Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Rabu, 14 Mei 2014

Free Radicals


Oleh Alice Munro
Cerpen ini diterjemahkan oleh Rio Johan http://www.kemudian.com/node/275023
MULANYA, orang terus-terusan menelepon, cuma untuk memastikan Nita tidak terlalu murung, tidak terlalu kesepian, tidak makan terlalu sedikit atau minum terlalu banyak. (Dia sudah jadi peminum anggur yang rajin sampai-sampai banyak yang lupa kalau dia sebetulnya dilarang minum sama sekali.) Dia menahan mereka, tanpa terdengar berduka seagung-agungnya atau ceria yang tak wajar atau kosong pikiran atau kebingungan. Dia bilang dia tidak butuh sembako; dia mampu bertahan dengan tangannya sendiri. Dia sudah cukup jenuh dengan pil-pil resep dokter dan perangko-perangko untuk
catatan terima kasih.
Teman-teman dekatnya curiga apa yang sebetulnya terjadi—bahwa dia tidak peduli makan banyak dan bahwa dia membuang setiap catatan simpati yang kebetulan diterimanya. Dia bahkan tidak memberi tahu orang-orang jauh, bahwa dia mendapatkan catatan begitu. Tidak mantan istri Rich di Arizona atau saudara yang hubungannya semi-renggang dengannya di Nova Scotia, meskipun keduanya boleh jadi bisa memahami, bahkan lebih baik daripada orang-orang di dekatnya, kenapa dukanya terus-menerus berlanjat seperti sekarang.
Rich pernah memberitahunya bahwa dia akan pergi ke kampung, ke toko perangkat keras. Ketika itu sekitar pukul sepuluh pagi, dan dia baru saja mulai mengecat selusur serambi. Artinya, dia telah menggorekinya untuk dicat, dan kikisan tua yang terkelupas itu ada di tangannya.
Dia tidak punya waktu untuk mengira-ngira kenapa Rich terlambat. Rich mati meringkuk di dekat tanda pinggir jalan yang terpacak di depan toko perangkat keras yang menawarkan diskon untuk mesin pemotong rumput. Dia bahkan tidak sempat masuk ke dalam toko. Dia sudah berumur delapan puluh satu tahun dan kesehatannya bagus, kecuali tuli pada telinga kanannya. Dokternya telah memeriksanya seminggu sebelumnya. Nita belajar dari pemeriksaan belakangan, tagihan bersih kesehatan, dipotong dalam jumlah mengejutkan dari cerita-cerita kematian mendadak yang tengah dia sajikan sekarang. “Kau hampir berpikir kalau kunjungan semacam itu harus dihindari,” katanya.
Nita seharusnya bicara begitu cuma pada teman dekatnya yang hobi menjelek-jelekkan, Virgie dan Carol, wanita yang seumuran dengannya, yaitu enam puluh dua. Teman-temannya yang lebuh muda merasa pembicaraan semacam ini tak pantas dan patut dihindari. Mulanya, mereka mengerumuni Nita. Mereka tidak betul-betul bicara tentang kondisi berduka, tapi dia takut kalau pada setiap saat mereka bisa saja memulainya.
Segera setelah dia menyelesaikan semua urusan, tentu saja, semuanya kecuali cobaan dan kesungguhan yang telah pergi. Peti yang paling murah, segera masuk ke dalam tanah, tak ada upacara apapun. Pengurus mengatakan bahwa ini mungkin melanggar hukum, tapi dia dan Rich punya kenyataan sendiri. Mereka mendapatkan informasinya hampir satu tahuun yang lalu, sewaktu diagnosa kanker sudah final.
“Bagaimana mungkin aku tahu kalau dia akan mencuri gunturku?” kata Nita.
Orang-orang tidak menyangka akan dilakukan upacara tradisional, mereka mengira akan ada upacara yang lebih modern. Merayakan kehidupan. Memainkan musik favorit Rich, saling bergandengan tangan, menuturkan cerita-cerita yang dipuja Rich sementara di saat yang bersamaan dengan jenaka mengungkit kebiasaan-kebiasaan konyol dan kesalahaan-kesalhaannya yang tetap bisa diampuni.
Semacam hal-hal yang diucakpan Rich yang bisa membuatnya muntah.
Semuanya diurus secara pribadi, dan tak lama kemudian, kehangatan luas yang mengelilingi nita melumer, meskipun beberapa orang, pikirnya, tetap ingin tinggal dan mengkhawatirkannya. Virgie dan Carol tidak berkata demikian. Mereka bilang dia cumalah seorang jalang egois kalau sekarang berpikiran untuk menghantam kepala, yang cepat atau lambat penting juga. Mereka akan mampir, katanya, dan memulihkannya dengan Grey Goose[1].
Dia yakinkan mereka bahwa dia tidak akan, walaupun dalam logika tertentu dia bisa saja memikirkan ¬ide itu.
Berkat radiasi musim semi silam, kankernya sedang dalam kondisi remisi—apapun artinya. Bukan artinya kanker itu lenyap begitu saja. Tidak untuk selamany, bagaimanapun juga. Hidupnya adalah panggung pertunjukan operasi-operasi dan selama dia patuh mengikutinya dan tidak mengeluh. Hanya saja dia akan murung tiap kali teman-temannya mengingatkan kalau dia tidak boleh minum anggur, apalagi vodka.

RICH meninggal bulan Juni. Sekarang pertengahan musim panas. Dia bangung pagi-pagi sekali dan membersihkan diri dan mengenakan pakaian apapun yang kiranya cocok. Tapi tentu saja dia berpakaian dan mencuci, dan menyikat gigi dan menyisir rambut, yang sudah mulai tumbuh kembali belakangan ini, beruban di sekitar muka dan hitam pada bagian belakang, sebagaimana dulu juga begitu. Dia mengenakan lipstick dan pensil bulu mata, yang sekarang cuma sedikit saja, dan demi rasa hormat seumur hidupnya atas pinggang yang kecil dan pinggul yang moderat dia memeriksa hasil yang telah dilakukannya dari setiap sudut, sekalipun dia tahu kata yang mungkin pantas untuk semua bagian dirinya sekarang ialah “kerempeng.”
Dia duduk di kursi lebarnya yang biasa, dengan tumpukan buku dan majalah yang belum dibuka di sekitarnya. Dia menyeruput pelan-pelan cangkir berisi teh herbal encer yang sudah jadi substitusinya untuk kopi. Suatu kali, dia pikir dia tidak akan hidup tanpa kopi, tapi ternyata yang sebetulnya dia inginkan ialah mengenggam cangkir besar yang hangat di tangan, itu akan membantu pikirannya atau apapun yang sedang dilatihnya melalui proses yang berjam-jam, atau berhari-hari.
Ini rumah Rich. Dia membelinya ketika masih bersama istri pertamanya, Bett. Rumah ini dimaksudkan sebagai tempat akhir pekan, ditutup sewaktu musim dingin. Dua kamar tidur kecil, dapur sempit, setengah mil dari kampung. Tapi ketika Rich mulai mengerjakannya, belajar pertukangan kayu, membangun sayap untuk dua kamar tidur baru dan sebah kamar mandi dan sayap lain lagi untuk ruang kerja, menyulap bangunan aslinya menjadi ruang tamu terbuka, ruang makan, dan dapur. Bett jadi semakin tertarik; sejak awal dia mengklaim tidak bisa mengerti kenapa Rich membeli tempat busuk ini, tapi peningkatan praktis selalu menarik perhatian Bett, dan dia membeli sepasang celemek pertukangan yang serasi. Dia memerlukan sesuatu yang bisa ikut melibatkannya, setelah menyelesaikan dan mempublikasikan sebuah buka resep masakan yang tela membuatnya begitu sibuk beberapa tahun belakang. Mereka tidak punya anak.
Dan pada waktu yang sama Bett sibuk memberi tahu orang-orang kalau dia telah menemukan peran hidupnya sebagai seorang asisten tukang kayu, dan itu membuatnya dan Rich semakin dekat, Rich telah jatuh cinta pada Nita. Nita bekerja di kantor registrasi di universitas di mana Rich mengajar literatur abad pertengahan. Pertama kalinya Rich dan Nita bercinta terjadi di antara serutan dan gergajian kayu yaitu yang kemudian disulap menjadi lengkungan langit-langit ruang tengah, pada akhir pekan sewaktu Bett sedang ke kota. Kacamata hitam Nita ketinggalan—bukan disengaja, sekalipun Bett, yang tidak pernah lupa apapun, tidak percaya akan hal itu. Terjadilah kerebitan yang biasa, kebosanan dan kesakitan, dan berujung pada Bett minggat ke California, lalu Arizona, nita berhenti bekerja sebagai penasihat di kantor registrasi, dan Rich kehilangan kesempatan menjadi dekan seni. Rich pensiun dini, menjual rumahnya di kota. Nita tidak mewarisi celemek tukang kayu yang lebih kecil, tetapi dia membaca buku-buku Bett dengan ceria di tengah-tengah konstruksi dan kekacauan, memasak hidangan-hidangan makan malam dasar dengan piring-piring panas, dan melakukan perjalanan eksplorasi yang panjang, kembali dengan sebuket bunga tiger lily dan wortel liar, yang dimasukkannya begitu saja dalam kaleng-kaleng cat kosong. Kemudian, ketika dia dan Rich sudah betulan menetap, dengan sejenis rasa malu dia terpikir alangkah mudanya memainkan peranan perempuan yang lebih muda, perusak rumah tangga yang bahagia, gesit, gembira, si lugu yang pendosa. Sebetulnya dia perempuan yang agak serius, canggung secara fisik, sadar diri, yang selalu melafalkan bukan hanya raja-raja tapi juga ratu-ratu Inggris, dan tahu sejarah Perang Tiga Puluh Tahun secara terbalik, tetapi malu menari di depan banyakk orang dan lebih suka belajar, sebagaimana yang dilakukan Bett, membuat tangga.
Di salah satu sisi rumah itu ada barisan pohon aras dan tanggul rel kereta api di sisi lainnya. Jumlah lalu lintas kereta api ta pernah banyak, dan sampai sekarang hanya ada beberapa kereta yang melintas dalam sebulan. Ilalang semerbak di antara jalur kereta itu. Suatu ketika, ketika Nita sedang di ambang menopause, dia menggoda Rich untuk bercinta di sana—bukan di relnya, tentu saja, tetapi di rumput-rumput tepi di sampingnya—dan mereka meluncur turun untuk menyenangkan diri mereka sendiri.
Dengan hati-hati dia pikirkan, setiap pagi ketika dia mulai meraih tempat duduknya, tempat di mana Rich tidak ada lagi. Rich tidak ada di kamar mandi kecil, di mana peralatan cukurnya masih berada, juga pil-pil resep dokter untuk berbagai macam penyakit tak serius yang Rich selalu tolak untuk dibuang. Tidak juga ada Rich di tempat tidurnya, yang baru saja dia bersihkan dan tinggalkan. Tidak di kamar mandi besar, di mana Rich akan masuk cuma untuk mandi di dalam bak. Atau di dapur, yang sudah jadi daerah kekuasaan Rich tahun lalu. Rich tentu juga tidak keluar ke serambi yang setengah tergores, siap untuk mengintai sambil berseloroh dari jendela—yang mana, pada hari-hari awal, Nita akan pura-pura terkaget mendapati sosok seorang penguntit.
Atau di ruang kerja. Itulah tempat di mana, dari semua ruangan yang ada, kealpaan Rich sering dibuktikan. Mulanya, Nita akan merasa perlu menuju pintu dan membukanya dan berdiri di sana, mengamati tumpukan kertas, komputer sekarat, berkas-berkas yang meluap, buku-buku terkapar dan terbuka atau menelungkup, juga keramaian pada rak-rak. Sekarang sudah cukup bagi Nita cuma dengan membayangkan semuanya ini.
Suatu hari, dia merasa harus memasuki ruangan itu. Dia memikirkannya sebagai semacam penyerangan. Dia akan menyerang isi kepala suaminya yang telah meninggal. Ini salah satu kemungkinan yang belum pernah dia pertimbangkan. Baginya Rich ibarat sebuah menarah efisiensi dan kompetensi, pesona kuat dan teguh yang selua dia yakini, agak tidak masuk akal, bahwa Rich akan betah bersamanya. Lalu, tahun lalu, ini bukanlah keyakinan bodoh semata dalam pikiran mereka, pikirnya, tapi sebuah kepastian.
Dia akan berurusan dengan gudang dulu. Itu betulan sebuah gudang, bukan sebuah ruang bawah tanah. Papan dijadikan setapak di atas lantai kotor, dan jendela-jendela kecil tergantung tinggi dengan jaring laba-laba. Tak ada apapun di bawah sini yang pernah dibutuhkannya. Cuma kaleng cat setengah penuh milik Rich, papan berbagai ukuran panjang, alat-alat baik yang masih dapat dimanfaatkan atau siap untuk dibuang. Cuma sekali dia membuka pintu dan menuruni tangga semenjak kematian Rich, untuk memastikan tak ada lampu yang dibiarkan mubazir hidup, dan untuk meyakinkan dirinya saklar sekering ada di sana, dengan label tulisan di sampingnya berisi apa untuk mengendalikan apa. Manakala dia naik kembali, dia mengunci pintu seperti biasa, di samping dapur. Rich biasanya akan menertawakan kebiasaannya ini, bertanya apa yang menurutnya bakal masuk, melalui dinding-dinding batu dan jendela-jendela sebesar peri, untuk mengancam mereka.
Namun demikian, gudang ialah tempat yang paling mudah untuk memulai; itu tempat yang seratus kali lebih mudah daripada ruang kerja.
Dia tidak merapikan tempat tidur dan membereskan kekacauan kecilnya sendiri di dapur atau kamar mandi, tetapi secara umum dorongan untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga secara besar-besaran ada di luar dirinya. Dia hampir tidak sanggup membuang klip kertas yang bengkok atau tempelen pintu lemari es yang sudah kehilangan daya tarik, apalagi piring-piring koin Irlandia yang dia beli bersama Rich pada sebuah perjalan lima belas tahun silam. Segalanya sesuatu sepertinya sudah memiliki bobot kekhasan dan keanehan sendiri-sendiri.
Carol atau Virgie menelepon setiap hari, biasanya menjelang waktu makan malam, waktu di mana kesendiriannya paling lumayan tertanggungkan. Dia katakan pada mereka bahwa saat ini dia oke-oke saja; dia segera akan keluar dari sarangnya. Dia Cuma perlu waktu untuk berpikir dan membaca. Dan makan dan tidur.
Ada betulnya juga, sebetulnya, kecuali soal membaca. Dia duduk di kursinya yang dikelilingi buku-bukunya tanpa membuka salah satupun. Dia pernah jadi seorang pembaca—itulah salah satu alasan, Rich pernah bilang, bahwa dialah wanita yang tepat untuknya; dia bisa duduk dan membaca dan membiarkan Rich sendirian—tapi sekarang dia tidak bisa bertahan bahkan setengah halaman saja.
Dia juga bukanlah pembaca sekali-selesai. “The Brothers Karamazov,” “The Mill on the Floss,” “The Wings of the Dove,” “The Magic Mountain,” dibaca berulang-ulang. Dia akan menyambar salah satunya, berniat untuk membaca satu bagian spesial, dan mendapati dirinya tak mampu berhenti sampai keseluruhannya tercerna ulang. Dia membaca fiksi modern juga. Selalu fiksi. Dia benci mendengar kata “eskapis” digunakan pada fiksi. Sekali dia mungkin akan mendebat, tidak main-main, bahwa itu kehidupan nyata dan bukann eskapisme. Tapi kehidupan nyata sudah jadi terlalu penting untuk diperdebatkan.
Dan sekarang, paling anehnya, semua itu hilang. Bukan hanya kematian Rich tapi juga keterlarutannya dalam penyakitnya sendiri. Dia pikir perubahan sifatnya cuma sementara dan keajaiban membaca akan muncul lagi segera setelah dia bebas dari obat-obatan khusus dan perawatan melelahkan.
Tapi ternyata tidak.
Kadang-kadang dia mencoba menjelaskan musababnya, pada seorang jaksa khayalan.
“Aku terlalu sibuk.”
“Semua orang bilang begitu. Sibuk apa?”
“Sibuk mencurahkan perhatian.”
“Pada?”
“Maksudku berpikir.”
“Tentang?”
“Sudahlah.”

SUATU pagi, setelah duduk sebentar, dia rasakan bahwa hari itu sangat panas. Dia harus beranjak dan menghidupkan kipas angin. Atau dia bisa saja, demi tanggung jawab lingkungan, mencoba membuka pintu-pintu depan dan belakang dan biarkan angin, kalau-kalau saja ada, mengembusi penjuru rumah.
Dia membuka pintu depan dulu. Dan bahkan sebelum dia mempersilakan setengah inci sinaran pagi menampakkan diri dia menyadari ada garis gelap yang memotong sinaran.
Ada seorang pemuda berdiri di depan pintu tabir, yang tengah terkait.
“Tidak bermaksud mengagetkan Anda,” kata pemuda itu. “Aku sudah cari bel atau semacamnya. Aku menetuk tabir pintu, tapi kupikir Anda tidak dengar.”
“Maaf,” balasnya.
“Aku harus memeriksa kotak sekering Anda. Apa bisa tunjukkan tempatnya.”
Dia menyingkir dan membiarkan pemuda itu masuk. Dia berpikir sejenak.
“Ya. Di gudang,” katanya. “Aku akan hidupkan lampunya. Kau akan menemukannya.”
Pemuda itu menutup pintu dan membungkuk untuk melepas sepatu.
“Tak usahlah,” katanya. “Tidak hujan juga.”
“Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa. Bisa saja aku meninggalkan jejak debu ketimbang lumpur.”
Dia pergi ke dapur, tidak bisa duduk lagi sampai pemuda itu meninggalkan rumah.
Dia membukakan gudang dan pemuda itu pun menuruni tangga.
“Oke?” katanya. “Menurutmu oke-oke saja kan?”
“Betul.”
Dia mengantar pemuda itu menuju pintu depan, dan menyadari tidak ada jejak kaki di belakangnya. Dia memutar dan melihat pemuda itu berdiri diam di dapur.
“Kau pasti tidak punya sesuatu yang bisa disiapkan untuk kumakan, kan?”
Ada yang berubah pada suara pemuda itu—ada retakan di dalamnya, ada peningkatan nada yang mengingatkannya pada komedian tivi yang tengah meniru rengekan orang kampung. Di bawah sinaran langit dapur, dia dapati laki-laki itu tidak semua yang disangkanya. Ketika dia membuka pintu, dia hanya menyadari tubuh kurus laki-laki itu, sedang mukanya gelap karena silauan pagi di belakang. Tubuh laki-laki itu, sebagaimana yang dilihatnya sekarang, sudah pasti kurus tapi lebih tandus ketimbang belia, menyebabkan bungkuk yang elok. Mukanya agak panjang dan elastik, dengan mata biru yang menonjol. Sebuah tampang penuh canda, tapi dengan ketekunan juga, seolah-olah laki-laki itu biasa mendapatkan apa yang dimauinya.
“Begini, aku ini kebetulan diabetes,” kata laki-laki itu. “Entahlah apa kau tahu tentang diabetes, tapi kenyataannya kalau kau lapar kau harus makan. Atau semua sistemu akan kacau. Aku seharusnya sih makan sebelum kemari, tapi aku buru-buru. Kau tak akan keberatan lah kalau aku duduk, ‘kan?”
Laki-laki itu sudah duduk di kursi dapur.
“Kau punya kopi?”
“Aku punya teh. Teh herbal, kalau kau mau.”
“Boleh. Boleh.”
Dia menakar teh ke dalam sebuah saringan, menyalakan teko, dan membuka lemari es.
“Aku tak punya banyak sekarang,” katanya. “Aku punya telur. Kadang-kadang kubikin telur dadar dan kusantap dengan saus tomat. Kau mau? Aku juga punya bolu Inggris yang bisa kupanggang.”
“Inggris, Irlandia, Yokorania, terserahlah.”
Dia memecahkan beberapa telur ke dalam penggorengan, mengaduk kuningnya, mencampurnya dengan garpu masak, lalu memotong bolu dan memasukkannya ke dalam pemanggang. Dia mengambil piring dari lemari, meletakknya di depan laki-laki itu. Lalu pisau dan garpu dari dalam laci.
“Piringnya bagus,” kata laki-laki itu, memeganginya seakan-akan dia bisa melihat mukanya di permukaannya. Tepat sewaktu dia kembali mengurusi telur-telur dia mendengar piring itu terbanting di lantai.
“Oh, maafkan aku,” ujarnya dengan suara baru, suara mendecit dan bertahan yang jahat. “Apalah yang sudah kulakukan ini.”
“Tidak apa,” katanya, tahu sekarang tak ada lagi gunanya.
“Pastilah tergelincir dari jariku.”
Dia mengambil piring baru, meletakkannya di konter sampai bolu panggang selesai dibelah dua dan telur diolesi dengan saus tomat di atasnya.
Sementara itu laki-laki itu membungkuk, mengumpulkan pecahan-pecahan piring cina tadi. Laki-laki itu memegangi satu pecahan yang memiliki ujung tajam. Sewaktu Nita menghidangkan makanan di meja, laki-laki itu menggores sebidang kecil bagian lengan bawahnya. Butir-butir mungil darah muncul, mulanya saling terpisah, lalu menyatu membentuk aliran.
“Aku oke-oke saja,” kata laki-laki itu. “Ini cuma lelucon. Aku tahu bagaimana melakukan lelucon begini. Kalau aku serius, kita tak akan perlu sasu tomat lagi, heh?
Masih ada sejumlah pecahan di lantai yang luput. Nita berbalik, hendak mengambil sapu, yang ada di dalam kloset dekat pintu belakang. Laki-laki itu langsung menyambar lengannya.
“Kau duduk saja. Kau duduk selagi aku makan,” kata laki-laki itu. Dia menunjukkan tangannya yang berdarah lagi. Lalu dia membuat sandwich daari bolu dan telur dan menyantapnya dengan gigitan-gigitan kecil. Dia mengunyah dengan mulut terbuka. Teko sedang mendidih.
“Kantung teh dalam cangkir?” kata laki-laki itu.
“Ya. Itu sebetulnya teh serbuk.”
“Jangan kemana-mana. Aku tidak mau kau dekat-dekat teko itu, kan?”
Dia menuangkan air panas ke dalam cangkir dengan menggunakan saringan.
“Seperti jerami. Cuma punya ini?”
“Iya. Maaf.”
“Tak perlulah minta maaf. Kalau Cuma ini yang kau punya, ya inilah. Kau tidak pernah terpikir aku akan datang kemari untuk memeriksa kotak sekering, kan?”
“Ya, tentu,” kata Nita. “Tentu saja.”
“Kau tak tahu. Kau takut?”
Dia menganggap itu bukan sebagai pancingan tapi pertanyaan serius.
“Entahlah. Aku lebih kaget daripada takut, kurasa. Entahlah.”
“Satu hal. Satu hal yang tak perlu kau takutkan. Aku tak akan memerkosamu.”
“Aku tak berpikiran begitu.”
“Kau tak boleh terlalu yakin.” Laki-laki itu menyeruput teh dan membuat muka lucu. “Cuma karena kau wanita tua. Ada banyak jenis di luar sana—mereka sudi melakukan apa saja. Bayi atau anjing dan kucing atau wanita tua. Laki-laki tua. Mereka tak rewel. Yah, aku. Aku tak tertarik melakukan yang begituan kecuali dengan cara yang normal dan dengan wanita baik-baik yang aku sukai dan yang menyukaiku. Jadi tenanglah.”
Nita berkata, “Terima kasih sudah memberitahuku.”
Dia mengangkat bahu, tapi tampak bangga pada dirinya sendiri.
“Mobilmu yang di depan itu?”
“Mobil suamiku.”
“Suami? Di mana dia?”
“Dia sudah meninggal. Aku tidak bisa menyetir. Aku bermaksud menjualnya, tapi belum kesampaian.”
Bodohnya, bodohnya dia membeberkan semua itu.
“2004?”
“Kukira. Iya.”
“Sesaat kupikir kau akan menipuku dengan tetek-bengek suami begitu. Tak akan mempan, bagaimanapun juga. Aku bisa mencium baunya kalau wanita itu sedang sendiri. Aku tahu pada menit pertama aku masuk ke dalam rumah. Menit ketika wanita itu membuka pintu. Insting. Jadi mobil itu oke-oke saja? Kau tahu kapan terakhir dia mengendarainya?”
“Tujuh belas Juni. Hari kematiannya.”
“Ada bensinnya?”
“Kupikir ada.”
“Bagus kalau dia sudah mengisinya sebelumnya. Kau punya kunci-kuncinya?”
“Tidak kupegang sekarang. Aku tahu di mana tempatnya.”
“Oke.” Laki-laki itu mendorong kursinya ke belakang, mengenai salah satu pecahan piring cina. Dia berdiri, kepalanya terserang semacam kaget, lalu duduk lagi.
“Aku kecapaian. Harus duduk dulu sebentar. Kupikir lebih baik aku makan. Aku cuma membual saja soal diabetes tadi.”
“Kau di sini saja. Aku tidak sebegitu capainya sampai-sampai tak bisa meraihmu. Aku cuma habis keluyursan sepanjang malam.”
“Aku cuma mau mengambil kunci.”
“Tunggulah sampai kuminta. Aku menyusuri jalur keret api. Tak pernah melihat kereta api. Aku jalan sepanjangan sampai ke sini dan tak ada kereta api.
“Nyaris tak pernah ada kereta api.”
“Yah. Bagus. Aku turun ke selokan-selokan sekitar di kota setengah-bajingan mereka itu. Lalu munculah sinar pagi dan aku oke-oke saja, kecuali sewaktu aku menyeberang jalan dan kabur. Lalu aku melihat ke sekitar sini dan menemukkan rumah dan mobil, aku katakan pada diriku sendiri, ‘Itu dia.’ I bisa saja mengambil mobil bapakku, tapi kepalaku ini masih punya otak.”
Nita tahu laki-laki itu ingin dia bertanya apa yang telah dilakukannya. Nita juga yakin semakin sedikit yang dia tahu semakin lebih baik baginya.
Lalu, untuk pertama kalinya sejak laki-laki itu memasuki rumah, dia memikirkan kankernya. Dia berpikir bagaimana cara membebaskan dirinya, melepaskannya jauh dari bahaya.
“Kenapa kau senyum?”
“Entahlah. Apa aku senyum?”
“Aku kira kau senang mendengar cerita. Mau kuceritai?”
“Aku lebih suka kau pergi.”
“Aku akan pergi. Pertama, aku mau menceritaimu.”
Dia meraih kantung celana belakang. “Ini. Mau lihat foto? Ini.”
Itu foto tiga orang, diambil di ruang keluarga dengan gorden bunga-bunga yang tertutup sebagai latar. Seorang laki-laki tua—tak terlalu tua, mungkin enam puluh tahunan—dan seorang wanita yang kira-kira sama usianya duduk di sofa. Seorang wanita muda yang sangat besar duduk di kursi roda yang letaknya dekat dan sedikit di depan salah satu ujung sofa. Laki-laki tua itu berambut lebat dan beruban, dengan mata menyipit dan mulut sedikit terbuka, seakan-akan dia mengidap asma, tapi dia juga tersenyum sebisanya. Wanita tua jauh lebih kecil, dengan rambut dicat coklat dan berlipstick. Dia memakai apa yang biasanya disebut blus petani, dengan pita merah kecil di pergelangan tangan dan leher. Dia tersenyum pasti, bahkan sedikit kalut, bibirnya membentang di sepanjang gigi yang kelihatan buruk.
Tapi si wanita mudalah yang memonopoli foto itu. Berbeda dan mengerikan dalam muumuu[2] terang, rambutnya ditata dengan deretan ikal-ikal kecil di sepanjang dahinya, pipi miring ke lehernya. Dan, di balik semua gumpalan daging itu, ada sebuah ekspresi kepuasan dan kelicikan.
“Itu ibuku dan itu bapakku. Dan itu kakakku, Madelaine. Di kursi roda. Dia terlahir lucu. Tak ada dokter atau siapapun yang mampu menolongnya. Dan makannya seperti babi. Ada ketegangan antara aku dan dia sepanjang yang aku ingat. Dia lima tahun lebih tua dariku dan dia selalu menyiksaku. Melempari aku dengan apapun yang bisa diraihnya dan memukulku sampai jatuh dan mencoba memerintahku melalui kursi roda jancuknya itu. Maaf kalau bahasaku kasar.”
“Pasti kau tersiksa sekali. Dan orangtuamu.”
“Nah. Mereka cuma mendorongnya dan membawanya. Mereka pergi ke gereja itu, nah, dan pengkhotbah memberitahu kakakku kalau dia itu hadiah dari Tuhan. Mereka membawanya ke gereja dan melolong seperti jancuk seperti kucing jancuk di halaman belakang dan dia mereka bilang, ‘Oh, dia sedang mencoba memainkan musik, oh, Tuhan jancuk berkatilah dia.’ Permisi sebentar.
“Jadi aku tak pernah terganggu dengan keluyuruan di sekitar rumah, kau tahu. Aku pergi dan dapatkan kehidupanku sendiri. Tak ada masalah, kataku, aku tidak akan berkeliaran di sekitar sampah ini. Aku punya kehidupanku sendiri. Aku punya kerja. Aku hampir selalu bekerja. Aku tak pernah mendudukkan pantatku pada uang negara. Pada akhirnya, maksudku. Aku hampir tak pernah meminta orang tuaku sepeser pennypun. Aku akan bangun dan mengaspali atap di bawah panas sembilan puluh derajat, atau aku akan mengepeli lantai sejumlah restoran tua yang jorok atau mencari lemak-monyet untuk bengkel penipu busuk. Aku akan lakukan. Tapi aku tidak selalu meberisi kotoran mereka, jadi aku tidak tinggal terlalu lama. Sampah yang selalu disembunyikan orang-orang dari orang sepertiku, dan aku tidak bisa mendiamkannya. Aku datang dari rumah baik-baik. Bapakku kerja sampai sakit—dia kerja di bus. Dan aku tak sudi membereskan kotorannya. Oke, meskipun—tak usah dipikirkan. Yang selalu dikatakan orangtuaku padaku ialah ‘Rumah ini milikmu. Rumah ini semua sudah dibayar lunas dan milikmu.’ Itu yang mereka katakakan padaku. ‘Kamu tahu sewaktu muda hidupmu susah sekali, dan kalau hidupmu sesuah itu kau tak akan sempat mendapat pendidikan, jadi kami menebusnya untukmu sebisa mungkin.’ Lalu belum lama ini aku bicara pada bapakku di telepon dan dia bilang, ‘Tentu saja, kau tahu kesepakatannya.’ Aku juga tahu, ‘Kesekapatan apa?’ Dia bilang, ‘Kesepakatan yang mengharuskanmu menandatangi surat-surat bahwa kau akan mengurusi kakakmu sepanjang dia hidup. Rumah itu milikmu kalau rumah itu juga miliknya,’ katanya.
“Yesus. Aku tak pernah dengar itu sebelumnya. Aku tak pernah dengar kesepakatan itu sebelumnya. Aku pikir kesepakatannya kalau mereka meninggal dia akan ditampung oleh suatu rumah. Dan itu bukanlah rumahku.
“Jadi kukatakan pada bappakku sebagaimana yang aku pikirkan, dan dia bilang, ‘Semuanya sudah diatur demikian untuk kau tanda tangani, dan kalau kau tidak mau menandatangani kau tak perlu menandatangani. Kalau kau tanda tangani, Bibi Rennie-mu akan ada untuk mengurusimu, jadi kapan kami akan menemuimu untuk mengurusi semua urusan ini.’ Yah, Bibi Rennie-ku. Dia adik perempuan ibuku yang paling muda dan dialah kejutan paling jalang. Bagaimanapun, katanya, ‘Bibi Rennu-mu akan mengurusimu,’ dan tiba-tiba saja aku baru saja beralih. Kukatakan, “Baiklah, kupikir begitulah addanya dan aku pikir itu cukup adil. Oke. Oke. Apa boleh aku datang dan makan malam bersama kalian Minggu ini?’ ‘Tentu,’ katanya. ‘Senang kamu bisa cepat datang untuk mengurusi. Kamu selalu mati semangat terlalu cepat,’ katanya. ‘Pada usiamu kamu harus memiliki akal.’ ‘Lucu sekali kau yang bilang begitu,’ kataku pada diriku sendiri.
“Jadi aku pergi, dan ibuku sudah memasak ayam. Baunya sedap tercium sewaktu pertama aku masuk rumah. Lalu aku mencium bau Madelaine, bau busuk lamanya yang sama. Aku tidak tahu apa tepatnya, tapi sekalipun ibuku membersihkannya setiap hari baunya selalu ada. Tapi aku bertingkah sopan. Kukatakan, ‘Ini sebuah kesempatan. Aku harus mengambil foto.’ Kukatakan pada mereka aku punya kamera baru yang bagus yang bisa langsung diproses dan mereka bisa melihat fotonya. ‘Secepat kilat, kalian bisa lihat diri kalian masing-masing—bagaimana menurut kalian?’ Dan aku buat mereka semua duduk di ruang depan seperti yang sudah kutunjukkan padamu. Ibuku, dia bilang, ‘Cepatlah. Aku harus kembali ke dapur.’ ‘Kulakukan secepatnya,’ kataku. Jadi aku ambil foto mereka dan dia bilang, ‘Ayolah, sekarang, mari lihat rupa kami,’ dan aku katakan, ‘Tunggu sebentar, sabarlah, beberapa menit saja.’ Dan selagi mereka menunggu bagaimana rupa mereka aku ambil pisol mungilku yang bagus dan bom-bang-boom aku tembak perbuatan mereka.
“Lalu aku ambil foto lagi dan aku pergi ke dapur dan makan ayam dan tidak melihat mereka lagi. Aku berharap Bibi Rennie ada di sana, tapi ibuku bilang dia sedang punya urusan gereja. Aku akan tembak dia juga, gampang.
“Jadi lihat ini. Sebelum dan sesudah.”
Kepala laki-laki tua terjatuh ke samping, kepala wanita tua jatuh ke belakang. Ekspresi mereka musnah. Si kakak perempuan jatuh ke depan, jadi tak ada muka yang bisa dilihat, cuma pola bunga-bunga baguus yang membalut lutut dan rambut gelap dengan gaya potongan yang rumit dan ketinggalan zaman.
“Aku bisa saja tetap duduk di sana dan merasa bahagian selama seminggu. Jadi aku cuma bersantai. Tapi aku tidak tinggal sampai gelap. Aku pastikan semuanya bersih dan aku santap habis ayam dan aku tahu aku sebaiknya pergi. Aku sudah siap kalau Bibi Rennie masuk, tapi suasana hati saya sudah lain dan aku tahu aku harus membereskannya juga. Aku cuma tidak kepingin melakukannya lagi. Satu hal, perutku penuh sekali. Itu ayam yang besar, dan aku makan semuanya alih-alih membawanya bersamaku, karena aku takut anjing akan menciumnya dan membuat keributan sewaktu aku keluar dari jalur belakang seperti yang sudah kurencanakan. Aku kira ayam di dalam perutku sudah cukup untuk seminggu. Tapi lihatlah selapar apa aku sewaktu sampai di sini.”
Laki-laki itu melihat ke sekeliling dapur. “Aku kira kau tak punya yang lain lagi yang bisa diminum, ‘kan? Tehnya tak enak.”
“Mungkin ada sisa anggur,” katanya. “Aku tidak tahu—aku tidak minum lagi.”
“Kau A.A.[3]?”
“Bukan. Cuma saja aku tidak cocok minum.”
Nita berdiri dan mendapati kakinya bergetar. Tentu saja.
“Aku betulkan saluran telepon sebelum aku masuk,” kata laki-laki itu. “Kupikir kau perlu tahu.”
Apa laki-laki itu akan ceroboh dan lebih santai kalau mabuk, atau lebih jahat dan buas? Bagaimana Nita tahu? Dia menemukan anggur tanpa perlu keluar dari dapur. Dia dan Rich biasa minum anggur merah setiap hari dalam jumlah yang wahar karena itu bagus untuk jantung. Atau buruk untuk sesuatu yang tak bagus bagi jantung. Dalam takut dan bingung, dia tidak bisa berpikir apa istilahnya.
Karena dia ketakutan. Pastinya. Kankernya tidak akan banyak membantu di saat-saat begini, tidak sama sekali. Faktanya bahwa dia akan meninggal kira-kira setahun lagi tidak mengurungkan fakta bahwa dia bisa saja mati sekarang.
Laki-laki itu berkata, “Hei, itu barang bagus. Tutupnya tak bersekrup. Apa kamu punya pembuka tutup botol?”
Dia pergi ke arah laci, tapi laki-laki itu meloncat dan meminggirkannya, tidak kasar.
“Uh-uh, aku yang urus. Kau jauh-jauh dari laci. Ya ampun, banyak barang bagus di sini.”
Laki-laki itu meletakkan pisau di kursinya, di mana Nita tak akan mampu meraihnya, dan menggunakan pembuka tutup botol. Dia tak urung menyaksikan yang di tangannya itu bisa jadi perlatan jahanam, tapi ada juga kemungkinan dia sendiri bisa memanfaatkannya.
“Aku cuma akan ambil gelas,” katanya, tapi laki-laki itu bilang tidak.
“Tidak bolah gelas,” katanya. “Ada plastik?”
“Tidak ada.”
“Cangkir, kalau begitu. Aku bisa melihatmu.”
Dia menyiapkan dua cangkir dan bilang, “Sedikit saja untukku.”
“Dan aku,” kata laki-laki itu, lugas. “Aku harus menyetir.” Tapi dia mengisi cangkirnya sampai penuh. “Aku tidak mau ada kepala polisi menyembul untuk memeriksa keadaanku.”
“Radikal bebas,” katanya.
“Apa maksudnya itu?”
“Cuma sesuatu tentang anggur merah. Entah anggur merah bisa menghancurkannya karena buruk atau membentuknya karena bagus—aku tidak ingat”
Dia minum seseruput anggur dan itu tidak membuatnya sakit, sebagaimana yang sudah diduganya. Laki-laki itu minum banyak, tetap kokoh. Nita bilang, “Hati-hati dengan pisau-pisau itu kalau mau duduk.”
“Jangan bercanda denganku.”
Dia mengumpulkan kembali pisau-pisau itu dan meletakannya lagi ke dalam laci dan duduk.
“Kau kira aku bodoh? Kau kira aku senewen?”
Nita mengambil kesempatan besar ini. Dia bilang, “Aku cuma mengira kau belum pernah melakukan yang seperti ini sebelumnya.”
“Jelas aku belum pernah. Kau pikir aku pembunuh? Ya, aku bunuh mereka, tapi aku bukan pembunuh.”
“Ada bedanya,” katanya.
“Kau betul.”
“Aku tahu rasanya. Aku tahu bagaimana rasanya ingin sekali memusnahkan orang yang telah melukaimu.”
“Ya?”
“Aku pernah melakukan yang kau lakukan.”
“Kau tak pernah,” laki-laki itu mendorong kursinya ke belakang tapi tidak berdiri.
“Tak usah percaya kalau kau tak percaya,” katanya. “Tapi aku pernah.”
“Bohong, kau pernah. Bagaimana kau melakukannya, coba?”
“Racun.”
“Apa maksudmu? Kau buat mereka minum teh jancuk beracun, begitu?”
“Bukan mereka—tapi seorang wanita. Tidak ada yang salah dengan teh. Itu seharusnya bisa memperpanjang hidupmu.”
“Tidak mau hidupku lebih panjang kalau maksudnya harus minum sampah begitu. Mereka bisa melacak racun dalam badan, bagaimanapun juga.”
“Aku tak yakin demikian kalau memakai racun tumbuhan. Toh, tak akan ada yang kepikiran untuk memeriksa. Dia gadis yang mengidap demam rematik dari kecil dan selalu hidup begitu, tidak pernah bisa berolahraga atau melakukan banyak hal, selalu duduk dan istirahat. Kematiannya bukan hal yang mengejutkan.”
“Apa yang dia lakukan padamu?”
“Dia kekasih yang dicintai suamiku. Suamiku hampir saja meninggalkanku dan menikahinya. Dia bilang padaku begitu. Aku sudah melakukan apapun untuknya. Dia dan aku bekerja bersama-sama membangun rumah ini. Dia segalanya bagiku. Kami tidak punya anak, karena kami tidak mau. Aku belajar pertukangan kayu dan aku takut memanjat tangga, tapi kulakukan juga. Dialah seluruh hidupku. Dan dia akan menendangku dari rumah demi si cengeng ini yang bekerja di kantor registrasi. Semua yang kami lakukan pada akhirnya cuma untuknya. Apa itu adil?”
“Bagaimana caramu mendapatkan racun itu?”
“Aku tidak perlu mendapatkannya. Itu tersedia di kebun belakang. Di sini. Ada sepetak rhubarb dari tahun-tahun lalu. Ada racun yang sangat memadai di urat daun rhubarb. Bukan batangnya—kita bisa makan batangnya, itu aman—tapi urat kecil kurus pada daun rhubarb besar, mereka beracun. Aku tahu ini, tapi aku tidak tahu pasti perlu sebanyak apa agar efektif, jadi yang aku lakukan semacam percobaan alamiah. Sisanya keberuntungan saja. Pertama, suamiku pergi ke simposium di Minneapolis. Dia bisa saja mengajaknya, tentu, tapi itu libur musim panas dan dia harus bekerja di kantor. Hal lain, misalnya—dia bisa saja tidak sepenuhnya sendirian. Bisa saja ada orang lain di sekitar. Dan dia bisa saja mencurigaiku. Aku harus berasumsi bahwa dia tidak tahu kalau aku tahu. Dia datang untuk makan malam di rumahku; kami berteman. Aku harus mengandalkan suamiku yang sealu menempatkan segalanya demikian, yang akan memberitahku untuk melihat reaksiku tapi belum memberitahunya bahwa dia memberitahuku. Jadi kau bilang, Kenapa kau singkirkan dia? Suamiku bisa saja tetap berpikiran untuk tetap bersamaku? Tidak. Dan entah bagaimana dia tetap akan bersamanya. Dan walaupun dia tidak tetap bersamanya hidup kami sudah teracuni olehnya. Dia meracuni hidupku, jadi aku meracuni dia.
“Aku buat dua kue. Satu yang beracun dan satu tidak. Aku pergi ke universitas dan kubawa dua gelas kopi dan pergi ke kantornya. Tidak ada siapapun kecuali dia. Aku katakan padanya aku sedang ada urusan di kota, dan sewaktu lewat kampus aku melihat toko roti yang selalu disebut-sebut suamiku, jadi aku mampir dan beli kue dan dua gelas kopi. Aku kepikiran dia sedang sendirian ketika yang lainnya sibuk liburan, dan aku juga sendirian karena suamiku di Minneapolis. Dia manis dan berterima kasih. Dia bilang sangat membosankan berada di kantor, dan kantin tutup, jadi dia harus melintasi kantor sains untuk membeli kopi dan mereka mencampurnya dengan asam hidroklorik. Ha-ha. Jadi kami melakukan pesta kecil-kecilan.”
“Aku benci rhubarb,” katanya. “Itu tidak akan mempan padaku.”
“Itu mempan padanya. Aku harus mengambil risiko kalau racunnya akan bekerja cepat, sebelum dia sadar ada yang salah dan dia menekan-nekan perutnya. Tapi tidak terlalu cepat sampai-sampai dia tidak sempat bergaul bersamaku. Aku harus cepat-cepat kabur dan begitulah. Bangunan itu tertelantarkan, dan sejauh yang aku tahu sampai sekarang tak satu orang pun melihat aku datang atau pergi. Tentu saja, aku tahu beberapa jalan belakang.”
“Kau kira kau pintar. Kau bebas dari hukuman.”
“Tapi kau juga.”
“Apa yang kulakukan tidak selicik yang kau lakukan.”
“Itu harus kau lakukan.”
“Tentu saja.”
“Yang kulakukan harus kulakukan. Aku menjaga pernikahanku. Pada akhirnya suamiku menyimpulkan kalau dia tidak akan berdampak baik baginya, bagaimanapun juga. Dia akan membuatnya pesakitan, hampir pasti. Dia memang jenis begitu. Dia bukan apa-apa kecuali beban baginya. Suamiku menyadari semua itu.”
“Kau sebaiiknya tidak mencampur macam-macam ke dalam telur-telur tadi,” kata laki-laki itu. “Kalau iya, kau akan menyesal.”
“Tentu saja aku tidak. Itu bukan hal yang biasa kau lakukan. Aku sebetulnya tidak tahu banyak tentang racun. Kebetulan saja aku punya sepotong informasi kecil itu.”
Laki-laki itu berdiri tiba-tiba sampai menjatuhkan kursinya. Dia sadar tidak ada lagi anggur yang tersisa di dalam botol.
“Aku butuh kunci mobil.”
Nita tidak bisa berpikir sejenak.
“Kunci mobil. Di mana kau simpan?”
Itu bisa saja terjadi. Segera setelah dia memberi laki-laki itu kunci mobil, itu bisa saja terjadi. Apakah akan berpengaruh memberitahunya kalau dia sekarat karena kanker? Bodohnya. Tidak akan ada pengaruhnya. Mati di masa depan tidak akan mengurungkannya bicara sekarang.
“Tak ada yang tahu yang barusan kukatakan padamu,” kata Nita. “Cuma kau yang kuberitahu.”
Semua hal barusan mungkin akan berhasil. Semua keuntungan yang telah dia paparkan mungkin sedang bekerja di kepala laki-laki itu.
“Belum ada yang tahu,” kata laki-laki itu, dan dia berpikir, Terima kasih Tuhan. Laki-laki itu sedang di jalur yang tepat. Laki-laki itu sadar. Apa dia sadar?
Terima kasih Tuhan, barangkali.
“Kuncinya ada di dalam teko teh biru.”
“Di mana? Teko teh biru jancuk yang mana?”
“Di ujung konter—tutupnya pecah, jadi kami pakai untuk menyimpan barang-barang—”
“Diam. Diam atau aku akan mendiamkanmu untuk selamanya.” Dia mencoba memasukkan tangannya ke dalam teko teh biru, tapi tak bisa. “Jancuk, jancuk, jancuk!” pekiknya, dan dia mengambil teko itu dan menghantamnya pada konter, jadi tak cuma kunci mobil dan kunci-kunci rumah dan beragam koin dan segumpal uang Canadian Tire[4] yang berjatuhan ke lantai tetapi juga keramik-keramak biru menghantam papan.
“Yang ada tali merahnya,” katanya lirih.
Laki-laki itu menendang-nendang barang sejenak sebelum akhirnya mendapatkan kunci yang tepat.
“Jadi apa yang akan kau katakan tentang mobil itu?” tanya laki-laki itu. “Kau jual ke orang asing. Begitu?”
Makna semua itu tidak muncul pada Nita untuk sejenak. Ketika muncul, ruangan bergetar. Hendak berkata. “Terima kasih,” katanya, tapi mulutnya begitu kering, sampai-sampai dia tak yakin ada bunyi yang keluar.
Namun, pastilah dia berkata, sebab laki-laki itu berkata, “Jangan berterima kasih padaku dulu. Aku punya ingatan yang bagus. Ingatan yang panjang dan bagus. Kau buatlah orang asing itu tidak mirip aku. Kau jangan bikin mereka ke kuburuan dan menggali mayat-mayat. Kau ingat baik-baik, ada yang keluar dari mulutmu dan akan ada juga yang keluar dari mulutku.”
Dia tetap menunduk. Tidak bergerak atau bicara, cuma melihat kekacauan yang ada di lantai.
Pergi. Pintu sudah ditutup. Tetap dia tidak bergerak. Dia ingin mengunci pintu, tapi dia tidak bisa bergerak. Dia mendengar mesin dihidupkan, lalu mati. Apa sekarang? Laki-laki itu begitu gelisah, semua yang dia lakukan keliru. Lalu lagi, dihidupkan, dihidupkan, memutar. Ban mengenai kerikil-kerikil. Nita berjalan gemetar menuju telepon dan mendapati bahwa laki-laki itu betul: telepon mati.
Di samping telepon ada salah satu dari sekian banyak rak buku mereka. Yang satu ini isinya kebanyakan buku-buku tua, buku-buku yang sudah bertahun-tahun tidak dibuka. Ada “The Proud Tower.” Albert Speer. Buku milik Rich.
“A Celebration of Familiar Fruits and Vegetables.” “Hearty and Elegant Dishes and Fresh Surprises,” disusun, diuji, dan dibuat oleh Bett Underhill.
Segera setelah Rich menyelesaikan dapur, Nita membuat kesalahan untuk sementara waktu karena mencoba memasak seperti Bett. Untuk waktu yang sangat singkat, karena ternyata Rich tidak mau teringat kembali pada semua kekacauan itu, dan Nita sendiri tak punya cukup kesabaran untuk melakukan begitu banyak aksi memotong dan menggodok. Tapi dia banyak sedikit hal-hal yang membuatnya terkejut. Seperti aspek-aspek beracun tanaman-tanaman tertentu yang lazim dikenal dan umumnya aman.
Dia harus menulis untuk Bett.
Hai Bett, Rich meninggal dan hidupku baru saja terselamatkan dengan menjadi dirimu.
Tapi apa Bett akan peduli bahwa hidupnya terselamatkan? Hanya ada satu orang yang patut dikabari.
Rich. Rich. Sekarang dia tahu bagaimana rasanya merindukannya. Ibarat udara tiba-tiba dihisap keluar dari angkasa.
Dia katakan pada dirinya sendiri kalau dia bisa berjalan ke kampung. Ada kantor polisi di belakang Balai Kota.
Dia bisa mendapatkan telepon seluler.
Tapi dia sangat gemetar, sangat capai sampai-sampai hampir tak bisa menggerakkan kaki. Pertama-tama dia harus istirahat dulu.

DIA terbangun oleh ketukan pada pintu yang belum dikunci. Itu seorang polisi, bukan dari kampung tapi salah satu polisi lalu lintas provinsi. Dia bertanya di mana mobilnya sekarang.
Nita melihat jejak pada kerikil di mana sebelumnya mobil itu diparkir.
“Hilang,” katanya. “Sebelumnya di sana.”
“Anda tidak tahu mobil itu dicuri? Kapan terakhir Anda keluar dan melihatnya?”
“Pasti semalam.”
“Kuncinya ada di dalam?”
“Kupikir seharusnya iya.”
“Saya bawa kabar kecelakaan yang buruk. Kecelakaan satu-mobil di sisi Wallenstein. Pengemudinya berguling ke dalam gorong-gorong dan masuk. Dan bukan itu saja. Dia buronan karena tiga pembunuhan. Itu yang terakhir kami dengar, demikian. Pembunuhan di Mitchellston. Anda beruntung tidak berpapasan dengannya.”
“Apa dia terluka?”
“Meninggal. Seketika. Pantas untuknya.”
Setelah itu ada kuliah ramah tapi tegas. Tentang meninggalkan kunci-kunci di mobil. Wanita tinggal sendiran. Belakangan ini kau tak akan menduga.
Tak akan pernah. ♦

[1] Grey Goose, mereka vodka (sejenis minuman beralkohol) buatan Perancis.
[2] Muumuu ialah sejenis gaun longgar asli Hawaii yang menggantung dari bahu.
[3] A.A. singkatan dari Alcoholics Anonymous, sebuah kelompok internasional yang bertujuan membantu orang-orang alkoholik.
[4] Canadian Tire money (CTM) atau uang Canadian Tire merupakan sejenis kupon atau mata uang yang dikeluarkan perusahaan retail Canadian Tire. Kegunaannya serupa dengan mata uang atau koin yang biasa dipakai di tempat-tempat permainan, sejenis Timezone, di mall.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar