Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Sabtu, 10 Mei 2014

Pentas Akhir Sekolah


Pagi yang riang dalam balutan wajah-wajah penuh duka yang tranparan. Tawa-tawa mengema disegala penjuru sekolah seakan mengajak ranting dan dahan akasia untuk ikut serta, namun mereka tetap diam dan bungkam. Dalam nuansa pesta terakhir kita, sebelum kita kepakan sayap dan terbang dari pelataran SMA, dalam riang yang berbalut duka. Jalinan yang kita rajut mungkin akan terurai dengan sendirinya. Kawan inilah saatnya.
0-0-0
Aku berdiri singkat disini, dengan sepotong kertas penuh tulisan menghadap wajah-wajah yang Selama tiga tahun ini lalu-lalang di depan mataku. Kuedarkan pandangan coba sebanyak mungkin kuambil memori, kenangan yang mungkin bisa kuceritakan pada anak cucu nanti.
Sempat terpikir, berdiri disini adalah sebuah kesalahan dan kesia-siaan, namun sejenak dapat kulihat wajah-wajah yang nanti pasti kurindukan. Mungkin ini adalah saat terakhir berdiri di depan mereka, dan mengungkapkan betapa tak dapat tergantikannya mereka.
Aku mulai membaca, “pada putih abu-abu yang sebentar lagi akan tergantung di lemari/Takkan dapat kita temui lagi kawan yang berangkat pagi-pagi sambil menenteng mimpi/kita akan berpisah sampai disini/sejauh awan melayang/cahaya yang bersinar/kita melangkah meniti tikungan yang ada/berpisahlah kita di persimpangan/saling melambai dengan penuh haru/sampai jumpa kawanku/putih abu-abu teringat selalu/diantara kita dan diantara kisahnya.” Mataku sejenak berkabur dan bulir-bulir mulai terjatuh.
Di sela-sela air mata dapat kulihat para siswi mulai menanggis secara estafet. Kulihat mereka saling berpeluk ria. Kenapa harus ada perpisahan ini sedang aku masih ingin disini?
Dan di  pojok sana, empat orang menatapku dengan sedihnya. Usai adegan terakhirku di atas panggung. Kuangkat seragam abu-abu yang mungkin kan kupakai terakhir kali ini, disini. Kuturuni tangga dengan tergesa dan menjangkau mereka segera. Kuhamburkan tubuhku diantara mereka. Menatap mata yang saling sembab.
“Ingat, dimanapun kamu, jangan sampai lupakan kami.” Pinta Reni.
“Tidak, tidak akan!” janjiku.
Kami berpelukan kembali.
“Aku sayang kalian.” Ucapku.
“Kami juga.” Ucap mereka serempak.
“Jika kalian berjalan ke suatu tempat, tiba-tiba ada yang memanggil kalian dari belakang. Menenggoklah, karena mungkin saja itu adalah aku.” Ucapku sebelum kembali memeluk mereka. “Terima kasih telah ada untukku selama ini. Kalianlah pelabuhan pertamaku.”
0-0-0
*Cerpen ditulis pada tanggal 22 Oktober 2013



Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar