Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Minggu, 11 Mei 2014

Tolong Aku Sekarang!!


Masih terdengar hiruk pikuk suara itu, para kepala-kepala kecil yang muncul dari hantu masa laluku. Lebar-lebar mulut mereka dengan gigi-gigi yang terlihat bergerigih. Mereka masih tertawa dengan membawa benda kecil berwarna gelap dan bersayap. Tak lupa dua antena panjang dikepalanya.
“Hahahahaaa....”suara mereka riang. “Iiiiihhhhh...ini...” si anak kecil kepala plontos melemparkan seekor kecoa kearahku. Aku menjerit sejadi-jadinya dan lari kesetanan sedang mereka tertawa dengan renyahnya.
000
Awal bulan juni aku bermigrasi kekota. Hari pertama aku dirumah baru suamiku tak terjadi satu apapun yang mencurigakanku. Semuanya berjalan sebagaimana biasanya. Namun seiring berjalannya waktu yang berlalu aku mulai mencium bau kecurigaan yang kian hari makin menyengat. Dan disanalah ia, dengan koloninya, berpuluh berkumpul dalam pesta yang mengeksekusiku berdiri.
Aku terseret dalam kabut ketakutanku, dengan sungai air mata yang melebar aku menjerit.
Tidak hanya sekali, hampir setiap hari aku berpapasan dengan mereka yang begitu cepat berlarian. Ini kota, kota tempat dimana kukubur keberanianku hidup-hidup. Menetap disini begitu dihantui kecekaman yang kian hari kian membuat orang-orang disekitarku menekuk wajah mereka;bosan.
000
Aku masih ingat hari itu, dimana setelah menginjakkan kaki dirumah baru kami, aku melihat kamar mandi dipenuhi mereka. Sang alien purba yang selalu kehadirannya membuatku berdebar dan otak tak mampu berjalan sekian detik pertemuan itu pula.
Dan selanjutnya aku semakin terpuruk dengan keberadaan mereka yang keras kepala. Lelakiku dengan jantannya akan datang begitu jeritanku membelah kesunyian pinggiran jakarta. Dengan pemukul andalannya ia berperang, begitu sengitnya hingga pernah ia sampai kekolong meja. Semua demi aku.
Namun manusia pastilah memiliki batas kesabaran. Suatu hari, ia begitu terbakar emosi atas seekor kecoa yang menghilang diantara rimbunan perkakas. Dengan wajah tegang dia menatapku tajam. Aku ingat betul kata-katanya.
“Apa yang kau takutkan dengan makhluk sekecil itu? Ini tidak masuk akal.” Dia memarahiku dengan keras. “Kamukan manusia, yang memiliki akal, lebih tinggi dari serangga itu. Mereka hanya hewan. Pakai akalmu.” Dia mondar mandir sambil menatapku yang menekuk lutut didepan pintu.
‘Aku takut sayang, aku takut, aku seperti terancam, aku tidak aman. Dikepalaku mereka menjelma menjadi monster sebesar mobil-mobil jenazah dan dengan berjamaah mereka menertawakan aku. Aku takut sayang.’ Kutekuk wajahku diantara kaki dalam tubuh dingin yang makin bergemetar. Aku seperti terhimpit balok es-beku ditempat.
“Tolong aku.” Aku menatapnya, dia menghela nafas dan berjalan cepat kearahku. Dia memelukku erat, kurasakan hangat tubuhnya. Perlahan ketakutanku termakan oleh rasa aman yang ia berikan. Aman.
Aku bosan akan rasa takut. Perlahan bunga keberanian dalam diri memunculkan tunasnya.
Aku terpejam.

000




**Cerpen yang kutulis di tahun2013.
di bukukan dalam Antologi Phobia, 2013. penerbit ECA Pubhlising
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar