Masih
terdengar hiruk pikuk suara itu, para kepala-kepala kecil yang muncul dari
hantu masa laluku. Lebar-lebar mulut mereka dengan gigi-gigi yang terlihat
bergerigih. Mereka masih tertawa dengan membawa benda kecil berwarna gelap dan
bersayap. Tak lupa dua antena panjang dikepalanya.
“Hahahahaaa....”suara
mereka riang. “Iiiiihhhhh...ini...” si anak kecil kepala plontos melemparkan
seekor kecoa kearahku. Aku menjerit sejadi-jadinya dan lari kesetanan sedang
mereka tertawa dengan renyahnya.
000
Awal bulan juni
aku bermigrasi kekota. Hari pertama aku dirumah baru suamiku tak terjadi satu
apapun yang mencurigakanku. Semuanya berjalan sebagaimana biasanya. Namun
seiring berjalannya waktu yang berlalu aku mulai mencium bau kecurigaan yang
kian hari makin menyengat. Dan disanalah ia, dengan koloninya, berpuluh
berkumpul dalam pesta yang mengeksekusiku berdiri.
Aku terseret
dalam kabut ketakutanku, dengan sungai air mata yang melebar aku menjerit.
Tidak hanya
sekali, hampir setiap hari aku berpapasan dengan mereka yang begitu cepat
berlarian. Ini kota, kota tempat dimana kukubur keberanianku hidup-hidup. Menetap
disini begitu dihantui kecekaman yang kian hari kian membuat orang-orang
disekitarku menekuk wajah mereka;bosan.
000
Aku masih ingat
hari itu, dimana setelah menginjakkan kaki dirumah baru kami, aku melihat kamar
mandi dipenuhi mereka. Sang alien purba yang selalu kehadirannya membuatku
berdebar dan otak tak mampu berjalan sekian detik pertemuan itu pula.
Dan selanjutnya
aku semakin terpuruk dengan keberadaan mereka yang keras kepala. Lelakiku
dengan jantannya akan datang begitu jeritanku membelah kesunyian pinggiran
jakarta. Dengan pemukul andalannya ia berperang, begitu sengitnya hingga pernah
ia sampai kekolong meja. Semua demi aku.
Namun manusia
pastilah memiliki batas kesabaran. Suatu hari, ia begitu terbakar emosi atas
seekor kecoa yang menghilang diantara rimbunan perkakas. Dengan wajah tegang
dia menatapku tajam. Aku ingat betul kata-katanya.
“Apa yang kau
takutkan dengan makhluk sekecil itu? Ini tidak masuk akal.” Dia memarahiku
dengan keras. “Kamukan manusia, yang memiliki akal, lebih tinggi dari serangga
itu. Mereka hanya hewan. Pakai akalmu.” Dia mondar mandir sambil menatapku yang
menekuk lutut didepan pintu.
‘Aku takut sayang, aku takut, aku seperti terancam,
aku tidak aman. Dikepalaku mereka menjelma menjadi monster sebesar mobil-mobil
jenazah dan dengan berjamaah mereka menertawakan aku. Aku takut sayang.’
Kutekuk wajahku diantara kaki dalam tubuh dingin yang makin bergemetar. Aku
seperti terhimpit balok es-beku ditempat.
“Tolong aku.” Aku
menatapnya, dia menghela nafas dan berjalan cepat kearahku. Dia memelukku erat,
kurasakan hangat tubuhnya. Perlahan ketakutanku termakan oleh rasa aman yang ia
berikan. Aman.
Aku bosan akan
rasa takut. Perlahan bunga keberanian dalam diri memunculkan tunasnya.
Aku terpejam.
000
**Cerpen yang kutulis di tahun2013.
di bukukan dalam Antologi Phobia, 2013. penerbit ECA Pubhlising