengan mengubahnya menjadi sebuah novel.
Setelah kembali ke
Jepang, Toson diterima mengajar di Universitas Waseda dengan mengajar tentang
surat kabar. Dia kemudian menulis Yoake Mae (夜明け 前, 1929-1935), sebuah novel sejarah tentang
Restorasi Meiji dari sudut pandang seorang aktivis lokal di sekolah Hirata
Atsutane, Kokugaku. Sang pahlawan, Aoyama Hanzo, merupakan representasi
terselubung dari ayah Toson, Shimazaki Masaki. Setelah menyambut pemulihan
pemerintahan langsung oleh Kaisar, sebagai
pemulihan tradisi nasional Jepang,
pemeran utama akhirnya mati dalam kepahitan dan kekecewaan. Yoake mae
sendiri telah diterbitkan di majalah sastra Chuo kōron selama enam tahun dan
kemudian dirilis sebagai novel dalam dua bagian. Pada tahun 1943, ia
mulai serialisasi Tohou no mon (東方の門), sebuah sekuel
Yoake mae, tapi itu belum selesai ketika Toson meninggal karena stroke pada
usia 71, tahun 1943.
Nagai
Kafuu
Nagai
Kafuu, nama samaran dari Nagai Sokichi, noveli Jepang yang sangat kuat
mengidentifikasi diri dengan Tokyo dan masa lalu pramodern-nya. Sebagai pemuda
yang sering melakukan pemberontakan, Kafuu gagal dalam menyelesaikan belajarnya
di universitas dan dikirim ke luar negeri pada tahun 1903 hingga 1908. Sebelum
dia diberangkatkan keluar negeri, Kafuu telah menghasilkan tiga buah novel yang
mendapat pengaruh naturalisme dari sastra Perancis. Nagai Kafuu memulai
karirnya sebagai pengarang naturalisme setelah kembali dari luar negeri. Ia
menulis buku berjudul Amerika Monogatari, Furansu Monogatari. Untuk
membangkitkan kembali perasaan mencintai Jepang zaman dahulu, Kafuu yang
tertarik dengan pribadi manusia pada zaman Edo, mengambil tema dunia geisha
yang ditulis dalam novelnya yang berjudul Sumida Gawa(1911), sebuah novel
tentang hilangnya masa lalu ramah di kota Tokyo. Untuk beberapa tahun
setelah ia kembali, Kafu adalah seorang profesor di Universitas Keio di Tokyo
dan pemimpin dari dunia sastra. Setelah pengunduran dirinya pada tahun 1916,
sebuah catatan dendam yang kuat dari apa yang telah dilakukan dunia modern
terhadap kota tua datang kedalam karyanya.
Selama
Perang Dunia II, jumlah literatur Jepang diterbitkan terbatas karena sensor
ekstrim dari pemerintah untuk mendorong seniman dan penulis untuk mengarahkan
fokus mereka terhadap upaya perang. Meskipun sangat sedikit karya yang
diterbitkan selama perang, Nagai Kafu menjadi salah satu pemberontak yang
menentang pemerintah dan terus menulis. Akibatnya, ia mampu mempertahankan
statusnya sebagai novelis populer di sepanjang perang. Kafu terus menulis
dan menulis buku harian sampai kematiannya pada tahun 1959. Edisi dari
karya-karyanya dikumpulkan dan diterbitkan oleh Iwanami Shoten pada 1990-an
hingga mencapai 30 volume.
Tanizaki Junichiro
Tanizaki
Junichiro adalah novelis dan penulis cerpen Jepang yang aktif mulai dari
akhir zaman Meiji hingga pasca-Perang Dunia II. Sebagian karyanya menampilkan
dunia seksualitas yang mengejutkan dan obsesi erotis yang destruktif. Sebagian
dari karyanya yang tidak begitu sensasional, menggambarkan secara halus
kehidupan keluarga dalam konteks perubahan yang sangat cepat dalam masyarakat
Jepang abad ke-20. Cerita yang ditulisnya sering mengisahkan pencarian
identitas budaya yang membanding-bandingkan budaya Jepang dan budaya
Barat. Nama Tanizaki menjadi terkenal untuk pertama kalinya setelah
menerbitkan cerpen Shisei (The Tattooer) pada tahun 1910. Dalam cerita
tersebut, seorang seniman rajah menggambar seekor laba-laba besar di atas tubuh
seorang wanita muda yang cantik. Setelah dirajah, kecantikan wanita itu berubah
menjadi kekuatan kejam dan agresif, bagaikan perpaduan erotisisme dengan sado
masokisme. Tema-tema femme fatale kembali diulanginya dalam banyak karya-karya
awal Tanizaki, termasuk di antaranya: Kirin (1910), Shonen ("The
Children", 1911), Himitsu ("The Secret," 1911), dan Akuma
("Devil", 1912).
Di
antara karya-karya lain Tanizaki yang diterbitkan pada zaman Taishō adalah
Shindo (1916) dan Oni no men (1916), yang sebagian berupa autobiografi.
Tanizaki menikah pada tahun 1915, namun pernikahan tersebut tidak membawa
kebahagiaan. Ia bahkan menyuruh istrinya, Chiyoko untuk menyeleweng dengan Sato
Haruo yang rekan sesama penulis sekaligus seorang sahabat Tanizaki. Tekanan
psikologis waktu itu tercermin dalam beberapa karya-karya awalnya, termasuk
drama panggung Aisureba Koso (Because I Love Her, 1921) dan novel Kami to Hito
no Aida (Between Men and the Gods, 1924). Walaupun inspirasi beberapa tulisan
kemungkinan berasal dari orang-orang di seputarnya dan kejadian yang dialaminya
selama hidup, karya-karya Tanizaki jauh dari karangan bersifat autobiografi
seperti halnya sebagian besar karya penulis seangkatan di Jepang.
Reputasi
Tanizaki mulai mencuat mengikuti kepindahannya ke Kyoto setelah gempa bumi
besar Kanto, 1 September 1923. Gempa yang menghancurkan gedung-gedung
bersejarah dan kawasan permukiman di Tokyo menyebabkan minat dirinya berubah.
Dari kecintaan sesaat terhadap dunia Barat dan modernitas, Tanizaki beralih
kepada estetisisme, sejarah, Buddhisme, dan budaya Jepang, terutama kebudayaan
daerah Kansai (Osaka, Kobe, Kyoto). Novel pertama yang ditulisnya pascagempa
adalah Chijin no ai (Naomi, 1924-1925). Novel tersebut adalah novel pertama
darinya yang betul-betul laris, berkisah tentang wanita muda yang independen,
obsesi seksual, dan identitas budaya. Novel Manji (Quicksand, 1928–1929)
mengisahkan lesbianisme dua wanita modern dari kalangan atas di Osaka. Ia
bahkan memerlukan para asisten yang membantunya menguasai dan menulis novel
dalam dialek Osaka. Karya selanjutnya adalah Tade kuu mushi (Some Prefer
Nettles, 1928–1929) yang mengisahkan penemuan diri secara bertahap dari seorang
pria Tokyo yang tinggal dekat Osaka, sehubungan dengan modernisasi pengaruh
budaya Barat dan tradisi Jepang. Yoshinokuzu (Arrowroot, 1931) dipengaruhi
bunraku dan teater kabuki sementara mengadaptasi teknik narasi seperti narasi
gaya Eropa. Eksperimentasi dengan gaya naratif diteruskannya dengan Ashikari
(The Reed Cutter, 1932), Shunkinsho (A Portrait of Shunkin, 1933), dan beberapa
karya lain yang memadukan estetisisme tradisional dengan obsesi khas Tanizaki.
Kebangkitan
kembali minat Tanizaki dalam sastra klasik Jepang berpuncak pada penerjemahan
novel klasik abad ke-11, Hikayat Genji ke dalam bahasa Jepang modern di tengah
berlangsungnya Perang Pasifik. Ia juga menulis novel yang kemudian menjadi
adikarya Tanizaki, Sasameyuki (A Light Snowfall), diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris sebagai The Makioka Sisters (1943–1948). Novel tersebut menceritakan empat
anak perempuan dari keluarga pedagang kaya di Osaka yang menyaksikan gaya hidup
mereka yang elegan makin memburuk pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia II
(1930-an). Keluarga Makikoka sebelumnya terbiasa hidup dalam gaya kosmopolitan,
memiliki teman dan bertetangga dengan orang Eropa, namun tanpa menderita krisis
identitas budaya seperti lazim terjadi pada tokoh-tokoh ciptaan Tanizaki.
Shôshō
Shigemoto no Haha (Captain Shigemoto's Mother, 1949–1950) adalah karya utama
Tanizaki yang pertama pasca-Perang Dunia II. Ia kembali mengangkat tema yang
lazim ditampilkannya, yakni kerinduan seorang anak laki-laki terhadap sosok
ibu. Novel ini juga memperkenalkan tema baru berupa masalah seksualitas
kalangan lanjut usia. Tema serupa kemudian ditampilkannya kembali dalam
karya-karya berikut, seperti Yume no ukihashi (1959, Jembatan Impian) dan Kagi
(The Key, 1956). Kagi ditulisnya sebagai novel psikologis yang mengerikan.
Seorang dosen bahasa Inggris yang sudah tua mengatur istrinya untuk menyeleweng
bersama lelaki muda agar hasrat seksual dirinya yang sudah loyo dapat pulih.
Tokoh-tokoh
ciptaan Tanizaki sering dimotivasi oleh kegandrungan terhadap nafsu erotis.
Dalam salah satu dari novel terakhirnya, Futen Rojin Nikki (Diary of a Mad Old
Man, 1961–1962), penulis buku harian menjadi lumpuh akibat stroke setelah
mengalami rangsangan seksual berlebihan. Orang tua yang menulis buku harian
itu, mencatat semua hasratnya pada masa lalu, serta usaha-usaha yang sedang
dilakukan untuk menyuap menantu dengan perhiasan murah karena minat fetisme
terhadap kaki menantu.
Sebagian
besar dari karya-karya Tanizaki mengeksploitasi sensualitas, dan beberapa di
antaranya secara khusus membahas erotisisme. Hampir semua karyanya dihiasi
dengan ironi dan kalimat yang cerdas. Walaupun terutama dikenal sebagai penulis
cerpen dan novel, Tanizaki adalah penulis serba bisa yang juga menulis puisi,
drama, dan esai.
Natsume
Soseki
Natsume
Soseki adalah salah satu tokoh besar dalam kesusastraan modern Jepang yang
tidak sepaham dengan aliran naturalis Jepang. Natsume Soseki dan Mori Ogai
merupakan pelopor yang memberi cahaya terang dalam kesusastraan modern Jepang
dengan kritik yang bersifat ilmiah dan etik.
Natsume
Soseki sebenarnya adalah nama pena dari Natsume Kinnosuke. Natsume Soseki
adalah novelis Jepang, ahli sastra Inggris, sekaligus penulis esai yang hidup
di zaman Meiji hingga zaman Taisho. Sebagian besar novelnya sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris, termasuk Wagahai wa Neko de aru (I Am a Cat) dan
Kokoro (Rahasia Hati). Dari tahun 1984 hingga 2004, potretnya menghiasi uang
kertas pecahan 1000 yen. Natsume Soseki dijuluki Yoyuha (Grup santai karena
berkecukupan), Kotoha (Transendentalis) dan Haikaha (Pengarang yang puitis).
Kesuksesan karya Soseki dimulai dari novel Wagahai wa Neko de Aru yang
berbentuk satire dan novel Kusa Makura (bantal rumput).
Kontak
pertama Soseki dengan dunia sastra selain Jepang adalah di tahun 1881 ketika
ia, di usia 14 tahun, selama setahun mempelajari sastra Cina di sekolah.
Kecintaan Soseki pada sastra Cina menetap dalam dirinya sepanjang hidup, dan
pengaruhnya terkadang bisa dilihat dalam karya-karyanya. Ditahun 1882, Soseki
menyatakan keinginan untuk menjadikan sastra sebagai karier, namun kakak
tertuanya menentang niat ini. Walaupun begitu, Soseki tetap masuk ke Departemen
Sastra Inggris Tokyo Imperial University di tahun 1890.
Selama
periode Meiji, kaum intelektual Jepang merasa mempelajari berbagai pengetahuan
dunia Barat demi membantu pembangunan negeri merupakan kewajiban mereka. Soseki
bukanlah perkecualian dan semangat memperoleh pengetahuan dalam salah satu
aspek peradaban Barat-lah yang menuntunnya menekuni sastra Inggris.
Di
tahun 1895, Soseki lulus dari Imperial University, kemudia pergi ke Shikoku
untuk menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah Matsuyama, yang kemudian
menjadi setting dalam novel Botchan. Ketika di Inggris, Soseki lebih dikenal
sebagai seorang pelajar daripada penulis, meskipun dia memang banyak menulis
puisi dan haiku dalam bahasa Cina. Namun setelah kembali ke Jepang, sambil
terus mencari beasiswam Soseki beralih menulis novel, dan menjadi salah satu
penulis terbesar dalam sejarah kesusastraa Jepang.
Novel
pertama Soseki merupakan satir sosial berjudul Wagahai wa Neko de Aru (I am
Cat). Novel ini diterbitkan di tahun 1905. Didorong kesuksesan karya ini,
Soseki menerbitkan novel keduanya, Botchan, di tahun 1906. Buku ini pun menjadi
sangat terkenal, dan terus menjadi favorit para pembaca Jepang.
Musim panas 1910,
Sōseki sakit parah dan menyepi di kuil Shuzen-ji, Izu. Karyanya setelah sembuh
adalah Kojin (The Wayfarer), Kokoro (Rahasia Hati), dan Garasudo no Uchi
(Inside My Glass Doors). Karya terakhirnya, Meian (Light and
Darkness) dimuat bersambung di Asahi Shimbun, namun tidak selesai.
Masakichi
Suzuki
Masakichi Suzuki adalah penulis Jepang yang banyak menulis
cerita anak, dan dikenal sebagai Bapak Bacaan Anak di Jepang. Literatur
klasik Kojiki dirangkumnya menjadi Kojiki Monogatari (Hikayat Kojiki) dengan
bahasa yang mudah dimengerti anak-anak. Sejak dimuat bersambung dalam majalah
Akai Tori pada tahun 1920, Hikayat Kojiki sudah beberapa kali diterbitkan
ulang, dan disenangi orang dewasa karena mudah dimengerti. Majalah ini selain memuat
novel anak-anak, juga memuat cara menulis huruf indah sehingga digemari oleh
anak-anak dan remaja.
Sejak
di bangku sekolah menengah, Suzuki sudah senang menulis. Cerita yang ditulisnya
dengan nama pena Eizan sering dimuat majalah Shōkokumin dan Shinsei. Di kelas 2
SMP, sejumlah cerita anak yang ditulisnya, seperti Ahō Hato dimuat dalam
majalah Shōnen Kurabu. Sewaktu masih di bangku kuliah, Suzuki menderita sakit
dan pergi beristirahat ke Pulau Nōmi di lepas pantai Prefektur Hiroshima.
Pengalamannya selama di sana dituangkan dalam cerpen berjudul Chidori. Natsume
Sōseki memuji cerpen tersebut, dan mengusulkannya untuk dimuat dalam majalah
Hototogisu. Sejak itu pula, Suzuki menjadi salah seorang murid Sōseki dan
menerima bimbingan dalam bidang tulis menulis.
Setelah
lulus kuliah, Suzuki terus menulis sambil bekerja sebagai guru bahasa Inggris
di sekolah menengah pertama. Novelnya yang berjudul Kuwa no Mi dimuat
bersambung di harian Kokumin Shimbun dari 25 Juli hingga 15 November 1913, dan
namanya mulai terkenal sebagai novelis. Novel tersebut juga diterbitkan
penerbit Shunyōdō pada bulan Januari tahun berikutnya. Namun setelah itu,
Suzuki mengalami kebuntuan, dan berhenti menulis novel sejak tahun 1915. Pada
tahun berikutnya, Suzuki beralih menjadi penulis bacaan anak setelah menulis
cerita untuk anak perempuannya.
Pada
tahun 1918, Suzuki menerbitkan majalah sastra anak Akai Tori (Burung Merah),
dan teman-temannya sesama sastrawan diminta untuk menyumbangkan tulisan.
Ryūnosuke Akutagawa menyumbangkan cerita anak-anak berjudul Kumo no Ito (Jaring
Laba-laba), sedangkan Takeo Arishima dengan Hitofusa no Budō (Setangkai Buah
Anggur). Kitahara Hakushū menyumbangkan lagu anak-anak, sedangkan Osanai Kaoru
dan Kubota Mantarō menyumbangkan naskah sandiwara anak-anak. Penulis bacaan
anak seperti Jōji Tsubota dan Nankichi Niimi juga sering menulis untuk majalah
Akai Tori.
Setelah
terbit 196 edisi selama 17 tahun, penerbitan Akai Tori terhen
ti pada tahun 1936
setelah Suzuki meninggal dunia. Di masa jayanya, Akai Tori dikabarkan beroplah
lebih dari 30 ribu eksemplar. Jumlah pembacanya diperkirakan jauh lebih banyak
lagi. Majalah yang dibeli sekolah dan perkumpulan pemuda desa umumnya dibaca
secara bergiliran.
Sejak
tahun 1948, nama Masakichi Suzuki diabadikan dalam bentuk Penghargaan
Miekichi Suzuki. Penghargaan ini diberikan untuk anak-anak Jepang yang
pandai mengarang.
Akutagawa
Ryunosuke
Akutagawa
Ryunosuke adalah murid Soseki yang berbakat yang memulai karirnya dari sebuah
majalah. Akutagawa merupakan sastrawan Jepang yang dikenal sebagai penulis
novel pendek dan cerpen. Sebagian besar karyanya berupa cerpen, seperti
Imogayu, Yabu no Naka (Dalam Belukar ), Jigokuhen, dan Haguruma. Cerpen-cerpen
tersebut diangkat dari kisah-kisah yang terdapat dalam naskah kuno seperti
Konjaku Monogatarishū dan Uji Shūi Monogatari. Selain itu, Akutagawa juga
menulis cerita untuk anak-anak, misalnya: Kumo no Ito (Jaring Laba-laba) dan
Toshishun. Hana merupakan novel satire yang mengambil bahan dari cerita klasik.
Akutagawa tidak pernah menulis novel panjang. Novelnya yang
berjudul Jashūmon dan Rojō tidak pernah diselesaikannya.
Saat
kuliah, Akutagawa dan teman-temannya, Kan Kikuchi dan Masao
Kume, menghidupkan untuk yang ke-3 kalinya majalah sastra Shinshichō (Arus
Pemikiran Baru). Akutagawa mengisi majalah tersebut dengan
terjemahan karya Anatole France (Balthasar) dan Yeats (The Heart of
the Spring). Pada waktu itu, Akutagawa memakai nama pena Yanagigawa Ryūnosuke.
Kariernya sebagai penulis dimulai dengan cerpen berjudul Rōnen yang sempat
dimuat Shinshichō sebelum kembali berhenti terbit di bulan Oktober tahun yang
sama. Cerita pendek yang menjadi salah satu adikaryanya, Rashōmon dimuat
dalam majalah Teikoku Bungaku bulan Oktober 1915. Sejak itu pula, nama
Akutagawa Ryūnosuke mulai digunakannya sewaktu menulis. Pada tahun 1916,
Akutagawa kembali menghidupkan kembali Shinshichō untuk ke-4 kalinya dengan tim
redaksi yang hampir sama dengan penerbitan sebelumnya. Setelah kembali terbit,
edisi perdananya memuat cerpen berjudul Hana (Hidung) yang mendapat pujian dari
Sōseki.
Pada
bulan April 1927 terjadi polemik antara Akutagawa dengan Jun'ichirō Tanizaki
akibat transkrip yang dimuat majalah Shinchō. Transkrip tersebut adalah hasil panel
diskusi sastra yang diadakan Akutagawa bersama rekan-rekannya, dan di antaranya
membahas karya Tanizaki. Cerita fiksi Tanizaki dikritik sebagai cerita yang
memiliki plot menarik, namun cara penyajiannya tidak bagus. Tanizaki membela
diri dengan serangkaian tulisan yang diterbitkan majalah sastra Kaizō.
Akutagawa membalas pembelaan tersebut dengan seri kritik sastra Bungei teki na,
amari ni Bungei teki na (Sangat Sastra, Terlalu Sastra Sekali) yang dimuat
majalah Kaizō. Sebagai pembanding, Akutagawa memuji Naoya Shiga dalam cara
penyajian cerita walaupun plotnya "Tidak ada cerita penting yang
diceritakan" ("Hanashirashii hanashi no nai"). Setelah
menyelesaikan penulisan Zoku Saihō no Hito, pada dini hari 24 Juli 1927,
Akutagawa bunuh diri dengan menelan obat tidur dalam dosis fatal.
Arishima
Takeo
Arishima
Takeo adalah seorang novelis Jepang, penulis cerita pendek dan essay pada
periode Meiji akhir dan Taisho. Arishima mencapai ketenaran untuk pertama
kalinya pada tahun 1917 dengan karya Kain no Mutsume, yang menggambarkan
kutukan Dewa pada kedua manusia dan alam melalui mata perusak diri sendiri dari
seorang petani penyewa. Pada tahun 1919, dia menerbitkan karyanya yang paling
terkenal, Aru Onna. Sebuah melodrama moral dan psikologis tentang seorang
wanita-berkemauan keras yang berjuang melawan masyarakat yang didominasi oleh
laki-laki munafik.
Hideo Yamanouchi
Satomi
Ton adalah nama pena dari penulis Jepang yang dikenal dari keahliannya dari
dialog dan perintah dalam bahasa Jepang. Nama aslinya adalah Hideo Yamanouchi.
Satomi menjadi murid Kyouka Izumi setelah karya-karyanya sampai pada perhatian
dari novelist yang lebih tua. Satomi berusaha keras untuk tetap jauh dari
setiap kelompok sastra tertentu atau sekolah politik sepanjang karirnya. Dia
adalah seorang penulis produktif yang dikenal untuk karya otobiografinya dan
promosi nilai-nilai murni sastra. Di barat, dia terkenal luas karena Tsubaki,
sebuah cerita pendek yang ditulis setelah gempa bumi besar di Kanto tahun 1923,
yang datang beberapa bulan setelah bunuh diri kakaknya, Arishima Takeo. Pada
tahun 1959, Satomi menerima The Order of Culture dari pemerintahan Jepang.
Karya utama Satomi Ton meliputi Zen Shin Aku Shin (Good Heart Evil Heart), Tajo
Busshin (The Caompassion of Buddha, 1922-1923), Anjo Ke no Kyoudai (The Anjo
Brothers), Gokuraku Tonbo (A Carefree Fellow, 1961).
Naoya
Shiga
Naoya
Shiga adalah seorang novelis Jepang dan penulis cerita pendek yang aktif selama
periode Taisho dan Showa Jepang. Saat Shiga berada di Gakushuin Peer School dia
berteman dengan Saneatsu Mushanokuoji dan Kinoshita Rigen. Karir sastranya
dimulai dengan tulisan tangan di majalah sastra Boya ("Perspektif"),
yang diedarkan dalam kelompok sastra mereka di sekolah. Pada tahun 1910 Shiga
mengkontribusikan cerita Abashiri ("Untuk Abashiri") untuk edisi
pertama majalah sastra Shirakaba ("White Birch"). Dalam karya-karya
lama, Shiga umumnya berpegang pada bentuk Novel Sastra Asli (Novel Aku), yang
menggunakan ingatan subjektif penulis dari pengalamannya sendiri, tapi ia
mendirikan reputasinya dengan sejumlah cerita pendek, termasuk Kamisori
("The Razor", 1910), Seibei no hyotan ("Seibei dan Labu",
1913) dan Manazuru ("Manazuru", 1920). Dan diikuti oleh beberapa
novel, termasuk Otsu Junkichi (1912), Wakai ("Rekonsiliasi", 1917),
dan karya besar, An'ya Koro ("Passing save Dark", 1921-1937), yang
ditulis secara bersambung secara radikal dalam majalah sosialis KAIZO.
Shiga
Naoya merupakan pengarang yang memiliki sifat keras, menjunjung tinggi
kesusilaan dan menentang ketidak adilan. Dia mempunyai pandangan tersendiri
tentang kehidupan yang didasari humanism. Gaya penulisannya realis dan condong
pada Shinkyo Shousetsu (novel psikologis). Gaya tegas ini banyak mempengaruhi
penulis di Jepang dan dipuji oleh penulis Akutagawa Ryunosuke dan Agawa
Hiroyuki. Namun penulis lain yang hidup sezaman dengannya, terutama Dazai
Osamu, sangat kuat mengkritisi gaya penulisan Shiga Naoya yang terkesan
‘tulus’. Selama hidupnya, Shiga pindah rumah hampir 20 kali. Dia menulis cerita
yang terhubungan dengan sebuah tempat tinggal, termasuk cerpen Di Kinosaki
(Kinosaki ni te), dan Sasaki no Bai (Dalam Kasus Sasaki). Cerpen-cerpen yang
dia tulis seperti Wakai (Rujuk) dan lainnya, memiliki tema cerita yang diangkat
dari kegetiran hidup tetapi kemudian berkembang kearah pemurnian jiwa.