Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Senin, 25 Agustus 2014

Catatan Kehidupan saya: Cara Saya Menilai Hidup Di Masa Kecil


Pada akhirnya saya merilis tulisan ini sebagai agenda nostalgia dan pengingat diri saya tentang bagaimana kebiasaan saya yang telah lalu, agar mampu menghadapi apa yang ada di depan saya dan dapat memaknainya dengan bijak serta menghadapinya sebagai bagian dari pematang kesejatian diri.

Saya terlahir di sebuah desa yang masih tertutup ilalang di sepanjang tepi jalannya, tangan-tangan ilalang yang ada di antara tangai bunga berambut putih seperti kapas lembut yang akan menempel di tangan jika tangan berkeringat. Kampung saya dialiri sungai yang beraliran cukup deras yang selalu memakan korban tiap tahunnya, menurut kepercayaan warga setempat
danyang (penguasa) sungai meminta tumbal. Tapi memang benar korban selalu ada setiap tahunnya dan biasanya terjadi di musim penghujan, ketika jalan licin yang membuat siapapun mudah tergelincir. Sungai besar itu bernama Laut, ia berkelok-kelok mencabangkan dirinya dan mengalir ke sela-sela tubuh persawahan dan pertambakan, tempat orang kampung saya mengantungkan kehidupan ekonominya. Kami sangat mencintai sungai kami, setiap musim penghujan datang anak-anak kampung, orang dewasa akan menghabiskan sebanyak-banyaknya waktu yang ia punya di sungai, entah itu memancing, menjaring ikan atau jeburan* dan rambangan* (jeburan adalah mandi di sungai dengan kawan-kawan terus mengadakan lomba siapa yang paling cepat terjun ke air sedang rambangan adalah istilah untuk bermain rakit dari pelepah pisang).

Di kampung saya auranya hijau, karena banyak pohon besar bahkan di tengah pemakaman desa saya ada satu pohon besar bernama pohon dandu yang usianya sudah ratusan tahun. Terkadang ketika ke masjid untuk belajar mengaji saya bisa melihat puncak pohon dandu yang menjuang dominan di antara pohon-pohon bambu mengelilingi desa.

Menurut pengamatan saya, kebanyakan desa di kota saya di kelilingi pohon bambu di tepi-tepi batas desanya. Begitupun dengan desa saya, pohon bambu hampir ada dimanapun sejauh mata memandang. Pohon bambu yang ramping seperti jari-jari lentik wanita cantik ya sangat gemulai ketika dibelai angin. Di pohon-pohon bambu itulah hidup burung-burung beraneka ragam, dari jalak, burung hantu, ketilang, nuri sampai pruok (burung ayam-ayaman) yang terkadang terlihat berlarian ke jalan dengan sangat lucunya. Adanya burung-burung itu menjadi instrumen musik tersendiri di waktu pagi terlebih ketika burung kutilang di masa kawin, mereka akan mendendangkan rayuan pada betinanya. Aku pernah melihat tujuh ekor kutilang jantan merebutkan seekor kutilang betina-aku menerka perbedaan antara betina dan jantan  dari bunyi siulannya, betina akan berkicau pendek-pendek sedangkan kutilang jantang berkicau panjang.

Pohon bambu selain menjadi bahan bangunan, pohon perdu, peresap air sehingga bisa digunakan sebagai sumber mata ia di masa kemarau- air bersih di desa saya termasuk sulit, sumber mata air hanya dari sumur yang kering di masa kemarau, kubangan yang di gali diantara pohon bambu, atau sumur pompa yang rasanya asin, namun tak hanya itu juga guna pohon bambu di desa saya, kami percaya pohon mampu mampu menghalau angin topan. Kejadian ini seingat saya terjadi sekitar tahun 2006-an, saat itu di pulau jawa marak terjadi hembusan angin puting beliung, tak terkecuali kota saya pun di terpa musibah ini. Puluhan desa di kabupaten Lamongan di terpa angin puting beliung begitupun di desa saya. Ada kebiasaan di desa ketika hujan-angin kita akan keluar dan berkumpul di beranda.

Seperti biasa mbah kakung saya ketika hujan-angin lebat turun akan mengeluarkan segenggam ajiannya sambil mengomat kamitkan mantra memohon keselamatan kepada Allah tapi terkadang juga ia mengeluarkan keris bahkan sarung sebagai media dan perantaraya, ya sesuka hati dialah. Saat itulah saya melihat pohon bambu  di depan rumah bergetar dengan hebatnya, mereka bergetar seperti Cilia (rambut getar hewan Paramecium). Mereka meliuk bahkan beberapa hampir menyentuh tanah, usut punya usut rupanya pohon-pohon bambu itu berperan memecah gelombang angin beliung, hal ini semakin saya yakini ketika melihat rumah tetangga yang tidak ada pohon bambu di dekatnya hancur terterpa angin beliung.

Dari hal-hal itulah desa saya menjadi tempat yang saya rindukan selalu, udaranya yang sejuk, airnya yang berasap di waktu pagi berkabut, dan hujannya. Setiap hujan di sana selalu memiliki kenangan. Hujan turun dan para anak-anak pun bersorai, mereka bergerombol-gerombol menarikan kaki mereka di genangan air, lalu mereka akan berjalan atau bersepeda mengelilingi desa di antara siraman hujan. Tapi aku jarang ikut berhujan ria, dari kecil saya lebih suka turun ke jalan ketika hujan sudah reda sebab ketika itu ikan banyak yang melompat. Kadang saya dapat ikan kotok (gabus), betik (betok), atau ikan-ikan kecil lainnya, yang terdampar di tepi-tepi jalan atau semak-semak belukar kadang juga ikan dari kubangan samping rumah masuk ke halaman.

Waktu kecil bagi saya hujan juga identik dengan menghapus pemikiran lama dan mengantinya dengan teori yang baru. Saya ingat betul, sejak saya berusia lima tahun saya suka mengamati diam-diam langit yang menurunkan hujan, lalu mulai bertanya-tanya tentang dari mana datangnya hujan, terbuat dari apa, apa ada pabrik di atas langit. Pemikiran dan teori pertama saya tercipta ketika saya berusia tujuh tahun, saat itu saya menganggap dunia yang saya lihat adalah perut raksasa, ketika hujan turun maka raksasa itu sedang minum. Lalu hujan berikutnya datang, raksasa apakah hanya akan minum tanpa makan? Kalau raksasa makan kenapa tidak turun makanan dari langit? Maka itulah teori saya yang pertama dan patahnya teori saya yg pertama tentang hujan dan dunia.

Ketika di bangku sekolah dasar senior-kira-kira kelas lima atau kelas enam, saya memiliki teori baru tentang dunia, saya menganggap dunia ini adalah sebuah benjana besar dan kita hidup dalam benjana tersebut. Akibat teori ini saya ketakutan sendiri, bagaimana jika tiba-tiba benjana itu pecah dan terjadi kiamat.

Saya masih mempercayai teori saya tentang bejana dunia ini hingga di awal SMP. Waktu itu ada saudara jauh saya yang usianya di atas saya baru pindah dari Jakarta, dan ia memberikan semua buku paket bekasnya pada saya. Dari buku paket terbitan Airlangga itulah saya mengenal tentang bumi. Saya sangat suka dengan buku paket itu bahkan buku paket itu saya minta-tidak saya kembalikan. Dalam buku itu saya berkenalan dengan galaksi bima sakti, tata surya, bintang-matahari, planet dll. Tapi saat itu saya belum berkenalan dengan teori terbentuknya dunia, jadi teori benjana saya masih saya gunakan, tapi jangkauan benjananya saya jadikan lebih lebar, ya benjananya meliputi tata surya. Saya semakin yakin dengan teori benjana saya dengan mengunakan ruang hampa yang selalu terlihat hitam dan gelap di buku-buku pelajaran sebagai batas benjananya.

Di masa ini teori yang saya percayai antara lain:

Teori Bejana yang menyatakan bahwa dunia ini terletak dalam sebuah benjana.
Teori bahwa waktu itu tidak bisa kembali (saya membuktikan ini dengan sebungkus kerupuk puli. Saya ambil kerupuk puli, lalu saya gigit, saya makan kemudian saya telan. Setelah itu saya memejamkan mata dan mengatakan kembali kebeberapa detik lalu. Tapi ketika saya buka mata kerupuk saya tetap tidak kembali. Saya ulangi percobaan itu berkali-kali tapi hasilnya tetap sama, maka sayapun mengambil kesimpulan, bahwa waktu tidak bisa terulang. Masalah waktu ini juga pernah membuat saya gelisah, saya pernah ketakutan gara-gara melihat film fiksi ilmiah tentang orang yang dapat menghentikan waktu, dan film Doraemon. Saya takut kalau ada orang yang punya alat penghenti waktu tiba-tiba menghentikan waktu, yang salah gelisahkan itu karena saya ingin menghentikan waktu. Gara-gara film Amigos Exsempre saya jadi berkhayal tentang kembali ke masa lalu)

Di masa ini juga telah saya tinggalkan beberapa teori antara lain:

Teori bahwa bulan itu mengikuti manusia (untuk membuktikan teori ini saya harus mengejar bulan beberapa malam. Teori ini terpecah saat berdiskusi dengan ibu (karena terlalu frustasi tidak menemukan jawaban makanya mengajak ibu diskusi). Saat itu ibu mengatakan bahwa setiap orang juga melihat hal yang sama, bahwa bulan mengikuti dirinya. Jadi saya mengambil kesimpulan bahwa apa yang saya lihat itu hanya ilusi (saya mengetahui istilah ilusi dari melihat film kera sakti, lalu barulah bertemu istilah ilusi optik di buku))
Teori bahwa manusia ini sebenarnya hidup di dunia mimpi (kalau teori ini terpatahkan ketika saya mencoba bangun dari tidur, dan lama-lama saya sadar bahwa orang yang tidur tidak mungkin sadar).

Dll.

Lalu di awal masa SMA, barulah saya mengenal yang namanya teori Copernicus, teori big bang, tapi walaupun begitu saya memiliki teori sendiri tentang terciptanya dunia ini, awal mula terciptanya dunia dll.

Di masa SMA saya ingin mendalami astrologi tapi saya lemah di Fisika dan Kimia, tak lain dan tak bukan karena kesulitan saya di bidang menghitung (syndrome dyscalculis). Saya juga sulit mencerna sesuatu yang abstrak yang mana dimaksud abstrak ini ialah suatu hal yang belum saya kenali, saya kaji, dan dihadapkan  di depan saya. Sindrome saya ini juga disebabkan oleh phobia pada guru matematika dan matematika itu sendiri. Di masa SD dulu saya pernah mendapat pengalaman ketika bersemangat-semangatnya belajar sebuah soal, saya tidak mengerti dan berulang kali bertanya pada guru tapi oleh guru tersebut saya di marahi.

Kira-kira begitulah cara belajar saya, yang mana tidak bisa didikte, didoktrin atau dicekoki oleh sebuah argumentasi yang harus saya amini, karena hal itu hanya akan membuat kepala saya pusing dan tertekan. Saya hanya bisa di berikan fakta-fakta yang tidak abstrak dan di visualisasikan yang saya kaji sendiri.


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar