“Seorang
gadis kecil berjubah merah yang akan mengingatkanmu pada si tudung merah yang
tengah menghadapi serigala dalam dongeng anak-anak sedang berjalan sendirian. Tapi
si tudung merah kita ini sepertinya tak akan mampu melawan sang serigalanya.”
Gadis
berjubah merah dengan langkah berat yang dirantai derita, berjalan terseok–seok
diantara kelembutan salju putih yang seakan tak berdosa. Gadis itu tidak
menghiraukan kaki telanjangnya yang seakan menginjak duri–duri ketika menginjak
tumpukan salju. Yang bertubi–tubi menusuknya.
Nyonya
Eiffel yang angkuh hanya memandangnya seakan tak peduli sama seperti para
nyonya–nyonya pemilik rumah yang kini bercinta dengan kehangatan dan kenyamanan
dibalik pintu–pintu berukir indah. Dibelakang sana.
Kini
dia berjalan pergi dari rumah–rumah yang tidak menghiraukan keberadaannya. Dia faham,
telah lama dia ditinggalkan bahagia dan telah lama pula dijaga oleh derita.
Bibirnya
semakin membiru saat dia berada dibawah sebuah tiang lampu jalan yang tidak
lagi menyala. Dengan tarian salsa dibibirnya yang tidak dapat dikendalikan dia
kembali berjalan tanpa arah.
Dia
tidak lagi menanggis karena air matanya telah mengkristal. Dia tidak lagi bersedih
karena telah terlampau tak dapat dirasakan lagi apa yang tengah dia alami. Dia
tidak menyesal telah dilahirkan karena setidaknya dia mampu menjadi wujud lain
yang Tuhan ciptakan untuk melengkapi keaneka ragaman. Dia tidak menuntut
keadilan karena segalanya telah adil baginya, saat dia menatap langit dia
merasa keadilan dipihaknya, sekalipun dia dibuang keluarganya karena ketidak
berdayaannya akan kode genetika yang bermutasi dalam dirinya, tapi dia masih
punya semesta, semesta yang menerimanya dengan lapang dada.
Lalu
termenunglah dia dibawah sebatang pohon yang kini terlihat telah ditinggal
kehidupan. Daunnya telah lama meninggalkan dia dan kini dia ditutupi oleh
setumpuk benda putih cantik yang bisa membunuh dengan pedang–pedang dinginnya
yang tidak bersahabat. Dia mendekap diri.
“Kau
sama sepertiku.” Dia meraih sebutir kenari yang tidak diambil oleh tupai.
Meskipun
hanya sebutir kenari berkulit keras, dia mampu membuat dirinya menari dalam
lingkaran kehangatan nyata berselimut kebahagiaan.
“Jika
tak ada yang memilihmu, biarkan aku yang memilikimu.” Dia mencoba merasakan
kenari keras. Saat tak ada pilihan ambillah apa saja yang ada selama itu tidak
menghentikan kehidupan yang kau punya.
Dia
membenamkan dirinya seketika itu juga. Diantara akar kenari tua dia meringkuk
berselimut dingin yang menghantam tulang.
000
Matahari
disambut pagi, saat keindahan pagi teralihkan oleh suara–suara ribut yang mampu
membuat orang jompo jengkel. Suara-suara itu semakin tidak manusiawi, histeris
dan memaki tapi entah kemana arah makian mereka.
“Siapa
gadis ini? Kasihan sekali dia.” Salah seorang wanita menaruh mantelnya ditubuh
kaku sosok seputih kapur yang tergeletak tak jauh dari akar kenari.
“Dia
sudah meninggal akibat hipotermia.” Jerit seorang wanita berbadan gajah.
“Bawa
dia.” Teriak yang lain.
“Kasihan sekali dia.” Suara–suara mengkasihani
semakin mengudara dimana–mana.
“Kasihan
dia, tega sekali. Kemana orangtuanya? Kasihan sekali.”
Saat
semua telah terjadi hanya suara yang dapat kau dengar, suara–suara yang sudah
tidak berguna. Dimanakah mereka saat gadis itu melepaskan nyawanya? Dimanakah
mereka saat gadis itu hidup tak berumah? Saat dia tak berkeluarga, saat dia
disiksa sekitarnya karena keadaannya?
Terlambat.
*cerpen ini adalah cerpen pertamaku yang kutulis pada tahun 2007 kemudian di tahun 2009 aku merevisinya untuk pertama kali, 2012 revisi kedua dan 2013 revisi ketiga kalinya.
"Foto: ihsansasana.blogspot.com
"Foto: ihsansasana.blogspot.com