Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Senin, 24 November 2014

Berkabungnya pesta Kanibalime

Dua mayat yang masih hangat dari wanita tengah baya, tergeletak di antara tanaman ketela rambat dengan sekujur tubuh yang dipenuhi anak panah. Dengan wajah beringas karena mabuk darah, para penyergap yang lebih muda bersorak atas kemenangannya dalam membantai wanita suku musuh mereka itu, dan  sejenak mereka melupakan kewaspadaan sedang ada didaerah musuh. Tapi tidak dengan Solombe dan Nubi, yang saat itu menjadi pemimpin kawanan penyerang, mereka berdua tetap waspada. Dengan sigap mereka memerintahkan para kawanannya untuk menguliti dan mengambil organ-organ penting dari wanita yang berhasil mereka bunuh tadi.
Namun tiba-tiba rombongan suku dari wanita yang terbunuh itu muncul dengan amarah yang tampak diluar batas kemanusiaan. Dengan geram mereka melepaskan anak panah kesegala penjuru. Beberapa prajurit rombongan Solombe dan Nubi terpanah dan mati saat itu juga akibat racun yang ada di mata panahnya.
Rombongan prajurit Solombe dan Nubi yang lain berlari tergesa-gesa untuk menyelamatkan diri mereka dan meninggalkan perkerjaan mereka-mengambil organ dalam wanita itu. Disaat semuanya menyelamatkan diri masing-masing, Solombe yang sudah mengambil janji untuk menghidangkan makanan lezat dari daging dan jantung manusia untuk tetuah sukunya tertinggal seorang diri. Dengan terburu-buru dia mencabuti anak panah di tubuh salah satu mayat dan langsung membawa mayat itu kabur.
Solombe tertinggal jauh di belakang dari teman-temannya akibat beban berat yang dia bawa. Berkali-kali mayat wanita itu tergelincir dari tubuhnya akibat lemak babi yang dia borehkan kesekujur tubuhnya sebagai jimat keselamatan. Dalam keadaan
terdesak seperti itu dia tidak mau menyia-yiakan mayat wanita itu, sebab ia percaya roh hutan masih bersamanya.
Dengan susah payah dia berlari dan menghindar dari kejaran suku musuhnya. Sebuah tembok batu yang sudah sangat tua merintangi jalannya. Dia merangkak naik dengan terhuyung-huyung melalui bagian tembok yang telah runtuh dan
dalam keadaan terburu-buru itu ia meloncat turun kererumputan di bawah. Guncangan tubuhnya ketika ia mencapai tanah dan berat tubuh korbannya yang membentur belakang kepalanya menyebabkan jimat penyelamatan yang dia pakai terlepas. Disaat yang sama kaki kanannya terselip di antara bebatuan cadas yang tertutup rerumputan. Solombe merangkak maju dengan sekuat tenaga sedang kakinya dari lutut ke bawah terasa sakit dan tak berdaya.
Ia bergegas menyelamatkan dirinya dan melupakan korbannya, dengan sekali loncatan yang dipaksakan dia berhasil keluar dari barisan tembok itu. dengan menyeret paksa kakinya dia berjalan terus.
“Nubi, Nubi tolong aku…” teriaknya, tetapi teman-temannya sudah sangat jauh.
Hampir bersamaan dengan itu sebatang anak panah melesat .
“Cepat!” teriak Nubi yang memeganggi tangan Solombe.
Anak panah melesat kembali tak jauh dari Solombe, disusul kehadiran suku musuhnya yang telah berhasil mengejarnya. Dengan menyeret kakinya Solombe berjalan sebisanya menyelamatkan dirinya.
“Biarkan saja nanti juga dia mati sendiri.” Orang-orang dari suku musuh Solombe itu berbisik-bisik sendiri.
 “Jangan tinggalkan aku Nubi…engkau tahu apa artinya! Mereka tidak hanya akan membunuhku, mereka juga akan-”
“Terima kasih banyak sahabat. Tinggalkan saja makanan kami disitu!”
Nubi melepaskan pegangganya dan berlari pergi diiringi anak panah yang berterbangan dan jatuh menancap di dekat tumitnya.
Hampir gila karena ketakutan dan kesakitan Solombe berteriak-teriak, “Nubi tolong aku, mereka akan memakanku.”
Solombe terus berjalan melintasi lantai batu yang sudah sangat tua. Tiba-tiba begitu Solombe keluar dari lantai batu itu anak panah kembali melesat dan salah satu berhasil mengenai punggungnya. Dia tersunggur kemudian, setelah puluhan anak panah di hujani kearahnya.
Seorang pemimpin suku musuh Solombe yang bernama Kobak memberi isyarat kepada teman-temannya, “hai kawan, rupanya engkau sudah memutuskan untuk hadir di jam makan kami.”
Gelak tawa yang riuh dan ramai menyambut kata-kata pemimpin mereka itu. Solombe bersikap tegar dan menantang sedangkan suku musuhnya itu mencemooh dia sambil menari-nari untuk menyatakan kegembiraan mereka. Mereka kemudian diam sejenak, kecekaman menyelimuti mereka semua.
“Lantai batu itu.” Kobrak menunjuk kearah lantai batu yang tak jauh dari Solombe. “Temanmu itu telah membantumu keluar dari sana yang sesungguhnya mencelakakanmu. Kami sebenarnya akan melepaskanmu jika kamu tetap berada disana. Lantai batu itu adalah batas antara tanah yang suci para roh. Aku sendiri bahkan akan mengendongmu dan mengembalikanmu kepada sukumu sebagai penghormatan kepada para roh agung, namun engkau sekarang telah keluar dari tempat suci kami,” ucapnya lagi, “Sekarang!”
Bibir Solombe memucat. Dengan penuh kenekadan dia berlari kearah lantai batu tetapi salah satu dari penyiksanya mencabut anak panah dari punggungnya. Nafas Solombe tersendat kesakitan ketika dicabutnya kepala panah yang tajam itu mengakibatkan dagingnya tersayat. Kemudian, sambil merangkak di tanah dan mengeliat, dia masih berusaha meraih batu suci terdekat.
Para anggota suku musuhnya yang sudah mengelilinginya hanya tertawa terbahak-bahak. Lalu salah satu dari mereka menangkap Solombe dan mengangkatnya dari tanah.Dia meronta-ronta sambil menyumpah-nyumpah. Dengan ganas Solombe di jatuhkan di sebuah pinggir hutan tak jauh dari sana.
“Sudah terlambat kawanku, engkau tentu sadar. Engkau telah membunuh dua wanita dari suku kami. Engkau juga telah mencemari tempat suci kami dengan darah wanita yang kotor. Kami harus membayar mahal akan dosa perbuatanmu itu kepada para roh.” Kobrak memerintahkan anggota perangnya untuk mengikat Solombe ke batang pohon, “bukankah engkau juga akan melakukan sesuatu adat yang sudah sangat lama kita tinggalkan.”
Segenap suku Kobrak menyaksikan bagaimana Kobrak menyiksa korbannya. Kobrak memunggut sebatang ranting, lalu menyelusuri tengah-tengah dada Solombe ke bawah seakan-akan mengikuti suatu garis.
“Rusuk-rusukmu ini akan menjadi milik kerabat wanita yang kamu bunuh tadi, lalu lengan kananmu akan menjadi bagian dari persembahan para roh agung. Kaki kananmu…”
Pandangan mata Solombe berkaca-kaca sambil menatap kearah puncak bukit tempatnya berasal. Dia samar-samar melihat asap mengepul dari rumah-rumah warga desa. Rupanya keluarganya sudah mulai berkabung. Ratusan kawan Solombe dari desa sekutu turun ke pinggir jurang yang menjadi pemisah antara suku Kobrak dan Suku Solombe, dari sana mereka dapat melihat prosesi upacara kanibalisme tersebut.
“Coba selamatkan dia kalau berani!” tantang salah satu anggota suku Kobrak diantara kesibukan para wanita yang mengumpulkan daun-daun pisang untuk memasak daging Solombe nanti.
“Lihat daun-daun ini, kami akan memasak pahlawanmu.”
Lalu mereka menari dan mengitari pohon tempat Solombe diikat untuk menarik perhatian orang-orang yang berkabung disebrang. Solombe terlihat pasrah dan tak berdaya. Beberapa wanita kerabat korban yang dibunuh Solombe dan kawan-kawannya, meludahi dan memukuli dia dengan mengunakan tongkat pengali sambil melontarkan cacian-cacian kotor.
Tak lama kemudian tarian berhenti dan Kobrak mendekati Solombe, “bagaimana sahabat cara terbaik untuk membunuhmu? Apakah ada usul?”
“Cekik saja.”
“Cincang dia hidup-hidup.”
“Tusuk dia dengan tombak, kemudian putar dia.” Usul mereka bersahutan.
“Kalian semua terlalu tergesa-gesa, akan kutunjukan bagaimana cara mengawali sebuah pesta rimba yang mengasyikan,” Kobrak mengambil sebongkah batu besar kemudian melemparkannya kearah Solombe, berkali-kali.
Tubuh Solombe bergetar diantara rasa sadar, dan Kobrak mengambil pisau batunya dan menyuruh setiap warganya mempersiapkan daun pisang masing-masing.



*Tulisan ini diambil riset seorang misionaris yang melakukan perjalanan dan penyiaran agama ke daerah timur Indonesia, saat Indonesia masih dikuasai Hindia belanda. Sekitar 1910-1930-an. Kisah dengan sedikit perubahan tanpa mengurangi materi didalamnya, agar dapat disatukan menjadi sebuah cerita utuh.





Sumber foto: suwele-piliyam.blogspot.com
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar