Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Sabtu, 25 April 2015

Perlawanan Kartini Dan Adat Patriarki Jawa

(Surat kepada Nona Zeehandelaar, 18 Agustus 1899)

...kami, perempuan yang terantai adat istiadat lama, hanya sedikit saja mendapatkan kebahagian dari sebuah pendidikan. Ketika perempuan keluar rumah untuk bersekolah, masyarakat sudah mengatakan bahwa kami melanggar adat. Adat di negeri kami melarang dengan keras seorang gadis yang belum menikah keluar rumah. Pada usiaku yang kedua belas tahun. saya ditahan di dalam rumah-saya dipingit, diasingkan dari dunia luar, seorang diri, sunyi senyap. Saya tidak boleh keluar rumah tanpa adanya seorang suami, lelaki yang dipilihkan oleh orangtua kami untuk kami, tanpa sepengetahuan kami.....
.....adat sopan santun kami orang jawa pun sangat rumit. Adikku harus merangkak ketika berada di depanku. Kalau adikku duduk di kursi, lalu aku berjalan di depannya, adikku harus segera turun kemudian duduk di tanah, ia harus menundukkan kepalanya sampai aku berlalu dari hadapannya....dan bila sedang berbicara kepadaku tiap akhir kalimat haruslah diakhiri dengan sembah. setiap gadis harus berjalan perlahan dengan langkah pendek, gerakkannya lambat seperti seekor siput. Bila seorang gadis berjalan cepat dia akan dikata orang seperti kuda liar....


(Surat kepada Nona Zeehandelaar, 6 November 1899)
...Sangkamu aku tinggal dalam terungku atau yang serupa dengan itu. Bukan Stella, penjaraku adalah rumahku sendiri...tembok tinggi inilah penjara kami. Aku putus asa dan sedih, kuhempaskan tubuhku pada pintu yang senantiasa tertutup, dan kepada dinding bengis itu. Kemana aku harus pergi, setiap kali hanya kutemui jalan buntu oleh tembok batu dan pintu yang terkunci....Tak akan bergunanya menerjemahkan buku Hilda Van Suylenburg ke dalam bahasa Melayu, siapa yang akan membacanya kecuali kaum lelaki. Masih sedikit sekali perempuan Jawa yang menguasai bahasa Melayu.

(Surat kepada Ny. Ovink-Soer, November 1899)

...Orang Belanda menertawakan dan mencemooh (kebodohan) kami (orang Jawa), tetapi jika kami mencoba memajukan pola pikir kami, sikap mereka (orang Belanda) berubah menjadi mengancam....Aduh, aduh, sangkaku hanya si 'Jawa' bodoh itu saja yang ingin disanjung demikian rupa, tetapi agaknya orang Barat yang beradab dan terpelajar itu tak segan ingin disanjung-sanjung (dengan sebutan Kanjeng), bahkan
gila sanjungan....tak senang hatiku jika melihat orang yang lebih tua dari padaku harus duduk dan berjongkok-jongkok di hadapanku....Perjuangan bukanlah hanya untuk melawan musuhnya saja tapi juga melawan sikap orang sebangsanya sendiri.Dan apabila perjuangan kaum lelaki sudah sangat hebat, maka kaum perempuan pun akan bangkit ikut berjuang.


(Surat Kepada Ny. Abendanon, Agustus 1900)


Benar, aku masih muda, akan tetapi aku tidak buta maupun tuli, dan begitu banyak penderitaan yang kulihat dan kudengar. Hati hancur karena begitu sedih, sehingga timbul dalam hatiku, berkecamuk semangat agar aku berdiri tehak melawan adat, kebiasaan yang menjadi kutuk bagi perempuan dan anak-anak!



 (Nona Zeehandelaar, 23 Agustus 1900)
...aku akan berjuang Stella, aku akan merebut kemerdekaanku
...Sesungguhnya  perempuan yang cerdas tidak akan bahagia dalam masyarakat Bumiputra...

***


Sekilas ketika kita membaca petikan surat Kartini yang dia kirimkan kepada sahabat-sahabatnya, sangat tergambar dengan jelas apa yang ia cita-citakan dan hendak dia lawan. Seperti yang kita tahu masyarakat Bumiputra-orang jawa, dikenal memiliki konsep patriarki yang mendarah daging. Konsep patriarki ini kemudian menurunkan streotipe tentang perempan dalam pembagian gender. Menurut pembagian gender lelaki ditempatkan dalam posisi sentral dalam segala kegiatan, sehingga peran lelaki berada di sektor publik sedangkan peran wanita hanya berada di posisi subordinal dan marginal atau sektor domestik seperti yang dikenal dengan istilah kanca wingking (teman belakang). Dalam konsep budaya Jawa wilayah kegiatan perempuan terlebih tang sudah menikah hanya diperbolehkan seputar dapur (memasak), sumur(mencuci), dan kasur(melayani kebutuhan biologis suami). Pemetaan kerja wanita kemudian dirangkai dengan tugas wanita yaitu; macak (berhias untuk menyenangkan suami), manak (melahirkan), dan masak (menyiapkan makanan).
Kondisi ini pun memunculkan ungkapan, swarga nunut, nraka katut, artinya seorang wanita atau istri kebahagiaan atau kependeritaannya tergantung sepenuhnya pada lelaki. Hal itu pun kemudian semkain mempertegas kuatnya konstruksi budaya Jawa yang berkaitan dengan inferioritas perempuan sehingga perempuan digambarkan tidak memiliki peran sama sekali dalam mencapai kebahagiaan hidup, termasuk untuk dirinya sendiri.
Konsep budaya Jawa yang berkaitan dengan peran dan kedudukan perempuan itu telah berlangsung lama dan turun temurun, dan konsep tersebut termuat dalam serat-serat (kitab-kitab) yang ditulis oleh para raja maupun para pujangga. Misalnya saja, Serat Wulangreh Putri karya Sunan Pakubuwana IV dan Serat Candrarini karya Ranggawarsito.
Dan perubahan kedudukan perempuanubah berangsur-angsur setalah munculnya Kartini yang memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Hal tersebut didasari dari keyakinan Kartini bahwa pendidikan untuk kaum perempuan sangatlah penting untuk membuat sebuah keseimbangan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Tanpa pendidikan perempuan tidak akan mampu mengatasi masalah yang mereka hadapi; soal pangan, kesehatan, ekonomi, dan cara mendidik anak.

"Pemikiran yang cerdas Bumiputra tidak mengalami kemajuan apapun, bila perempuan ditinggalkan dalm usaha itu."
"Perempuan itu perbawa peradaban."
 Tulis Kartini dalam suratnya untuk Nona Zeehandelaar pada tanggal 9 januari 1901.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar