Ketika aku kecil dulu, aku percaya bahwa cinta itu
semacam gula-gula berwarna-warna yang membuat lidah terusan saja mengunyah
tanpa henti-hentinya. Menikmati tiap incinya dan memintanya lagi dan lagi.
Lalu aku berubah pikiran. Cinta tak selamanya
menyenangkan perasa. Aku patah hati untuk pertama kalinya. Cinta rasanya
berubah, membuat muak dan sakit rasanya. Karena rasa sakit yang kurasa aku
mulai kehilangan arah. Aku carut marut dan berat badanku menyusut.
“Kita putus.” Katamu menjadi pukulan terberatku.
Katamu terus menyakitiku bahkan menjadi hantu di kepalaku.
Berlambat waktu kemudian, cinta menjadi semacam arena.
Ketika aku tak lagi bertanya-tanya tentangnya, segalanya menjadi berlarian
kemana-mana. Cinta datang dan pergi. Kadang singgah kadang menginap sekejap.
Lalu terkadang lalu lalang dan menghilang.
Dan ketika aku sadar cinta telah menjadi bagian yang
tak terpisahkan. Menjadi bagian dari wanita dalam segi banyak yang memberi
sudut pandang pengambilan keputusan. Seseorang, kusadari bisa pergi dan
menghilang, sekalipun aku mau dia menetap atau sekedar bertandang. Dia
menjadikan sesuatu yang lebih berarti. Memberi keyakinan diri dan membantu
menyusun puzzle-puzzle kehidupan.
Katamu, “aku mencarimu dirimu dalam setiap jalanku.”
Kataku, “aku mencintaimu.”
“Benarkah itu?” tanyamu.
“Apa kau tak percaya, bagaimana aku selalu datang
padamu?” tanyaku.
Saat itu, cinta tak lagi memerlukan kata-kata untuk
saling berbicara. Semuanya terlihat indah, indah begitu saja, sebagaimana
adanya meski terkadang melihat sesuatu menjadi mereka-reka. Meski begitu, cinta
disaat ini selalu tegak berdiri, terkadang merentangkan tangan, mengenggam
tangan dan memberi kecupan selamat malam.
Kecupan selamat malam atau kecupan selamat tinggal,
terkadang terlihat samar. Keduanya bisa diucapkan dalam satu waktu yang
bersamaan.
Termangu.
Menunggu.
Termanggu menunggu.
Dan pada akhirnya cinta telah memasuki masa
berhentinya berkembang. Ia tak lagi tumbuh. Aia hanya melebar sesuai
keelastisannya. Ia meliuk, aku tertunduk. Dia dan aku sejenak menjadi sebuah
nama dalam peti kenangan. Kotak kecil yang selalu menawarkan bintik-bintik
rasa, tapi karena terlalu sering mengecap ia tak lagi menjadi istimewa. Dia,
cinta, hanya menjadi menumen masa muda dalam sejarah usia.
Lalu aku menginjak masa renta. Aku merasa, cinta
kembali membuncah. Aku berfikir sebentar saja tentang cinta yang menguasai
raga. Diusiaku yang cinta, cinta menawanku dengan bergairah. Cinta berubah
wajah. Dia menyesatkanku dalam lorong-lorong panjang.
Aku mengamati dari ranjang ketika orang-orang mulai
datang. Para pria bersarung lurik yang diikat dipinggang dan para wanita
bertudung dengan warna hitam yang kelam. Mereka berjejer rendah di
dinding-dinding rumah dengan wajah yang cukup resah.
“Tolong Pak, tolong.” Teriak salah satunya yang
kemudian disusul suara-suara yang tak mampu lagi kudefinisi satu persatunya.
“Pak, tolong panggil Pak Kyai, ibu dari tadi sakaratul
maut.”
“Tolong di rukyah atau di bacakan sholawat biar ibu
bisa pergi dengan tenang. Panggil pak Kyai cepat!”
000
*5-5-2014