Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Sabtu, 10 Mei 2014

Akhir Cinta


Mungkin engkau memiliki kisah dimana engkau hanya mampu melihat seseorang yang kau anggap berharga dari jauh. Mungkin engkau pernah mendapatkan kesejukan dari mata yang bahkan tak bisa kau pandangi selama beberapa menit sekalipun. Mungkin engkau pernah sembunyi-sembunyi melihatnya dari sudut matamu. Mungkin engkau pernah diam-diam melakukan sesuatu untuknya dan mungkin engkau pernah merasa seluruh dunia adalah sepenuhnya dia. Ya, engkau mencintainya dan rasa cintamu yang sedalam-dalamnya. Namun seiring berjalannya waktu engkau semakin menjadi angin lalu yang numpang lewat disisinya. Cinta yang kuyakini mampukan menjaganya dikala malam dan hembusan nafasnya yang menjadi bagian kehidupan namun jika dia berbahagia, melihatnya tersenyum dan terhapuskan gurat kesedihan dimatanya saja merupakan energi yang bisa menegakkan diri hingga akhir nanti.


Meski begitu cinta tak pernah salah, sebab apapun bentuknya cinta selalu mendewasakan perasanya.
0000
Berjalan gontai, seakan jalan menghitam dan dunia berputar bergerak. Hari-hari itu semakin dekat seperti sebuah gergaji yang bersiap akan meluluh-lantahkan hatiku. Bagaimana aku tanpamu jika matahari telah meninggi nanti?
Di bawah beringin di musim kemarau ini, di bulan yang akan selalu kukenang dalam sisa-sisa hidupku. Dimana pernah terukir namamu dengan pasti dan jelas. Bahkan ombak takkan mampu menghapusmu meski jejak-jejak kaki itu menghilang bersama aromamu yg kan memudar tapi jauh dalam ruang hatiku, di sudut jauhnya takkan bisa terbersihkan sisa-sisa keberadaanmu yang pasti dan jelas.
Aku mencintaimu, aku mencintaimu dengan pasti. Tapi tak sedikitpun engkau melihatku dengan tersenyum. Sebenci itukah padaku?
0000
Di antara deretan kepala aku mengeja nama demi nama, mencarimu di antaranya. Dimana engkau? Rasanya aku tercekat. Tanpamu, sekejap tanpa melihatmu aku merasakan sakit yang begitu parah. Meski tak bisa berada di sampingmu, kucukupkan hatiku menikmati keberadaanmu yang sudah mampu menghangatkan tubuhku.
Sejenak aku tak melihatmu dengan teriris parah hatiku, lantas bagaimana kelak aku bisa tanpamu?
Hari-hariku memeluk sunyi tanpa mendengar alunan suaramu yang menjadi semangat pagiku, wajahmu yang mendamaikanku dari jauh dan sinar kehidupan di matamu yang tanpa kau sadari menjeratku sedemikian rupa.
Ya, aku mencintaimu. Kurasakan, meski kata orang ini sebuah cinta sementara, tapi aku merasakan kedamaian yang mendalam adanya. Dan dirimu sumber kebahagiaanku.
Diantara bangku-bangku kayu lusuh dan tirai-tirai berwarna pudar aku melihat bayanganmu yang semakin menjauh. Mungkin akan segera menghilang diufuk horison, menyatu dengan alam dan seperti perginya gerimis di musim kemarau yang tak menghiraukan tanah yang masih merindunya.
0000
Dibawah akasia yang berdaun jarang, diantara para pemakai rok abu-abu aku menghitung detik-detik kepergianmu. Diantara hiruk-pikuk kelulusan dengan semburat senyum merekah yang hampir 3 tahun ini mewarnai malam-malam kesendirianku. Diantara lautan manusia engkau bercanda gurau dengan bahagianya. Aku disini seperti menanti eksekusi mati. Tanpamu, tanpamu, tanpamu, bagaimana aku nanti tanpa sedikitpun melihatmu?. Mantra-mantra itu memenuhi ruang kepalaku.
Aku mematung sendiri berharap sebuah kekuatan misterius menghempaskanku keruang entah dimana.
Cinta yang kupendam berakhir tanpa suara. Aku tidak mau, setidaknya, setidaknya dia tahu aku mencintainya, mengetahuinya langsung dariku bukan dari kabar angin yang telah lama beredar. Meski aku tahu, meski kucoba menghapuskan kenyataan yang di bawa angin, tak apa, tak apa jika kau telah bersama gadis disana tapi setidaknya biarkan aku mengucapkan tiga kata.
“Aku sangat mencintaimu.”
Aku merogoh saku, dimana sebuah lembaran telah kurangkum semalam. Lembaran kertas yang berisi kata-kataku yang separuh dari tulisannya berisi pemujaan terhadapmu. Kupandang kertas berbentuk bujur sangkar itu, menatapnya hingga mata pedih dan seperti gejolak perasaan yang mengila di dalam sana. Aku menatap kertasku bergantian dengan menatapnya. Aku masih dengan sedikit kepercayaan menunggu waktu yang tepat.
‘Ini kesempatanku.’ Bisikku dalam diri. ‘Kamu pasti bisa.’
Kucoba memulai langkah dan menuju kearahnya. Seseorang di pojok sana menatap langit sendirian. Lelaki pujaanku. Ini waktunya, aku bersorak riang.
Dua meter di hadapannya dia memandang kearahku dengan cermat dan tajam. Pandangannya yang menghujamku seakan membuat nafasku berhenti sejenak, jantungku berpacu cepat dan lututku goyah.
‘Jangan pingsan, jangan pingsan.’ Bisikku.
“Ada perlu apa?” suaranya terdengar jelas ditelingaku. Aku tak sanggup memandang wajahnya dan bertemu langsung dengan matanya.
Aku tidak bisa berfikir waras, aku gila dalam kediaman yang mencekam. Aku ingin menghilang saja rasanya.
“Ada apa?” nada suaranya seperti tak sabar.
Dengan cepat aku menyodorkan lipatan kertas kearahnya, tentu sambil penunduk dalam-dalam. Aku masih mencoba mengatur nafas saat lipatan kertasku diambil olehnya. Aku menarik wajah dan astaga, lipatan kertasku itu memang benar berpindah tangan namun tidak olehnya. Seorang gadis berkulit muntiara dengan wajah yang datar memandangku dengan kebencian. Tidak..........
“Apa ini? Apa yang mau kau berikan pada pacarku? Surat cinta?” ejeknya.
“Kembalikan!” aku mencoba merebutnya.
Dia memanggil teman-temannya dan keramaian segera mengelilinginya. Kepanikan menderaku. Si gadis mulai membuka lembaran kertasku, dengan wajah menghina ia mulai membaca.
Aku memutar diri dan berlari sekencang mungkin, aku lari bersama angin yang masih membisikkan mereka yang mengolok-olok kata demi kataku.
Bukan ini akhirnya........
Kenapa jadi begini?
Aku berlari dan terus berlari, berharap ada lengan yang akan menarikku dalam dekapannya.
Entahlah.........
0000



**Cerpen di atas adalah cerpen yang kubuat beberapa tahun yang lalu. Bergenre Pop-Romance dan hanya salah satu caraku mengasah kemampuan. 
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar