sumber : http://horisononline.or.id/id/esai/169-kritik-marxist-dalam-sastra
Kritik Sastra Marxist dalam kesusasteraan mempunyai sejarah yang panjang.
Kritik teori Marxist ini berawal dari tiga teks besar dan terkenal. Dua
diantaranya terdapat dalam surat-surat pujian dari Engels dan ketiga terdapat
dalam esei pendek yang ditulis oleh Lenin, (Steiner 1967).
Ajaran Marxis sendiri berawal dari pemikiran Karl Marx dan
Frederick Engels. Pada tahun 1848 kedua tokoh pemuda Jerman yang revolusioner
ini mengeluarkan pernyataan-pernyataan umum mengenai kebudayaan yang besar
sekali pengaruhnya kemudian terhadap sejarah pemikiran manusia. Pikiran mereka
itu terbit dalam suatu dokumen yang dikenal dengan Manifesto Komunis. Karl Marx
sendiri sebelumnya sudah menulis sebuah buku yang berjudul Das Kapital yang
akhirnya diselesaikan oleh Engels.
Dua tema pokok dalam tulisan-tulisan Marx dan Engels yang
mula-mula adalah pengaruh sosial ideologi dan pembagian kerja. Dalam
hubungannya dengan konsep ideologi ini dijelaskan bahwa semua pikiran yang
berbeda-beda, baik yang bersifat falsafah, ekonomi, dan historis, menampilkan
tak lebih dari suatu perspektif yang berkaitan dengan posisi kelas pengarang.
Marx dan Engels juga menyadari bahwa pembagian kerja
memegang peranan penting dalam kehidupan sosial. Hal itu disebabkan oleh
perkembangan perdagangan dan industri; adanya kelompok masyarakat yang bergeser
dari taraf produksi material ke taraf produksi mental. Pembagian kerja ini
menghasilkan sebuah teori murni seperti halnya filsafat, teologi dan secara
tersirat sastra dan seni. Di bawah kekuasaan ekonomi kapitalisme, sastra
semakin lama semakin dianggap sebagai barang industri.
Dalam tulisan Eagleton, (1977:3) dijelaskan bahwa Marx
sesungguhnya terpengaruh oleh dialektika filsafat Hegel dalam memandang seni.
Namun menurut Eagleton, kemurnian pikiran Marx tidak terdapat dalam
pendekatan sastra, melainkan terletak pada pemahaman yang revolusioner terhadap
sejarah itu sendiri.
Dalam suatu laporannya,
Marx menjelaskan
tentang Base 'dasar' dan Superstructur 'superstruktur'.
Superstruktur yaitu ideologi dan politik yang bertumpu pada 'dasar'
(hubungan-hubungan soiso-ekonomi). Marx menjelaskan bahwa kebudayaan bukanlah
suatu kenyataan bebas, melainkan kebudayaan itu tidak terpisahkan dari
kondisi-kondisi kesejarahan. Di dalam kesejarahan itu, manusia menciptakan
hidup kebendaannya. Hubungan-hubungan antara penguasaan, penindasan, atau
ekploitasi yang menguasai tata sosial dan ekonomi dari suatu fase sejarah
manusia akan ikut menentukan seluruh kehidupan kebudayaan masyarakatnya.
Dalam Ideologi Jerman (1846), Marx
dan Engels berbicara pula mengenai moralitas, agama, dan filsafat sebagai momok-momok yang dibentuk dalam
otak manusia yang
merupakan refleks dan gema dari proses kehidupan yang nyata. Dalam serangkaian
surat-surat terkenal (1890), Engels menekankan bahwa ia dan Marx selalu
memandang aspek perekonomian masyarakat sebagai akhir dari aspek-aspek lain.
Jadi, seni menurut pandangan Marxis merupakan bagian dari superstruktur dari
lingkungan sosial. Dengan demikian, menurut Marxis, untuk memahami sastra
berarti memahami seluruh proses sosial.
Status kesusasteraan yang khusus,
diakui oleh Marx dalam sebuah bagian terkenal dalam bukunya Grundrisse. Di
dalamnya ia menjelaskan tentang ketidakcocokan yang nyata antara perkembangan
ekonomi dan kesenian. Ia menganggap bahwa tragedi Yunani sebagai puncak dari
perkembangan kesusasteraan dan tragedi itu bersamaan waktunya dengan sistem
kemasyarakatan dan sebuah bentuk ideologi; yang tidak lagi sahih bagi
masyarakat modern.
Dalam pembicaraan mengenai sebuah lakon Shakespeare, Timono of Athens,
Marx mengatakan bahwa uang tidak hanya mengontrol manusia tetapi juga merupakan
lambang keterpencilan manusia dari dirinya sendiri dan masyarakat. Marx
memuji Shakespeare yang telah menggambarkan esensi uang sebagai suatu yang
berada di luar manusia, mengatur tindakannya, dan merupakan sesuatu yang
diciptakan manusia agar dapat digunakan.
Gagasan Marx bukan merupakan hal yang penting dalam
pengembangan sosiologi sastra. Tulisan -tulisan Engelslah yang banyak
manfaaatnya bagi pengembangan pendekatan itu. Ada dua pokok penting dalam
pikiran Engels yaitu pertama mengenai sastra. Tendensi politik penulis haruslah
disajikan secara tersirat saja. Semakin tersembunyi pandangan si penulis,
semakin bermutulah karya sastra yang ditulisnya. Ideologi politik bukanlah
merupakan masalah utama bagi si seniman. Oleh karenanya karya sastra akan
menjadi lebih baik apabila ia berhasil membuat ideologi itu tetap tersembunyi.
Pokok kedua dalam gagasan pikiran Engels lebih bersifat
dogmatis. Ia menjelaskan bahwa setiap novelis yang berusaha mencapai realisme
harus mampu menciptakan tokoh-tokoh yang representatif dalam karya-karyanya.
Hal itu disebabkan oleh adanya pengertian realisme yang meliputi reproduksi tokoh-tokoh
yang merupakan tipe dalam peristiwa yang khas pula.
Bapak realisme sosial di Uni Sovyet itu sendiri adalah
Maxim Gorky yang sangat berhasil menggambarkan realisme dalam karyanya berjudul Ibu dan Anak yang
dianggap sukses menerapkan ajaran realisme sosial di USSR. Namun, sebagai
kritikus Marxis yang besar adalah George Lukacs, seorang Hongaria.
Karya-karya Lukacs terutama
menyoroti masalah-masalah realisme, walaupun pandangannya kemudian banyak
bersinggungan dengan paham realisme sosialis resmi. Pada usia 25 tahun, Lukacs
merampungkan naskah bukunya yang setebal 1000 halaman yang berjudul Soul and Form yakni
tentang perkembangan drama modern. Pada tahun 1918 ia bergabung dengan Partai
Komunis Hongaria. Tulisan-tulisannya mulai dipengaruhi oleh pemikiran Marxis
sezaman. tulisan-tulisannya dalam periode Marxis banyak bicara tentang masalah
filsafat, seperti alienasi, fetishism, reifikasi yang menjadi sumbangan penting
bagi teori Marxis tentang kesadaran, ideologi, dan kebudayaan. Karya Lukacs
yang penting dari kurun ini adalah History and Class Consciusness yang terbit 1923.
Ia menyerang gerakan modernisme yang muncul di Eropa Barat.
Ia mengatakan bahwa modernisme hanya mampu melihat manusia sebagai makhluk
putus asa yang terasing, bahwa modernisme sengaja mengingkari kenyataan
seutuh-utuhnya, bahwa modernisme merupakan gerakan artistik yang steril.
Dalam bidang seni dan sastra, Lukacs bicara mengenai bentuk
(form) yang dianggap sangat menonjol dan berpengaruh. Sistem kapitalis
menurutnya menciptakan pemisahan bidang-bidang kehidupan begitu parahnya dan
pemujaan terhadap komoditas yang membutakan manusia dari jatidirinya. Dalam Studies in European Realism dan Historical
Novel, ia melihat fungsi itu dipenuhi dalam karya-karya penulis
realis seperti Shakespeare, Balzac, Tolstoy dan seniman Yunani kuno. Lukacs
sangat terpengaruh oleh pikiran Thomas Mann.
Pengunggulan realisme dalam karya-karyanya sempat
merangsang perdebatan panjang dengan Bertolt Brecht. Bagi Brecht, realisme
mendamaikan kontradiksi di dalam totalitas yang merupakan sikap reaksioner.
Sebaliknya Lukacs berpendapat bahwa kontradiksi semacam itu justru perlu
diungkap lebih tajam dalam kesenian yang akan meransang manusia untuk
membebaskan diri dari kontradiksi itu dalam dunia nyata.
Lukacs menggunakan istilah refleksi yang merupakan ciri
khusus keseluruhan karyanya. Dengan menolak naturalisme bersahaja novel baru
Eropa waktu itu, ia kembali ke pandangan realis lama bahwa novel
mencerminkan realitas. Pencerminan itu bukan melalui pelukisan wajah yang
tampak dari permukaan saja, melainkan memberikan pada kita sebuah pencerminan
realitas yang lebih benar, lebih lengkap, dan lebih hidup. Menurut Lukacs,
pencerminan itu bisa saja lebih atau kurang konkret. Sebuah novel mungkin akan
membawa pembaca ke arah pandangan yang lebih konkret kepada realitas. Sebuah
karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara terasing,
tetapi proses hidup yang penuh. Pembaca selalu sadar bahwa karya sastra itu
bukan realitas sendiri melainkan merupakan bentuk khusus yang mencerminkan
realitas. Oleh sebab itu menurut Lukacs, sebuah pencerminan realita yang benar
memerlukan lebih dari sekedar perwujudan luar.
Selain Lukacs, kritikus Marxis yang
lain adalah Lucien Goldmann yang terkenal dengan rumusan model strukturalisme
genetik. Goldmann menolak bahwa teks-teks adalah ciptaan jenius individual
melainkan bahwa teks-teks sastra merupakan struktur-struktur mental
trans-individual; milik kelompok-kelompok tertentu yang kemudian menghasilkan
suatu pandangan dunia.
Goldmann percaya bahwa penemuannya tentang homolog
(persamaan bentuk) struktural diantara bermacam-macam bagian tata masyarakat,
membuat teori kemasyarakatannya khas Marxis. Dalam hal ini, karyanya merupakan
kelanjutan teori Lukacs dari aliran Marxisme Hegel.
Kritikus Marxis yang lain adalah Walter Benjamin dari
aliran Frankfurt. Pertemuan singkatnya dengan Adorno, memberi alasan untuk
menyebutnya sebagai Marxsis meski pun cap itu sangat pribadi sifatnya.
Eseinya yang terkenal adalah Karya Seni dalam Abad Reproduksi
Mekanis yang memperlihatkan sebuah pandangan kebudayaan modern
yang bertentangan dengan Adorno. Benjamin berpendapat bahwa inovasi tehnik
modern telah mengubah secara mendalam status karya seni yang waktu dulu hanya
dapat dinikmati oleh elit borjuis. Adorno melihat hal tersebut sebagai
perendahan nilai seni oleh komersialisasi.
Sebelumnya telah disinggung mengenai efek alienasi dalam
sastra yang sebenarnya dikembangkan oleh Bertold Brecht. Drama-drama awal
Brecht radikal, anarkistik, anti borjuis tetapi tidak anti kapitalis. Sesudah
membaca Marx, jiwa remajanya berubah menjadi keterlibatan politik . Pada tahun
1930 ia menulis drama yang ditujukan pada kelas pekerja tetapi ia terpaksa
meninggalkan Jerman ketika kaum Nazi berkuasa.
Brecht menolak jenis kesatuan bentuk formal yang dipuji
oleh Lukacs. Menurutnya, tidak ada bentuk yang bagus yang dapat bertahan
selamanya dengan kata lain, tidak ada hukum estetik yang abadi.
berdasarkan pandangan Engels mengenai hubungan sastra dan
masyarakat yang menjelaskan bahwa dalam karya sastra besar, maksud pengarang
tersembunyi. Sebaliknya Lenin mempunyai pandangan bahwa sastra harus sejalan
dengan garis partai. Perbedaan pandangan ini menimbulkan adanya dua jalur dalam
kritik sastra Marxis yaitu kritik para Marxis yang berpegang pada pendapat
Engels dan kritik kaum Ortodoks yang perpegang pada Lenin (Steiner,
1967:305--324).
Perkembangan teori Marxis di Rusia
akhirnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ideologi dan pemerintahan
Komunis. Di bawah Stalin, kritik di Rusia tidak bisa berbuat apa-apa. Lukacs
pun dicerca oleh partai dan pandangan Engels ditolak oleh anggota partai.
Akhirnya sastra diredusir menjadi sekrup dalam mekanisme negara totaliter
dan sangat sesuai dengan pandangan Lenin yang menyatakan bahwa tugas
kritik hanya dua yaitu sebagai penafsir dogma partai dan pengganyang kaum
murtad.
Ideologi Marxist-Leninis ini kemudian juga pernah
diterapkan di Indonesia oleh kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat (lebih populer
dengan sebutan LEKRA) pada masa-masa 60-an sebelum meletusnya gerakan 30
September 1965. Pada masa itu muncul sebuah jargon di kalangan seniman dan
penulis yang menyatakan bahwa sastra adalah panglima. Dan pengganyangan
terhadap kelompok yang berseberangan dengan ideologi Lekra terhadap kelompok Manifestasi
Kebudayaan juga sempat terjadi pada masa itu.
DAFTAR PUSTAKA
Eagleton, Terry. 1977. Marxism and Literary Criticism,
London: Methuen and Co
Limited.
George, Steiner. 1967."Marxism And The Literary
Critic" New York: Atheneum.
Joko Damono, Sapardi. 1984. Sosiologi Sastra Jakarta:
Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa
Karyanto, Ibe. 1996. Realisme Sosialis. Jakarta:
Gramedia
Selden, Raman. 1985. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini.
Jogya:Universitas Gajah Mada Press.
sumber : http://horisononline.or.id/id/esai/169-kritik-marxist-dalam-sastra
Kritik Sastra Marxist dalam kesusasteraan mempunyai sejarah yang panjang.
Kritik teori Marxist ini berawal dari tiga teks besar dan terkenal. Dua
diantaranya terdapat dalam surat-surat pujian dari Engels dan ketiga terdapat
dalam esei pendek yang ditulis oleh Lenin, (Steiner 1967).
Ajaran Marxis sendiri berawal dari pemikiran Karl Marx dan Frederick Engels. Pada tahun 1848 kedua tokoh pemuda Jerman yang revolusioner ini mengeluarkan pernyataan-pernyataan umum mengenai kebudayaan yang besar sekali pengaruhnya kemudian terhadap sejarah pemikiran manusia. Pikiran mereka itu terbit dalam suatu dokumen yang dikenal dengan Manifesto Komunis. Karl Marx sendiri sebelumnya sudah menulis sebuah buku yang berjudul Das Kapital yang akhirnya diselesaikan oleh Engels.
Dua tema pokok dalam tulisan-tulisan Marx dan Engels yang
mula-mula adalah pengaruh sosial ideologi dan pembagian kerja. Dalam
hubungannya dengan konsep ideologi ini dijelaskan bahwa semua pikiran yang
berbeda-beda, baik yang bersifat falsafah, ekonomi, dan historis, menampilkan
tak lebih dari suatu perspektif yang berkaitan dengan posisi kelas pengarang.
Marx dan Engels juga menyadari bahwa pembagian kerja
memegang peranan penting dalam kehidupan sosial. Hal itu disebabkan oleh
perkembangan perdagangan dan industri; adanya kelompok masyarakat yang bergeser
dari taraf produksi material ke taraf produksi mental. Pembagian kerja ini
menghasilkan sebuah teori murni seperti halnya filsafat, teologi dan secara
tersirat sastra dan seni. Di bawah kekuasaan ekonomi kapitalisme, sastra
semakin lama semakin dianggap sebagai barang industri.
Dalam tulisan Eagleton, (1977:3) dijelaskan bahwa Marx
sesungguhnya terpengaruh oleh dialektika filsafat Hegel dalam memandang seni.
Namun menurut Eagleton, kemurnian pikiran Marx tidak terdapat dalam
pendekatan sastra, melainkan terletak pada pemahaman yang revolusioner terhadap
sejarah itu sendiri.
Dalam suatu laporannya,
Marx menjelaskan
tentang Base 'dasar' dan Superstructur 'superstruktur'.
Superstruktur yaitu ideologi dan politik yang bertumpu pada 'dasar'
(hubungan-hubungan soiso-ekonomi). Marx menjelaskan bahwa kebudayaan bukanlah
suatu kenyataan bebas, melainkan kebudayaan itu tidak terpisahkan dari
kondisi-kondisi kesejarahan. Di dalam kesejarahan itu, manusia menciptakan
hidup kebendaannya. Hubungan-hubungan antara penguasaan, penindasan, atau
ekploitasi yang menguasai tata sosial dan ekonomi dari suatu fase sejarah
manusia akan ikut menentukan seluruh kehidupan kebudayaan masyarakatnya.
Status kesusasteraan yang khusus,
diakui oleh Marx dalam sebuah bagian terkenal dalam bukunya Grundrisse. Di
dalamnya ia menjelaskan tentang ketidakcocokan yang nyata antara perkembangan
ekonomi dan kesenian. Ia menganggap bahwa tragedi Yunani sebagai puncak dari
perkembangan kesusasteraan dan tragedi itu bersamaan waktunya dengan sistem
kemasyarakatan dan sebuah bentuk ideologi; yang tidak lagi sahih bagi
masyarakat modern.
Dalam pembicaraan mengenai sebuah lakon Shakespeare, Timono of Athens,
Marx mengatakan bahwa uang tidak hanya mengontrol manusia tetapi juga merupakan
lambang keterpencilan manusia dari dirinya sendiri dan masyarakat. Marx
memuji Shakespeare yang telah menggambarkan esensi uang sebagai suatu yang
berada di luar manusia, mengatur tindakannya, dan merupakan sesuatu yang
diciptakan manusia agar dapat digunakan.
Gagasan Marx bukan merupakan hal yang penting dalam
pengembangan sosiologi sastra. Tulisan -tulisan Engelslah yang banyak
manfaaatnya bagi pengembangan pendekatan itu. Ada dua pokok penting dalam
pikiran Engels yaitu pertama mengenai sastra. Tendensi politik penulis haruslah
disajikan secara tersirat saja. Semakin tersembunyi pandangan si penulis,
semakin bermutulah karya sastra yang ditulisnya. Ideologi politik bukanlah
merupakan masalah utama bagi si seniman. Oleh karenanya karya sastra akan
menjadi lebih baik apabila ia berhasil membuat ideologi itu tetap tersembunyi.
Pokok kedua dalam gagasan pikiran Engels lebih bersifat
dogmatis. Ia menjelaskan bahwa setiap novelis yang berusaha mencapai realisme
harus mampu menciptakan tokoh-tokoh yang representatif dalam karya-karyanya.
Hal itu disebabkan oleh adanya pengertian realisme yang meliputi reproduksi tokoh-tokoh
yang merupakan tipe dalam peristiwa yang khas pula.
Bapak realisme sosial di Uni Sovyet itu sendiri adalah
Maxim Gorky yang sangat berhasil menggambarkan realisme dalam karyanya berjudul Ibu dan Anak yang
dianggap sukses menerapkan ajaran realisme sosial di USSR. Namun, sebagai
kritikus Marxis yang besar adalah George Lukacs, seorang Hongaria.
Karya-karya Lukacs terutama
menyoroti masalah-masalah realisme, walaupun pandangannya kemudian banyak
bersinggungan dengan paham realisme sosialis resmi. Pada usia 25 tahun, Lukacs
merampungkan naskah bukunya yang setebal 1000 halaman yang berjudul Soul and Form yakni
tentang perkembangan drama modern. Pada tahun 1918 ia bergabung dengan Partai
Komunis Hongaria. Tulisan-tulisannya mulai dipengaruhi oleh pemikiran Marxis
sezaman. tulisan-tulisannya dalam periode Marxis banyak bicara tentang masalah
filsafat, seperti alienasi, fetishism, reifikasi yang menjadi sumbangan penting
bagi teori Marxis tentang kesadaran, ideologi, dan kebudayaan. Karya Lukacs
yang penting dari kurun ini adalah History and Class Consciusness yang terbit 1923.
Ia menyerang gerakan modernisme yang muncul di Eropa Barat.
Ia mengatakan bahwa modernisme hanya mampu melihat manusia sebagai makhluk
putus asa yang terasing, bahwa modernisme sengaja mengingkari kenyataan
seutuh-utuhnya, bahwa modernisme merupakan gerakan artistik yang steril.
Dalam bidang seni dan sastra, Lukacs bicara mengenai bentuk
(form) yang dianggap sangat menonjol dan berpengaruh. Sistem kapitalis
menurutnya menciptakan pemisahan bidang-bidang kehidupan begitu parahnya dan
pemujaan terhadap komoditas yang membutakan manusia dari jatidirinya. Dalam Studies in European Realism dan Historical
Novel, ia melihat fungsi itu dipenuhi dalam karya-karya penulis
realis seperti Shakespeare, Balzac, Tolstoy dan seniman Yunani kuno. Lukacs
sangat terpengaruh oleh pikiran Thomas Mann.
Pengunggulan realisme dalam karya-karyanya sempat
merangsang perdebatan panjang dengan Bertolt Brecht. Bagi Brecht, realisme
mendamaikan kontradiksi di dalam totalitas yang merupakan sikap reaksioner.
Sebaliknya Lukacs berpendapat bahwa kontradiksi semacam itu justru perlu
diungkap lebih tajam dalam kesenian yang akan meransang manusia untuk
membebaskan diri dari kontradiksi itu dalam dunia nyata.
Lukacs menggunakan istilah refleksi yang merupakan ciri
khusus keseluruhan karyanya. Dengan menolak naturalisme bersahaja novel baru
Eropa waktu itu, ia kembali ke pandangan realis lama bahwa novel
mencerminkan realitas. Pencerminan itu bukan melalui pelukisan wajah yang
tampak dari permukaan saja, melainkan memberikan pada kita sebuah pencerminan
realitas yang lebih benar, lebih lengkap, dan lebih hidup. Menurut Lukacs,
pencerminan itu bisa saja lebih atau kurang konkret. Sebuah novel mungkin akan
membawa pembaca ke arah pandangan yang lebih konkret kepada realitas. Sebuah
karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara terasing,
tetapi proses hidup yang penuh. Pembaca selalu sadar bahwa karya sastra itu
bukan realitas sendiri melainkan merupakan bentuk khusus yang mencerminkan
realitas. Oleh sebab itu menurut Lukacs, sebuah pencerminan realita yang benar
memerlukan lebih dari sekedar perwujudan luar.
Selain Lukacs, kritikus Marxis yang
lain adalah Lucien Goldmann yang terkenal dengan rumusan model strukturalisme
genetik. Goldmann menolak bahwa teks-teks adalah ciptaan jenius individual
melainkan bahwa teks-teks sastra merupakan struktur-struktur mental
trans-individual; milik kelompok-kelompok tertentu yang kemudian menghasilkan
suatu pandangan dunia.
Goldmann percaya bahwa penemuannya tentang homolog
(persamaan bentuk) struktural diantara bermacam-macam bagian tata masyarakat,
membuat teori kemasyarakatannya khas Marxis. Dalam hal ini, karyanya merupakan
kelanjutan teori Lukacs dari aliran Marxisme Hegel.
Kritikus Marxis yang lain adalah Walter Benjamin dari
aliran Frankfurt. Pertemuan singkatnya dengan Adorno, memberi alasan untuk
menyebutnya sebagai Marxsis meski pun cap itu sangat pribadi sifatnya.
Eseinya yang terkenal adalah Karya Seni dalam Abad Reproduksi
Mekanis yang memperlihatkan sebuah pandangan kebudayaan modern
yang bertentangan dengan Adorno. Benjamin berpendapat bahwa inovasi tehnik
modern telah mengubah secara mendalam status karya seni yang waktu dulu hanya
dapat dinikmati oleh elit borjuis. Adorno melihat hal tersebut sebagai
perendahan nilai seni oleh komersialisasi.
Sebelumnya telah disinggung mengenai efek alienasi dalam
sastra yang sebenarnya dikembangkan oleh Bertold Brecht. Drama-drama awal
Brecht radikal, anarkistik, anti borjuis tetapi tidak anti kapitalis. Sesudah
membaca Marx, jiwa remajanya berubah menjadi keterlibatan politik . Pada tahun
1930 ia menulis drama yang ditujukan pada kelas pekerja tetapi ia terpaksa
meninggalkan Jerman ketika kaum Nazi berkuasa.
Brecht menolak jenis kesatuan bentuk formal yang dipuji
oleh Lukacs. Menurutnya, tidak ada bentuk yang bagus yang dapat bertahan
selamanya dengan kata lain, tidak ada hukum estetik yang abadi.
berdasarkan pandangan Engels mengenai hubungan sastra dan
masyarakat yang menjelaskan bahwa dalam karya sastra besar, maksud pengarang
tersembunyi. Sebaliknya Lenin mempunyai pandangan bahwa sastra harus sejalan
dengan garis partai. Perbedaan pandangan ini menimbulkan adanya dua jalur dalam
kritik sastra Marxis yaitu kritik para Marxis yang berpegang pada pendapat
Engels dan kritik kaum Ortodoks yang perpegang pada Lenin (Steiner,
1967:305--324).
Perkembangan teori Marxis di Rusia
akhirnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ideologi dan pemerintahan
Komunis. Di bawah Stalin, kritik di Rusia tidak bisa berbuat apa-apa. Lukacs
pun dicerca oleh partai dan pandangan Engels ditolak oleh anggota partai.
Akhirnya sastra diredusir menjadi sekrup dalam mekanisme negara totaliter
dan sangat sesuai dengan pandangan Lenin yang menyatakan bahwa tugas
kritik hanya dua yaitu sebagai penafsir dogma partai dan pengganyang kaum
murtad.
Ideologi Marxist-Leninis ini kemudian juga pernah
diterapkan di Indonesia oleh kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat (lebih populer
dengan sebutan LEKRA) pada masa-masa 60-an sebelum meletusnya gerakan 30
September 1965. Pada masa itu muncul sebuah jargon di kalangan seniman dan
penulis yang menyatakan bahwa sastra adalah panglima. Dan pengganyangan
terhadap kelompok yang berseberangan dengan ideologi Lekra terhadap kelompok Manifestasi
Kebudayaan juga sempat terjadi pada masa itu.
DAFTAR PUSTAKA
Eagleton, Terry. 1977. Marxism and Literary Criticism,
London: Methuen and Co
Limited.
George, Steiner. 1967."Marxism And The Literary
Critic" New York: Atheneum.
Joko Damono, Sapardi. 1984. Sosiologi Sastra Jakarta:
Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa
Karyanto, Ibe. 1996. Realisme Sosialis. Jakarta:
Gramedia
Selden, Raman. 1985. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini.
Jogya:Universitas Gajah Mada Press.