Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Kamis, 08 Mei 2014

Kenari Musim Dingin


“Seorang gadis kecil berjubah merah yang akan mengingatkanmu pada si tudung merah yang tengah menghadapi serigala dalam dongeng anak-anak sedang berjalan sendirian. Tapi si tudung merah kita ini sepertinya tak akan mampu melawan sang serigalanya.”

Gadis berjubah merah dengan langkah berat yang dirantai derita, berjalan terseok–seok diantara kelembutan salju putih yang seakan tak berdosa. Gadis itu tidak menghiraukan kaki telanjangnya yang seakan menginjak duri–duri ketika menginjak tumpukan salju. Yang bertubi–tubi menusuknya.


Nyonya Eiffel yang angkuh hanya memandangnya seakan tak peduli sama seperti para nyonya–nyonya pemilik rumah yang kini bercinta dengan kehangatan dan kenyamanan dibalik pintu–pintu berukir indah. Dibelakang sana.

Kini dia berjalan pergi dari rumah–rumah yang tidak menghiraukan keberadaannya. Dia faham, telah lama dia ditinggalkan bahagia dan telah lama pula dijaga oleh derita.
Bibirnya semakin membiru saat dia berada dibawah sebuah tiang lampu jalan yang tidak lagi menyala. Dengan tarian salsa dibibirnya yang tidak dapat dikendalikan dia kembali berjalan tanpa arah.

Dia tidak lagi menanggis karena air matanya telah mengkristal. Dia tidak lagi bersedih karena telah terlampau tak dapat dirasakan lagi apa yang tengah dia alami. Dia tidak menyesal telah dilahirkan karena setidaknya dia mampu menjadi wujud lain yang Tuhan ciptakan untuk melengkapi keaneka ragaman. Dia tidak menuntut keadilan karena segalanya telah adil baginya, saat dia menatap langit dia merasa keadilan dipihaknya, sekalipun dia dibuang keluarganya karena ketidak berdayaannya akan kode genetika yang bermutasi dalam dirinya, tapi dia masih punya semesta, semesta yang menerimanya dengan lapang dada.

Lalu termenunglah dia dibawah sebatang pohon yang kini terlihat telah ditinggal kehidupan. Daunnya telah lama meninggalkan dia dan kini dia ditutupi oleh setumpuk benda putih cantik yang bisa membunuh dengan pedang–pedang dinginnya yang tidak bersahabat. Dia mendekap diri.

“Kau sama sepertiku.” Dia meraih sebutir kenari yang tidak diambil oleh tupai.

Meskipun hanya sebutir kenari berkulit keras, dia mampu membuat dirinya menari dalam lingkaran kehangatan nyata berselimut kebahagiaan.

“Jika tak ada yang memilihmu, biarkan aku yang memilikimu.” Dia mencoba merasakan kenari keras. Saat tak ada pilihan ambillah apa saja yang ada selama itu tidak menghentikan kehidupan yang kau punya.

Dia membenamkan dirinya seketika itu juga. Diantara akar kenari tua dia meringkuk berselimut dingin yang menghantam tulang.

000

Matahari disambut pagi, saat keindahan pagi teralihkan oleh suara–suara ribut yang mampu membuat orang jompo jengkel. Suara-suara itu semakin tidak manusiawi, histeris dan memaki tapi entah kemana arah makian mereka.

“Siapa gadis ini? Kasihan sekali dia.” Salah seorang wanita menaruh mantelnya ditubuh kaku sosok seputih kapur yang tergeletak tak jauh dari akar kenari.

“Dia sudah meninggal akibat hipotermia.” Jerit seorang wanita berbadan gajah.

“Bawa dia.” Teriak yang lain.

 “Kasihan sekali dia.” Suara–suara mengkasihani semakin mengudara dimana–mana.
“Kasihan dia, tega sekali. Kemana orangtuanya? Kasihan sekali.”

Saat semua telah terjadi hanya suara yang dapat kau dengar, suara–suara yang sudah tidak berguna. Dimanakah mereka saat gadis itu melepaskan nyawanya? Dimanakah mereka saat gadis itu hidup tak berumah? Saat dia tak berkeluarga, saat dia disiksa sekitarnya karena keadaannya?

Terlambat.


 *cerpen ini adalah cerpen pertamaku yang kutulis pada tahun 2007 kemudian di tahun 2009  aku merevisinya untuk pertama kali, 2012 revisi kedua dan 2013 revisi ketiga kalinya.
"Foto: ihsansasana.blogspot.com


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar