Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Rabu, 05 November 2014

New Criticsm Dalam Sastra

New criticism merupakan aliran kritik sastra di Amerika Serikat yang berkembang antara tahun 1920-1960. Istilah new criticism pertama kali dikemukakan oleh John Crowe Ransom dalam bukunya The New Criticism (1940) dan ditopang oleh I.A. Richard dan T.S. Eliot. Sejak Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren menerbitkan buku Understanding Poetry (1938), model kritik sastra ini mendapat perhatian yang luas di kalangan akademisi dan pelajar Amerika selama dua dekade. Penulis new criticism lainnya yang penting adalah: Allen Tate, R.P. Blackmur, dan William K. Wimsatt, Jr. (Abrams, 1981: 109-110).
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap kritik sastra sebelumnya yang terlalu fokus pada aspek-aspek kehidupan dan psikologi pengarang serta sejarah sastra. Para new criticism menuduh ilmu dan teknologi menghilangkan nilai perikemanusiaan dari masyarakat dan menjadikannya berat sebelah. Manurut mereka, ilmu tidak memadai dalam mencerminkan kehidupan manusia. Sastra merupakan suatu jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan lewat pengalaman. Tugas kritik sastra adalah memperlihatkan dan memelihara pengetahuan yang khas, unik dan lengkap seperti yang ditawarkan kepada kita oleh sastra agung (Van Luxemburg dkk, 1988: 52-54).
Sekalipun para new criticism tidak selalu kompak, mereka sepakat dalam memandang karya sastra sebagai sebuah kesatuan organik yang telah selesai, sebuah gejala estetik yang telah melepaskan kondisi subjektifnya pada saat karya itu diselesaikan. Hanya dengan menganalisis susunan dan organisasi sebuah karya sastra, dapat diperlihatkan inti karya seni itu menurut arti yang sesungguhnya. 
Para new criticism menganggap berbagai model kritik yang berorientasi kepada
aspek-aspek di luar karya sastra sebagai suatu kesalahan besar. Orientasi kepada maksud pengarang disebut sebagai suatu penalaran yang sesat.  Sejauh hidup pengarangnya dapat dipergunakan sejauh dapat menerangkan makna kata-kata khusus yang dipergunakan dalam karyanya. Selain itu, pemahaman terhadap konteks penggunaan bahasa sangat ditekankan.

Kendati pemikir dan praktisi new criticism banyak, dan diantara mereka pasti ada silang pendapat, pada hakikatnya cara kerja mereka sama, yaitu;

1)          Close reading, yakni mencermati karya sastra dengan teliti dan mendetail. 
2)          Empiris, yakni penekanan analisis, ada observasi, bukan pada teori. Tokoh-tokoh new criticism memang pernah menyatakan bahwa new criticism adalah sebuah teori satra, namun karena new criticism mempunyai cara kerja sistematis sebagiamana halnya para teori-teori satra lain, maka new criticism mau tidak mau diakui sebagai sebuah teori sastra. Dalam sejarah teori dan kritik sastra, new criticism selalu menempati urutan pertama.
3)          Otonimi
·         Karya satra adalah sesuatu yang mandiri dan berdiri sendiri, tidak bergantung  pada unsur-unsur lain, termasuk kepada penyair/penulisnya sendiri
·         Kajian satra adalah sebuah kajian yang mandiri dan berdiri sendiri,  tidak tergantung pada kajian-kajian lain, seperti sejarah, filsafat, biografi, psikologi, dan sebagainya.
Otonomi merupakan ciri khas mutlak kajian intrinsik. Kendati teori-teori berikut tidak tertutup kemungkinan untuk mempertimbangkan unsur ekstrinsik karya sastra, setiap kajian tidak mungkin lepas dari nilai-nilai intrinsik karya sastra itu sendiri. Karena itulah, new criticism tetap hidup, masuk ke berbagai teori lain, kendati secara resmi sudah tutup buku pada tahun 1960-an.
Salah satu pengaruh new criticism pada teori sastra dapat dilihat misalnya pada formalisme rusia dan strukturalisme. Kedua teori ini mengambil gagasan otonomi new criticism kendati salah satu ciri penting strukturalisme adalah kajian-kajian ekstrinsiknya. Meskipun demikian,  dapat diperkirakan dengan tepat bahwa tanpa rintisan new criticism maka formalisme rusia dan strukturalisme akan lahir terlambat, dan mungkin pula akan berbeda dengan formalisme rusia dan struktualisme sekarang.
4)          Concreteness. Apabila karya sastra dibaca, maka karya satra menjadi concrete atau hidup. Dalam sajak penyair romantik jhon keats, ode to melancholy, misalnya, baris then glut thy sorrow on a morning terasa benar-benar hidup. Kata glut menimbulkan kesan kerakusan yang benar-benar concrete. Sebagaimana halnya konsep otonomi, maka concreteness new criticism juga diambil oleh formalisme Rusia dan strukturalisme.
5)          Bentuk (form), titik berat kajian new criticism adalah bentuk (form) karya sastra, yaitu keberhasilan penyair atau penulis dalam diksi (pemilihan kata), imagenary (metaphor, simile, onomatopea, dan sebagainya), paradoks, ironi, dan sebagainya. Bagi new criticism, bentuk karya sastra menentukan isi karya sastra. Karena bentuk memegang peran penting, maka titik berat perhaitan new criticism adalah konotasi, bukan denotasi. Makna denotatif kursi, misalnya, adalah kursi, sedangkan makna konotatifnya mungkin kedudukan atau kekuasaan. Kata-kata rebutan kursi, misalnya, mungkin mempunyai makna rebutan atau kekuasaan, dan sama sekali bukan rebutan tempat duduk.  Konotasi,dengan demikian, memberi uang kepada metafora, simbol, dan lainlain di luar makna harfiah sebuah kata, rangkaian kata, atau kalimat. Kata glut, dengan makna denotatif rakus, dapat mempunyai makna lain sesuai dengan konteksnya dalam rangkaian kata atau kalimat tertentu. Puisi, memang, tidak lain adalah sebuah dunia metafora.
Titik berat kajian new criticism pada bentuk (form) akhirnya juga dipergunakan oleh formalisme rusia dan strukturalisme. Istilah form mengacu pada bentuk, dan bentukkarya sastra itu pulalah yang menjadi salah satu titik penting formalisme yang pertama tidak lain adalah new criticism kendati new criticism tidak menamakan diri dengan istilah form. Struktur dalam strukturalisme juga tidak dapat memisahkan diri dari makna form, salah satu titik berat strukturalisme.
6)          Diksi (pilihan kata)
Pilihan kata atau diksi dalam kajian kritik sastra baru memegang peranan yang penting. Bentuk-bentuk konotatif merupakan perhatian kajian ini, bukan bentuk denotatif. Sebagai missal, kata “bunga” secara denotatif mengandung makna bagian tumbuhan yang akan menjadi buah. Akan tetapi secara konotatif mengandung makna seorang gadis, keindahan, dan sebagainya. Kata kursi, bagi teori sastra baru bukan sekedar tempat duduk, tetapi mengacu kepada jabatan, kekuasaan, otoritas, dan sebagainya.
Wafat, mangkat, meninggal, mati pada hakikatnya mempunyai makna sama, namun mana kata yang akan dipilih oleh penyair/penulis bergantung dari penyair/penulisnya sendiri.
7)          Tone (nada), yakni sikap penyair, penulis, narator, atau aku lirik terhadap (a) diri sendiri, (b) diri sendiri terhadap objek atau bahan pembicaraan, dan (c) diri sendiri terhadap lawan bicaranya. Kalimat apakah benarayah saudara kemarin meninggal? Menunjukkan bahwa pambicaranya tidak menanggap dirinya lebih tinggi daripada yang diajak bicara dan ayah yang diajak bicara. Kalau kalimat ini diganti menjadi apa betul ayahmu kemarin mampus? Akan tampak bahwa pembicara merasa lebih tinggi kedudukannya dibanding yang diajak bicara dan ayah yang diajak bicara.
8)          Metafor, yakni pembandingan satu objek dengan objek lain tanpa penggunaan kata-kata seperti, bagaikan, dan hal-hal semacamnya.
9)          Simile merupakan perbandingan antara objek satu dengan objek yang lain selalu menggunakan kata-kata: seperti, laksana, bagaikan, dan kata-kata yang sejenis.
10)      Onomatopea adalah peniruan bunyi terhadap bunyi-bunyilain. Misalnya, tik tak tik tak terdengar bunyi rintik hujan
11)      Paradoks: lawan atau kebalikan sesuatu, antara lain dapat dipergunakan untuk menyindir. Kalau seseorang naik taksi dan taksinya berjalan terlalu cepat, si penumpang dapat berkata kepada sopir: alangkah baiknya apabila lebih cepat lagi, dengan maksud kurangilah laju taksi. Di sini juga tampak bahwa konotasi lebih penting daripada denotasi. Kadang-kadang paradoks juga tampak seperti moto kendati maknanya mungkin bukan sekadar moto, seperti yang tampak dalam puisi John Donne “Kanonisasi”: dia yang akan menyelamatkan jiwanya, harus kehilangan jiwanya terlebih dahulu dan yanf terakhir akan menjadi yang pertama.
12)      Ironi merupakan pernyataan yang mempunyai makna berlawanan dengan makna sebenarnya. Macam ironi terdirin atas,
·         Ironi verbal, ironi dramatik, dan ironi situasi. Ironi verbal adalah ironi yang menggunakan kata-kata tertentu untuk menyampaikan makna yang sebenarnya. Misalnya, Anda adalah gadis yang sangat cantik, padahal maksudnya gadis itu tidak cantik.
·         Ironi dramatik adalah penyampaian makna yang dimaksud pembicaratidak diketahui oleh tokoh, tetapi diketahui oleh pembaca atau penonton. Misalnya, dalam sebuah film ada seorang tokoh yang mengejar lawannya, ketika lawannya berbelok tokoh itu terus mengejar ke depan, karena mengiri lawannya lari ke depan.
·         Ironi situasi adalah ironi yang menyatakan ironi yang menyatakan kebalikannya dari harapan. Misalnya, seorang pelajar ketika ujian merasa sangat mudah menjawab pertanyaan, dengan demikian ia mempunyai harapan dan keyakinan lulus dengan mudah, tetapi setelah ujian diumumkan pelajar tersebut tidak lulus.

Sebelum kemunculan aliran New Criticsm dan Nouvelle Critique ('300-an sampai '50-an) sejak 1920-an ilmu sastra dianggap sebagai menafsirkan dan menilai karya sastra, dengan perhatian pada sifat-sifat umum sastra dan analisa, tafsiran dan evaluasi tanpa unsur biografik dan historik karya. Kemudian muncullah aliran New Criticism dan Nouvelle Critique, serta beberapa kelompok dalam majalah Merlyn (Belanda).
Di Indonesia, era 1980-an muncul kelompok Sawo Manila (Univ. Nasional Jakarta), Forum Indonesia Kecil, dll.
New Criticism (1930-an-1950-an): (1) semula melawan pendekatan sastra historik dan biografik serta kritik impresionistik; (2) menuduh ilmu pengetahuan dan teknologi menghilangkan nilai kemanusiaan; (3) Tugas kritik adalah "memperlihatkan dan memelihara pengetahuan yang khas, unik, dan lengkap seperti yang ditawarkan kepada kita dalam sastra agung"; (4) analisa susunan dan organisasi sebuah karya sastra sangat penting untuk mengetahui makna/arti yang terkandung dalam karya tersebut; (5) gemar meneliti puisi –juga drama, para penyair dan dramawan dari berbagai zaman yang di susun secara paradoksal –atau ironi, itulah karya yang baik, namun menimbulkan kekurangan jelasan dan kekurangan tajaman dalam memandang aspek lain dalam sastra.

Pada tahun 1962-1966 sebuah majalah bernama Merlyn: (1) menafsirkan puisi dan novel Belanda secara ergosentrik –otonomi karya sastra; (2) yang penting situasi membaca, bukan menulis (efek sebuah karya sastra ditentukan oleh apa yang dapat diperbuat seorang pembaca dengan teks itu); (3) sasaran seorang kritikus adalah analisa kesasteraan, analisa struktural: "cara yang unik segala aspek bentuk dan isi kait-mengkait"
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar