Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Senin, 12 Mei 2014

Esai Sastra; "KEINDAHAN YANG RUMIT DAN KEINDAHAN YANG SEDERHANA"

oleh Abdul Wachid B.S.


Ketika Gus Mus (K.H. A. Mustofa Bisri) memberi "Kata Pengantar" kepada buku sajak saya yang pertama, Rumah Cahaya (1995), beliau menulis bahwa sajak yang rumit itulah yang bagus, dan sajak-sajak Abdul Wachid B.S. itu rumit, dan karenanya bagus, penuh lambang-lambang... dst.

Tetapi, saya menerima "Kata Pengantar" itu sebagai tarbiyah untuk
saya (pribadi), dengan sebaliknya, bahwa sajak yang bagus itu sesungguhnya yang sederhana, yang tidak rumit dan memusingkan kepala pembaca. Untuk apa menulis sajak (karya sastra) jika cuma membuat pening kepala pembaca?

Pada hakikatnya menulis karya tulis, apapun, adalah upaya untuk berkomunikasi dengan pembaca, dengan cara indah dan bermakna sehingga makna itu tersampaikan kepada pembaca. Sementara itu, keindahan itu ada yang wujud, dan ada yang di sebalik wujud. Wujud komunikasi, tentu, melalui ungkapan bahasa sebab medium komunikasi pada umumnya ialah melalui bahasa. Oleh sebab itu, dalam hal ini, wujud keindahan komunikasi dapat dilihat dari keindahan bahasanya, keunikan bahasanya, tidak meniru-niru dari ungkapan bahasa yang sudah lazim digunakan oleh orang lain atau oleh penyair lain jika hal itu terjadi di dalam puisi.

Memang, ada juga keindahan itu "yang rumit", tidak terkecuali ketika disampaikan melalui bahasa. Namun demikian, serumit apapapun keindahan itu disampaikan melalui bahasa, tetap saja bahwa si penulis masih ingin berkomunikasi kepada pembacanya. Di khazanah sastra Indonesia, ada sajak-sajak yang indah namun rumit itu, yaitu perpuisian Afrizal Malna (dalam buku puisi Abad Yang Berlari, 1984), sebagaimana contoh ungkapan ini.

DADA


sehari, waktu sama sekali tak ada, dada.  bumi terbaring dalam tangan yang tidur, dada.  sehari. ingin jadi manusia terbakar dalam mimpi, dada.  semua terbaring dalam waktu tak ada dada.  membaca, dada.  membaca.  orang-orang yang terbaring dalam tubuhnya sendiri, dada.  tak ada yang berjalan.  anjing terbaring dalam lolongannya sendiri.  kota juga terbaring dalam dinding dinding beton yang dingin, dada.  keinginan jadi manusia terkubur dalam daging sendiri.  mengaji, dada.  mengaji.  keganasan yang aku tanam di ujung-ujung jemariku sendiri, begitu inginkan manusia.


Tetapi, keindahan yang wujud melalui bahasa itu bisa dimunculkan tidak harus dari kerumitan-kerumitan ungkapan yang penuh lambang, yang terjalin menjadi metafora abstrak, sebagaimana sajak di atas. Ibarat memandang seorang gadis sajalah. Sajak karya Afrizal Malna itu bagaikan gadis metropolis yang penuh make-up: cantik, memang. Ada lelaki yang suka dengan gadis yang penuh make-up seperti itu.

Tetapi, ada keindahan gadis dusun, yang kita memandangnya dia sedang berjalan menuju mushala, akan shalat ashar lalu mengaji kepada kiainya. Wajah gadis dusun itu tanpa polesan make-up. Tetapi, dari dirinya terpancar keindahan, dari kepribadiannya, dari tutur-katanya yang penuh makna. Di kemudian hari kita mengenal nama gadis dusun itu sebagai "Hanien" (Sajak K.H. A. Mustofa Bisri, dalam buku puisi Gandrung, 2000).

HANIEN

mestinya malam ini
bisa sangat istimewa
seperti dalam mimpi-mimpiku
selama ini

kekasih, jemputlah aku
kekasih, sambutlah aku

aku akan menceritakan kerinduanku
dengan kata-kata biasa
dan kau cukup tersenyum memahami deritaku
lalu kuletakkan kepalaku yang penat
di haribaanmu yang hangat

kekasih, tetaplah di sisiku
kekasih, tataplah mataku

tapi seperti biasa
sekian banyak yang ingin kukatakan tak terkatakan
sekian banyak yang ingin kuadukan
diambilalih oleh airmataku

kekasih, dengarlah dadaku
kekasih, bacalah airmataku

malam ini belum juga
seperti mimpi-mimpiku
selama ini
malam ini
lagi-lagi kau biarkan sepi
mewakilimu

Rembang, 1999


Sumber : Kritik Sastra Grup
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar