Kami menemukannya terdampar diantara
deru ombak. Saat wajah ombak mengulung tanpa ampun, disela bebatuan karang terjuntai
rambut-rambut keperakan yang memantulkan matahari dini hari. Dan dengan mata
kepala kami sendiri, kami menyaksikan bagaimana manusia itu merangkak
memulihkan kesadarannya.
Garis wajahnya yang pucat mengisahkan
dengan bisu bagaimana dia terbawa sampai sini bersama dengan lipatan-lipatan
dingin dan goresan-goresan keriput yang tercipta mendadak, seakan satu
persatunya dengan jelas mengumandangkan berapa lama waktu yang dia tempuh untuk
berbaring goyang diatas hamparan permadani lautan. Satu hal lagi yang kami
percayai sebagai mu'jizat, Ketika dengan pasti tanganNYa membawa gadis ini
sampai disini, ditengah kami.
Dengan jelas kami mengingatnya,
cengkraman lemah tangan seputih kapur itu diatas angin tergurat sangat dalam memori
kami, sedalam betapa kekaguman kami pada sosoknya yg kini menari diantara deru
pasir. Seakan tak pernah ada sosok terbujur kaku yg kami temukan lalu.
Kami semua memanggilnya Elieta. Elieta
si gadis dari laut. Namun laut yang penuh misteri dan rahasia itu seperti telah
menghapus segala ingatannya. Dia Elieta yang tak ingat dari mana asalnya, mau
kemana ia dan untuk apa dia ada? bahkan dirinya sendiri saja dia tak tahu. Gadis
yang malang.
Tapi kami tidak peduli, apa dan siapa
dia, dimata kami dialah elieta, gadis manis yang sekujur tubuhnya
ditumbuhi subur pohon yang memancarkan pesona. Dia segera menjadi primadona
didaerah kami-dalam waktu yg relatif cepat.
Kami sempat berfikir bagaimana kami bisa
begitu terpesona dengannya, dia yang tak secantik peri, tak semenawan bidadari,
dan ia memiliki mata yang tak sebening embun pagi. Tetapi entah magis apa yang
mengikat kami tanpa kami sadari. Daya tariknya mengiring kami pada lingkaran
pemujaan terhadapnya. Elieta dimata kami telah menjelma menjadi sosok dewi
sempurna. Jejaknya tiap malam membinasakan kami dalam rindu yang mencekam.
"Elieta." Aku menundukkan muka
dan berpamitan dengannya. "Kami permisi pulang."
Dengan senyum menawannya ia mengantarkan
kami, lambaian tanganya telah terpatri dibenak kami sore ini. Dan untuk sekali
lagi aku menoleh atas keberadaannya.
Sungguh, sungguh aku seakan tertembak
mati ditempat.
Matanya, mata gadis itu meliar, sekilas terlihat
seperti kelereng hitam dengan kilatan yg membuat bulu kuduk merinding. Ia lalu
menyeringai. Terlihat samar-smar giginya memanjang dan dipergelangan tanganya,
kulihat symbol-simbol yang familiar. Aku tak bisa memastikan itu benar atau
salah, tapi ya itu, di pergelanga tanganya
selintas kutangkap simbol yang hampir hilang, yang biasanya digunakan untuk
menyegel kekuatan iblis wanita.
Ah, tidak mungkin. Aku mengeleng kepala
dan melihat Elieta kami yang biasa, aku sangat yakun semua itu hanyalah
fatamorgana cahaya . Elieta kami tetaplah berseri laksana intan permata. Tanpa
cacat tanpa cela.
000
**kira-kira cerpen ini aku tulis pada tahun2012 atau Maret 2013, aku kurang ingat.