Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Minggu, 11 Mei 2014

Kritik Sastra; Keringat Karya Jorge Amado


Oleh : Ardy Kresna Crenata

Cerpen Jorge Amado (Koran Tempo, 27 April 2014)
Image336
(Gambar oleh Munzir Fadly)
MEREKA menuruni tangga bersamaan. Ketika mereka sampai di pintu keluar, orang asing itu mencoba mengajaknya bercakap-cakap. Ruap napasnya yang panas menyapu wajah si wiraniaga. Malam ini udara terasa gerah dan lembap, tak ada angin berembus. Namun, si orang asing pasti sedang kedinginan karena ia terus melesakkan tangannya ke dalam saku mantel. Matan
ya lebar dan ujung tulang rahangnya yang persegi tampak runcing.
“Anda tinggal di sini?”
“Ya, lantai dua.”
“Sewanya tinggi?”
“Tinggi? Ya, lumayan tinggi, tapi di mana lagi kita bisa mencari yang lebih murah?”
“Tak ada?”
Ujung rahangnya tampak lebih runcing dan tatapannya makin muram saat ia menyahuti pertanyaan itu dengan pertanyaan. Menatap pasti ke wajah si wiraniaga, ia mengulangi pertanyaannya.
“Jadi, menurut Anda tak ada yang lebih murah, ya? Semuanya mahal?”
“Tadi sudah mencari di loteng?”
“Ya. Tak ada yang lowong. Semua kamar terisi.”
Lelaki asing itu berdiri menatap ke jalanan. Udara masih terasa gerah, tapi dia menggigil. Dia menggerakkan tangannya dari saku mantelnya dan menggosok-gosoknya dengan keras.
“Ya, begitulah,” ujarnya tiba-tiba, “semua mahal. Saya sudah berutang dua bulan uang sewa kamar…. Saya tinggal di Jalan Kapiten. Ya, betul. Perempuan itu menagih sewa setiap hari. Dia terus mengejar kami. Kami berempat: saya, istri saya Maria Clara—dia dari Segiripan—dan kedua anak lelaki kami. Kurasa tak lama lagi kami akan terpaksa menjadi gelandangan.”
Ia berhenti berbicara, tampak letih, meludah, menarik topinya di atas pelipisnya, lalu meneruskan berkata, “Saya dulu bekerja di pabrik Aurora sampai tempat itu bangkrut. Itu sudah tiga bulan lalu—dan di sinilah saya sekarang, berkeliling, tak punya pekerjaan. Istri saya menerima cucian, tapi uang yang didapatnya tak mencukupi. Ya, saya harus pindah hari ini—tapi di mana-mana uang sewanya tinggi… dan semua orang minta pembayaran di muka. Bagaimana ini akan berakhir?”
Dia kembali membenamkan tangannya di saku mantel.
“Ada kamar yang bisa disewa di sebelah tempat Anda?”
“Tampaknya tidak. Sudah mencoba cortico di belakang?”
“Terima kasih. Saya tadi sudah dari sana. Semua penuh….”
Dia menatap jalanan tanpa suara, meludah, dan menggosek ludahnya dengan sol sepatunya. Si wiraniaga meraba uang logam tak seberapa di saku celananya. Sempat terpikir olehnya untuk memberikannya kepada si orang asing. Namun, kemudian dia merasa malu dan khawatir itu akan melukai perasaan si orang asing. Lelaki itu merapatkan bagian depan mantelnya, melemparkan tatapan terakhir ke arah tangga, lalu beranjak pergi.
“Hm, maaf sudah mengganggu Anda. Selamat malam.”
Sejenak lelaki itu tampak bimbang, bingung memutuskan antara menaiki tangga atau turun ke arah jalanan yang menuruni bukit. Akhirnya dia mengambil keputusan, berjalan menaiki jalan setapak ke arah atas jalanan yang berlawanan. Si wiraniaga menatapnya dari jauh. Orang asing itu tampak gemetar. Ia bisa melihatnya. Dan walaupun lelaki itu tak berada di dekatnya lagi, terasa olehnya seakan-akan ujung rahang yang runcing itu masih tampak di hadapannya, juga suara letih yang berbicara terus-terang, serta ruap napas panas yang menyapu wajahnya. Ia melambaikan tangan dengan muram. Tiba-tiba saja ia sendiri merasa gemetar kedinginan dalam terpaan udara hangat yang lembap.

PEREMPUAN Italia yang menyewakan kamar-kamar di lantai dua hari itu mengenakan busana yang menutupi leher dan lengannya. Pakaiannya begitu panjang sehingga nyaris menyentuh bumi.
Bertubuh jangkung dan bergigi palsu, dia biasanya menggunakan sepasang sepatu hitam dan kacamata berbingkai emas. Dia sangat angkuh dan nyaris tak pernah berbicara dengan siapa pun, kecuali Fernandez dari bar. Itu pun hanya untuk menyapa selintas. Terkadang saat Cabaca mengemis di muka pintu, perempuan itu akan melemparkan sekeping uang logam ke kotak sedekahnya. Si gembel akan menggumamkan campuran rasa terima kasih dan hujatan, “Semoga Tuhan menolongmu dengan mematahkan lehermu di atas tangga ini kapan-kapan, sundal keparat….”
Perempuan kulit hitam penjual mingau akan tertawa sepuas hati mendengarnya, tapi perempuan Italia itu tak mendengar perkataan Cabaca. Dia sudah berlalu menjauh. Perempuan Italia itu juga dikenal sebagai medium arwah. Saat roh orang mati merasukinya, mereka bilang dia akan menari-nari dengan gerakan tak senonoh dan bernyanyi dalam bahasanya. Dia adalah penghubung favorit tempat roh para pendeta lancung dan perempuan jalan mengejawantahkan kehadiran mereka. Mereka menggunakannya sebagai kendaraan untuk menyampaikan kisah-kisah dan kehidupan mesum mereka dalam upaya memancing rasa iba. Roh-roh berjiwa murni jarang memasukinya. Jika itu terjadi, roh-roh berjiwa murni itu umumnya berbaur dengan roh-roh tak senonoh yang akhirnya selalu berhasil mendominasi. Itu sebabnya tempat praktik penghubung roh di Jalan St. Michael itu amat sering dikunjungi orang dan si perempuan Italia seakan-akan mulai diselubungi lingkar cahaya keemasan di sana.
Kini perempuan Italia itu mengetuk-ngetuk gencar pintu kamar yang disewa si wiraniaga dengan buku-buku jarinya. Ketukan-ketukan itu terdengar memaksa seperti perintah, tapi pintu tak kunjung terbuka. Perempuan itu terus mengetuk-ngetuk dibarengi teriakan. “Seo Joao! Seo Joao!”
Sebuah suara menyahut dari dalam kamar. “Tunggu sebentar.”
Kala pintu terbuka, perempuan Italia itu berdiri dengan kedua tangan di belakang punggung, tersenyum. Seraut wajah berewokan menatapnya dari pintu terbuka.
“Ini tagihan kamarmu. Seharusnya kamu membayar tanggal 5 setiap bulan. Ini sudah tanggal 18.”
Seraya menggosokkan sebelah tangan ke janggutnya, lelaki itu meraih secarik kertas yang disodorkan induk semangnya. Huruf-huruf berenangan di depan matanya.
“Sabarlah, Senhora. Beri aku sedikit waktu lagi. Tak bisakah kau menunggu sampai—katakanlah—akhir minggu ini? Aku ditawari pekerjaan tetap.”
Senyum lenyap dari bibir si perempuan Italia. Wajahnya berubah sinis dengan bibir rapat yang mencong sedikit dengan ekspresi mencemooh.
“Aku sudah menunggu terlalu lama, Seo Joao! Sejak tanggal 5! Setiap hari selalu sama dalihmu. Tunggu, tunggu…. por la Madonna! Aku muak dan bosan menunggu! Aku harus menyetor sewa ke pemilik rumah juga, bukan? Memangnya aku tak perlu makan? Dengar, aku tak bisa menunggu lagi! Aku bukan dinas sosial….”
Walau kata “bukan” yang dilontarkannya nyaris tak terdengar, kata itu mengandung dentang yang kejam.
Terdengar suara bayi menangis di dalam kamar. Lelaki itu mengelus berewoknya.
“Tapi Senhora tentu mendengar,” ujarnya. “Istriku baru melahirkan seminggu lalu. Biaya persalinannya, yah, kau tentu tahulah… Itu sebabnya aku belum bisa membayar sewa kamar. Lalu—aku kehilangan pekerjaan….”
“Apa urusannya denganku? Kenapa kamu beranak-pinak? Salahku? Aku mau kamar ini dikosongkan. Kemasi barang-barangmu. Kalau tidak, kulemparkan kamu ke jalanan. Aku tak mau menunggu lebih lama lagi!”
Perempuan itu berlalu dengan langkah kaku. Gaunnya melekat ketat di tubuhnya seperti lem. Joao menutup pintu, membenamkan wajah di kedua tangannya tanpa berani menatap istrinya yang tengah menangis di dekat si bayi.
“Aku akan bikin ribut dengannya suatu hari nanti,” bisiknya pada diri sendiri, penuh kesumat.

JOAO kini selalu pulang larut, menunggu saat si perempuan Italia telah terlelap. Usahanya untuk mendapatkan uang, atau mendapatkan kamar baru dan pindah, tak berbuah. Ia mulai mengeluyuri jalanan, membuang puntung rokok di sana-sini, melemparkan beberapa sen untuk membelikan istrinya sedikit makanan. Bagi sang istri, hidup ini telah berubah menjadi neraka. Kini dia nyaris tak bisa pergi ke kamar mandi tanpa mendengar perempuan Italia itu berteriak, “Ayo, pindah! Mandilah di tempat lain!”
Dia telah kehabisan air. Untuk memandikan bayinya, dia terpaksa turun kecortico di belakang bangunan, tempat para wanita mencuci pakaian. Setelahnya, dia pergi ke toilet. Si perempuan Italia kini mendapatkan kesenangan dengan mengejar-ngejarnya. Dia menggembok toilet dan menyembunyikan kuncinya saat diintainya perempuan malang itu datang. Kamar yang dihuni Joao sekeluarga jadi amat jorok, tak terkatakan kotornya. Aroma pesing memualkan dari air seni dan tinja manusia nyaris tak tertahankan. Joao hanya bisa mengelus-elus janggutnya dengan jijik.
Suatu malam ia menemukan perempuan Italia itu menunggunya saat dia pulang. Kala itu sudah lewat tengah malam. Perempuan itu menyandarkan punggung ke dinding untuk membiarkan Joao lewat.
“Selamat malam, Senhora!”
“Kamu tak berharap bertemu aku, ya? Aku ingin kamu membayar sewa kamar dan enyah. Jika tidak, aku akan memanggil polisi besok….”
“Tapi….”
“Tak ada tapi-tapian! Aku tak mau mendengarmu berdalih lagi. Sepanjang hari kamu tidur dan saat malam tiba kamu menyelinap ke luar untuk mabuk-mabukan. Aku tak mau membantu gelandangan kapiran. Enyahlah ke jalanan!”
“Tapi istriku….”
“Nah, istrimu juga! Dia mengotori kamarku seperti babi betina! Dia tak bisa melakukan sesuatu yang berguna… bahkan sekadar mencuci pakaian sekalipun. Kenapa dia tidak melacur saja? Barangkali itu satu-satunya yang bisa dia lakukan.”
Joao menatap perempuan itu sejenak dengan sepasang bola mata membelalak. Lalu saat efek kata-kata keji perempuan itu melandanya, ruangan itu berubah gelap di matanya, dan dengan penuh amarah dia melayangkan tinjunya. Perempuan itu tersungkur ke atas lantai, terkapar seraya merintih-rintih. Namun, saat dia melihat sepasang tangan Joao mengincar lehernya, dengan terhuyung-huyung dia memaksa bangkit dan berlari sempoyongan menuruni tangga, menjerit-jerit meminta tolong. Joao menurunkan lengannya dengan lunglai, menggaruk-garuk janggutnya, dan masuk ke dalam kamar—menanti polisi tiba.
Para polisi dan kuli tinta memercayai sepenuhnya kata-kata si perempuan Italia. Salah satu koran bahkan memuat fotonya—diambil di Milan puluhan tahun lampau saat dia masih belia. Joao diseret ke penjara. Sementara, barang-barang miliknya—ranjang, kursi, lemari—disita untuk membayar tunggakan uang sewa.(*)

Jorge Amado (1912-2001) adalah penulis novel dan cerita pendek Brasil. Cerita di atas diindonesiakan oleh Anton Kurnia dari versi Inggris L.C. Kaplan.


Cerpen Koran Tempo kemarin lusa, 27 April 2014: "Keringat" karya Jorge Amado, hasil terjemahan Anton Kurnia.
(MARI kita terlebih dahulu membahas isi cerpen ini.
Si wiraniaga, si tokoh utama di cerpen ini, pada akhirnya harus mengalami sesuatu yang sangat buruk; ia ditangkap polisi dan harus merelakan barang-barangnya disita untuk membayar tunggakan uang sewa. Pertanyaannya kemudian: Siapakah yang salah di situ? Apakah si wiraniaga itu satu-satunya korban? Apakah tokoh-tokoh lain pun--seperti si perempuan Italia yang menyebalkan itu sekalipun--bisa juga disebut sebagai korban?
Mari kita coba telaah satu per satu.
Si wiraniaga sudah jelas-jelas korban. Setidaknya, di cerpen ini, ia diposisikan (oleh si pengarang) sebagai korban, tokoh yang harus bernasib buruk padahal ia tak melakukan sesuatu yang buruk. Ia berbeda dari si perempuan Italia, misalnya, yang salah satu "pekerjaannya" adalah menjadi mediator yang--entah disengaja atau tidak--menjadi langganan para arwah "nakal". Si perempuan Italia itu juga digambarkan sebagai sosok yang pongah, materialistis--ini terlihat dari bagaimana ia berpakaian, misalnya--dan tidak mudah bersimpati pada nasib buruk orang lain--ini tampak ketika ia terus mendesak--dengan cara yang kasar dan kurang ajar--si wiraniaga untuk membayar uang sewa dan enyah dari kamar yang ditempatinya. Dengan fakta-fakta ini, misalnya, kita bisa saja cenderung mengatakan bahwa si perempuan Italia ini bukanlah orang baik--bahkan ia mungkin orang jahat, dan karenanya akan sangat pantas jika ialah yang bernasib buruk itu, bukannya si wiraniaga.
Namun benarkah demikian? Sejauh yang dijelaskan di cerpen, si perempuan Italia hanya melakukan tugasnya (baca: menagih uang sewa ketika waktunya tiba). Harus diingat bahwa saat si perempuan Italia menagih uang sewa pada tanggal 18 seperti yang dijelaskan di cerpen, ia melakukannya dengan cara yang persuasif--tersenyum dan memilih untuk menggunakan kata-kata yang wajar. Adapun mengapa ia kemudian menagih dengan cara kasar dan memilih menggunakan kata-kata yang bisa menyakiti perasaan si wiraniaga, itu dikarenakan si wiraniaga yang memang tidak bisa memenuhi kewajibannya (baca: membayar uang sewa ketika waktunya tiba) dan malah menghindar dan terus menghindar. Jadi, kalau kita memperhitungkan fakta ini, si perempuan Italia sesungguhnya tidak melakukan kesalahan. Menagih uang sewa dari si wiraniaga adalah tugasnya--sebab ia harus menyerahkan uang sewa itu kepada si pemilik rumah--dan ia tidak berada dalam keadaan bisa membebaskan si wiraniaga dari utangnya itu. Satu-satunya kesalahan si perempuan Italia, barangkali--itu pun jika ini bisa disebut kesalahan, adalah ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu yang buruk tentang istri si wiraniaga--bahwa satu-satunya yang bisa dilakukan perempuan itu mungkin adalah melacur. Di titik inilah si wiraniaga yang tergambar sebagai sosok yang sabar itu kehilangan kesabarannya, kehilangan kontrol dirinya, dan si perempuan Italia akhirnya kena pukul dan ia memanfaatkan kejadian ini untuk "memaksa" si wiraniaga enyah dari kamar yang ditempatinya itu. Sekali lagi, si perempuan Italia hanya melakukan tugasnya, dan ia bahkan harus merasakan tinju si wiraniaga yang artinya ia pun adalah korban. Lebih jauh lagi, si perempuan Italia bisa jadi adalah korban dari sistem, dari kehidupan yang (semakin) sulit dan kemiskinan yang merajalela--barangkali. Maka, siapakah sesungguhnya pihak yang salah itu?
Si wiraniaga sendiri sebenarnya tidak bisa dibebaskan dari kesalahan. Meskipun ia digambarkan sebagai sosok yang sabar, dan baik, kita toh tidak melihat kesungguh-sungguhan dan kegigihan ia dalam memperbaiki taraf hidupnya. Ia kehilangan pekerjaan, dan selalu gagal mendapatkan pekerjaan baru ataupun tempat tinggal baru. Katakanlah memang situasinya saat itu sangat menyulitkan. Tapi kita tak pernah diberi tahu tentang apa-apa saja yang telah dilakukan si wiraniaga untuk memperbaiki taraf hidupnya itu, ke mana saja ia telah mencoba dan dengan cara apa saja ia melakukannya, apa-apa saja yang telah ia rencanakan dan bagaimana ia memberdayakan keahliannya. Dan jika kita ingat kata-kata kasar si perempuan Italia kepadanya, sesungguhnya ada benarnya juga. Si wiraniaga meminta si perempuan Italia bersimpati padanya sebab istrinya baru saja melahirkan, dan si perempuan Italia menyatakan ketidakpeduliannya dan menyalahkan si wiraniaga yang beranak-pinak dalam kondisi yang sulit seperti itu. Kalau dipikir-pikir, ini masuk akal juga. Kau sedang dalam keadaan sulit, dan kau malah beranak-pinak. Katakanlah kau tidak sengaja beranak-pinak tapi tentu itu adalah keteledoranmu sendiri, kesalahanmu sendiri, bukan orang lain.
Jadi, siapakah sesungguhnya yang salah dalam kasus ini? Si wiraniaga? Si perempuan Italia? Sistem? Atau semuanya? Atau tidak satu pun?
Bisa jadi menjawab pertanyaan ini sangatlah sulit, saking kompleksnya masalah yang ada; bahwa satu hal sangat dipengaruhi dan berpengaruh pada hal-hal lain. Dan inilah barangkali titik kuat cerpen ini, bahwa ia mampu merepresentasikan realitas dengan sangat baik--sesuatu yang tampaknya sederhana, namun sesungguhnya sangatlah kompleks.
SEKARANG mari kita sediki bicara tentang bentuk cerpen ini.
Cerpen ini dibuka dengan sebuah interaksi antara si wiraniaga--si sosok utama yang kelak muncul lagi di bagian-bagian berikutnya--dan si sosok asing yang, jika dilihat dari apa-apa yang dikatakannya, tengah dalam keadaan sulit. Si orang asing ini tidak muncul lagi di bagian-bagian berikutnya, yang membuat saya bertanya-tanya seberapa penting sebenarnya kemunculannya di bagian ini, seberapa besar sebenarnya porsi si orang asing dalam cerpen ini. Dugaan saya, mungkin, si pengarang ingin menghadirkan sosok lain untuk ia perbandingkan keadaannya dengan si wiraniaga. Jika si perempuan Italia adalah sosok yang keadaannya (sedikit) lebih baik daripada si wiraniaga, maka si orang asing ini (mungkin) adalah sosok yang keadaannya tidak lebih baik daripada si wiraniaga. Dugaan saya ini, barangkali, bisa sekaligus menjelaskan mengapa si pengarang merasa perlu mendeskripsikan si perempuan Italia--mengenai bagaimana ia berpakaian, apa "pekerjaannya", bagaimana ia bersikap terhadap orang-orang di sekitar tempat si wiraniaga tinggal. Keputusan si pengarang untuk menghadirkan si perempuan Italia itu dengan julukan tersebut (dan bukannya dengan namanya), barangkali, ada kaitannya dengan hal tersebut, meskipun saya tidak tahu-menahu soal yang satu ini.
Tentang tokoh-tokoh dalam cerpen ini, setidaknya ada empat yang bisa disebut sebagai tokoh-tokoh penting; tokoh-tokoh yang porsi perannya cukup besar dan tak bisa diabaikan begitu saja. Keempat tokoh itu adalah si wiraniaga, si perempuan Italia, si orang asing, dan istri si wiraniaga. Dua laki-laki, dan dua perempuan. Apakah ini sesuatu yang disengaja? Bisa jadi. Perhatikan juga bahwa tokoh-tokoh laki-laki keduanya berada dalam kondisi sulit sedangkan merekalah yang (sepertinya) bertugas sebagai pencari nafkah. Istri-istri mereka, seperti tidak dituntut untuk mengambil alih tugas itu. Istri si orang asing memang dikabarkan membuka jasa cuci baju, tapi, seperti yang dikatakan si orang asing kepada si wiraniaga, uang dari aktivitas itu tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Para perempuan--di saat itu--seperti tidak terbiasa (atau dibiasakan) untuk memberdayakan apa-apa yang mereka bisa. Satu-satunya tokoh perempuan yang "berpenghasilan" mendapatkan "nasib baik"-nya itu dengan cara yang "tidak baik". Ini barangkali sebuah upaya dari si pengarang untuk menunjukkan diskriminasi gender yang berlangsung saat itu. Dan saya rasa, ia cukup berhasil.
Saya tidak tahu kapan persisnya cerpen ini ditulis. Tapi jika ia ditulis berpuluh-puluh tahun lalu, atau bahkan beratus-ratus tahun lalu, maka ia tentu adalah cerpen yang baik. Baik plot, karakterisasi, sudut pandang pencerita, atau gaya tuturnya, tidaklah istimewa jika kita melihatnya dalam konteks kesusastraan saat ini. Tapi jika ia ditulis berpuluh-puluh tahun lalu, atau bahkan bertahun-tahun lalu, maka, bisa jadi, ia adalah sebuah cerpen yang istimewa.)



Catatan ; Percakapan seputar pembahasan cerpen ini.

  1. Abu Nabil Wibisana barangkali acuan latar cerpen ini adalah Brazil di masa sekitar Depresi Besar (atau resesi ekonomi semacamnya) ketika orang-orang kehilangan pekerjaan dan kehidupan menjadi serba sulit. kehidupan mereka yang tinggal di wilayah apartemen sewaan yang kumuh (saya suka istilah "cortico" tidak diterjemahkan) adalah potret representatif tentang tali-temali antara depresi dalam struktur ekonomi dan depresi dalam struktur psikologis manusia. saya kira cerpen ini cukup berhasil meninggalkan resonansi pada pembaca. boleh juga disebut istimewa--terutama buat pembaca yang kerap menuntut fiksi mesti punya moral cerita. saya sendiri punya dua keberatan "minor" atas cerpen ini: (1) berkaitan dengan wacana ekonomi-politik dalam narasi cerpen dan (2) berkaitan dengan karakterisasi dan adegan klimaks dalam cerpen. pertama, dalam kisah dengan latar krisis ekonomi, biasanya muncul kritik ideologis atau semacam "penyikapan" atas isu peran/posisi negara, entah melalui tuturan narator atau melalui percakapan antartokoh. dalam cerpen ini, negara seperti absen dalam perbincangan, hanya muncul selintas dalam komentar tokoh Perempuan Italia ("aku bukan dinas sosial..") dan dalam adegan polisi yang datang menyelesaikan insiden. baiklah, mungkin dua hal itu secara implisit bisa juga dianggap sebagai kritik, apalagi kalau respon polisi itu dilihat dalam kacamata satiris. tapi tetap saja (setidaknya buat saya) itu terlalu implisit, kritisime yang tanggung dan menghadirkan semacam lubang--yang entah disengaja atau tidak oleh penulis cerpen. saya tak tahu kapan cerpen ini ditulis: sebelum atau sesudah Jorge Amado keluar dari keanggotaan Partai Komunis Brazil. kedua, adegan klimaks dalam cerpen ketika Joao meledak, apakah "natural" seorang lelaki MENINJU perempuan, bahkan ketika itu merupakan tindakan reaktif dan muncul dari akumulasi rasa tertekan? bagaimana kalau MENDORONG atau MENAMPAR? adegan tragis itu sendiri sebenarnya memang tak terhindarkan kalau kita perhatikan, misalnya, keterangan sebelumnya: dalam nada penuh kesumat Joao berbisik pada dirinya sendiri "aku akan bikin ribut dengannya suatu hari nanti". entahlah, apakah saya saja yang terlalu "sexiest" dalam menilai adegan ini
  2. Ardy Kresna Crenata Bagaimana kalau seperti ini: "absen"-nya negara di cerpen ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa nasib buruk seseorang tidak melulu harus disangkutpautkan dengan negara--dengan menjadikan negara sebagai kambing hitam; seseorang itu sendirilah yang harus mengatasi nasib buruknya itu, tanpa bergantung kepada negara.

    Kemudian soal "klimaks" yang disinggung Mas Abu Nabil Wibisana, saya sendiri sih merasa itu natural-natural saja. Ingat bahwa si wiraniaga meninju si perempuan Italia itu setelah si perempuan Italia mengatakan sesuatu yang sangat kasar dan kurang ajar tentang istrinya. Anggaplah si wiraniaga ini tipe suami yang bisa diam jika dirinya dihina namun tak bisa diam jika istrinya yang dihina. Jika hal ini ditambah fakta bahwa si wiraniaga telah sebisa mungkin berusaha sabar (untuk jangka waktu yang lama), saya rasa perbuatan meninju itu natural-natural saja.
  3. Abu Nabil Wibisana nah kalau soal "absen"-nya negara memang disengaja sedemikian, maka itu menunjukkan "posisi ideologis" penulis terhadap tema yang digarapnya. persis seperti komentar sarkas si Perempuan Italia kepada Joao yang kira-kira berbunyi: kau melarat karena kau malas! makanya saya ingin tahu kapan cerpen ini ditulis sebab kayaknya semua pemikir dalam tradisi kiri meyakini kalau kemiskinan adalah isu ketimpangan struktural. soal tinju dramatis itu, hehe, memang saya tak pernah lihat langsung kali, kecuali di film genre kungfu.
  4. Anton Kurnia cerpen ini ditulis sekitar akhir 1930-an saat amado masih menjadi aktivis pkb (partai komunis brasil) dengan karya-karya yang kental mencerminkan realisme sosialis. kelak kecenderungan estetisnya bergeser, ditandai dengan novel semacam "dona flor dan kedua suaminya" yang belum lama ini diterbitkan oleh serambi edisi indonesianya. dalam dona flor, kritik sosial masih terasa walau dibungkus dengan jurus realisme magis dan erotisme.


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar