Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Rabu, 08 Oktober 2014

Menghargai Leluhur Dan Instropeksi diri; Perpaduan Budaya Masa Lalu Dalam Sebuah Keluarga Akan Mempengaruhi Perkembangan Pola Pikir Generasi Berikutnya


Menurut kisah lisan di desa nenek moyang dari pihak ibu adalah seorang penyebar agama yang besar di jawa pesisiran, yang memperkenalkan peradaban islam di pesisir utara. Iapun memperkenalkan karawitan, tembang jawa-sufistik (tembang Pangkur) dan kesenian jawa adaptasi yang pada detik ini tidak saya kuasai-malu- kecuali tembang pangkur yang sedikit-sedikit saya bisa kerjakan. Namun dalam sejarahnya juga ada pantangan mengkonsumsi ikan talang yang sampai sekarang tidak bisa kupahami harus bagaimana menyikapinya.
Lalu ayah dari nenek moyang ibu lebih memiliki pengetahuan yang lebih tinggi lagi, pengetahuan yang memberiku motivasi untuk setidaknya belajar. Mengingat hal tersebut ketika aku berada di jalan yang tidak benar aku selalu diingatkan pada keadaan leluhurku yang kemudian membuat diriku ini malu.

Keadaan leluhur itu bukanlah untuk dibanggakan tapi dijadikan sebagai batu loncatan agar mampu menjadi pondasi menata diri dengan menghargai warisan keilmuan (Ilmu benar) yang biasanya diwariskan secara turun temurun dalam sebuah keluarga.
Hanya warisan ilmu baik kalau yang menjerumuskan ke hal negative ya tidak perlu dilestarikan. Dalam rantai pohon keluargaku, kakekku yang kejawen memiliki silsilah keluarga yang erat dengan kanuragan, digjaya, dan kriminal masa jawa lampau. Nenek moyang kakekku adalah seorang perampok yang katanya sangat cerdik dan memiliki ilmu halimun. Sampai sekarang pihak kakek adalah seorang klenik yang mempercayai berbagai macam hal tahayul, sangat kontradiksi sekali dengan pihak nenekku. Dibesarkan dalam latar belakang yang sangat berbeda tidak membuat mereka saling memaksa keyakinan satu sama lain. Mereka akur sampai tua, bahkan sekarang masih sering bercanda layaknya pasangan kekasih remaja hal yang selalu membuatku iri dan ingin kuterapkan dalam kehidupan percintaanku.
Namun yang sering terjadi cek-cok perbedaan pendapat adalah keyakinan pihak bapak dengan ibuku sendiri. Latar belakang bapak adalah seorang yang dibesarkan dalam lingkungan masyarakat syariat yang ketat. Sebagai pewaris kebudayaan timur tengah bapak memegang erat keyakinannya sebagai seorang penganut ritual yang patuh. Ia bahkan bisa menghafal ayat suci dan rajin melaksanakan ritual keagamaan setiap harinya. Namun walau kini ia memilih menjadi seorang penganut sufistik ia dan ibu tetap saja sering bersitegang tentang berbagai hal. Usut punya usut rupanya yang sering mereka pertegangkan adalah prihal perasaan dan emosi bukan keyakinan, ideologi atau sejenisnya.
Walau memiliki latar belakang orangtua, nenek moyang yang tidak diragukan keilmuannya rupanya ibuku tak tergerak sekalipun mempelajarinya, ia memilih cuek dan tidak peduli. Ibuku merupakan gambaran orang awam yang masa bodoh dengan kehidupan. Asal ia bisa hidup enak yang lain tak penting.
Tapi karena hidup berdasarkan tuntunan perasaan ibu melimpahiku dengan cinta dan kasih yang sangat besar, kasih yang kemudian memenjarakanku namun disatu sisi lagi menumbuhkan rasa ingin tahu dalam dadaku.
Dari rasa ingin tahu itulah aku mengenal akar-akar keluargaku dan warisan keilmuannya yang sangat membantuku menjalani kehidupan. Menghargai leluhur bukan dengan memasang dupa atau meminta berkah namun dengan mempelajari dan menjadikan tauladan dalam kehidupan.
Khasanah ilmu warisan keluarga dari pihak kakek, nenek, maupun bapak memiliki arti yang sangat besar untuk perkembangan kedewasaanku.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar