Pagi
yang riang dalam balutan wajah-wajah penuh duka yang tranparan. Tawa-tawa
mengema disegala penjuru sekolah seakan mengajak ranting dan dahan akasia untuk
ikut serta, namun mereka tetap diam dan bungkam. Dalam nuansa pesta terakhir
kita, sebelum kita kepakan sayap dan terbang dari pelataran SMA, dalam riang
yang berbalut duka. Jalinan yang kita rajut mungkin akan terurai dengan
sendirinya. Kawan inilah saatnya.
0-0-0
Aku
berdiri singkat disini, dengan sepotong kertas penuh tulisan menghadap
wajah-wajah yang Selama tiga tahun ini lalu-lalang di depan mataku. Kuedarkan
pandangan coba sebanyak mungkin kuambil memori, kenangan yang mungkin bisa kuceritakan
pada anak cucu nanti.
Sempat
terpikir, berdiri disini adalah sebuah kesalahan dan kesia-siaan, namun sejenak
dapat kulihat wajah-wajah yang nanti pasti kurindukan. Mungkin ini adalah saat
terakhir berdiri di depan mereka, dan mengungkapkan betapa tak dapat tergantikannya
mereka.
Aku
mulai membaca, “pada putih abu-abu yang sebentar lagi akan tergantung di lemari/Takkan
dapat kita temui lagi kawan yang berangkat pagi-pagi sambil menenteng
mimpi/kita akan berpisah sampai disini/sejauh awan melayang/cahaya yang
bersinar/kita melangkah meniti tikungan yang ada/berpisahlah kita di persimpangan/saling
melambai dengan penuh haru/sampai jumpa kawanku/putih abu-abu teringat
selalu/diantara kita dan diantara kisahnya.” Mataku sejenak berkabur dan
bulir-bulir mulai terjatuh.
Di
sela-sela air mata dapat kulihat para siswi mulai menanggis secara estafet.
Kulihat mereka saling berpeluk ria. Kenapa harus ada perpisahan ini sedang aku
masih ingin disini?
Dan
di pojok sana, empat orang menatapku
dengan sedihnya. Usai adegan terakhirku di atas panggung. Kuangkat seragam
abu-abu yang mungkin kan kupakai terakhir kali ini, disini. Kuturuni tangga
dengan tergesa dan menjangkau mereka segera. Kuhamburkan tubuhku diantara
mereka. Menatap mata yang saling sembab.
“Ingat,
dimanapun kamu, jangan sampai lupakan kami.” Pinta Reni.
“Tidak,
tidak akan!” janjiku.
Kami
berpelukan kembali.
“Aku
sayang kalian.” Ucapku.
“Kami
juga.” Ucap mereka serempak.
“Jika
kalian berjalan ke suatu tempat, tiba-tiba ada yang memanggil kalian dari
belakang. Menenggoklah, karena mungkin saja itu adalah aku.” Ucapku sebelum
kembali memeluk mereka. “Terima kasih telah ada untukku selama ini. Kalianlah pelabuhan
pertamaku.”
0-0-0
*Cerpen ditulis pada tanggal 22
Oktober 2013