Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Selasa, 04 November 2014

SOCRATES

Socrates adalah seorang pemikir Yunani yang riwayatnya tidak banyak diketahui, tetapi sebagai sumber utama keterangan tentang dirinya dapat diperoleh dari tulisan Aristophanes, Xenophon, Plato, dan Aristoteles. Ia sendiri tidak meninggalkan tulisan. Yang paling banyak meninggalkan tulisan tentang Socrates adalah Plato yang berupa dialog-dialog antara Socrates dan Plato.

Ia lahir di Athena pada tahun 470 sebelum Masehi dan meninggal pada tahun 399 SM. Ayahnya seorang pembuat patung bernama Sophroniscos, dan ibunya yang bernama Phairnarete berprofesi sebagai bidan. Pada permulaannya Socrates mengikuti jejak ayahnya sebagai tukang pembuat patung. Namun, ia berganti haluan: dari seorang pembentuk patung menjadi pembentuk watak manusia. Masa hidupnya hampir sejalan dengan perkembangan sufisme di Athena. Socrates bergaul denga
n semua orang, tua dan muda, kaya dan miskin. Ia seorang filosof dengan coraknya sendiri. Ajaran filosofinya tak pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya dengan perbuatan, dengan cara hidup. Menurut kata teman-temannya; Socrates demikian adil, sehingga ia tak pernah berlaku zalim. Ia begitu pandai menguasai dirinya, sehingga ia tak pernah memuaskan hawa nafsu dengan merugikan kepentingan umum. Ia demikian cerdiknya, sehingga ia tak pernah khilaf dalam menimbang buruk baik. Socrates tidak pernah menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia malah tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Bagi dia filosofi bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran yang berdasarkan dogma, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir. Oleh karena Socrates tidak menuliskan filosofinya, maka sulit sekali mengetahui dengan kesahihan ajarannya.  Ajarannya itu hanya dikenal dari catatan-catatan murid-muridnya, terutama Xenephon dan Plato. Catatan Xenephon kurang kebenarannya, karena ia sendiri bukan seorang filosof. Untuk mengetahui ajaran Socrates, orang banyak bersandar kepada Plato. Dalam uraian-uraian Plato, yang kebanyakan berbentuk dialog, hampir selalu Socrates yang dikemukakannya. Ia memikir, tetapi keluar seolah-olah Socrates yang berkata. Tujuan filosofi Socrates ialah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya. Di sini berlainan pendapatnya dengan guru-guru sofis, yang mengajarkan, bahwa semuanya relatif dan subyektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis. Socrates berpendapat, bahwa kebenaran itu tetap dan harus dicari. Dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikir sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan tanya jawab. Orang yang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan sebagai kawan yang diajak bersama-sama mencari kebenaran. Kebenaran harus lahir dari jiwa kawan bercakap itu sendiri. Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang. Sebab itu metodenya disebut maieutik, menguraikan, seolah-olah menyerupai pekerjaan ibunya sebagai dukun beranak. Socrates mencari pengertian, yaitu bentuk yang tetap daripada sesuatunya. Sebab itu ia selalu bertanya: apa itu?  Apa yang dikatakan berani, apa yang disebut indah, apa yang bernama adil? Pertanyaan tentang “apa itu” harus lebih dahulu daripada “apa sebab”. Ini biasa bagi manusia dalam hidup sehari-hari. Anak kecil pun mulai bertanya dengan “apa itu”. Oleh karena jawab tentang “apa itu” harus dicari dengan tanya jawab yang mungkin meningkat dan mendalam, maka Socrates diakui pula—sejak keterangan Aristoteles—sebagai pembangun dialektik pengetahuan. Tanya jawab, yang dilakukan secara meningkat dan mendalam, melahirkan pikiran yang kritis. Dalam berjuang mencari kebenaran yang umum lakunya, yaitu mencari pengetahuan yang sebenar-benarnya, terletak seluruh filosofinya. Oleh karena Socrates mencari kebenaran yang tetap dengan tanya-jawab sana dan sini, yang kemudian dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang ditempuhnya ialah metode induksi dan definisi. Kedua-duanya itu bersangkut-paut. Induksi menjadi dasar definisi. Induksi yang menjadi metode Socrates ialah memperbandingkan secara kritis. Ia tidak berusaha mencapai dengan contoh dan persamaan, dan diuji pula dengan saksi dan lawan saksi. Seperti disebut di atas, dari lawannya bersoal  jawab, yang masing-masing terkenal sebagai ahli dalam haknya sendiri-sendiri, dikehendakinya definisi tentang “berani” “indah” dan lain sebagainya. Pengertian yang diperoleh itu diujikan kepada beberapa keadaan atau kejadian yang nyata. Apabila dalam pasangan itu pengertian tidak mencukupi, maka dari ujian itu pengertian dicari perbaikan definisi. Definisi yang tercapai dengan cara begitu diuji pula sekali lagi untuk mencapai perbaikan yang lebih sempurna. Demikianlah seterusnya. Begitulah cara Socrates mencapai pengertian. Dengan melalui induksi sampai kepada definisi. Definisi yaitu pembentukan pengertian yang umum lakunya. Induksi dan definisi menuju pengetahuan yang berdasarkan pengertian. Budi ialah tahu, kata Socrates. Inilah inti sari daripada etiknya. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Paham etiknya itu kelanjutan dari metodenya. Induksi dan definisi menuju kepada pengetahuan yang berdasarkan pengertian. Dari mengetahui beserta keinsafan moral, mesti menimbulkan budi.  Apabila budi adalah tahu, maka tak ada orang yang sengaja, atas maunya sendiri, berbuat jahat. Kedua-duanya, budi dan tahu, bersangkut-paut. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan timbangan yang benar, maka “jahat” hanya datang dari orang yang tidak mengetahui, orang yang tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang benar. Orang yang kesasar adalah korban dari kekhilafannya sendiri. Kesasar bukanlah perbuatan yang disengaja. Tidak ada orang yang khilaf atas kemauannya sendiri.
Oleh karena itu budi adalah tahu, maka siapa yang tahu akan kebaikan dengan sendirinya terpaksa berbuat baik.Untuk itu perlulah orang pandai menguasai diri dalam segala keadaan. Dalam suka maupun duka. Dan apa yang pada hakekatnya baik, adalah juga baik bagi diri kita sendiri. Jadinya, menuju kebaikan adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk mencapai "kesenangan hidup". "Kesenangan hidup" tidak pernah dipersoalkan oleh Socrates, sehingga murid-muridnya kemudian memberikan pendapat mereka sendiri-sendiri tentang kesenangan hidup.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar