Pada
akhirnya saya merilis tulisan ini sebagai agenda nostalgia dan pengingat diri
saya tentang bagaimana kebiasaan saya yang telah lalu, agar mampu menghadapi
apa yang ada di depan saya dan dapat memaknainya dengan bijak serta
menghadapinya sebagai bagian dari pematang kesejatian diri.
Saya
terlahir di sebuah desa yang masih tertutup ilalang di sepanjang tepi jalannya,
tangan-tangan ilalang yang ada di antara tangai bunga berambut putih seperti
kapas lembut yang akan menempel di tangan jika tangan berkeringat. Kampung saya
dialiri sungai yang beraliran cukup deras yang selalu memakan korban tiap
tahunnya, menurut kepercayaan warga setempat
danyang (penguasa) sungai meminta
tumbal. Tapi memang benar korban selalu ada setiap tahunnya dan biasanya
terjadi di musim penghujan, ketika jalan licin yang membuat siapapun mudah
tergelincir. Sungai besar itu bernama Laut, ia berkelok-kelok mencabangkan
dirinya dan mengalir ke sela-sela tubuh persawahan dan pertambakan, tempat
orang kampung saya mengantungkan kehidupan ekonominya. Kami sangat mencintai
sungai kami, setiap musim penghujan datang anak-anak kampung, orang dewasa akan
menghabiskan sebanyak-banyaknya waktu yang ia punya di sungai, entah itu
memancing, menjaring ikan atau jeburan* dan rambangan* (jeburan adalah mandi di
sungai dengan kawan-kawan terus mengadakan lomba siapa yang paling cepat terjun
ke air sedang rambangan adalah istilah untuk bermain rakit dari pelepah
pisang).
Di kampung
saya auranya hijau, karena banyak pohon besar bahkan di tengah pemakaman desa
saya ada satu pohon besar bernama pohon dandu yang usianya sudah ratusan tahun.
Terkadang ketika ke masjid untuk belajar mengaji saya bisa melihat puncak pohon
dandu yang menjuang dominan di antara pohon-pohon bambu mengelilingi desa.
Menurut
pengamatan saya, kebanyakan desa di kota saya di kelilingi pohon bambu di
tepi-tepi batas desanya. Begitupun dengan desa saya, pohon bambu hampir ada
dimanapun sejauh mata memandang. Pohon bambu yang ramping seperti jari-jari
lentik wanita cantik ya sangat gemulai ketika dibelai angin. Di pohon-pohon bambu
itulah hidup burung-burung beraneka ragam, dari jalak, burung hantu, ketilang,
nuri sampai pruok (burung ayam-ayaman) yang terkadang terlihat berlarian ke
jalan dengan sangat lucunya. Adanya burung-burung itu menjadi instrumen musik tersendiri
di waktu pagi terlebih ketika burung kutilang di masa kawin, mereka akan
mendendangkan rayuan pada betinanya. Aku pernah melihat tujuh ekor kutilang
jantan merebutkan seekor kutilang betina-aku menerka perbedaan antara betina
dan jantan dari bunyi siulannya, betina akan
berkicau pendek-pendek sedangkan kutilang jantang berkicau panjang.
Pohon
bambu selain menjadi bahan bangunan, pohon perdu, peresap air sehingga bisa digunakan
sebagai sumber mata ia di masa kemarau- air bersih di desa saya termasuk sulit,
sumber mata air hanya dari sumur yang kering di masa kemarau, kubangan yang di
gali diantara pohon bambu, atau sumur pompa yang rasanya asin, namun tak hanya
itu juga guna pohon bambu di desa saya, kami percaya pohon mampu mampu
menghalau angin topan. Kejadian ini seingat saya terjadi sekitar tahun 2006-an,
saat itu di pulau jawa marak terjadi hembusan angin puting beliung, tak
terkecuali kota saya pun di terpa musibah ini. Puluhan desa di kabupaten Lamongan
di terpa angin puting beliung begitupun di desa saya. Ada kebiasaan di desa
ketika hujan-angin kita akan keluar dan berkumpul di beranda.
Seperti
biasa mbah kakung saya ketika hujan-angin lebat turun akan mengeluarkan
segenggam ajiannya sambil mengomat kamitkan mantra memohon keselamatan kepada
Allah tapi terkadang juga ia mengeluarkan keris bahkan sarung sebagai media dan
perantaraya, ya sesuka hati dialah. Saat itulah saya melihat pohon bambu di depan rumah bergetar dengan hebatnya,
mereka bergetar seperti Cilia (rambut getar hewan Paramecium). Mereka meliuk
bahkan beberapa hampir menyentuh tanah, usut punya usut rupanya pohon-pohon bambu
itu berperan memecah gelombang angin beliung, hal ini semakin saya yakini
ketika melihat rumah tetangga yang tidak ada pohon bambu di dekatnya hancur terterpa
angin beliung.
Dari
hal-hal itulah desa saya menjadi tempat yang saya rindukan selalu, udaranya
yang sejuk, airnya yang berasap di waktu pagi berkabut, dan hujannya. Setiap hujan
di sana selalu memiliki kenangan. Hujan turun dan para anak-anak pun bersorai,
mereka bergerombol-gerombol menarikan kaki mereka di genangan air, lalu mereka
akan berjalan atau bersepeda mengelilingi desa di antara siraman hujan. Tapi aku
jarang ikut berhujan ria, dari kecil saya lebih suka turun ke jalan ketika
hujan sudah reda sebab ketika itu ikan banyak yang melompat. Kadang saya dapat
ikan kotok (gabus), betik (betok), atau ikan-ikan kecil lainnya, yang terdampar
di tepi-tepi jalan atau semak-semak belukar kadang juga ikan dari kubangan
samping rumah masuk ke halaman.
Waktu
kecil bagi saya hujan juga identik dengan menghapus pemikiran lama dan
mengantinya dengan teori yang baru. Saya ingat betul, sejak saya berusia lima
tahun saya suka mengamati diam-diam langit yang menurunkan hujan, lalu mulai
bertanya-tanya tentang dari mana datangnya hujan, terbuat dari apa, apa ada
pabrik di atas langit. Pemikiran dan teori pertama saya tercipta ketika saya
berusia tujuh tahun, saat itu saya menganggap dunia yang saya lihat adalah
perut raksasa, ketika hujan turun maka raksasa itu sedang minum. Lalu hujan
berikutnya datang, raksasa apakah hanya akan minum tanpa makan? Kalau raksasa
makan kenapa tidak turun makanan dari langit? Maka itulah teori saya yang
pertama dan patahnya teori saya yg pertama tentang hujan dan dunia.
Ketika
di bangku sekolah dasar senior-kira-kira kelas lima atau kelas enam, saya memiliki
teori baru tentang dunia, saya menganggap dunia ini adalah sebuah benjana besar
dan kita hidup dalam benjana tersebut. Akibat teori ini saya ketakutan sendiri,
bagaimana jika tiba-tiba benjana itu pecah dan terjadi kiamat.
Saya
masih mempercayai teori saya tentang bejana dunia ini hingga di awal SMP. Waktu
itu ada saudara jauh saya yang usianya di atas saya baru pindah dari Jakarta,
dan ia memberikan semua buku paket bekasnya pada saya. Dari buku paket terbitan
Airlangga itulah saya mengenal tentang bumi. Saya sangat suka dengan buku paket
itu bahkan buku paket itu saya minta-tidak saya kembalikan. Dalam buku itu saya
berkenalan dengan galaksi bima sakti, tata surya, bintang-matahari, planet dll.
Tapi saat itu saya belum berkenalan dengan teori terbentuknya dunia, jadi teori
benjana saya masih saya gunakan, tapi jangkauan benjananya saya jadikan lebih
lebar, ya benjananya meliputi tata surya. Saya semakin yakin dengan teori
benjana saya dengan mengunakan ruang hampa yang selalu terlihat hitam dan gelap
di buku-buku pelajaran sebagai batas benjananya.
Di masa
ini teori yang saya percayai antara lain:
Teori
Bejana yang menyatakan bahwa dunia ini terletak dalam sebuah benjana.
Teori
bahwa waktu itu tidak bisa kembali (saya membuktikan ini dengan sebungkus
kerupuk puli. Saya ambil kerupuk puli, lalu saya gigit, saya makan kemudian
saya telan. Setelah itu saya memejamkan mata dan mengatakan kembali kebeberapa
detik lalu. Tapi ketika saya buka mata kerupuk saya tetap tidak kembali. Saya ulangi
percobaan itu berkali-kali tapi hasilnya tetap sama, maka sayapun mengambil
kesimpulan, bahwa waktu tidak bisa terulang. Masalah waktu ini juga pernah
membuat saya gelisah, saya pernah ketakutan gara-gara melihat film fiksi ilmiah
tentang orang yang dapat menghentikan waktu, dan film Doraemon. Saya takut
kalau ada orang yang punya alat penghenti waktu tiba-tiba menghentikan waktu,
yang salah gelisahkan itu karena saya ingin menghentikan waktu. Gara-gara film
Amigos Exsempre saya jadi berkhayal tentang kembali ke masa lalu)
Di masa
ini juga telah saya tinggalkan beberapa teori antara lain:
Teori
bahwa bulan itu mengikuti manusia (untuk membuktikan teori ini saya harus
mengejar bulan beberapa malam. Teori ini terpecah saat berdiskusi dengan ibu (karena
terlalu frustasi tidak menemukan jawaban makanya mengajak ibu diskusi). Saat itu
ibu mengatakan bahwa setiap orang juga melihat hal yang sama, bahwa bulan
mengikuti dirinya. Jadi saya mengambil kesimpulan bahwa apa yang saya lihat itu
hanya ilusi (saya mengetahui istilah ilusi dari melihat film kera sakti, lalu
barulah bertemu istilah ilusi optik di buku))
Teori
bahwa manusia ini sebenarnya hidup di dunia mimpi (kalau teori ini terpatahkan
ketika saya mencoba bangun dari tidur, dan lama-lama saya sadar bahwa orang
yang tidur tidak mungkin sadar).
Dll.
Lalu
di awal masa SMA, barulah saya mengenal yang namanya teori Copernicus, teori
big bang, tapi walaupun begitu saya memiliki teori sendiri tentang terciptanya
dunia ini, awal mula terciptanya dunia dll.
Di masa
SMA saya ingin mendalami astrologi tapi saya lemah di Fisika dan Kimia, tak
lain dan tak bukan karena kesulitan saya di bidang menghitung (syndrome dyscalculis).
Saya juga sulit mencerna sesuatu yang abstrak yang mana dimaksud abstrak ini
ialah suatu hal yang belum saya kenali, saya kaji, dan dihadapkan di depan saya. Sindrome saya ini juga disebabkan
oleh phobia pada guru matematika dan matematika itu sendiri. Di masa SD dulu
saya pernah mendapat pengalaman ketika bersemangat-semangatnya belajar sebuah
soal, saya tidak mengerti dan berulang kali bertanya pada guru tapi oleh guru
tersebut saya di marahi.
Kira-kira
begitulah cara belajar saya, yang mana tidak bisa didikte, didoktrin atau dicekoki
oleh sebuah argumentasi yang harus saya amini, karena hal itu hanya akan
membuat kepala saya pusing dan tertekan. Saya hanya bisa di berikan fakta-fakta
yang tidak abstrak dan di visualisasikan yang saya kaji sendiri.