Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Senin, 12 Mei 2014

Diskusi dan Baca Puisi "Nadi Hang Tuah"


Oleh Raudal Tanjung Banua
DISKUSI DAN BACA PUISI "NADI HANG TUAH"
Bersama Sapardi Djoko Damono, Al-Azhar, Tan Lioe Ie, dan lain-lain

Lembaga Kajian Kebudayaan Akar Indonesia (LK2AI) mengadakan peluncuran buku puisi menguak negeri airmata: nadi hang tuah bertempat di Amphitheater, Taman Budaya Yogyakarta, Sabtu, 10 April 2010 mulai pukul 19.00 WIB. Buku setebal 300 halaman yang diterbitkan Akar Indonesia tahun 2010 itu, merupakan karya Abdul Kadir Ibrahim (Akib), seorang penyair Indonesia kelahiran Natuna, dan sekarang bermukim di Tanjungpinang, Propinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Acara terbuka untuk umum dan gratis tersebut, akan diisi diskusi sastra oleh Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, sastrawan yang juga guru besar Fakultas Sastra UI dan Al Azhar, budayawan Melayu Riau, dipandu sastrawan Joni Ariadinata. Selain itu, Walikota Tanjungpinang, Hj. Suryatati A. Manan dan tokoh pers Riau yang juga seorang pengarang, Rida K. Liamsi, akan hadir sebagai pembanding.

Kegiatan ini disemarakkan pembacaan dan musikalisasi puisi yang menampilkan Bambang Darto, Iman Rohmansyah, Hoesnizar Hood, Tan Lioe Ie, kelompok Sobaya dan Abdul Kadir Ibrahim sendiri. Mereka akan membacakan dan menggubah puisi-puisi Akib yang kaya khazanah Melayu, dengan tipografi yang unik, mengingatkan konsepsi “puisi mantra” Sutardji Calzoum Bachri, meski memiliki capaian masing-masing, sebagaimana juga Ibrahim Sattah, penyair Riau lainnya. Uniknya lagi, dalam berbagai kesempatan Akib menulis puisinya dengan aksara Arab-Melayu atau aksara pegon yang sudah mulai punah, karena itu sejumlah puisi beraksara “Arab gundul” itu tetap dipertahankan di dalam buku yang diluncurkan.

Menurut Nur Wahida Idris, ketua penerbit Akar dan salah seorang panitia, kegiatan ini sengaja dilaksanakan pada bulan April karena sekaligus ditujukan memperingati hari wafatnya Chairil Anwar. Selain itu, juga untuk mengumumkan di hadapan publik Yogyakarta bahwa Tanjungpinang yang terpilih sebagai tuan rumah Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III, siap melaksanakan event tersebut bulan Oktober mendatang.
LK2AI sendiri, menurut Wahida, selama ini cukup aktif menyelenggarakan event seni budaya di antaranya diskusi dan pertunjukan sastra bersama KH Mustofa Bisri, Radhar Pancha Dahana, Bertold Damshauser, Agus Sarjono, Saut Situmorang, Jamal D. Rahman dan lain-lain. Melalui devisi penerbit Akar Indonesia, lembaga ini juga konsisten menerbitkan buku-buku sastra serta Jurnal Cerpen Indonesia. *




Pengantar Buku "menguak negeri air mata: nadi hang tuah"

Kehadiran khazanah Melayu dalam karya sastra Indonesia tentu bukanlah hal baru, sebab tokoh-tokohnya sudah semenjak lama berjejak, dan pencapaiannya mengharu-biru teks-teks sastra tanah air. Para tokohnya datang dan pergi, medan pergulatannya berbagai-bagai, dan pencapaian estetik mereka pun terus kokoh-meninggi. Nama-nama semacam Raja Ali Haji, BM Syamsuddin, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Taufik Ikram Jamil—untuk menyebut sebagian kecil—merupakan sosok yang mencuatkan geliat estetik khas Melayu di jagad sastra Indonesia.

Namun, dalam perkembangannya kemudian, sosok dan pencapaian itu tidak sepenuhnya sampai secara “adil” kepada publik, sebagian tidak mendapat akses yang cukup, sebagian “tertutup” oleh kebesaran nama yang lain, sebagian lagi mungkin mundur teratur, dan entah soal apa lagi. Salah satu perkara yang perlu didudukkan secara proporsional adalah perihal “kemegahan” nama Sutardji Calzoum Bachri. Dalam jagad kepenyairan Nasional, ia terutama dipandang dari keunikan khazanah Melayu yang mewarnai puisi-puisi “mantra”-nya. Sayang, Tardji seakan dianggap satu-satunya penyair yang bergulat secara intens dengan akar kulturalnya, minus kegelisahan kreator lain.

Anggapan ini tentu akan merugikan Tardji sendiri dan masyarakat Melayu secara umum. Setidaknya karena Tardji dianggap sebagai sosok yang mencuat begitu saja, personal dan nyaris ahistoris, dari kevakuman lingkungan dan masyarakatnya—dalam hal ini masyarakat kreatif Melayu. Padahal, kita tahu, Tardji tidak berasal dari “ruang kosong-hampa”—pinjam istilah Subagio Sastrowardoyo—melainkan dari ruang sosial dan kultural Melayu yang berlimpah-ruah dengan roh dan atmosfir kreatifnya.

Dalam kenyataan itulah kita akan bersua dengan sosok-sosok lain yang berdampingan dengan Tardji, saling mencari dan bergulat, saling isi dan berkompetisi. Atau kita bisa meminjam istilah Umbu Landu Paranggi,”Saling asah dan asuh, saling gosok dan gesek,” dalam membayangkan proses kreatif mereka, sebutlah yang mungkin pernah berlangsung di “Kota Gurindam Negeri Pantun”, Tanjungpinang.

Ya, di kota inilah Sutardji Calzoum Bachri bersama Rida K. Liamsi (dulu Iskandar Leo), Ibrahim Sattah, Hasan Junus, Hoesnizar Hood, Abdul Kadir Ibrahim (akrab disapa Akib) dan yang lain-lain, pernah mencecap pergulatan kolektif. Baik secara langsung bersama-sama, maupun dari segi spirit yang saling terhubung. Alhasil, pencapaian yang tidak kalah menarik juga berhasil diraih Ibrahim Sattah dengan sajak-sajaknya yang memuat kekayaan khazanah Melayu (apakah tema, kosa kata maupun tipografi) dan pembacaan yang tak kalah atraktif. Beberapa pihak menganggap teks dan penampilan Ibrahim Sattah tidak kalah menarik dibanding Tardji.

Bersamaan dengan itu, Abdul Kadir Ibrahim (lahir di Natuna, 4 Juni 1966) muncul pula dengan puisi-puisinya yang berangkat dari akar kultur Melayu, dan itu tidak dapat dinisbikan. Meski berangkat dari akar yang sama, namun secara estetis Akib berbeda dengan Tardji maupun Sattah. Salah satu perbedaan itu dapat diamati dari intensitas Akib menggali dan memadu-padankan ungkapan Melayu yang lugas dengan model puitisasi ayat-ayat Allah di dalam Al-quran. Alhasil, puisi Akib tidak perlu berbelit dan berpanjang-panjang untuk menyatakan sesuatu, melainkan langsung menghentak, tetapi kaya rasa, suasana dan nuansa.

Lebih jauh, puisi Akib tidak berhenti pada ungkapan, kata-kata atau bentuk semata, namun memuat nilai dan emosi yang menghunjam kalbu pembaca. Perpaduan ini niscaya merupakan kejelian Akib memaknai korelasi alam-Melayu dengan ranah spritualitas Islam yang menjadi dasar pijak puak Melayu. Kekhasan pencarian Akib lebih lengkap lagi lantaran ia menulis langsung sebagian sajak-sajaknya dengan aksara Arab-Melayu yang dikenal dengan “Arab Gundul” atau “Arab Pegon”. Aksara ini, sedari dulu menjadi media lontaran kalam bagi masyarakat Melayu, khususnya di Kepulauan Riau—meski belakangan mulai terkikis zaman.

Demikianlah, singkat kata, puisi Akib mendapat apresiasi yang baik dari pengamat dan publik pembaca. Meski diinterupsi oleh berbagai pekerjaan mulai sebagai guru, jurnalis, sampai kepala dinas, namun ia tetap meluangkan waktu untuk menuliskan puisinya. Puisinya terbit dalam dua buku, masing-masing 66 menguak (Bengkel Teater Bersama, 1991; cetakan kedua Unri Press, 2004) dan negeri airmata (Unri Press, 2004). Kajian cukup mendalam dari kedua antologinya tersebut berupa esei dan makalah dari sejumlah pengamat sudah pula diterbitkan dalam buku Akib: Penyair Cakrawala Sastra Indonesia—menguak negeri airmata (Akar Indonesia, 2008).

Terbitnya kajian yang cukup komprehensif tersebut kemudian mendorong kami memikirkan ketersediaan puisi-puisi Akib dalam satu buku utuh. Apalagi puisi-puisi tersebut sebelumnya terbit dalam dua buku terpisah, dan dalam rentang waktu yang sudah lama pula. Menyatukan kedua buku tersebut niscaya dapat lebih memudahkan pengamat dan pencinta puisi tanah air untuk menikmati karya Akib, juga secara utuh. Setidaknya, kita dapat tahu bahwa penggalian khazanah Melayu masih terus berlangsung, dari berbagai kreator, dan dengan berbagai teknik.

Kami menorehkan judul baru menjadi menguak negeri airmata—nadi hang tuah untuk kedua buku yang disatukan ini. Di samping itu, mengingat tidak banyak kajian puisi yang diterbitkan di negeri ini, maka pendampingannya dengan karya bahasan kami pandang dapat memberi nilai lebih: ada karya, ada bahasan. Tidak kalah penting adalah memuat puisi-puisi Akib yang ia tulis langsung dengan aksara Arab-Melayu. Kami memandangnya sebagai dokumentasi penting sekaligus ingin menginspirasi pemerintah dan masyarakat untuk kembali mengangkat harkat dan martabat aksara berharga tersebut.

Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Abdul Kadir Ibrahim yang bekerja sama dengan kami untuk semua upaya budaya ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada sejumlah pihak yang membantu, di antaranya Ibu Hj. Suryatati A. Manan, Walikota Tanjungpinang yang memberi apresiasi tinggi; Bapak Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono yang mengizinkan ulasannya sebagai esei pembuka; Bapak Drs. Abdul Malik, M. Pd, yang berjasa merangkai ragam-pendapat dalam narasi yang jernih, serta semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Akhirulkallam, kami ucapkan selamat menikmati puisi-puisi Akib di dalam buku ini.

Yogyakarta, Januari 2010

Akar Indonesia





Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar