Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Rabu, 14 Mei 2014

Kritik Sastra; Cerpen Kacamata karya Noor H. Dee

Oleh : Ardy Kresna Crenata

Cerpen Kacamata (Koran Tempo, 11 Mei 2014)

karya Noor H. Dee.

SEPULANG bekerja, lelaki itu menunggu kereta di stasiun yang sepi.
Seorang bocah, mungkin berusia 10 tahun, menghampiri lelaki itu dan menawarkan kacamata kepadanya.
Kacamatanya, Tuan, kata bocah itu. Harganya lima belas ribu.
Mata lelaki itu masih sehat dan baik-baik saja, tetapi ia

tetap membeli kacamata itu. Kembaliannya untuk kamu saja, ujar
lelaki itu.
Bocah itu pun pergi.
Kereta itu pun datang.

SESAMPAINYA di rumah, lelaki itu menyalakan TV dan merebahkan tubuhnya di sofa. Ia mengganti-ganti saluran TV. Tidak ada acara yang menarik malam itu. Ia mematikan TV-nya dan berjalan ke dapur. Mengambil sebotol air dingin dari dalam kulkas dan langsung menenggaknya. Tiba-tiba ia teringat akan kacamata yang tadi ia beli dari si bocah.
Ia berjalan ke kamarnya, mengambil kacamata itu dari dalam tasnya, mengenakanya, dan keanehan pun terjadi.
Ia melihat sebuah kamar yang bukan kamarnya. Kamar itu rapi, betul-betul rapi.
Aku berada di mana? Lelaki itu bertanya. Kamar siapakah ini?
Lelaki itu melepas kacamatanya dan ia segera kembali berada di dalam kamarnya. Aneh betul, ujarnya.
Lelaki itu menatap kacamatanya. Sebuah kacamata biasa dengan bingkai berwarna hitam. Karena penasaran, ia kembali mengenakan kacamata tersebut dan ia kembali berada di sebuah kamar yang bukan kamarnya.
Kamar siapakah ini? Lelaki itu kembali bertanya. Ia menatap seluruh isi ruangan. Seluruh ruangannya berwarna putih bersih. Tempat tidur, lemari baju, tempat sampah, meja, kursi, gorden jendela. Satu-satunya yang berwarna hitam adalah bingkai cermin yang menempel di tembok kamar. Ia mendekati cermin itu dan menatapnya. Di tubuh cermin itu ia melihat bukan dirinya, melainkan seorang wanita cantik berkacamata sedang tersenyum ke arahnya.
Lelaki itu terkejut. Ia segera melepas kacamata itu dan membuangnya ke lantai. Siapa dia?
Tubuh lelaki itu gemetar. Ia menatap ke bawah, ke arah kacamata itu, dalam waktu yang cukup lama. Ia mundur ke belakang perlahan, selangkah demi selangkah, dan segera naik ke atas tempat tidur. Ia menutup wajahnya dengan selimut. Samar-samar ia mendengar suara wanita memanggil-manggil namanya. Malam itu ia tidak bisa tidur sama sekali.

ESOK harinya ia tidak masuk kerja. Ia pergi ke stasiun itu lagi, mencari bocah penjual kacamata yang kemarin sore ia temui di sana.
Sampai sore, bocah penjual kacamata itu tidak muncul-muncul juga. Ia pun bertanya kepada petugas stasiun.
Penjual kacamata? Petugas itu bertanya heran. Apa kamu tidak membaca peraturan itu?
Lelaki itu menatap sebuah plang bertulisan, DILARANG BERJUALAN DI STASIUN.
Tapi kemarin bocah itu berjualan kacamata di stasiun ini, ujar lelaki itu. Aku masih ingat betul wajahnya.
Terserah kamu, ujar petugas itu. Aku sudah menjelaskan kepadamu bahwa tidak seorang pun dibolehkan berjualan di tempat ini. Petugas itu pun pergi.

KINI lelaki itu berada di dalam kamarnya, duduk di tepi tempat tidur, menatap kacamata yang masih berada di lantai kamar. Samar-samar ia kembali mendengar suara itu, suara wanita yang memanggil-manggil namanya. Suara itu betul-betul mengganggu dirinya.
Lelaki itu kemudian turun dari tempat tidur, mengambil kacamata itu, dan mengenakannya. Ia kembali berada di sebuah kamar yang bukan kamarnya. Sebuah kamar yang rapi, betul-betul rapi, yang seluruh ruangannya berwarna putih bersih.
Lelaki itu berjalan ke arah cermin. Di tubuh cermin itu, ia kembali melihat seorang wanita cantik berkacamata sedang tersenyum ke arahnya.
Siapa kamu? Lelaki itu bertanya.
Wanita itu tersenyum indah sekali.
Kemarilah, ujar wanita itu. Mendekatlah padaku.
Jawab saja siapa kamu, lelaki itu bertanya dengan suara lantang. Siapa kamu? Siapa kamu?
Wanita itu tertawa kecil. Aku akan memberikan namaku jika kamu mendekat ke arahku, ujar wanita itu. Ayolah, kemarilah, mendekatlah padaku.
Lelaki itu melepas kacamatanya dan membantingnya ke lantai. Ia mengambil palu dari dapur dan menghajar kacamata itu dengan beberapa pukulan. Kacamata itu pun hancur berkeping-keping. Tidak ada lagi ruangan yang rapi dan serba putih. Tidak ada lagi suara wanita yang memanggil-manggil namanya.
Lelaki itu tersenyum puas. Ia berdiri dan menatap cermin yang menempel di tembok kamarnya.
Kali ini ia tidak melihat siapa-siapa di cermin itu, termasuk dirinya.(*)
  
Noor H. Dee, lahir di Depok, Maret 1982. Giat di Forum Lingkar Pena Depok.


(Cerpen ini terlalu pendek dan terlalu cepat selesai. Tapi sesungguhnya bukan perkara panjang-pendek atau lambat-cepat yang saya bicarakan di sini, melainkan soal "kekosongan" yang tercipta sebagai akibat dari terlalu pendek dan terlalu cepat selesainya cerpen ini.
Di awal cerpen si tokoh-utama dikabarkan ditawari sebuah kacamata oleh seorang anak, di stasiun, dan ia (mungkin) merasa kasihan kepada si anak dan membeli kacamata itu meskipun ia tidak membutuhkannya. Tentang bagaimana kondisi kacamata itu atau si anak tidak dijelaskan oleh si penulis. Detail tentang hal ini dibiarkan kosong seolah-olah si penulis ingin mengatakan bahwa detail itu bukanlah hal penting, atau setidaknya tidak lebih penting daripada kacamata itu dan apa yang dilakukan si anak--yakni menawarkan kacamata itu. Selanjutnya ketika si tokoh-utama berada di kamar, ia, entah karena apa entah bagaimana, teringat kepada si anak dan kacamata yang dibelinya itu. Ia pun memakai kacamata itu dan mendapati sesuatu yang ganjil: dengan kacamata itu terpasang di matanya ia melihat kamar itu bukanlah kamarnya yang ia kenali. Keganjilan ini terhenti ketika ia melepaskan kacamata itu namun terulang kembali ketika ia mengenakan lagi kacamata itu. Bahkan kali itu, di cermin ia melihat sesosok perempuan-asing, bukan dirinya sendiri. Si perempuan-asing itu kemudian seperti memanggil-manggil namanya dan itu membuatnya tak bisa tertidur sama sekali malam itu. Sampai di sini, kita seperti diberitahu bahwa masalah-inti dari cerpen ini adalah kacamata itu.
Pertanyaannya kemudian: Siapa perempuan-asing itu? Kamar siapa yang dilihat si tokoh-utama ketika mengenakan kacamata itu? Siapa juga sesungguhnya si anak yang menawarkan kacamata itu? Hal apa yang menghubungkan ketiganya dengan si tokoh-utama? Apa motif di baliknya?
Sayangnya pertanyaan-pertanyaan tersebut tak terjawab di bagian-bagian selanjutnya, bahkan sampai cerpen berakhir. Si penulis seperti membiarkan hal-hal tersebut tetap misterius, barangkali untuk membuat kita penasaran. Ia menawari kita ruang-kosong untuk kita masuki dan jelajahi sendiri--dengan tetap misteriusnya hal-hal tersebut maka kita sebagai pembaca seperti diberi kebebasan untuk menebak-nebak. Masalahnya adalah: ruang-kosong itu terlalu banyak, dan apa-apa yang tersaji di ruang-yang-tak-kosong tak cukup mampu membuat kita "kenyang"; penggambaran-penggambaran yang ada kurang membuat kita terbawa dan "ketegangan/masalah" terlalu lekas selesai.
Seandainya saja hal tersebut teratasi, maka cerpen ini tentu akan jauh lebih menarik. Haruki Murakami cukup sering menyajikan sesuatu seperti ini--seperti dalam cerpen "The Kidney-Shaped Stone That Moves Everyday", misalnya--dan itu sungguh menarik dan mampu membuat kita kenyang sebab apa-apa yang terjasi di ruang-yang-tak-kosong benar-benar "banyak" dan "hidup"; gambaran demi gambaran begitu detail dan masalah demi masalah silih berganti dan saling mempengaruhi. Dan saya pun jadi bertanya-tanya, mengapa si penulis seperti tergesa-gesa mengakhiri cerpennya ini, padahal ruang yang tersedia di lembar sastra Koran Tempo masih memungkinkannya menjadikan cerpennya ini lebih panjang (dan menggigit).
Terakhir, barangkali kita perlu menaruh perhatian pada beberapa hal yang frekuensi kemunculannya cukup banyak di cerpen ini, mulai dari kacamata, si anak yang menawari kacamata, perempuan-asing, cermin. Bisa jadi hal-hal tersebut dimaksudkan si penulis sebagai simbol dari hal-hal yang sifatnya tak-konkret--mungkin perasaan, atau apa yang berkecamuk di kepala. Tapi sayangnya saya tak akan membedah simbol-simbol tersebut dalam feedback ini. (Saya serahkan kepada pembaca-lain yang memiliki waktu luang dan suasana hatinya sedang baik.) Dalam feedback ini saya hanya ingin mengatakan bahwa cerpen ini terlalu pendek dan terlalu lekas selesai. Apa yang tersaji kemudian seperti berusaha mengatakan kepada kita bahwa masalah itu teramat mudah untuk diatasi, dan bahwa menulis cerpen itu (juga) teramat mudah (baca: kita tinggal menghadirkan si tokoh A yang tiba-tiba mengalami/ditimpa sesuatu dan kelak ia mengalami/ditimpa sesuatu yang lainnya dan terus seperti itu sampai akhirnya masalahnya itu ia atasi dengan satu tindakan, tanpa perlu memikirkan secara saksama bagaimana hal-hal yang (di-)muncul(-kan) itu terhubung satu sama lain).



Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar