Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Kamis, 15 Mei 2014

Saudara Jauh


Cerpen Orhan Pamuk (Suara Merdeka, 21 Maret 2010)
 

KAMI berjalan di sepanjang Jalan Valikonagi, menikmati malam musim semi yang sejuk. Pertunangan kami baru saja diresmikan; kami sedang mabuk dan dalam semangat yang tinggi. Kami baru saja ke Fuaye, restoran mewah baru di Nisantasi; saat makan malam bersama orangtuaku, kami membicarakan panjang lebar segala persiapan pesta pertunangan yang dijadwalkan pertengahan Juni.

Dalam perjalanan pulang ke rumah Sibel sore itu, saat lenganku merangkul dengan penuh kasih bahunya yang kokoh, ia tiba-tiba berujar, “Oh, tas yang indah!” Walaupun pikiranku dikaburkan oleh anggur yang memabukkan, aku berusaha mengingat tas tangan dan nama butiknya, dan
keesokan harinya aku kembali.

Pemilik butik Sanzelize, Senay Hanim, masih memiliki hubungan kekerabatan dengan ibuku, tapi dia tidak ada ketika aku masuk ke butik sekitar jam dua belas siang. Saat itu hari panas, tapi di dalam toko dingin dan gelap. Mulanya aku berpikir bahwa tidak ada seorang pun di sana sebelum muncul seorang perempuan yang mendadak membuat hatiku terasa naik ke tenggorokan. Aku langsung berujar: “Saya ingin membeli tas tangan di manekin itu.” Aku mencoba berkata, meski terbata-bata.

“Maksud Anda Jenny Colon yang berwarna krem?”

Ketika kami saling tatap, aku segera teringat siapa dia.

“Tas tangan di manekin jendela pajang,” aku mengulangi.

“Oh, baiklah,” katanya dan kemudian berjalan ke jendela. Dengan cepat ia melepas salah satu dari pantofel kuning berhak tinggi miliknya, merentangkan kakinya yang telanjang—yang kukunya tampak dicat merah dengan rapi— ke lantai area pajangan, dan merentangkan lengan ke arah manekin. Mataku mengarah dari sepatu yang dilepasnya sampai ke kaki telanjang yang panjang. Panjang kakinya membuat rok berenda kuningnya tampak lebih pendek. Sambil membawa tas, dia kembali ke meja dan dengan jari-jari yang lentik dan terampil, mengeluarkan gumpalan bola kertas tisu, menunjukkan kepadaku bagian dalam ritsleting saku, dua saku kecil (keduanya kosong), dan juga sebuah kantong rahasia, yang darinya ia mengeluarkan kartu bertuliskan “Jenny Colon,” semua geraknya tampak misterius dalam keseriusan, seolah-olah ia menunjukkan kepadaku sesuatu yang sangat pribadi.

“Halo, Fusun,” kataku. “Kau sudah dewasa! Mungkin kau tidak mengenaliku lagi.”

“Tentu saja, Kemal, aku langsung mengenalimu, tetapi ketika aku mengira kau tidak mengenaliku lagi, kupikir akan lebih baik aku tidak mengganggumu.”

Ada keheningan sekejap. Kecantikannya atau roknya, yang terlalu pendek atau sesuatu yang lain, telah mengguncangku, dan aku tidak dapat bersikap alami.

“Eee…. Berapa harga tas tangan ini?”

Sambil mengerutkan keningnya, ia memerhatikan tempelan tulisan harga di bagian bawah tas: “Seribu lima ratus lira.” Aku mengeluarkan dompet dengan sebuah gerakan yang canggung, aku menghitung sesuai harga. Fusun membungkus tas dengan kertas, dengan hati-hati dan cekatan lantas memasukkannya ke dalam kantong plastik.

Aku membayar sambil berujar, “Tolong beri salamku kepada Bibi Nesibe dan ayahmu,” kataku. Kemudian, untuk sesaat, aku terdiam: rohku meninggalkan tubuhku dan sekarang, di sebuah sudut surga, ia tengah merangkul Fusun dan menciumnya. Aku bergegas menuju pintu. Bel berdenting, dan aku mendengar burung kenari berkicau. Aku keluar ke jalan, senang merasakan kembali hawa panas. Aku senang dengan apa yang kubeli; aku sangat mencintai Sibel. Aku memutuskan untuk segera melupakan toko itu dan Fusun. Namun demikian, saat makan malam kuceritakan kepada ibuku bahwa aku telah bertemu dengan saudara jauh kami, Fusun saat membeli sebuah tas untuk Sibel.

“Oh, ya? Putri Nesibe bekerja di took Senay? Kasihan sekali!” Kata ibuku. “Mereka bahkan tidak mengunjungi kita pada musim liburan lagi. Kontes kecantikan itu telah menempatkan mereka di tempat terendah.”

“Bagaimana tepatnya hubungan kita dengan mereka?”

“Jauh sebelum kakekmu, Kemal Ethem menikah dengan nenek kami dalam perkawinan yang sangat terburu-buru pada usia dua puluh tiga, sebelumnya ia sudah menikah dengan buyutnya Fusun yang berasal dari Bosnia, yang meninggal dalam perang Balkan, selama masa evakuasi dari Edirne. Meskipun wanita yang malang itu tidak memberikan Kemal Ethem anak, dia sudah punya anak perempuan bernama Mihriver hasil perkawinannya dengan seorang syekh miskin, ketika dia masih anak-anak.”

Jadi, Bibi Mihriver (nenek Fusun, yang telah dibesarkan oleh bermacam-macam orang) dan putrinya, Nesibe Hanim (ibu Fusun), tidak secara tegas dinyatakan sebagai saudara, mereka lebih seperti pihak besan, dan meskipun ibuku selalu menekankan ini, dia tetap mengarahkan kami untuk memanggil para wanita dari cabang jauh keluarga dengan sebutan “Bibi.” Selama kunjungan liburan terakhir mereka, ibuku memberikan sambutan yang dingin sehingga menyakitkan perasaan mereka (yang tinggal di jalan belakang Tesvikiye) karena, dua tahun sebelumnya, Bibi Nesibe, tanpa menegur sedikitpun, telah membiarkan putrinya yang berusia enam belas tahun—yang kemudian menjadi siswa di Nisantasi Lyce untuk Perempuan—untuk ikut kontes kecantikan. Ibuku, di kemudian hari mengetahui bahwa Bibi Nesibe-lah yang sebenarnya memaksa anak perempuannya dan merasa bangga melakukan ini, yang justru akhirnya hanya membuahkan rasa malu. Kejadian ini membuat ibuku mengeraskan hatinya menentang Bibi Nesibe, yang dulu begitu ia cintai dan lindungi.

“Mereka sangat miskin,” kata ibuku. Ibuku telah merekomendasikan Bibi Nesibe pada semua teman-temannya, dan sekali setahun (kadang-kadang dua kali) dia sendiri akan meneleponnya untuk datang ke rumah kami menjahitkan gaun untuk pesta atau pernikahan.

Karena kunjungan menjahit ini hampir selalu terjadi pada jam sekolah, aku jarang bertemu dengannya. Tetapi pada tahun 1957, pada akhir Agustus, ibuku, sangat membutuhkan sebuah gaun untuk pernikahan, menelepon Nesibe untuk ke rumah musim panas kami, di Suadiye.

Aku ingat waktu itu Bekri, sang juru masak, yang membawa satu gelas limun—setelah isi gelas-gelas lain sebelumnya habis—ke dalam ruangan itu (udara panas semakin gerah dengan debu beludru), karena Nesibe, yang berumur dua puluh tahun dan hamil, sangat rentan terhadap ketagihan; ketika kami semua duduk untuk makan siang, ibu saya akan mengatakan pada Bekri, setengah becanda, “Apa pun yang dimaui seorang wanita hamil, Anda harus membiarkannya, atau anaknya nanti akan berubah menjadi jelek!” Dan, dengan itu, aku ingat, aku melihat dengan penuh perhatian pada benjolan kecil di perut Nesibe. Pasti itulah kesadaran pertamaku akan keberadaan Fusun, meskipun belum ada seorang pun tahu apakah dia perempuan atau laki-laki.

“Nesibe bahkan tidak memberitahu suaminya – ia berbohong tentang usia putrinya dan mengikutkannya dalam kontes kecantikan,” kata ibuku. “Syukurlah, dia tidak menang, sehingga mereka terhindar dari aib. Jika pihak sekolah mendengar kabar itu, mereka akan mengusir gadis itu. Dia pasti telah selesai dari sekolah Lyce sekarang.” ujarnya menutup pembicaraan kami.

***

BEGITU aku lulus dari sekolah bisnis di Amerika dan menyelesaikan dinas militer, ayah menuntutku untuk mengikuti jejak kakak dan menjadi seorang manajer dalam perusahaannya yang sedang tumbuh pesat. Maka ketika aku masih sangat muda ia menunjukku menjadi General Manager Satsat, perusahaan distribusi dan ekspor. Satsat mempunyai anggaran operasional yang melambung dan membuat keuntungan besar, bukan karena aku tapi berbagai trik akuntansi yang mana keuntungan-keuntungan dari pabrik dan bisnis ayahku yang lain dimasukkan ke Satsat (nama ini dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai “Sellsell”).

Pada penghujung jam kerja, sementara bis dan trem setua para karyawan Satsat bergemuruh menuruni jalan, mengguncang bangunan hingga ke fondasinya, Sibel, calon istriku, akan datang berkunjung, dan kami akan bercinta di kantorku.

Pada janji makan malam di Fuaye, aku akan memberikan tas tangan yang baru saja kubelikan itu kepada Sibel. Iseng-iseng aku menyarankannya untuk mengikutiku ke apartemen ibuku yang kosong. “Bukankah lebih baik jika dari sekarang dan seterusnya kita bertemu di flat kosong ibuku di Apartemen Merhamet? Dari atas, terlihat jelas taman yang cantik.”

“Apakah kau bermaksud menunda waktu sebelum pindah ke rumah kita sendiri setelah kita menikah?” Ia bertanya.

“Tidak, Sayang, aku tidak bermaksud seperti itu.”

“Aku tidak mau diam-diam mengendap-endap ke dalam apartemen, seolah-olah aku simpananmu.”

“Kau benar.”

“Dari mana asal ide bertemu di apartemen itu muncul?”

“Sudahlah,” kataku. Aku menatap ceria orang-orang di sekitarku ketika aku mengeluarkan tas tangan, masih terbungkus dalam plastik.

“Apa ini?” Sibel bertanya, mereka-reka hadiah itu.

“Sebuah kejutan! Buka dan lihatlah.”

“Sungguh?” Ketika ia membuka kantong plastik dan melihat tas tangan itu, kegembiraan yang kekanak-kanakan berujung pada ekspresi bingung di wajahnya, dan kemudian berbentuk kekecewaan yang coba ia sembunyikan.

“Apakah kau ingat?” Aku memberanikan diri. “Ketika kita sedang berjalan pulang tadi malam, kau melihatnya di jendela toko itu dan mengaguminya.”

“Oh, ya. Betapa baik hatinya kau.”

“Aku senang kau menyukainya. Akan tampak begitu elegan di tanganmu di pesta pertunangan kita nanti. ”

“Aku benci mengatakannya, tapi tas tangan yang akan aku pakai waktu pesta pertunangan kita, sudah kutentukan jauh sebelumnya,” kata Sibel. “Oh, jangan sedih begitu! Begitu baik hatinya kau berupaya membeli hadiah indah ini untukku…. Baiklah, supaya kau tidak berpikir aku sedang tidak baik kepadamu. Aku tidak akan pernah memakai tas ini di pesta pertunangan kita, karena tas ini adalah palsu! ”

“Apa?”

“Ini bukan tas Jenny Colon asli, sayangku Kemal. Ini imitasi.”

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Hanya dengan melihatnya, Sayang. Lihat cara label dijahit ke kulit? Sekarang lihat jahitan di Jenny Colon yang benar-benar aku beli di Paris. Bukannya apa-apa, merek ini adalah eksklusif di Perancis dan seluruh dunia. Dia tidak pantas diperlakukan murahan seperti itu.”

Untuk sesaat, ketika melihat jahitan pada yang asli, aku bertanya pada diri sendiri mengapa pengantin masa depanku ini bernada penuh kemenangan. Merasa terganggu oleh tas tangan “palsu”, semua kemajuan bertahap yang telah kami capai serasa runtuh. Ketika ia melihat semangatku padam, Sibel membelai tanganku. “Berapa banyak yang kau bayarkan untuk tas itu?”

“Seribu lima ratus lira,” kataku.

“Jika kau tidak menginginkannya, aku dapat menukarnya besok.”

“Jangan ditukar, Sayang. Mintalah uangnya kembali karena mereka benar-benar telah menipumu.

Sibel mengambil kembali tas yang secara diam-diam interiornya telah kujelajahi. “Kau begitu berpengetahuan, Sayang, begitu pandai dan berbudaya,” katanya, dengan senyum yang lembut, “tapi kau sama sekali tidak tahu betapa mudahnya wanita bisa menipumu.”

Pada tengah hari keesokannya, aku pergi kembali ke Butik Sanzelize membawa tas di kantong plastik yang sama. Bel masih berbunyi saat aku berjalan masuk. Lalu aku melihat bayangan Fusun melalui tirai, antara daun-daun cyclamens besar.

“Aku melihatmu berjalan kaki di jalan kemarin malam,” katanya, sambil menggigit bibirnya yang indah. Dia mengenakan lipstick merah muda yang menyala, dijual dengan merek Misslyn, dan meskipun produk Turki yang umum, padanya tampak eksotis dan memikat.

“Kapan kau melihat aku?” tanyaku.

“Pada awal malam. Kau bersama Sibel Hanim. Aku sedang berjalan di trotoar di seberang jalan. Apakah kalian mau keluar makan? ”

“Ya.”

“Kalian pasangan yang serasi!” katanya.

Aku tidak bertanya bagaimana ia bisa mengenal Sibel. “Ada bantuan kecil yang ingin kami minta,” kataku. Saat aku mengeluarkan tas, aku merasa malu dan agak panik.

“Kami mau mengembalikan tas ini.”

“Tentu saja. Aku akan senang menukarkannya dengan barang lain untukmu. Sibel Hanim tidak suka tas?”

“Aku tidak bermaksud menukarnya,” kataku malu-malu. “Aku ingin meminta uangku kembali.” Aku melihat keterkejutan di wajahnya, bahkan semacam ketakutan.

“Kenapa?” Ia bertanya.

“Rupanya tas ini bukan Jenny Collon yang asli,” bisikku. “Itu palsu.”

“Apa?”

“Aku tidak benar-benar memahami hal-hal semacam ini,” kataku tak berdaya.

“Tak pernah terjadi hal semacam itu di sini!” katanya dengan suara keras. “Apakah kau ingin uang kembali sekarang?”

“Ya!” Aku jawab langsung.

Dia tampak sangat kesakitan. Ya Tuhan, aku pikir, kenapa tidak kubuang saja tas itu dan bilang pada Sibel uangnya sudah berhasil kudapatkan kembali?

“Aku akan memberi uangmu kembali,” katanya dengan suara keras. Aku menunduk dan tetap diam, bersiap untuk menghadapi nasibku. Ia mulai menangis pelan. Aku tidak tahu pasti bagaimana ini terjadi, tapi aku merangkul dan memeluknya dan ia menyandarkan kepalanya di dadaku dan menangis. “Fusun, aku sangat menyesal,” bisikku. Aku membelai lembut rambut dan dahinya. “Tolong, lupakan saja jika hal ini pernah terjadi. Ini hanya sebuah tas palsu, itu saja.”

Menyentuh tubuhnya dan lengannya yang indah, merasakan payudaranya menekan dadaku, memeluknya seperti itu, walau hanya sebentar, membuat kepalaku berputar.

“Tidak ada yang perlu dirisaukan,” kataku, sambil membelai rambutnya yang pirang.

“Aku tidak bisa memberikan kembali uangmu sekarang,” jelasnya. “Karena ketika Senay Hanim pulang untuk makan siang, ia kunci laci dan membawa serta kuncinya, aku malu mengatakannya.” Sambil kepalanya di dadaku, ia mulai menangis lagi, ketika aku terus dengan sungguh-sungguh dan penuh kasih membelai rambutnya. “Aku hanya bekerja di sini untuk bertemu orang-orang dan menghabiskan waktu. Bukan untuk uang,” katanya, terisak-isak.

“Bekerja untuk uang adalah tak perlu malu,” kataku dengan bodoh, tanpa perasaan.

“Ya,” katanya, seperti anak kecewa.

“Ayahku adalah seorang pensiunan guru…. Aku berusia delapan belas tahun dua minggu lalu, dan aku tidak ingin menjadi beban.”

“Tolong jangan katakan kepada siapa pun aku menangis,” katanya, setelah menggosok matanya.

“Aku janji,” kataku. “Sebuah janji antara teman, Fusun. Kita bisa saling percaya dengan rahasia kita.” Aku melihatnya tersenyum. “Biar kutinggal saja tasnya di sini,” kataku. “Aku bisa kembali untuk mengambil uangnya nanti.”

“Tinggalkan tas jika kau ingin, tapi akan lebih baik jika kau tidak datang ke sini untuk mendapatkan uangmu kembali. Senay Hanim akan bersikeras bahwa itu bukan palsu dan kau akan datang untuk menyesal bahwa kau tidak bermaksud begitu.”

“Kalau begitu mari kita menukarnya dengan sesuatu,” kataku.

“Aku tidak bisa lagi melakukan itu,” katanya, terdengar seperti seorang gadis yang angkuh dan mudah tersinggung.

“Tidak, sungguh, itu tidak penting,” kataku.

“Tapi itu sungguh penting bagiku,” katanya tegas. “Ketika Senay Hanim datang kembali ke toko, aku akan mendapatkan uang dari dia.”

“Aku tidak ingin wanita itu menyebabkan kau marah lagi,” jawabku.

“Jangan khawatir, aku baru saja mendapatkan bagaimana jalan keluarnya,” katanya dengan senyum samar. “Aku akan mengatakan bahwa Sibel Hanim sudah memiliki tas yang persis sama, dan itulah sebabnya dia mengembalikannya. Bagaimana?”

“Ide yang bagus,” kataku. “Tapi kenapa bukan aku saja yang mengatakannya pada Senay Hanim?”

“Tidak, jangan katakan apapun padanya,” kata Fusun tegas. “Karena dia hanya mencoba untuk menipumu, dengan mengorek informasi pribadi darimu. Jangan sekali-kali datang lagi ke toko ini. Aku bisa menitipkan uangnya pada Bibi Vecihe.”

“Oh, tolong, jangan melibatkan ibuku dalam hal ini. Dia akan membuat masalah menjadi runyam.”

“Lalu kemana aku harus menitipkankan uangmu?” tanya Fusun, mengangkat alisnya.

“Di Apartemen Merhamet, Jalan Tesvikiye 131, di sana ada flat milik ibuku,” kataku. “Sebelum aku pergi ke Amerika, aku menggunakannya sebagai tempat persembunyian. Aku biasa pergi ke sana untuk belajar dan mendengarkan musik. Itu tempat yang menyenangkan yang dari atasnya bisa tampak sebuah taman…. Aku masih sering pergi ke sana saat makan siang, antara jam dua dan jam empat, untuk membereskan dokumen-dokumen penting.”

“Tentu. Aku bisa membawa uangmu ke sana. Berapa nomor apartemennya?”

“Empat,” bisikku. Aku nyaris tidak bisa mengeluarkan kalimat berikutnya, yang sepertinya mati di tenggorokan. Lantai dua. Selamat tinggal.”

Hatiku telah memperhitungkan semuanya dan berdebar liar. Sebelum bergegas ke luar, aku mengumpulkan kekuatan dan berpura-pura tidak ada hal di luar kebiasaan yang terjadi, sambil memberinya satu tatapan terakhir.

Setibaku di rumah, aku menyapa ibuku dengan ciuman, meskipun senang melihatku sore itu, ia tetap terkejut. “Bu, bisakah kau memberiku kunci Apartemen Merhamet? Terkadang kantor terlalu berisik hingga aku tidak bisa berkonsentrasi. Aku berharap lebih beruntung di apartemen. Itu cukup membantu semenjak aku masih remaja.”

“Jangan bekerja terlalu keras. Ayahmu menghabiskan seluruh hidupnya bekerja keras agar kalian yang muda bisa bersenang-senang dalam hidup. Kau berhak bahagia. Ajak Sibel keluar dan menikmati udara musim semi.” Kemudian, sambil memberikan kunci ke tanganku, dia memandangku dengan aneh sambil berkata tegas, “Hati-hati!” Ini adalah jenis pandangan yang biasa ia berikan pada kami ketika masih kanak-kanak untuk memperingatkan bahwa hidup mengandung ancaman yang kadang tak terduga yang jauh lebih dalam dan lebih berbahaya akibatnya ketimbang, misalnya, tidak menjaga dengan baik sebuah kunci apartemen. (*)





Diterjemahkan dari Bahasa Turki oleh Maureen Freely dan diterjemahkan dan dipendekkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Rama Dira J.



Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar