Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Minggu, 11 Mei 2014

Kanvas Dan Lukisan Gadis Boneka



(1)
Mungkin engkau setiap hari berpijak diantara rerumputan, tetapi engkau tak akan bisa tahu bau rumput yang sebenarnya tanpa menunduk dan menciumnya terlebih dahulu bau tanah tempat rumput tumbuh dan berdendang.
***
(2)
Sore yang jingga saat sekawanan camar berlayar di antara awan. Di balik bukit seorang bocah laki-laki muncul dengan segerombolan dombanya. Mengiring hewan berkaki empat itu kembali ke rumahnya.
‘Tak lelahkah ia bersama domba-domba? Tak bosankah ia mengembala; mengatur, merawat  dan mengarahkan hewan-hewannya yang terkadang berhasrat semaunya itu? Bagaimana Laki-laki muda itu mampu menjadi pemimpin di dunianya sendiri.’

…menjadi pemimpin dalam dirinya sendiri, menjadi penguasa dan menjadi pengendali. Tak mungkin orang yang belum mengenal dirinya bisa mengetahui kemana ia akan melangkah dan mau berbuat apa. Tidak seperti goresanku yang telah mengering  diatas kanvas yang tak lagi disentuh. Mau kemana garis-garis tak beraturan ini melangkah?
Garis-garis di kanvasku semakin lama terlihat seperti sebuah keputusasaan yang tak berujung tepi. Entah apa yang ditunggu untuk menjadikannya satu gambar utuh? Entah mimpi, entah cinta atau entah kematangan jiwa?.
***
(1)
Aku melihatnya seribu kali, langkah kecil di antara rumput-rumput basah esok pagi. Dia yang membelah hutan, mencari sisa-sisa pengetahuan alam, dia yang berjalan diam-diam. Berselendang keingintahuan dan bermata pen-cari-an.
Gadis bermata abu-abu dengan wajah berselimut kabut itu selalu terlihat termangu tiap kali namanya diserukan oleh angin. Aku pernah mendengarnya berdendang kepada langit. Suaranya terdengar melengking dan penuh harap.  
Pernah aku melihat, saat dia berbicara, matahari telah menoleh padanya tapi sayangnya dia tak melihatnya sebab kulihat wajahnya selalu menunduk. Mencari sesuatu di tanah tapi tak di langit sekali saja. Seperti biasa, ketika ia berjalan dia selalu membada kanvas yang dia dekap erat di dadanya, terkadang dengan berjalan tergesa dia melangkah dan kemudian menghilang di balik dahan. Kemana dia? Aku selalu ingin tahu keberadaannya. Aku mencarinya sama seperti saat ini juga.
Aku bertanya kepada angin yang selalu menampar batang hidung dengan aromanya yang tergiurkan. Dengan petunjuk-petunjuk peta alam aku menemukan gadis itu. Dia meringkuk di antara batang rapuh. Sosok kakunya bercampur dengan aura kematian batang lapuk.
Dia melompat dengan sejuta ekspresi  keterkejutannya mendapatiku berdiri tak jauh darinya. Dia gemetaran, mungkin ketakutan.
Apa ada yang ingin kau katakan?’ bisikku sendiri dalam hati.
“Apa yang kau cari setiap hari sehingga begitu membuatmu kesusahan?” seruku
Mata beku bonekanya menatapku. Dia bergerak, dengan gerakan yang cepat dia memungguti kanvas putih yang dipenuhi coretan tak beraturan seperti sebuah cakar ayam.
“Hei?” aku mencoba mencairkan suasana.
Tapi belum sempat aku berdiri di dekatnya dia sudah akan beranjak berlari. Untuk sekian kalinya ia berlari.  Apakah aku terlalu terbuka mendatanginya? Apa dia belum siap menerima kehadiranku?
Dia yang ketakutan, pergi dan menghilang. Mungkin memang belum ada waktu yang menyatukanku dengannya dalam satu saat yang tertentu.  Tapi alam memang berjalan teratur sesuai rumus yang telah ditentukan sebelumnya.
Gadis boneka itu tiba-tiba terjerembab di antara dahan kering. Dia menunduk saat aku mendekat, lalu kulihat dia bersimpuh. Diantara serakan benda, dia membisu dengan kaki yang berbercak biru.
“Naiklah!” aku memunggunginya, “naiklah! Aku akan mengendongmu pulang.” Aku merasakan gerakan kecil di punggungku.
Kilauan cahaya dan aroma musim semi, enak dan wangi. Aroma riang memenuhi dadaku, melonjak girang diantara senandung jantungku.
“Aku akan mengantarmu pulang. Dimana rumahmu?”
“Aku tidak tahu arah pulang.” Aku mengeryitkan kening.
“Dimana rumahmu?”
“Rumahku adalah tempat dimana banyak cahaya dan banyak cinta.” Jawabnya.
“Kalau begitu pulanglah.”
“Aku tidak tahu arahnya.”
“Kalau begitu carilah.”
“Dengan apa?”
“Dengan arah yang benar. Kau harus mencari tahu jalan mana yang kau pilih, apa itu akan mengarahkanmu pulang atau jalan yang hanya akan menyesatkanmu. Hingga kau hanya bisa berputar-putar saja di tempat.”
“Aku ingin pulang ke rumah yang dipenuhi cinta.”
“Cinta macam apa yang kau cari?”
“Cinta dimana tak ada luka didalamnya.”
“Aku mengetahui hanya satu cinta yang bisa demikian.”
“Cinta apa itu?”
“Kecintaan yang benar, kebenaran cinta.”
“Bagaimana aku bisa mendapatkannya?”
“Untuk mendapatkan cinta kau harus mendapatkan kebenaran.”
“Bagaimana aku mendapatkan kebenaran?”
“Selesaikan lukisanmu.”
“Aku tidak tahu apa yang akan kulukis.”
“Kalau begitu cari tahulah!”
“Tapi aku tak tahu.”
“Kau tak tahu karena tak mencoba mencari tahu.”
“Dari mana aku mencari tahu?”
“Dari apa yang kau lihat.”
“Cukupkah itu?” serunya. “Aku ingin pulang.”
“Kalau begitu ambilah jalan yang benar-benar bisa membuatmu sampai pada tujuanmu.”
“Jalan yang bagaimana itu?”
“Jalan yang lurus dan terang.”
“Kenapa musti begitu?”
“Sebab jalan yang lurus adalah jalan yang tidak akan membingungkanmu dengan berbagai tikungan dan kalau jalanmu gelap bagaimana kamu bisa melihat arah jalannya, arah tempat tujuanmu.”
Dia diam dan mulai terisak.
***
(2)
Setelah mengantarku ke ranjang dia menghilang. Laki-laki pengembala hewan itu sebelumnya seperti pernah kukenali, tapi entah dimana?
Aku menatap tubuhku. Di bawah tiap lampu aku melihat goresan-goresan warna yang menyatukan tubuhku dengan tubuhnya. Warna-warna terang yang dapat kubaca, tercetak jelas diantara daging-dagingku. Jawaban-jawaban pertanyaan-pertanyaanku muncul satu-persatu diantara jemari, dada, paha, kaki; sekujur tubuhku. akhirnya dapat kubaca goresan-goresan di tubuhku dan di tubuh-tubuh alam.
***
(1)
“Kau memberikan lukisan ini padaku?” tanyaku padanya suatu pagi, ketika dia secara mengejutkan memberikan lukisannya ke tanganku. Dia mengangguk dengan mengemaskan.
Goresan-goresan tak beraturan kemarin kini telah menjelma secara nyata menjadi sebuah lukisan indah. Lukisan yang dapat dinikmati secara sepenuhnya, dengan setiap incinya mengambarkan cerita yang tak ada habisnya.
“Ini….”
“Lukisan kita.” Katanya merona, “tiada kata yang sebelumnya kudengar dengan jelas, bahkan syair-syair yang diucapkan langit ketika menurunkan hujan tak sampai di telingaku, kini setelah kehadiranmu aku bahkan dapat mengeja nama-demi nama malaikat-malaikat cahaya. Dengan itu, karena hadirmu aku sanggup mengatakan kau adalah diriku.”
Aku mengulurkan tangan. “Kau akhirnya tahu arah pulang.”
***

~15-Apr-13~
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar