Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Senin, 09 Maret 2015

Sejarah Sastra Jepang Modern Bagian II

Periode antara pergantian abad dan dominisasi militerisme pada tahun 1930-an, memproduksi tiga penulis besar, yaitu Mori Ōgai, Natsume Soseki dan  Ryunosuke Akutagawa.

Mori Ogai

Mori Ogai adalah novelis Jepang, penerjemah, kritikus, sekaligus dokter militer, peneliti kedokteran, dan seorang birokrat. Setelah lulus sebagai dokter, Mori diterima di korps dokter militer angkatan darat, dan belajar ke Jerman selama 4 tahun atas biaya negara. Sepulangnya dari Jerman, Mori menerbitkan antologi puisi terjemahan berjudul Omokage dan novel Maihime (Dancing Girl). Improvisatoren (The Improvisatore: or, Life in Italy) oleh Hans Christian Andersen diterjemahkannya sebagai Sokkyō Shijin. Moori terinspirasi oleh sastra  Jerman dan memainkan peran utama dalam gerakan sastra Jepang romantis. Mori mulai aktif sebagai penulis sejak menerbitkan majalah Shigarami Sōshi. Setelah diangkat sebagai Inspektur Jenderal Korps Dokter Militer Angkatan Darat, Mori menghentikan kegiatan tulis menulis untuk sementara. Namun setelah terbitnya majalah Subaru, ia kembali menulis dan menghasilkan
karya-karya, seperti: Wita Sekusuarisu (vita sexualis) dan Gan (The Wild Geese). Novel Okitsu Yagoemon no Isho ditulisnya setelah peristiwa junshi yang dilakukan Nogi Maresuke. Sejak itu pula, Moori menulis novel yang bertemakan sejarah, seperti Abe Ichizoku, Takasebune, dan biografi tokoh sejarah Shibue Chūsai. Sebagai birokrat, Mori menjabat direktur Museum Kekaisaran (sekarang Museum Nasional Tokyo, Museum Nasional Nara, dan Museum Nasional Kyoto), serta direktur pertama dari Akademi Seni Kekaisaran (sekarang Japan Art Academy). Karena banyaknya ilmu pengetahuan yang dikuasainya, Moori Ogai dijuluki Teebesu Hyakuman no Taito (Seratus pintu kota Tebes). Novel The Wild Geese (1912) menjadi karya terbaik yang ia tulis. Novel tersebut menggambarkan kisah pedih tentang cinta yang tidak terpenuhi, dengan latar belakang perubahan sosial yang dramatis yang datang dengan jatuhnya rezim Meiji, tokoh wanita muda  dalam novel tersebut dipaksa menjadi kekasih dari seorang lintah darat karena kemiskinannya.
Kesusatraan Jepang dalam aliran naturalisme tumbuh berkembang akibat dari pengaruh pengarang Perancis bernama Emile Zola. Titik tolak dalam aliran ini terjadi saat munculnya sebuah buku yang berjudul Ishibigaku. Shimazaki Tooson memulai karirnya sebagai penyair yang memperkenalkan karya-karyanya melalui media kesusastraan bernama Bungakukai. Shimazaki Tooson merupakan nama pena. Nama aslinya adalah Shimazaki Haruki. Shimazaki Tooson ialah seorang penulis Jepang yang aktif di era Meiji, Taisho dan Showa periode awal Jepang.

Shimazaki Toson

Novel pertamanya Hakai (melanggar petuah) diterbitkan pada tahun 1906. Novel tersebut merupakan novel bergaya naturalisme pertama di Jepang karena dianggap sebagai peristiwa penting dalam realisme Jepang. Hakai melukiskan tentang rahasia pribadi manusia modern yang mengalami kehidupan yang resah karena harus menyembunyikan rahasia tetapi berakhir dengan bentuk pengakuan pelakunya. Novel keduanya, Haru, diterbitkan pada tahun 1908. Haru merupakan sebuah cerita otobiografi sentimental yang penuh dengan kebahagiaan saat bersama dengan kelompok penulis Bungakukai. Novel ketiganya, Ie, diterbitkan pada tahun 1910-1911. Novel tersebut banyak dianggap sebagai masterpiece dari Shimazaki Toson. Ie menggambarkan tentang kemunduran yang bergerak lambat dari dua keluarga provinsi yang berhubugan dengan peran utama. Lalu, Toson, menciptakan skandal besar dengan novil berikutnya, Shinsei, yang diterbitkan pada tahun 1918-1919. Shinsei merupakan sebuah karya yang lebih emosional daripada Ie yang menceritakan tentang otobiografinya yang memiliki hubungan di luar pernikahan dengan keponakannya, Komako, dan ayahnya Komako (yang merupakan kakak tertua Toson) mengetahui tentang hubungan asmara mereka, tapi menyembunyikannya. Ketika Komako hamil, Toson melarikan diri ke Perancis, meninggalkan Koamko, untuk  menghindari konfrontasi dengan keluarganya. Toson mencoba membenarkan perilakunya dengan mengungkapkan bahwa ayahnya telah melakukan dosa yang sama dan bahwa ia tidak bisa menghindari kutukan dari garis keturunannya. Masyarakat umum tidak melihatnya seperti itu (tidak setuju dengan apa yang Toson lakukan) dan Toson dikecam dari berbagai bidang karena kelakuannya yang vulgar dan kotor dengan mencoba memanfaatkan insiden memalukan tersebut dengan mengubahnya menjadi sebuah novel.
Setelah kembali ke Jepang, Toson diterima mengajar di Universitas Waseda dengan mengajar tentang surat kabar. Dia kemudian menulis Yoake Mae (夜明け , 1929-1935), sebuah novel sejarah tentang Restorasi Meiji dari sudut pandang seorang aktivis lokal di sekolah Hirata Atsutane, Kokugaku. Sang pahlawan, Aoyama Hanzo, merupakan representasi terselubung dari ayah Toson, Shimazaki Masaki. Setelah menyambut pemulihan pemerintahan langsung oleh Kaisar, sebagai
pemulihan tradisi nasional Jepang, pemeran utama akhirnya mati dalam kepahitan dan kekecewaan. Yoake mae sendiri telah diterbitkan di majalah sastra Chuo kōron selama enam tahun dan kemudian dirilis sebagai novel dalam dua bagian.  Pada tahun 1943, ia mulai serialisasi Tohou no mon (東方の門), sebuah sekuel Yoake mae, tapi itu belum selesai ketika Toson meninggal karena stroke pada usia 71, tahun 1943.

Nagai Kafuu

Nagai Kafuu, nama samaran dari Nagai Sokichi, noveli Jepang yang sangat kuat mengidentifikasi diri dengan Tokyo dan masa lalu pramodern-nya. Sebagai pemuda yang sering melakukan pemberontakan, Kafuu gagal dalam menyelesaikan belajarnya di universitas dan dikirim ke luar negeri pada tahun 1903 hingga 1908. Sebelum dia diberangkatkan keluar negeri, Kafuu telah menghasilkan tiga buah novel yang mendapat pengaruh naturalisme dari sastra Perancis. Nagai Kafuu memulai karirnya sebagai pengarang naturalisme setelah kembali dari luar negeri. Ia menulis buku berjudul Amerika Monogatari, Furansu Monogatari. Untuk membangkitkan kembali perasaan mencintai Jepang zaman dahulu, Kafuu yang tertarik dengan pribadi manusia pada zaman Edo, mengambil tema dunia geisha yang ditulis dalam novelnya yang berjudul Sumida Gawa(1911), sebuah novel tentang hilangnya masa lalu ramah di kota Tokyo. Untuk beberapa tahun setelah ia kembali, Kafu adalah seorang profesor di Universitas Keio di Tokyo dan pemimpin dari dunia sastra. Setelah pengunduran dirinya pada tahun 1916, sebuah catatan dendam yang kuat dari apa yang telah dilakukan dunia modern terhadap kota tua  datang kedalam karyanya.
Selama Perang Dunia II, jumlah literatur Jepang diterbitkan terbatas karena sensor ekstrim dari pemerintah untuk mendorong seniman dan penulis untuk mengarahkan fokus mereka terhadap upaya perang. Meskipun sangat sedikit karya yang diterbitkan selama perang, Nagai Kafu menjadi salah satu pemberontak yang menentang pemerintah dan terus menulis. Akibatnya, ia mampu mempertahankan statusnya sebagai novelis populer di sepanjang perang. Kafu terus menulis dan menulis buku harian sampai kematiannya pada tahun 1959. Edisi dari karya-karyanya dikumpulkan dan diterbitkan oleh Iwanami Shoten pada 1990-an hingga mencapai 30 volume.

Tanizaki Junichiro

Tanizaki Junichiro adalah novelis dan penulis cerpen Jepang yang aktif mulai dari akhir zaman Meiji hingga pasca-Perang Dunia II. Sebagian karyanya menampilkan dunia seksualitas yang mengejutkan dan obsesi erotis yang destruktif. Sebagian dari karyanya yang tidak begitu sensasional, menggambarkan secara halus kehidupan keluarga dalam konteks perubahan yang sangat cepat dalam masyarakat Jepang abad ke-20. Cerita yang ditulisnya sering mengisahkan pencarian identitas budaya yang membanding-bandingkan budaya Jepang dan budaya Barat. Nama Tanizaki menjadi terkenal untuk pertama kalinya setelah menerbitkan cerpen Shisei (The Tattooer) pada tahun 1910. Dalam cerita tersebut, seorang seniman rajah menggambar seekor laba-laba besar di atas tubuh seorang wanita muda yang cantik. Setelah dirajah, kecantikan wanita itu berubah menjadi kekuatan kejam dan agresif, bagaikan perpaduan erotisisme dengan sado masokisme. Tema-tema femme fatale kembali diulanginya dalam banyak karya-karya awal Tanizaki, termasuk di antaranya: Kirin (1910), Shonen ("The Children", 1911), Himitsu ("The Secret," 1911), dan Akuma ("Devil", 1912).
Di antara karya-karya lain Tanizaki yang diterbitkan pada zaman Taishō adalah Shindo (1916) dan Oni no men (1916), yang sebagian berupa autobiografi. Tanizaki menikah pada tahun 1915, namun pernikahan tersebut tidak membawa kebahagiaan. Ia bahkan menyuruh istrinya, Chiyoko untuk menyeleweng dengan Sato Haruo yang rekan sesama penulis sekaligus seorang sahabat Tanizaki. Tekanan psikologis waktu itu tercermin dalam beberapa karya-karya awalnya, termasuk drama panggung Aisureba Koso (Because I Love Her, 1921) dan novel Kami to Hito no Aida (Between Men and the Gods, 1924). Walaupun inspirasi beberapa tulisan kemungkinan berasal dari orang-orang di seputarnya dan kejadian yang dialaminya selama hidup, karya-karya Tanizaki jauh dari karangan bersifat autobiografi seperti halnya sebagian besar karya penulis seangkatan di Jepang.
Reputasi Tanizaki mulai mencuat mengikuti kepindahannya ke Kyoto setelah gempa bumi besar Kanto, 1 September 1923. Gempa yang menghancurkan gedung-gedung bersejarah dan kawasan permukiman di Tokyo menyebabkan minat dirinya berubah. Dari kecintaan sesaat terhadap dunia Barat dan modernitas, Tanizaki beralih kepada estetisisme, sejarah, Buddhisme, dan budaya Jepang, terutama kebudayaan daerah Kansai (Osaka, Kobe, Kyoto). Novel pertama yang ditulisnya pascagempa adalah Chijin no ai (Naomi, 1924-1925). Novel tersebut adalah novel pertama darinya yang betul-betul laris, berkisah tentang wanita muda yang independen, obsesi seksual, dan identitas budaya. Novel Manji (Quicksand, 1928–1929) mengisahkan lesbianisme dua wanita modern dari kalangan atas di Osaka. Ia bahkan memerlukan para asisten yang membantunya menguasai dan menulis novel dalam dialek Osaka. Karya selanjutnya adalah Tade kuu mushi (Some Prefer Nettles, 1928–1929) yang mengisahkan penemuan diri secara bertahap dari seorang pria Tokyo yang tinggal dekat Osaka, sehubungan dengan modernisasi pengaruh budaya Barat dan tradisi Jepang. Yoshinokuzu (Arrowroot, 1931) dipengaruhi bunraku dan teater kabuki sementara mengadaptasi teknik narasi seperti narasi gaya Eropa. Eksperimentasi dengan gaya naratif diteruskannya dengan Ashikari (The Reed Cutter, 1932), Shunkinsho (A Portrait of Shunkin, 1933), dan beberapa karya lain yang memadukan estetisisme tradisional dengan obsesi khas Tanizaki.
Kebangkitan kembali minat Tanizaki dalam sastra klasik Jepang berpuncak pada penerjemahan novel klasik abad ke-11, Hikayat Genji ke dalam bahasa Jepang modern di tengah berlangsungnya Perang Pasifik. Ia juga menulis novel yang kemudian menjadi adikarya Tanizaki, Sasameyuki (A Light Snowfall), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai The Makioka Sisters (1943–1948). Novel tersebut menceritakan empat anak perempuan dari keluarga pedagang kaya di Osaka yang menyaksikan gaya hidup mereka yang elegan makin memburuk pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia II (1930-an). Keluarga Makikoka sebelumnya terbiasa hidup dalam gaya kosmopolitan, memiliki teman dan bertetangga dengan orang Eropa, namun tanpa menderita krisis identitas budaya seperti lazim terjadi pada tokoh-tokoh ciptaan Tanizaki.
Shôshō Shigemoto no Haha (Captain Shigemoto's Mother, 1949–1950) adalah karya utama Tanizaki yang pertama pasca-Perang Dunia II. Ia kembali mengangkat tema yang lazim ditampilkannya, yakni kerinduan seorang anak laki-laki terhadap sosok ibu. Novel ini juga memperkenalkan tema baru berupa masalah seksualitas kalangan lanjut usia. Tema serupa kemudian ditampilkannya kembali dalam karya-karya berikut, seperti Yume no ukihashi (1959, Jembatan Impian) dan Kagi (The Key, 1956). Kagi ditulisnya sebagai novel psikologis yang mengerikan. Seorang dosen bahasa Inggris yang sudah tua mengatur istrinya untuk menyeleweng bersama lelaki muda agar hasrat seksual dirinya yang sudah loyo dapat pulih.
Tokoh-tokoh ciptaan Tanizaki sering dimotivasi oleh kegandrungan terhadap nafsu erotis. Dalam salah satu dari novel terakhirnya, Futen Rojin Nikki (Diary of a Mad Old Man, 1961–1962), penulis buku harian menjadi lumpuh akibat stroke setelah mengalami rangsangan seksual berlebihan. Orang tua yang menulis buku harian itu, mencatat semua hasratnya pada masa lalu, serta usaha-usaha yang sedang dilakukan untuk menyuap menantu dengan perhiasan murah karena minat fetisme terhadap kaki menantu.
Sebagian besar dari karya-karya Tanizaki mengeksploitasi sensualitas, dan beberapa di antaranya secara khusus membahas erotisisme. Hampir semua karyanya dihiasi dengan ironi dan kalimat yang cerdas. Walaupun terutama dikenal sebagai penulis cerpen dan novel, Tanizaki adalah penulis serba bisa yang juga menulis puisi, drama, dan esai.


Natsume Soseki

Natsume Soseki adalah salah satu tokoh besar dalam kesusastraan modern Jepang yang tidak sepaham dengan aliran naturalis Jepang. Natsume Soseki dan Mori Ogai merupakan pelopor yang memberi cahaya terang dalam kesusastraan modern Jepang dengan kritik yang bersifat ilmiah dan etik.
Natsume Soseki sebenarnya adalah nama pena dari Natsume Kinnosuke. Natsume Soseki adalah novelis Jepang, ahli sastra Inggris, sekaligus penulis esai yang hidup di zaman Meiji hingga zaman Taisho. Sebagian besar novelnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, termasuk Wagahai wa Neko de aru (I Am a Cat) dan Kokoro (Rahasia Hati). Dari tahun 1984 hingga 2004, potretnya menghiasi uang kertas pecahan 1000 yen. Natsume Soseki dijuluki Yoyuha (Grup santai karena berkecukupan), Kotoha (Transendentalis) dan Haikaha (Pengarang yang puitis).  Kesuksesan karya Soseki dimulai dari novel Wagahai wa Neko de Aru yang berbentuk satire dan novel Kusa Makura (bantal rumput).
Kontak pertama Soseki dengan dunia sastra selain Jepang adalah di tahun 1881 ketika ia, di usia 14 tahun, selama setahun mempelajari sastra Cina di sekolah. Kecintaan Soseki pada sastra Cina menetap dalam dirinya sepanjang hidup, dan pengaruhnya terkadang bisa dilihat dalam karya-karyanya. Ditahun 1882, Soseki menyatakan keinginan untuk menjadikan sastra sebagai karier, namun kakak tertuanya menentang niat ini. Walaupun begitu, Soseki tetap masuk ke Departemen Sastra Inggris Tokyo Imperial University di tahun 1890.
Selama periode Meiji, kaum intelektual Jepang merasa mempelajari berbagai pengetahuan dunia Barat demi membantu pembangunan negeri merupakan kewajiban mereka. Soseki bukanlah perkecualian dan semangat memperoleh pengetahuan dalam salah satu aspek peradaban Barat-lah yang menuntunnya menekuni sastra Inggris.
Di tahun 1895, Soseki lulus dari Imperial University, kemudia pergi ke Shikoku untuk menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah Matsuyama, yang kemudian menjadi setting dalam novel Botchan. Ketika di Inggris, Soseki lebih dikenal sebagai seorang pelajar daripada penulis, meskipun dia memang banyak menulis puisi dan haiku dalam bahasa Cina. Namun setelah kembali ke Jepang, sambil terus mencari beasiswam Soseki beralih menulis novel, dan menjadi salah satu penulis terbesar dalam sejarah kesusastraa Jepang.
Novel pertama Soseki merupakan satir sosial berjudul Wagahai wa Neko de Aru (I am Cat). Novel ini diterbitkan di tahun 1905. Didorong kesuksesan karya ini, Soseki menerbitkan novel keduanya, Botchan, di tahun 1906. Buku ini pun menjadi sangat terkenal, dan terus menjadi favorit para pembaca Jepang.
Musim panas 1910, Sōseki sakit parah dan menyepi di kuil Shuzen-ji, Izu. Karyanya setelah sembuh adalah Kojin (The Wayfarer), Kokoro (Rahasia Hati), dan Garasudo no Uchi (Inside My Glass Doors).  Karya terakhirnya, Meian (Light and Darkness) dimuat bersambung di Asahi Shimbun, namun tidak selesai.


Masakichi Suzuki

Masakichi Suzuki adalah penulis Jepang yang banyak menulis cerita anak, dan dikenal sebagai Bapak Bacaan Anak di Jepang. Literatur klasik Kojiki dirangkumnya menjadi Kojiki Monogatari (Hikayat Kojiki) dengan bahasa yang mudah dimengerti anak-anak. Sejak dimuat bersambung dalam majalah Akai Tori pada tahun 1920, Hikayat Kojiki sudah beberapa kali diterbitkan ulang, dan disenangi orang dewasa karena mudah dimengerti. Majalah ini selain memuat novel anak-anak, juga memuat cara menulis huruf indah sehingga digemari oleh anak-anak dan remaja.
Sejak di bangku sekolah menengah, Suzuki sudah senang menulis. Cerita yang ditulisnya dengan nama pena Eizan sering dimuat majalah Shōkokumin dan Shinsei. Di kelas 2 SMP, sejumlah cerita anak yang ditulisnya, seperti Ahō Hato dimuat dalam majalah Shōnen Kurabu. Sewaktu masih di bangku kuliah, Suzuki menderita sakit dan pergi beristirahat ke Pulau Nōmi di lepas pantai Prefektur Hiroshima. Pengalamannya selama di sana dituangkan dalam cerpen berjudul Chidori. Natsume Sōseki memuji cerpen tersebut, dan mengusulkannya untuk dimuat dalam majalah Hototogisu. Sejak itu pula, Suzuki menjadi salah seorang murid Sōseki dan menerima bimbingan dalam bidang tulis menulis.
Setelah lulus kuliah, Suzuki terus menulis sambil bekerja sebagai guru bahasa Inggris di sekolah menengah pertama. Novelnya yang berjudul Kuwa no Mi dimuat bersambung di harian Kokumin Shimbun dari 25 Juli hingga 15 November 1913, dan namanya mulai terkenal sebagai novelis. Novel tersebut juga diterbitkan penerbit Shunyōdō pada bulan Januari tahun berikutnya. Namun setelah itu, Suzuki mengalami kebuntuan, dan berhenti menulis novel sejak tahun 1915. Pada tahun berikutnya, Suzuki beralih menjadi penulis bacaan anak setelah menulis cerita untuk anak perempuannya.
Pada tahun 1918, Suzuki menerbitkan majalah sastra anak Akai Tori (Burung Merah), dan teman-temannya sesama sastrawan diminta untuk menyumbangkan tulisan. Ryūnosuke Akutagawa menyumbangkan cerita anak-anak berjudul Kumo no Ito (Jaring Laba-laba), sedangkan Takeo Arishima dengan Hitofusa no Budō (Setangkai Buah Anggur). Kitahara Hakushū menyumbangkan lagu anak-anak, sedangkan Osanai Kaoru dan Kubota Mantarō menyumbangkan naskah sandiwara anak-anak. Penulis bacaan anak seperti Jōji Tsubota dan Nankichi Niimi juga sering menulis untuk majalah Akai Tori.
Setelah terbit 196 edisi selama 17 tahun, penerbitan Akai Tori terhen
ti pada tahun 1936 setelah Suzuki meninggal dunia. Di masa jayanya, Akai Tori dikabarkan beroplah lebih dari 30 ribu eksemplar. Jumlah pembacanya diperkirakan jauh lebih banyak lagi. Majalah yang dibeli sekolah dan perkumpulan pemuda desa umumnya dibaca secara bergiliran.
Sejak tahun 1948, nama Masakichi Suzuki diabadikan dalam bentuk Penghargaan Miekichi Suzuki. Penghargaan ini diberikan untuk anak-anak Jepang yang pandai mengarang.


Akutagawa Ryunosuke

Akutagawa Ryunosuke adalah murid Soseki yang berbakat yang memulai karirnya dari sebuah majalah. Akutagawa merupakan sastrawan Jepang yang dikenal sebagai penulis novel pendek dan cerpen. Sebagian besar karyanya berupa cerpen, seperti Imogayu, Yabu no Naka (Dalam Belukar ), Jigokuhen, dan Haguruma. Cerpen-cerpen tersebut diangkat dari kisah-kisah yang terdapat dalam naskah kuno seperti Konjaku Monogatarishū dan Uji Shūi Monogatari. Selain itu, Akutagawa juga menulis cerita untuk anak-anak, misalnya: Kumo no Ito (Jaring Laba-laba) dan Toshishun. Hana merupakan novel satire yang mengambil bahan dari cerita klasik. Akutagawa tidak pernah menulis novel panjang. Novelnya yang berjudul Jashūmon dan Rojō tidak pernah diselesaikannya.
Saat kuliah, Akutagawa dan teman-temannya, Kan Kikuchi dan Masao Kume, menghidupkan untuk yang ke-3 kalinya majalah sastra Shinshichō (Arus Pemikiran Baru). Akutagawa mengisi majalah tersebut dengan terjemahan  karya Anatole France (Balthasar) dan Yeats (The Heart of the Spring). Pada waktu itu, Akutagawa memakai nama pena Yanagigawa Ryūnosuke. Kariernya sebagai penulis dimulai dengan cerpen berjudul Rōnen yang sempat dimuat Shinshichō sebelum kembali berhenti terbit di bulan Oktober tahun yang sama. Cerita pendek yang menjadi salah satu adikaryanya, Rashōmon dimuat dalam majalah Teikoku Bungaku bulan Oktober 1915. Sejak itu pula, nama Akutagawa Ryūnosuke mulai digunakannya sewaktu menulis. Pada tahun 1916, Akutagawa kembali menghidupkan kembali Shinshichō untuk ke-4 kalinya dengan tim redaksi yang hampir sama dengan penerbitan sebelumnya. Setelah kembali terbit, edisi perdananya memuat cerpen berjudul Hana (Hidung) yang mendapat pujian dari Sōseki.
Pada bulan April 1927 terjadi polemik antara Akutagawa dengan Jun'ichirō Tanizaki akibat transkrip yang dimuat majalah Shinchō. Transkrip tersebut adalah hasil panel diskusi sastra yang diadakan Akutagawa bersama rekan-rekannya, dan di antaranya membahas karya Tanizaki. Cerita fiksi Tanizaki dikritik sebagai cerita yang memiliki plot menarik, namun cara penyajiannya tidak bagus. Tanizaki membela diri dengan serangkaian tulisan yang diterbitkan majalah sastra Kaizō. Akutagawa membalas pembelaan tersebut dengan seri kritik sastra Bungei teki na, amari ni Bungei teki na (Sangat Sastra, Terlalu Sastra Sekali) yang dimuat majalah Kaizō. Sebagai pembanding, Akutagawa memuji Naoya Shiga dalam cara penyajian cerita walaupun plotnya "Tidak ada cerita penting yang diceritakan" ("Hanashirashii hanashi no nai"). Setelah menyelesaikan penulisan Zoku Saihō no Hito, pada dini hari 24 Juli 1927, Akutagawa bunuh diri dengan menelan obat tidur dalam dosis fatal.

Arishima Takeo

Arishima Takeo adalah seorang novelis Jepang, penulis cerita pendek dan essay pada periode Meiji akhir dan Taisho. Arishima mencapai ketenaran untuk pertama kalinya pada tahun 1917 dengan karya Kain no Mutsume, yang menggambarkan kutukan Dewa pada kedua manusia dan alam melalui mata perusak diri sendiri dari seorang petani penyewa. Pada tahun 1919, dia menerbitkan karyanya yang paling terkenal, Aru Onna. Sebuah melodrama moral dan psikologis tentang seorang wanita-berkemauan keras yang berjuang melawan masyarakat yang didominasi oleh laki-laki munafik.

Hideo Yamanouchi

Satomi Ton adalah nama pena dari penulis Jepang yang dikenal dari keahliannya dari dialog dan perintah dalam bahasa Jepang. Nama aslinya adalah Hideo Yamanouchi. Satomi menjadi murid Kyouka Izumi setelah karya-karyanya sampai pada perhatian dari novelist yang lebih tua. Satomi berusaha keras untuk tetap jauh dari setiap kelompok sastra tertentu atau sekolah politik sepanjang karirnya. Dia adalah seorang penulis produktif yang dikenal untuk karya otobiografinya dan promosi nilai-nilai murni sastra. Di barat, dia terkenal luas karena Tsubaki, sebuah cerita pendek yang ditulis setelah gempa bumi besar di Kanto tahun 1923, yang datang beberapa bulan setelah bunuh diri kakaknya, Arishima Takeo. Pada tahun 1959, Satomi menerima The Order of Culture dari pemerintahan Jepang. Karya utama Satomi Ton meliputi Zen Shin Aku Shin (Good Heart Evil Heart), Tajo Busshin (The Caompassion of Buddha, 1922-1923), Anjo Ke no Kyoudai (The Anjo Brothers), Gokuraku Tonbo (A Carefree Fellow, 1961).


Naoya Shiga

Naoya Shiga adalah seorang novelis Jepang dan penulis cerita pendek yang aktif selama periode Taisho dan Showa Jepang. Saat Shiga berada di Gakushuin Peer School dia berteman dengan Saneatsu Mushanokuoji dan Kinoshita Rigen. Karir sastranya dimulai dengan tulisan tangan di majalah sastra Boya ("Perspektif"), yang diedarkan dalam kelompok sastra mereka di sekolah. Pada tahun 1910 Shiga mengkontribusikan cerita Abashiri ("Untuk Abashiri") untuk edisi pertama majalah sastra Shirakaba ("White Birch"). Dalam karya-karya lama, Shiga umumnya berpegang pada bentuk Novel Sastra Asli (Novel Aku), yang menggunakan ingatan subjektif penulis dari pengalamannya sendiri, tapi ia mendirikan reputasinya dengan sejumlah cerita pendek, termasuk Kamisori ("The Razor", 1910), Seibei no hyotan ("Seibei dan Labu", 1913) dan Manazuru ("Manazuru", 1920). Dan diikuti oleh beberapa novel, termasuk Otsu Junkichi (1912), Wakai ("Rekonsiliasi", 1917), dan karya besar, An'ya Koro ("Passing save Dark", 1921-1937), yang ditulis secara bersambung secara radikal dalam majalah sosialis KAIZO.
Shiga Naoya merupakan pengarang yang memiliki sifat keras, menjunjung tinggi kesusilaan dan menentang ketidak adilan. Dia mempunyai pandangan tersendiri tentang kehidupan yang didasari humanism. Gaya penulisannya realis dan condong pada Shinkyo Shousetsu (novel psikologis). Gaya tegas ini banyak mempengaruhi penulis di Jepang dan dipuji oleh penulis Akutagawa Ryunosuke dan Agawa Hiroyuki. Namun penulis lain yang hidup sezaman dengannya, terutama Dazai Osamu, sangat kuat mengkritisi gaya penulisan Shiga Naoya yang terkesan ‘tulus’. Selama hidupnya, Shiga pindah rumah hampir 20 kali. Dia menulis cerita yang terhubungan dengan sebuah tempat tinggal, termasuk cerpen Di Kinosaki (Kinosaki ni te), dan Sasaki no Bai (Dalam Kasus Sasaki). Cerpen-cerpen yang dia tulis seperti Wakai (Rujuk) dan lainnya, memiliki tema cerita yang diangkat dari kegetiran hidup tetapi kemudian berkembang kearah pemurnian jiwa.


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar