Mungkin
engkau memiliki kisah dimana engkau hanya mampu melihat seseorang yang kau
anggap berharga dari jauh. Mungkin engkau pernah mendapatkan kesejukan dari
mata yang bahkan tak bisa kau pandangi selama beberapa menit sekalipun. Mungkin
engkau pernah sembunyi-sembunyi melihatnya dari sudut matamu. Mungkin engkau
pernah diam-diam melakukan sesuatu untuknya dan mungkin engkau pernah merasa
seluruh dunia adalah sepenuhnya dia. Ya, engkau mencintainya dan rasa cintamu
yang sedalam-dalamnya. Namun seiring berjalannya waktu engkau semakin menjadi
angin lalu yang numpang lewat disisinya. Cinta yang kuyakini mampukan
menjaganya dikala malam dan hembusan nafasnya yang menjadi bagian kehidupan
namun jika dia berbahagia, melihatnya tersenyum dan terhapuskan gurat kesedihan
dimatanya saja merupakan energi yang bisa menegakkan diri hingga akhir nanti.
Meski
begitu cinta tak pernah salah, sebab apapun bentuknya cinta selalu mendewasakan
perasanya.
0000
Berjalan
gontai, seakan jalan menghitam dan dunia berputar bergerak. Hari-hari itu
semakin dekat seperti sebuah gergaji yang bersiap akan meluluh-lantahkan hatiku. Bagaimana
aku tanpamu jika matahari telah meninggi nanti?
Di bawah beringin di musim kemarau ini, di bulan yang akan selalu
kukenang dalam sisa-sisa hidupku. Dimana pernah terukir namamu dengan pasti dan
jelas. Bahkan ombak takkan mampu menghapusmu meski jejak-jejak kaki itu menghilang
bersama aromamu yg kan memudar tapi jauh dalam ruang hatiku, di sudut jauhnya takkan
bisa terbersihkan sisa-sisa keberadaanmu yang pasti dan jelas.
Aku
mencintaimu, aku mencintaimu dengan pasti. Tapi tak sedikitpun engkau melihatku
dengan tersenyum. Sebenci itukah padaku?
0000
Di antara deretan kepala
aku mengeja nama demi nama, mencarimu di antaranya. Dimana engkau? Rasanya aku
tercekat. Tanpamu, sekejap tanpa melihatmu aku merasakan sakit yang begitu
parah. Meski tak bisa berada di
sampingmu,
kucukupkan hatiku menikmati keberadaanmu yang sudah mampu menghangatkan
tubuhku.
Sejenak
aku tak melihatmu dengan teriris parah hatiku, lantas bagaimana kelak aku bisa
tanpamu?
Hari-hariku
memeluk sunyi tanpa mendengar alunan suaramu yang menjadi semangat pagiku,
wajahmu yang mendamaikanku dari jauh dan sinar kehidupan di matamu yang tanpa kau
sadari menjeratku sedemikian rupa.
Ya,
aku mencintaimu. Kurasakan, meski kata orang ini sebuah cinta sementara, tapi aku merasakan
kedamaian yang mendalam adanya. Dan dirimu sumber kebahagiaanku.
Diantara
bangku-bangku kayu lusuh dan tirai-tirai berwarna pudar aku melihat bayanganmu
yang semakin menjauh. Mungkin akan segera menghilang diufuk horison, menyatu
dengan alam dan seperti perginya gerimis di musim kemarau yang tak menghiraukan
tanah yang masih merindunya.
0000
Dibawah
akasia yang berdaun jarang, diantara para pemakai rok abu-abu aku menghitung
detik-detik kepergianmu. Diantara hiruk-pikuk kelulusan dengan semburat senyum
merekah yang hampir 3 tahun ini mewarnai malam-malam kesendirianku. Diantara
lautan manusia engkau bercanda gurau dengan bahagianya. Aku disini seperti
menanti eksekusi mati. Tanpamu, tanpamu, tanpamu, bagaimana aku nanti tanpa
sedikitpun melihatmu?. Mantra-mantra itu memenuhi ruang kepalaku.
Aku
mematung sendiri berharap sebuah kekuatan misterius menghempaskanku keruang
entah dimana.
Cinta
yang kupendam berakhir tanpa suara. Aku tidak mau, setidaknya, setidaknya dia
tahu aku mencintainya, mengetahuinya langsung dariku bukan dari kabar angin
yang telah lama beredar. Meski aku tahu, meski kucoba menghapuskan kenyataan
yang di bawa
angin, tak apa, tak apa jika kau telah bersama gadis disana tapi setidaknya
biarkan aku mengucapkan tiga kata.
“Aku
sangat mencintaimu.”
Aku
merogoh saku, dimana sebuah lembaran telah kurangkum semalam. Lembaran kertas
yang berisi kata-kataku yang separuh dari tulisannya berisi pemujaan
terhadapmu. Kupandang kertas berbentuk bujur sangkar itu, menatapnya hingga
mata pedih dan seperti gejolak perasaan yang mengila di dalam sana. Aku menatap
kertasku bergantian dengan menatapnya. Aku masih dengan sedikit kepercayaan
menunggu waktu yang tepat.
‘Ini kesempatanku.’
Bisikku dalam diri. ‘Kamu pasti bisa.’
Kucoba
memulai langkah dan menuju kearahnya. Seseorang di pojok sana menatap
langit sendirian. Lelaki pujaanku. Ini waktunya, aku bersorak riang.
Dua meter di hadapannya dia
memandang kearahku dengan cermat dan tajam. Pandangannya yang menghujamku
seakan membuat nafasku berhenti sejenak, jantungku berpacu cepat dan lututku
goyah.
‘Jangan pingsan, jangan
pingsan.’ Bisikku.
“Ada
perlu apa?” suaranya terdengar jelas ditelingaku. Aku tak sanggup memandang
wajahnya dan bertemu langsung dengan matanya.
Aku
tidak bisa berfikir waras, aku gila dalam kediaman yang mencekam. Aku ingin
menghilang saja rasanya.
“Ada
apa?” nada suaranya seperti tak sabar.
Dengan
cepat aku menyodorkan lipatan kertas kearahnya, tentu sambil penunduk
dalam-dalam. Aku
masih mencoba mengatur nafas saat lipatan kertasku diambil olehnya. Aku menarik
wajah dan astaga, lipatan kertasku itu memang benar berpindah tangan namun
tidak olehnya. Seorang gadis berkulit muntiara dengan wajah yang datar
memandangku dengan kebencian. Tidak..........
“Apa
ini? Apa yang mau kau berikan pada pacarku? Surat cinta?” ejeknya.
“Kembalikan!”
aku mencoba merebutnya.
Dia
memanggil teman-temannya dan keramaian segera mengelilinginya. Kepanikan
menderaku. Si gadis mulai membuka lembaran kertasku, dengan wajah menghina ia
mulai membaca.
Aku
memutar diri dan berlari sekencang mungkin, aku lari bersama angin yang masih
membisikkan mereka yang mengolok-olok kata demi kataku.
Bukan
ini akhirnya........
Kenapa
jadi begini?
Aku
berlari dan terus berlari, berharap ada lengan yang akan menarikku dalam
dekapannya.
Entahlah.........
0000
**Cerpen di atas adalah cerpen yang kubuat beberapa
tahun yang lalu. Bergenre Pop-Romance dan hanya salah satu caraku mengasah
kemampuan.