Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Rabu, 14 Mei 2014

Biografi Motinggo Busye

Motinggo Busye yang bernama asli Bustami Djalid (lahir di Kupangkota, Bandar Lampung, 21 November 1937 – meninggal di Jakarta, 18 Juni 1999 pada umur 61 tahun) adalah seorang sastrawan terkemuka, sutradara, dan seniman asal Indonesia. Ia terkenal lewat novel-novelnya yang bercerita tentang Seks dan kehidupan malam seperti Mama Cross (1966) dan Tante Maryati (1967). Karyanya yang berjudul Malam Jahanam terpilih menjadi naskah drama terbaik Departemen P & K dan menjadi bacaan wajib di sekolah seni dan
teater.

Selain dikenal luas sebagai novelis, mantan Redaktur Kepala Penerbitan Nusantara ini juga menyandang predikat dramawan, sutradara film, penyair, dan pelukis. Sejak kecil sudah gemar membaca. Kegemarannya itu tidak bisa dilepaskan dari kecintaan pada buku yang diperlihatkan oleh ayahnya. Ketika masa pendudukan Jepang di Tanah Air sekitar Maret 1942, sebuah "mobil buku" milik Balai Pustaka ditinggalkan lari begitu saja oleh supirnya yang ketakutan dengan tentara Jepang. Saat yang lain sibuk mempreteli onderdil kendaraan tersebut, sang ayah malah sibuk menjarah buku-buku yang ditinggalkan.

Saat peristiwa itu terjadi, Motinggo baru berumur 5 tahun. Selang beberapa tahun kemudian, setelah ia sudah lancar membaca, buku-buku Balai Pustaka seperti karya-karya Karl May dan buku Mowgli Anak Didikan Rimba terjemahan Haji  Agus Salim mendampinginya tumbuh dewasa. Dari situlah ketertarikan anak ketiga dari delapan bersaudara ini pada dunia tulis menulis berawal

Motinggo lahir dari pasangan Djalid Sutan Raja Alam dan Rabi'ah Ja'kub yang berasal dari Minangkabau. Ibunya berasal dari Matur, Agam dan ayahnya dari Sicincin, Padang Pariaman. Setelah menikah, mereka berdua pergi merantau ke Bandar Lampung. Disana ayahnya bekerja sebagai klerk KPM di Kupangkota, sedangkan ibunya mengajar agama dan Bahasa Arab. Ketika usianya mendekati 12 tahun, kedua orang tuanya meninggal dunia. Sepeninggal orang tuanya, Motinggo diasuh neneknya di Bukittinggi hingga ia menamatkan SMA disana. Motinggo kemudian melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (tidak tamat). Motinggo Busye lahir dengan nama asli Bustami Djalid, dari pasangan Djalid Sutan Raja Alam dan Rabi'ah Ja'kub, keduanya berasal dari Minangkabau. 

Motinggo merupakan nama pena Bustami yang berasal dari Bahasa Minang: mantiko. Kata tersebut memilki makna antara sifat bengal, eksentrik, suka menggaduh, kocak, dan tak tahu malu. Namun mantiko dalam diri Motinggo bukanlah berkonotasi negatif. Untuk itu dia menambahkan kata bungo (bunga) dibelakang nama samarannya itu, sehingga lengkap tertulis Mantiko Bungo (MB). Dari inisial MB inilah akhirnya berkembang nama Motinggo Busye. Selain nama pena dan nama pemberian orang tua, sesuai Adat Minangkabau, Motinggo juga memilki nama dewasa (gelar) yaitu Saidi Maharajo.

Seperti kedua orang tuanya dan kebiasaan orang Minang pada umumnya, Motinggo pun meninggalkan kampung halamannya untuk pergi merantau demi mengembangkan potensinya.  Yogyakarta dipilih sebagai tempat persinggahannya sekaligus untuk melanjutkan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Jurusan Tata Negara, meski belakangan ia tidak berhasil menyelesaikan kuliahnya lantaran kecintaan pada dunia seni yang lebih besar telah menyita seluruh perhatiannya. Pilihannya untuk melanjutkan studinya di  Yogyakarta semakin menyuburkan bakat seninya tersebut. Di kota berjuluk Kota Pelajar inilah, ia bertemu dengan seniman-senimana kawakan seperti Rendra, Kirdjomuljo, Nasjah Djamin, dan membuatnya bergabung di Sanggar Bambu.

Meski gagal meraih gelar sarjana, tidak menghalanginya untuk berkarya. Justru setelah meninggalkan bangku kuliah, Motinggo lebih leluasa mendalami berbagai kegiatan berbau seni, seperti mengisi siaran sandiwara radio di RRI Bukittinggi, bermain drama, menjadi sustradara, melukis, menulis puisi, cerpen, novel, dan essai. Nama Motinggo Busye perlahan-lahan mulai berkibar di dunia kesusastraan Tanah Air. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa, seperti Minggu Pagi, Budaya, Mimbar Indonesia, Kisah, Sastra, dan Aneka.

Di dunia sastra, mantan redaktur kepala Penerbitan Nusantara periode 1961-1964 ini terbilang cukup produktif dalam berkarya. Sedikitnya ada 200-an karya yang telah dihasilkannya baik novel, drama, cerpen, maupun puisi, antara lain Malam Jahanam, Badai Sampai Sore, Tidak Menyerah, Hari Ini Tak Ada Cinta,  perempuan Itu Bernama Barabah, Dosa Kita Semua, Dia Musuh Keluarga, Sanu, Infita Kembar, Madu Prahara, serta ratusan karya lainnya yang sampai saat ini masih tersimpan di Perpustakaan Kongres di Washington, DC, Amerika Serikat.

Karya-karya Motinggo Busye menunjukkan perjalanan seni sekaligus perjalanan hidupnya. Salah satu novelnya yang berjudul 1949 merupakan gambaran sejarah tentang kenangan buram masa revolusi fisik yang menyebabkan dirinya bersama keluarga harus mengungsi di hutan belantara. Bahkan demi memenuhi kebutuhan ekonomi yang lebih baik, ia pernah memasuki fase menulis novel-novel pop porno. Namun itu tak berlangsung lama, hidayah kemudian datang dari anaknya yang belajar di Pesantren Gontor. Setelah itu, karya-karya sastra seorang Motinggo Busye menjadi lebih religius dan serius.

Sebagai  penyair, karya-karyanya pernah masuk dalam antologi  penyair Asia di tahun 1986 dan antologi penyair dunia, empat tahun berikutnya. Selain terlibat dalam dunia sastra dan drama, pria yang pernah menjabat sebagai Ketua II  koperasi Seniman Indonesia ini juga hobi melukis. Pada tahun 1954, sebuah pameran lukisan di Padang pernah menampilkan 15 lukisan karya Motinggo.

Seniman besar ini tutup usia pada 18 Juni 1999 di Jakarta akibat komplikasi penyakit diabetes. Sebelum wafat, sastrawan yang sempat menyutradarai beberapa judul film layar lebar di tahun 70-an ini meluncurkan cerpen terakhirnya yang berjudul Dua Tengkorak Kepala yang dimuat di Kompas, 13 Juni 1999. Cerpen tersebut kemudian diterbitkan oleh Penerbit Bentang dalam Buku Kumpulan Puisi Motinggo Busye. eti | muli, mlp




Daftar karyanya yang lain
  • Malam Jahanam (novel, 1962)
  • Badai Sampai Sore (drama, 1962)
  • Tidak Menyerah (novel, 1963)
  • Hari Ini Tak Ada Cinta (novel, 1963)
  • Perempuan Itu Bernama Barabah (novel, 1963)
  • Dosa Kita Semua (novel, 1963)
  • Tiada Belas Kasihan (novel, 1963)
  • Nyonya dan Nyonya (drama, 1963)
  • Sejuta Matahari (novel, 1963)
  • Nasehat buat Anakku (kumpulan cerpen, 1963)
  • Malam Pengantin di Bukit Kera (drama, 1963)
  • Buang Tonjam (legenda, 1963)
  • Ahim-Ha (legenda, 1963)
  • Batu Serampok (legenda, 1963)
  • Penerobosan di Bawah Laut (novel, 1964)
  • Titian Dosa di Atasnya (novel, 1964)
  • Cross Mama (novel, 1966)
  • Tante Maryati (novel, 1967)
  • Sri Ayati (novel, 1968)
  • Retno Lestari (novel, 1968)
  • Dia Musuh Keluarga (novel, 1968)
  • Sanu, Infita Kembar (novel, 1985)
  • Madu Prahara (novel, 1985)
  • Dosa Kita Semua (novel, 1986)
  • Aura Para Aulia: Puisi-Puisi Islami (1990)
  • Dua Tengkorak Kepala (1999).
  • Fatimah chen chen

Add caption
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar