Sore, di beranda rumah seperti biasa. Dengan segelas
wedang jahe, ubi rebus dan suara tawamu yang membumbung tinggi dan membuatnya
terukir rapi dalam benakku. Memetakan senyummu yang selalu menghangatkanku
bahkan ditahun-tahun kedepan-saat jauh dari keberadaanmu senyummu masih saja
menemaniku.
Bukan sekali atau dua kali gerakmu ada dalam cetakan
kenanganku, tapi setiap peluh yang kau beri untuk menghidupi dan mendidikku
dalam waktu yang bersamaanlah yang terpatri erat dalam langkahku.
Bukan sekedar picnik bersama, atau makan kacang di
pinggir empang, bukan pula saat karnaval atau saat jemarimu membelaiku yang
terserang demam bahkan bukan sekedar saat kau menerobos hujan dengan payung
kecil yang seolah akan membuatmu terbawa angin, ketika kau menjemputku di
sekolah tapi aku malah meninggalkanmu dan berlari bermain hujan dengan
kawan-kawanku.
Ibu, bukan sekedar itu kenanganku akan kehadiranmu.
Engkau yang telah mencintaiku bahkan sebelum aku ada, engkau yang memanggilku
dengan cinta ketika pertama kali aku bernafas dan engkau yang melindungiku
sejak denyut jantungku pertama kali berdetak.
Ibu, aromamu, senyummu, pelukmu, dan kasihmu adalah
bagian dari hidupku. Aku mengingat penuh saat kau mengajariku kehidupan, mengeja
langit dan memberitahu tiap huruf dan angka-moment-moment berhargaku denganmu-
yang hingga kini masih kugunakan untuk menjalani hidup, ajaranmu ibu.
Itulah yang selalu membawaku pulang, mudik bersama
rindu yang tak tertahankan. Memandangmu dan mengingat betapa kau telah mengisi
hari-hariku dengan tak terhingga.
Sore, di beranda rumah seperti biasa, segelas wedang
jahe racikanmu, sepiring ubi rebus yang legit dan suara nasehat-nasehatmu.
000
*Cerpen tertanda tanggal 15-01-2014