Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Minggu, 11 Mei 2014

Kritik Sastra; Cerpen "Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu, dan Omong Kosong yang Harus Ada" karya Dea Anugrah.

Oleh : Ardy Kresna Crenata

Cerpen Koran Tempo kemarin, 4 Mei 2014: "Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu, dan Omong Kosong yang Harus Ada" karya Dea Anugrah.



(Gambar oleh Munzir Fadly)
HALO, di mana?”
Kau menerima panggilan di ponselmu dan memulai percakapan dengan suara berat. Sangat berat.
“Heh, kalau kuusir dari rumah, tanggung sendiri risikonya!”
“Ya, di mana? Kamu sekarang di mana?”
Barangkali telepon itu dari istri atau kekasihmu yang kau ajak tinggal serumah. Dan saat ini jelas sedang ada masalah. Tapi sepertinya bukan soal baru. Dari caramu bicara, terasa ada kejengahan yang nyaris meledak.
“Kok nggak jawab?”

Mungkin kau melarangnya keluar rumah malam ini. Tapi, ah, perempuan…. Dengan kemampuan tertentu, seekor harimau bisa dijadikan penurut seperti kucing peliharaan. Perempuan? Sejarah mencatat tentang terlalu banyaknya lelaki hebat yang tumpas karena gagal menjinakkan perempuan. John Dillinger dan Arthur Schopenhauer, contohnya.
“Kamu mau main-main sama aku ya?”
“Oke, tanggung sendiri ya risikonya kalau kuusir!”
Oh, adakah yang lebih mengenal tabiat Adam selain Eva? Bukankah dia, yang Tuhan lengkapi dengan perangkat bernama daya pikat sebagai ganti ketulusan, yang membujuk Adam untuk melakukan dosa pertama? Maka apakah yang bisa kau lakukan selepas pertengkaran ini, kecuali menerima permintaan maaf yang sebetulnya amat terlambat, mencium kening istri atau kekasihmu itu, memeluknya erat-erat sambil menahan diri agar tidak menangis, lalu berharap yang baru saja dilewati itu sebagai
penderitaanmu yang terakhir.
Tapi tak pernah ada penderitaan terakhir. Kau tahu itu.
Pukul dua belas malam lewat sedikit. Kau berada di sebuah swalayan 24 jam untuk membeli minuman kaleng, rokok, dan air mineral. Aku tahu karena kau berdiri tepat di sebelahku sambil menenteng belanjaanmu. Soal rokok, tentu kudengar jelas ketika kau memesannya: Djarum Super sebungkus, Sampoerna Mild dua. Dan akulah alasan kau harus berlama-lama di swalayan itu. Aku jugalah yang membuatmu harus bertengkar dalam suara yang dipelankan. Tapi kau tak mungkin membenciku. Kita, lelaki, punya aturan-tak-tertulis untuk tidak saling mempedulikan satu sama lain, bukan?
Omong-omong, apa yang paling menyebalkan dari swalayan 24 jam?
Menurutku, yang paling menyebalkan dari swalayan 24 jam adalah sistem kerja mereka yang betul-betul 24 jam.
Di planet ini, keseluruhan waktu sehari-semalam adalah 24 jam pas. Tidak lebih, tidak kurang. Lalu bagaimana caranya sebuah swalayan yang menghabiskan semua cadangan waktu itu untuk berjualan sempat mengurusi rekap transaksi (serta macam-macam urusan lain di luar jual-beli yang melibatkan komputer kasir dan printer nota) yang terjadi dalam rentang waktu tersebut?
Mereka punya solusi brilian: semuanya akan dikerjakan selepas jam 12 malam. Maka bersabarlah, hai orang-orang yang mengunjungi swalayan 24 jam pada saat-saat tersebut. Jika kau lapar, ingin buang hajat, mengantuk, bertengkar dengan pasangan, terancam serangan Godzilla, atau apa pun urusannya, mohon tunggu sejenak. Yang membayar dengan uang mesti menunggu hitung-hitungan kalkulator, yang menggunakan kartu harus menunggu system errordibereskan, betapa pun lamanya sulit dikira-kira.
Itulah yang terjadi. Malam itu aku menggunakan kartu ATM untuk membeli rokok, air mineral, telur ayam, dan mi instan karena di dompetku tidak ada uang sama sekali. Dan sementara aku menunggu system error hilang dengan sendirinya seperti penyakit pilek, kau diwajibkan mengantre. Kemudian ponselmu berdering. Kau bertengkar dengan seseorang di ujung sana dalam suara berat yang ditahan.
Demikianlah ceritamu plus omong kosongku sebelum gempa waktu terjadi.

GEMPA waktu adalah penjelasan paling masuk akal mengenai deja vu. Menurut Ramyun McClub, fisikawan kurang terkenal yang menjelaskan fenomena gempa waktu jauh sebelum Kilgore Trout menulis Sepuluh Tahun Saya di Bawah Kendali Otomatis, gempa waktu adalah kerusakan mendadak dalam kontinuum ruang-waktu yang mengakibatkan segala sesuatu di dunia ini bertindak persis seperti yang sebelumnya terjadi dalam jangka waktu tertentu, untuk kedua kalinya, tanpa keterlibatan kehendak bebas sama sekali.
Malam itu, dua detik selepas aku meninggalkan pintu swalayan, gempa waktu menggulung alam semesta ke tiga hari sebelumnya. Maka segala sesuatu di dunia ini pun mengulang semuanya, sampai ketiga hari tersebut terlewati dan kita kembali ke titik di mana ia terjadi.
Penanda selesainya gempa waktu adalah deja vu. Sebuah perasaan aneh yang membuat kita ingin berkata: saya pernah mengalami ini sebelumnya.
Tentu saja ada pertanyaan semacam “Saya mengalami deja vu, tapi kok orang di sebelah saya tidak?” Ramyun McClub sudah menjelaskan hal ini di dalam bukunya, Goncangan-goncangan Ruang-Waktu dan Penjelasan Tentangnya yang Sukar Dimengerti, yang sudah berhenti dicetak-ulang: gempa waktu memang melibatkan semua orang pada saat bersamaan, tetapi deja vu tidak.Deja vu hanya akan dialami apabila otak seseorang mendeteksi adanya sepersekian-milidetik jeda antara kendali otomatis dengan kehendak bebas. “Paling banyak hanya 3,5% manusia saja dari keseluruhan populasi yang mengalami deja vu pada saat bersamaan,” tulis McClub di halaman 56.
Setelah gempa waktu tersebut, secara kebetulan otakku merespons jeda antara kendali otomatis dan kehendak bebas. Maka kutunggu kau keluar dari pintu swalayan. Kemudian:
“Maaf, apa barusan Anda mengalami deja vu?”

TENTU saja reaksi pertamamu adalah memandangku dengan tatapan aneh. Atau tepatnya, tatapan untuk diarahkan kepada orang aneh. Di luar fiksi tak masuk akal karangan Kilgore Trout dan penulis ngawur lainnya, tak seorang pun mau diajak bicara oleh orang asing berjenis kelamin sama, pada tengah malam, lebih-lebih bila juntrungannya mencurigakan, hanya karena rasa penasarannya semata. Kecuali jika nalarnya sedang tidak beres.
Dan malam itu pikiranmu memang kurang beres. Kelewat penuh. Kubayangkan gerak lambat barang-barang kenangan yang dibanting, jerit-menjerit, penyesalan karena mencintai orang yang keliru, warna-warna aneh saling serobot, cangkir kopi yang dilemparkan ke arahmu tapi meleset, wajah buram seseorang, semu merah muda di pipi cinta pertamamu yang malu-malu, serta macam-macam citraan lainnya saling mendesak dan berebut tempat.
Kau bilang tidak terjadi apa-apa barusan Tapi sebagaimana kita semua, kau pernah mengalami deja vu. Empat atau lima kali. Terutama saat kanak-kanak. Lalu aku mengajakmu (dengan sedikit paksaan) duduk di teras swalayan, memberondong pikiran kalutmu dengan penjelasan paling sederhana tentangdeja vu dan gempa waktu sebagaimana kupelajari dari buku McClub. Kau mengangguk-angguk. “Pantas saja, kadang kurasa aku menjalani ulang beberapa hal tanpa kesadaran. Dan waktu kesadaranku pulih, aku tiba-tiba sudah berada dalam situasi lain,” timpalmu. Kau mengucapkan itu sambil mendongak, menatap langit-langit di atas teras swalayan. Aku berani bertaruh, ada berkilo-kilo kotoran tikus di balik selembar asbes itu.
Kau menawarkan minuman kaleng dan rokok yang baru saja kau beli. Aku memilih minuman cincau, lalu menyalakan rokokku sendiri. “Aku tidak suka Djarum Super,” kataku. “Baunya seperti cucian kotor.” Kau tergelak. “Kalau tidak ada uang buat beli rokok, mungkin aku bisa membkar pakaian ibuku,” balasmu serius. Dan aku mulai menghitung mundur. 4, 3, 2, 1. “Kau pasti dengar pembicaraanku di telepon tadi. Kau berdiri di sebelahku, kan?”

DAN ini adalah ceritamu plus omong kosongku setelah gempa waktu terjadi.
Blind Blonde, penyanyi folk yang mengklaim bahwa lagu-lagunya lebih populer daripada kitab suci semua agama, pernah berkata: “Keluasan dunia bagi seseorang ditentukan oleh seberapa luas keterlibatannya dengan orang lain.” Kau mulai dari kutipan itu. “Maka duniaku teramat sempit. Di dalamnya hanya ada aku dan ibuku,” simpulmu kemudian.
Ibumu perempuan baik. Sangat baik. Setidaknya begitu yang kupahami dari penuturanmu. Setidaknya hingga lima tahun lalu, sebelum seseorang yang kau beri nama panggilan yang-bahkan-membuat-para-pelaut-bergidik itu mengubah segalanya. Tapi soal itu nanti saja. Sekarang aku akan mengulang ceritamu tentang kau dan ibumu. Secara singkat, tentunya.
Sewaktu kecil, ada dua hal yang paling tidak kausukai. Pertama, iklan layanan masyarakat tentang keluarga idaman. Kedua, pelajaran PPKN. Alasannya: kedua hal tersebut sama-sama menganggap keluarga yang terdiri dari seorang ibu dan seorang anak sebagai sesuatu yang tidak genap. Keluarga yang genap, normal, ideal, atau apa pun sebutannya di negeri ini, adalah keluarga yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, serta dua orang anak.
Tapi kau dan ibumu mempersetankan apa yang dianggap ideal itu. Dia membesarkanmu sendirian, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Sesuai lambang shio-nya, naga, ibumu begitu tangguh. Dia tak hanya berperan sebagai ibu, tapi juga mengisi kosongnya peran ayah dan saudara kandung bagimu. Memastikan kalian berdua tidak akan kelaparan, melindungimu dari segala rasa takut (bahkan yang datang dari mipi kanak-kanak terliar sekalipun), mengajakmu bermain petak umpet, membantumu mengerjakan tugas-tugas sekolah. Masa kecilmu adalah masa kecil yang tidak dipunyai kebanyakan anak-anak dari keluarga ideal.
Tapi itu cerita dulu. Lima tahun silam, ibumu jatuh cinta kepada seorang iblis. Pada mulanya, hubungan mereka hanya urusan dagang. Ibumu penjahit dan pria itu penyuplai kain. Lalu keduanya semakin sering bertemu, meski masih sebatas urusan dagang. Pria itu menginginkan ibumu sebagai partnerbisnisnya. Mereka mendirikan perusahaan dengan nama baru, dengan kapasitas produksi serta distribusi yang lebih luas. Kemudian….
Pada dasarnya kau adalah seorang pencuriga. Kau mulai menyadari sesuatu ketika bunga lili dan surat beraroma manis secara rutin dikirimkan ke kediaman kalian. Dari ibumu, kau tahu bahwa pria itulah pengirimnya. Tapi dia tak merasa terganggu. Ibumu malah terlihat bahagia. Bibir dan pipinya hampir selalu bersemu merah. Maka apalah arti kecurigaan itu dibandingkan kebahagiaan ibumu. Dan kau pikir, mungkin memang sudah saatnya ibumu ditemani seseorang. Toh ia sudah lumayan tua dan kau sudah bisa mengurus kebutuhan-kebutuhanmu sendiri.
Tapi sayang kau keliru. Mestinya kau selalu percaya pada kecurigaanmu, pada naluri yang tak pernah berkhianat.
Suatu hari laki-laki itu datang ke rumahmu saat kau sedang ada urusan di luar. Ia merayu ibumu habis-habisan. Akibat rayuan itu, dan karena tingkat hubungan mereka memang sudah mencukupi, ibumu menerima ajakannya untuk pindah ke kamar tidur. Atau, tepatnya, ke atas ranjang ibumu yang senantiasa dingin.
Setelahnya, hanya ada kiamat yang tak berujung.

KAU menemukan ibumu dalam keadaan yang lebih menyedihkan daripada seekor binatang buruan: setengah sadar, tersedu-sedan, telanjang bulat, dan kedua tangan serta kakinya terikat. Dan yang paling menghancurkan hatimu: di atas kulit perutnya yang putih, sekitar lima senti di bawah payudaranya, ada seonggok besar kotoran manusia. Warnanya cokelat kehitam-hitaman dan berbau amat busuk. Kau nyaris semaput. Hanya kecintaan pada ibumulah yang membuatmu sanggup menahan semua itu.
Tapi ibu yang kau cintai sudah mati. Setelah peristiwa terkutuk itu, dia bukan lagi orang yang sama. Tubuhnya selalu gemetar. Barangkali karena ide-ide sinting yang disusupkan tinja cokelat busuk itu dalam tempurung kepalanya. Saban hari dia tak akan mandi jika tidak kau mandikan. Tidak menyisir rambut jika tidak kau sisir. Dan yang paling buruk, jauh lebih buruk daripada maki-makian yang sejak itu lancar mengalir dari mulutnya, dia akan lenyap jika sedikit saja kau luput mengawasi.
Maka kau tidak pernah punya kekasih atau sahabat. Waktumu habis untuk bekerja agar kalian berdua tidak mati kelaparan dan untuk mengawasi ibumu. Berkali-kali kau harus membetulkan pintu, gembok, dan gerendel yang dijebol olehnya.
Mulanya kau begitu tegar menahan segalanya. Dua tahun pertama selepas kejadian, ibumu selalu bisa kau temukan di toko minuman keras atau menggeletak di sekitar rumah karena mabuk. Tahun ketiga dan keempat dia mulai gila berjudi. Dan sejak itu tak lagi ada tempat aman di rumah untuk menyimpan uang. Dia bahkan pernah mendongkel ubin, mencari tahu apakah kau menyembunyikan uang di baliknya.
Dan tahun ini ibumu melakukan yang terburuk. Setelah dengan susah-payah kau menebus sertifikat rumah yang digadaikannya ke bandar judi, beberapa bulan belakangan ini akhirnya ia melakukan hal yang paling kau takutkan. Ya! Ibumu akhirnya melacurkan diri. Melonte, dalam arti yang sebenar-benarnya.
Ya, kau bilang, sejak itu sudah tak terhitung seringnya kau berencana bunuh diri bersama ibumu. Menyalakan gas setelah menutup semua jalur udara, membubuhkan arsenik ke dalam masakanmu, membeli pistol, dan sebagainya, dan sebagainya. Tapi di akhir cerita, yang kau lakukan hanyalah menemukan ibumu di tempat biasa, membawanya pulang ke rumah, mengecup keningnya, memeluknya erat-erat sambil menahan diri agar tidak menangis, menggendongnya ke tempat tidur, menyelimutinya. Dan berharap yang baru saja kau lewati adalah penderitaan terakhir.
Tapi tak pernah ada penderitaan terakhir. Kau tahu itu.
Dan karena itulah aku bermaksud meninggalkan tempat ini. Mengentikan pembicaraan ini. Sekarang juga. Lalu aku akan menemukan ibuku di tempat biasa, membawanya pulang ke rumah, mengecup keningnya, memeluknya erat-erat sambil menahan diri agar tidak menangis, menggendongnya ke tempat tidur, menyelimutinya. Dan berharap yang baru saja kulewati adalah penderitaan terakhir.
Tetapi tak pernah ada penderitaan terakhir. Bukankah aku tahu itu?(*)

(2012)

Dea Anugrah tinggal di Jakarta.


(Judul cerpen ini--"Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu, dan Omong Kosong yang Harus Ada"--seolah-olah terbagi menjadi tiga, dan ini, entah disengaja atau tidak oleh si pengarang, rupanya berkaitan dengan struktur cerpen ini sendiri yang seolah-olah terbagi menjadi tiga. Tiga bagian tersebut tentu saja adalah (1) bagian tentang cerita sedih, (2) bagian tentang gempa waktu, dan (3) bagian tentang omong kosong. Pembahasan saya atas cerpen ini akan bertolak dari hal ini.

Bagian tentang cerita sedih diletakkan si pengarang di akhir, berupa cerita di dalam cerita, yakni tentang apa-apa yang dialami si tokoh kedua--tokoh yang menjadi lawan bicara si aku-pencerita. Tentang mengapa bagian ini ditaruh di akhir, saya tidak tahu. Yang jelas, bagian ini bisa dibilang yang paling menggigit dari cerpen ini, terutama karena ia menghadirkan trauma dan tragedi dan berbentuk cerita. Kedua bagian lainnya lebih berupa pemaparan akan suatu hal--gempa waktu (yang berujung ke deja vu) dan swalayan 24 jam--dan membacanya menyisakan sejumlah pertanyaan di benak saya, seperti apa pentingnya memaparkan dengan panjang lebar mengenai gempa waktu dan swalayan 24 jam itu, misalnya. Saya mencoba melihat keterhubungan dua bagian yang berupa pemaparan ini dengan bagian yang berbentuk cerita tadi, dan memang menemukannya. Namun, rasa-rasanya, keterhubungan itu tidaklah kuat. Atau mungkin, lebih tepatnya, tidak natural. Memang bisa jadi dalam hal ini si pengarang berusaha memberdayakan arus kesadarannya (stream of consciousness), sehingga dua bagian tadi lebih tampak sebagai sebuah racauan ketimbang cerita. Namun tetap saja, pertanyaannya: sejauh mana apa-apa yang diracaukan itu penting bagi dan mendukung cerita-inti, yakni cerita tentang trauma dan tragedi tadi?

Tapi benarkah cerita tentang trauma dan tragedi itu adalah cerita-inti?

Jika kita memperhatikan judul yang seolah-olah terbagi tiga tadi, dan menanggapinya dengan serius bahwa ia dibuat seperti itu adalah dengan maksud tertentu, bahwa ia bisa jadi adalah semacam petunjuk bagi kita untuk memilih "jalan masuk" ketika mencoba memahami cerpen ini, maka mungkin hasilnya adalah seperti ini: Cerpen ini memang terdiri dari tiga bagian yang ketiganya sesungguhnya berdiri sendiri namun tetap terhubung oleh satu-dua hal. Maka kemudian, jika tafsiran kita atas judul ini memanglah tepat, menilai cerpen ini berdasarkan keutuhannya jadi tidak lagi relevan. Ketiga bagian itu menuntut untuk dipahami sebagai dirinya sendiri alih-alih sebagai struktur yang membentuk struktur yang lebih besar.

Lantas apa yang terjadi ketika kita menilai cerpen ini sebagai gabungan dari tiga struktur? Jawabannya jelas: "cara" yang kita gunakan untuk menilai ketiga bagian itu tidak harus sama; "cara" itu kita sesuaikan dengan wujud atau bentuk bagian-bagian itu. Mengingat bagian tentang cerita sedih berbentuk cerita, maka kita menilainya sebagai sebuah cerita. Sedangkan karena kedua bagian lainnya berbentuk pemaparan atau racauan, maka kita menilainya sebagai sebuah racauan. Pertanyaannya kemudian: sejauh mana cara menilai seperti ini dikatakatan wajar (dan bisa diterima)?

Ketika kita menilai bagian tentang cerita sedih tadi sebagai cerita, kita tentu menemukan bahwa ia adalah cerita yang baik; dalam satu ruang yang "pendek" ia mampu menghadirkan kisah yang panjang dan kompleks dan masuk akal, dan menggigit. (Tragedi yang berimplikasi pada trauma di bagian ini mungkin mengingatkan kita pada fiksi-fiksi Murakami.) Sementara itu kedua bagian lainnya yang berupa racauan tadi, ketika kita menilainya sebagai sebuah racauan, kita juga akan menemukan bahwa keduanya adalah racauan yang baik; salah satunya karena dalam racauan itu kita mendapatkan sesuatu yang berharga--tentang definisi gempa waktu dan kaitannya dengan deja vu, misalnya. Tapi seperti yang kita pertanyakan tadi: sejauh mana cara menilai (yang berbeda-beda ini) dikatakan wajar (dan bisa diterima)?

Barangkali ada baiknya kita mencoba menilai cerpen ini dengan mengabaikan judulnya. Itu artinya, meskipun ketiga bagian di cerpen ini tidak berbentuk sama, kita tetap menilainya dengan cara yang sama, yakni dengan menilainya sebagai sebuah cerita. Jika cara ini yang kita pakai, maka tentu kita akan dengan mudah mengatakan bahwa kedua bagian yang berbentuk racauan tadi tidak memiliki alasan yang signifikan untuk dihadirkan sebagai pendukung cerita-inti. Hal ini pun menjadi semacam cacat bagi cerpen ini dan itu membuat penilaian kita terhadapnya tidaklah bagus. Dan ini diperparah dengan kecenderungan si pengarang untuk show-off di dua bagian ini; lihat, misalnya, bahwa si pengarang--lewat si aku-pencerita--merasa perlu menyebutkan satu-dua nama dan beberapa judul tulisan/buku yang, lagi-lagi, tidak benar-benar mendukung cerita-inti. Ramyun McClub, Kilgore Trout. Sepuluh Tahun Saya di Bawah Kendali Otomatis, Goncangan-goncangan Ruang-Waktu dan Penjelasan Tentangnya yang Sukar Dimengerti. Apakah peran dari nama-nama dan judul-judul tulisan/buku tersebut terhadap cerita-inti? Seberapa krusial dan seberapa masuk akal peran tersebut--jika ada?

Jadi bagaimana? Apakah cerpen Dea Anugrah ini adalah cerpen yang baik, atau justru cerpen yang buruk? Apakah ia adalah cerpen yang berhasil, atau justru cerpen yang gagal? Saya kira jawaban dari pertanyaan(-pertanyaan) ini sangat bergantung pada "cara" apa yang kita gunakan untuk menilai cerpen ini, yang artinya sangat bergantung juga pada bagaimana kita menafsirkan dan memperlakukan judul cerpen ini. Konon sebuah cerita bisa saja menuntut cara pembacaan tertentu dari pembaca dan itu ditunjukkannya lewat satu-dua hal yang ia miliki, yang jika kita mengikuti tuntutan cerita tersebut maka kita bisa semakin mendekati maksud si pengarang dan akan sebaliknya jika kita tidak mengindahkan tuntutan tersebut. (Untuk yang satu ini kita bisa melihat, misalnya, pembacaan Bramantyo atas novel Cala Ibi karya Nukila Amal.) Namun, jika kita mengabaikan "petunjuk-petunjuk" tersebut, dan kita melihat cerpen ini sebagai sebuah cerpen yang bergerak di ruang konvensional, maka jelas: cerpen ini adalah cerpen yang gagal.

Namun terlepas dari kegagalan tersebut, cerpen ini sesungguhnya lebih menarik dari yang terlihat. Sejauh ini saya sudah membahas keterkaitan judul cerpen ini dengan strukturnya, dan itu bukan satu-satunya hal menarik yang bisa kita simak dari cerpen ini.

Satu hal menarik lainnya itu, misalnya, adalah bagaimana si pengarang membentuk cerpen ini sebagai cerpen yang anti-plot--bahwa peristiwa-inti yang dialami dua tokoh utama di cerpen ini terjadi hanya di satu waktu dan tempat saja--namun justru cerita-turunannya--bagian tentang cerita sedih tadi--dibentuk si pengarang sebagai cerita yang memiliki plot rumit. Ini lagi-lagi mengingatkan kita pada fiksi-fiksi Murakami. Murakami seringkali menghadirkan cerita-cerita dengan plot rumit sebagai cerita-turunan dari cerita-inti yang plotnya sangat sederhana. Itu banyak dilakukan Murakami, misalnya, dalam Norwegian Wood. Kita bisa juga melihat cerpen "Pertemuan Atlantik" karya Linda Christanty sebagai perbandingan; di mana di cerpen itu Linda membiarkan peristiwa-peristiwa-inti bergerak dengan sangat sederhana dan linear, sementara peristiwa-peristiwa dalam cerita-turunan dibuat rumit dan saling-silang.

Satu hal lainnya lagi, misalnya, adalah bahwa si pengarang membuat identitas dua tokoh utama di cerpen ini begitu ambigu; apakah keduanya adalah orang yang berbeda atau justru orang yang sama. Kita bisa melihat itu, misalnya, dari kalimat-kalimat berikut ini: "Dan karena itulah aku bermaksud meninggalkan tempat ini. Mengentikan pembicaraan ini. Sekarang juga. Lalu aku akan menemukan ibuku di tempat biasa, membawanya pulang ke rumah, mengecup keningnya, memeluknya erat-erat sambil menahan diri agar tidak menangis, menggendongnya ke tempat tidur, menyelimutinya. Dan berharap yang baru saja kulewati adalah penderitaan terakhir." Kalimat-kalimat tersebut berasal dari si aku-pencerita padahal sebelumnya kalimat-kalimat tersebut "berasal" dari si tokoh kedua--lawan bicara si aku-pencerita. Simak: "Ya, kau bilang, sejak itu sudah tak terhitung seringnya kau berencana bunuh diri bersama ibumu. Menyalakan gas setelah menutup semua jalur udara, membubuhkan arsenik ke dalam masakanmu, membeli pistol, dan sebagainya, dan sebagainya. Tapi di akhir cerita, yang kau lakukan hanyalah menemukan ibumu di tempat biasa, membawanya pulang ke rumah, mengecup keningnya, memeluknya erat-erat sambil menahan diri agar tidak menangis, menggendongnya ke tempat tidur, menyelimutinya. Dan berharap yang baru saja kau lewati adalah penderitaan terakhir." Dan jika benar kedua tokoh utama dalam cerpen ini sesungguhnya adalah satu sosok yang sama, maka kita tentu akan melihat adegan-adegan sebelumnya dengan cara berbeda, sekaligus bertanya-tanya: Apakah si satu-sosok-yang-sama ini melakukan dua pembelian sekaligus di swalayan 24 jam itu? Apakah ia tengah menghampiri dan bertanya kepada dirinya sendiri tentang deja vu dan gempa waktu itu? Dan sebagainya. Dan sebagainya.)


Sumber : http://cerpen2korantempo.wordpress.com/2014/05/04/sebuah-cerita-sedih-gempa-waktu-dan-omong-kosong-yang-harus-ada/
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar