Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Senin, 25 Agustus 2014

GAMBIR SAWIT


Gending Kethuk 2 Kerep Minggah 4 Laras Slendro Pathet Sanga :

Sebuah Analisis Tekstual

Sebagai orang yang berlatar belakang berbeda dalam menganalisis gending-gending karawitan Jawa, sudah tentu mengalami berbagai kendala dalam mengungkap dan membedah objek yang dimaksud. Hambatan dan kendala tersebut tentunya lebih banyak mengenai penafsiran istilah-istilah karawitan Jawa itu sendiri. Walaupun istilah-istilah tersebut sudah ada dalam bentuk tulisan, namun karena kurangnya pengalaman memainkan dan “bergaul” dengan gending Jawa, tentu tulisan ini jauh dari baik. Kami berusaha mencari tahu istilah tersebut, setidaknya dapat kami mengerti dengan cara pandang kami sendiri, yang berkaitan dengan judul di atas.

Kami sengaja mencari objek yang lebih “menantang” untuk bisa menyelami karawitan Jawa lebih dari sekedar tahu(pernah mendengar). Memasuki dunia karawitan Jawa yang begitu luas, kami berusaha mencari tahu istilah mendasar yang berkaitan dengan judul di atas. Walaupun sebagian kata-katanya sudah akrab di telinga kami, namun sebelum berbicara lebih jauh, sekiranya istilah-istilah tersebut masih perlu dicantumkan dalam tulisan ini. Bagi teman-teman yang berlatar belakang Jawa mungkin saja istilah-istilah ini sudah mubasir dan tidak perlu diulas kembali. Akan tetapi bagi yang berlatar belakang non Jawa kemungkinan besar istilah-istilah ini menjadi sekerlip cahaya dalam kegelapan. Pengertian istilah berikut ini hanya merupakan ringkasan dari buku Konsep Pathet Dalam Karawitan Jawa karya Bapak Sri Hastanto, dan mengadakan silang pendapat dengan mewawancarai beberapa teman baik dosen maupun mahasiswa karawitan.
2. Pengertian Istilah
a) Gending
Dalam Karawitan gending merupakan salah satu istilah yang sangat penting. Istilah ini untuk memberi nama lagu-lagu yang disajikan baik instrumental maupun vokal. Berdasarkan bentuknya gending dapat digolongkan dalam keluarga gending ageng, gending alit dan gending pamijen. Istilah gending ini merujuk pada pengertian sebuah lagu, sedangkan alit (yang berarti kecil), ageng (besar), dan pamijen ( tidak seperti biasanya), merujuk pada bentuknya. Jadi gending dalam golongan diatas dalam penyajiannya dapat diidentipikasi melalui bentuknya.
Pengelompokan lain mengenai gending adalah merujuk pada ricikan pokok, seperti gending rebab, gending gambang, gending gender, gending bonang. Rujukan pada ricikan tersebut karena ricikan ini adalah yang melakukan buka sebagai awal dari penyajian gending. Juga ada pengelompokan gending berdasarkan fungsi seperti gending Pakurmatan yaitu fungsi gending yang digunakan dalam sebuah upacara, untuk menghormati salah satu mata acara dalam upacara itu.
Gending klenengan, merupakan jenis gending yang merujuk pada sebuah peristiwa karawitan yang mana gending-gending yang disajikan khusus untuk didengarkan. Dalam acara klenengan biasanya ditampilkan gending baik yang berbentuk gending alit maupun yang berbentuk gending ageng. Keluarga besar gending lainnya adalah gending wayangan dan gending beksan. Gending wayangan merupakan peristiwa karawitan yaitu pertunjukan wayang kulit purwa, madya, maupun wayang gedog. Gending beksan merupakan gending yang disajikan untuk gending-gending tari.
b) Kethuk 2 Kerep Minggah 4
Bentuk gending yang menggunakan istilah kethuk kerep dan minggah merupakan bentuk gending tergolong dalam keluarga gending ageng. Gending ageng ini memiliki ukuran lagu lebih panjang dari gending alit seperti gending ketawang maupun ladrang yang mempunyai pukulan atau sabetan delapan atau dua gatra. Gending ageng memiliki 16 sabetan atau empat gatra dan kelipatannya. Ditandai dengan sebutan “kethuk kerep” dan “kethuk arang”. Kerep berarti kerap /rapat dan arang berarti jarang. Sebagai tipikal tabuhan kerep adalah tabuhan kethuk diletakan pada sabetan ke empat di akhir frase ( baik frase padhang maupun ulihang). Jika terdapat dalam satu kalimat lagu hanya dibutuhkan sepasang frase padhang dan ulihang, dengan demikian terdapat dua kali pukulan ricikan kethuk maka bentuk gendingnya adalah gending kethuk 2 kerep. Konsep ini kalau disejajarkan dengan konsep tabuhan dalam karawitan Bali, sama dengan kerangka balungan pada jenis tabuh lelambatan yang mana terdapat 16 pukulan tungguhan penyacah atau empat frase dalam satu kalimat lagu yang ditandai dengan jatuhnya pukulan jegog atau kenong (jawa). Bentuk kerep dan bentuk arang dalam karawitan Jawa disebut dengan merong. Biasanya tidak dapat berdiri sendiri. Kebiaannya mereka harus disajikan dengan bentuk kelanjutannya yang di sebut dengan inggah/minggah. Ada merong yang mempunyai minggah sendiri dan ada pula inggah-nya meminjam. Melodi merong selalu tersusun dengan menggunakan jenis balungan mlaku sedangkan inggah gending kebanyakan menggunakan jenis balungan nibani. Di dalam inggah tidak terdapat istilah kerep dan arang, karena jarak tabuhan kethuk di semua jenis inggah berjarak sama.
c) Laras Slendro Pathet Sanga
Dalam dunia karawitan istilah laras memang tidak asing lagi. laras yaitu sistem pengaturan frekwensi dan interval nada-nada. Dalam sebuah laras terdapat beberapa nada. Kalau lima nada di sebut sistem lima nada dan kalau tujuh nada disebut sistem tujuh nada. Secara umum ada dua laras yang digunakan yaitu laras pelog dan laras slendro. Masing-masing laras ini memiliki karakter yang berbeda. Untuk mendukung suasana gending yang di bawakan masing-masing laras terdapat beberapa pathet. Dalam laras pelog terdapat pathet limo, pathet nem, pathet, barang. Dalam laras slendro terdapat tiga pathet yaitu pathet nem, pathet sanga dan pathet mayura. Pathet sanga yang menjadi bahasan dalam judul diatas memiliki teba atau wilayah nada yang lebih besar. Sehingga gending yang disajikan dalam pahtet ini, memiliki nuansa yang lebih agung dan wingit.
3. Deskripsi Objek
Gending Gambir Sawit termasuk kedalam jenis gending ageng. Mengingat bentuk dan strukturnya yang memilki frase lebih dari delapan dalam satu gongan. Melihat dari bentuk penyajiannya gending Gambir Sawit sering disajikan pada acara klenengan, dengan nuansa tenang, hening dan wingit. Kalau dilihat dari ricikan yang melakukan buka gending ini dimulai dengan rebab. Artinya secara melodi ricikan rebab mempunyai peran yang sangat penting dalam memimpin jalannya gending. Pada saat rebab melakukan srenggengan (sajian melodi pendek tabuhan ricikan rebab sendirian untuk mengkonsilidasikan atau memantapkan rasa pathet kepada semua pemabuh, agar dalam menyajikan gending rasa pathet mereka sudah mapan), saat ini semua perhatian penabuh tertuju kepada rebab. Sebab setelah rasa pathet sudah terkonsolidasi oleh sajian srenggengan tadi, Ia akan segera melakukan buka dan semua ricikan harus menyambut buka tersebut secara bersama-sama. Kendatipun rebab memimpin melodi gending, namun dalam hal tempo, dinamika, dan irama, tetap dikendalikan oleh kendang. Gending Gambir Sawit dalam klenengan ini termasuk klenengan lengkap, karena ditinjau dari iramanya memakai semua irama yang ada. Yaitu irama tanggung, irama dadi, irama wilet dan irama rangkep.
a) Perangkat Gamelan
Dalam menyajikan gending Gambir Sawit, menggunakan perangkat gamelan ageng. Dalam satu kesatuan perangkat gamelan ageng terdiri dari dua kelompok. Satu kelompok berlaras pelog dan satu lagi berlaras slendro. Setiap kelompok tadi dalam karawitan Jawa disebut dengan Pangkon. Jadi dalam menyajikan gending Gambir Sawit memakai gamelan ageng pangkon slendro lengkap. Adapun ricikan-nya adalah ; rebab plonthang, gender barung, gender penerus, bonang barung, bonang penerus, slenthem, demung, saron barung, saron penerus, gambang, clempung, siter, kenong, kempul, kethuk kempyang, engkuk (kemong dua pencon), sepasang kemanak, suling, gong suwukan, gong ageng, seperangkat kendang. Gending Gambir Sawit tidak hanya dimainkan dalam gemelan pangkon slendro pathet sanga, terkadang juga dimainkan dalam pangkon pelog pathet nem. Dimainkanya dalam pelog nem gending Gambir Sawit kurang memiliki gereget. Karena dalam pelog nem terkesan lebih girang dan riang. Hal ini tentu tidak sesuai dengan esensi gending yang diinginkan. Namun dalam slendro pathet sanga-lah kecocokan rasa didapat dengan nuansa hening, agung dan wingit.
b) Bentuk dan Struktur
Telah disebutkan di atas bahwa gending Gambir sawit termasuk dalam gending ageng yang dapat diidentipikasi salah satunya melalui penulisannya. Penulisan kata “gending” mempunyai pengertian sempit bahwa gending tersebut memiliki bentuk dan ukuran panjang yang ditandai dengan sabetan balungan dan ricikan struktural (kethuk kerep 2 minggah 4) seperti ricikan kethuk-kempyang, kenong, kempul dan gong, dengan struktur terdiri dari buka, merong, umpak inggah dan inggah. Masing-masing bagian tersebut memiliki pola tabuhan atau pola garap dengan memperhatikan irama yang di sajikan. Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai bentuk dan struktur gending Gambir Sawit dapat dilihat memalui notasi melodi balungan di bawah ini.
Notasi
buka
t . 6 1 2
. 2 . 2 . 1 2 1 3 2 1 2 . 1 6 g5

ir. Tanggung
[ . e t w . 3 5 6 2 2 . . 2 3 2 n1
masuk irama dadi
. . 3 2 . 1 2 6 2 2 . . 2 3 2 n1
. . 3 2 . 1 6 5 . . 5 6 1 6 5 n6<umpak
2 2 . 3 5 6 2 1 3 5 3 2 . 1 6 g5]
Ngelik
6 6 . . 6 6 . . 2 2 . . 2 3 2 n1
. . 3 2 . 1 2 6 2 2 . . 2 3 2 n1
. . 3 2 . 1 5 6 . . 5 6 1 6 5 n3
2 2 . 3 5 6 2 1 3 5 3 2 . 1 6 g5

Umpak Inggah
>. 2 . 1 . 6 . 5 . 2 . 3 . 3 . n2
ir. Dadi kendang ciblon
. 3 . 5 . 2 . 1 . 2 . 1 . 6 . g5

Minggah
[ . 6 . 5 . 1 . 6 . 1 . 6 . 2 . n1
. 2 . 1 . 2 . 6 . 1 . 6 . 2 . n1

irama wilet+ ir. dadi mau suwuk.
. 2 . 1 . 6 . 5 . 1 . 6 . 2 . n1
. 6 . 5 . 2 . 1 . 2 . 1 . 6 . g5 ]

NB. Notasi gerongan di bagian lampiran.

Dengan memperhatikan notasi di atas, dapat diketahui bahwa gending Gambir Sawit memiliki buka terdiri dari lima frase, sebelum akhirnya menuju merong yang ditandai dengan jatuhnya gong. Merong-nya (kethuk 2 kerep) terdiri dari 16 sabetan atau empat frase dalam satu kenong, dan 64 sabetan atau 16 frase dalam satu gongan. Bagian ini merupakan ajang garap yang halus dan tenang. Setelah berlangsung selama satu kali putaran merong, dilanjutkan ke bagian ngelik. Ngelik merupakan bagian lagu yang tidak pokok, tetapi wajib dilalui. Artinya dalam penyajian gending, ngelik boleh ada boleh tidak dikarenakan oleh desakan waktu atau hal lain. Setelah ngelik gendhing kembali ke merong. Struktur berikutnya adalah ke bagian inggah. Pergantian merong ke inggah, dijembatani oleh umpak, yang dikomandoi oleh tabuhan kendang pada menjelang kenong ke-tiga. Model transisi atau “jembatan” ini lazim disebut dengan umpak inggah yang ditandai dengan tabuhan kendang khusus, serta mengkomandoi dengan manaikan tempo sedikit lebih cepat dari pada merong.
Bagian berikutnya adalah bagian inggah. Gending Gambir Sawit memiliki inggah tersendiri, dengan kata lain inggahnya merupakan kelanjutan dari pada merong. Hanya saja sesuai dengan hukum/norma yang berlaku, balungan inggah ini memakai jenis balungan nibani. dalam inggah ini terjadi dua kali andeg yaitu perberhentian sementara menjelang kenong. Kemudian dilanjutkan oleh sinden menuju melodi berikutnya. Andeg dilakukan pada menjelang kenong pertama dan menjelang kenong ke-dua dalam irama rangkep. Selain andeg juga diwarnai dengan perubahan irama. Satu gongan pertama memakai irama wilet, masuk gongan ke-dua irama berubah menjadi irama rangkep. Irama rangkep hanya terjadi dua kali kenongan, setelah itu kembali ke irama wilet, sebelum akhirnya menuju suwuk, Pada pertengahan melodi menuju kenong ke tiga dalam gongan putaran yang ke-tiga. Dalam perbagai perubahan irama ini, kendang yang berfungsi sebagai pemurba irama, memiliki peran yang sangat penting dalam mengkoordinasikan perubahan. Sehingga terjadi kesatuan rasa yang harmonis.
c) Garap
Beberapa pakar karawitan Jawa menyatakan bahwa dalam penggarapan gendhing, pengrawit diberikan kebebasan untuk menterjemahkan, memberi makna, serta menafsirkan garap sesuai dengan rasa estetik musikalnya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Rahayu Supanggah menyatakan bahwa karawitan bersifat fleksible dan multi interpretable. Artinya para pemain ricikan terutama ricikan garap bebas menafsirkan kemungkinan-kemungkinan garap sebuah gendhing. Hal ini kemungkinan ‘salah’ atau ‘benar’ tidak terjadi. Yang terjadi hanyalah penak dan ora kepenak atau munggah dan ora munggah. Ricikan-ricikan yang melakukan interpretasi tersebut antara lain ; rebab, gender, kendang,dan bonang. Dalam gending Gambir Sawit menurut pengamatan dan rasa musikal kami, peranan rebab dan sinden sangat dominan dalam melakukan cengkokan. Dengan tuntunan rebab, pesinden mampu membuat cengkokan mengalun sangat indah. Hal ini juga didukung oleh pola tabuhan gender dengan pola tabuhannya mampu membuat cengkokan yang enak didengar. Ricikan gambang dan siter bertugas memainkan tempo dan membuat pola tabuhan mengisi ruang-ruang balungan dengan lincah dan enerjik. Tak kalah penting adalah ricikan bonang dengan teknik permainan atau pola tabuhan imbal dan sekaran memberikan warna garap sangat kaya. Kendang dalam hal ini selain sebagai pemurba irama, juga membuat variasi pukulan terutama dalam permainan kendang ciblon yang masuk menjelang inggah. Selain ricikan-ricikan tadi peranan gerong juga tak kalah pentingnya. Selain melantumkan syair-syair gerongan, juga melakukan senggaan dan keplokan untuk meramaikan dan mendukung suasana. Sistem garap inilah letak estetika, keunikan gending ini, yang didukung oleh keahlian para pemain ricikaan garap dalam menafsirkan balungan gending dengan variasi-variasi cengkokan-nya. Sehingga para penikmat hanyut dalam keasyikan menikmati cengkok dan tabuhan. Mungkin tidak hanya penikmat yang hanyut dalam menikmati gendhing, melainkan pemain juga hanyut dalam menikmati tabuhan-nya sendiri.
4. Tunjauan Sejarah dan Pengrawit.
Gending gambir sawit diciptakan pada tahun 1820 pada pemerintahan Kanjeng Sesuhunan Pakubuwono Kaping V. Keraton dalam hal ini sebagai pusat kebudayaan memiliki peran yang sangat penting dalam pembinaan dan pengembangan seni khususnya seni karawitan. Seluruh ciptaan seni hanya dipersembahkan untuk raja. Walaupun gending-gending itu secara de facto di ciptakan oleh seniman yang hidup pada waktu itu, namun karena kekuasaan dan sifat feodalis keraton, secara de jure gending itu hanya boleh diakui oleh sang raja. Hal ini menjadi tidak jelas siapa orang yang sebenarna menciptakan gending ini. Apakah raja atau kah abdi dalemnya. Tapi mengingat dalil yang telah dikemukakan di atas, raja yang berkuasa lah menjadi pencipta segala seni yang muncul pada saat pemerintahannya. Selain gending Gambir Sawit pada pemerintahan P.B. V ini banyak sekali gending-gending lain yang muncul, diantaranya: Kembang Gayam, Rarawudhu, Raranangis, Randha Nunut, Montro, Lobong dan lain sebagainya.
Mengenai pengrawit yang menyajikan gending Gambir Sawit ini, kami tidak mendapatkan informasi secukupnya. Karena gending ini berupa rekaman audio berupa CD yang kami ambil dari perpustakaan Jurusan Karawitan ISI Surakarta. Melihat dari lebelnya kemungkinan besar gending ini disajikan oleh pengrawit dari para dosen dan mahasiswa STSI Surakarta. Berdasarkan pengalaman musikal kami, secara audio gending ini dibawakan sangat baik; kesatuan rasa, teknik tabuhannya dan suara gamelannya. Sebagai orang yang berlatar belakang berbeda, kami belum bisa membedakan secara pasti dan detail rasa dan teknik tabuhan antara pengrawit alami dengan pengrawit yang berlatar belakang alami plus akademik. Juga dalam hal gaya personal, kelompok, maupun regional.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar