Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Kamis, 15 Mei 2014

Boys and Girls

Cerpen Alice Munro

Cerpen ini diterjemahkan oleh Rio Johan

AYAHKU seorang peternak rubah. Artinya, dia memelihara rubah perak, dalam kandang; dan pada musim gugur dan awal musim dingin, sewaktu bulu-bulu mereka prima, dia akan membunuh dan menguliti mereka dan menjual bulu mereka ke Perusahaan Teluk Hudson atau Pedagang Bulu Montreal. Perusahaan-perusahaan iniah yang menyuplai kalender-kalender heroik untuk kami gantung, masing-masing satu untuk tiap sisi pintu dapur. Dengan latar belakang langit biru yang dingin dan hutan pinus hitam dan
sungai utara yang berbahaya, para petualang berbulu menanam bendera Inggris dan atau Perancis; orang-orang buas yang agung membungkukkan punggung mereka pada perahu tersebut.
Selama beberapa minggu sebelum Natal, ayahku bekerja setelah makan malam di ruang bawah tanah rumah kami. Ruang bawah tanah itu bercat putih, dan diterangi oleh lampu seratus wat di sepanjang meja kerja. Adikku Laird dan aku duduk di anak tangga paling atas dan menyimak. Ayahku melepaskan bulu luar-dalam dari tubuh rubah, yang anehnya terlihat kecil, keji, dan seperti tikus, seperti kehilangan beban congkak dari bulunya. Tubuh telanjang, licin itu dikumpulkan dalam sebuah karung dan ditimbun pada tempat pembuangan sampah. Satu kali orang sewaan, Henry Bailey, mendatangiku dengan karung ini, berkata, “Hadiah Natal!” Menurut ibuku itu tidak lucu. Kenyataannya dia tidak menyukai semua “operasi menguliti” itu—begitulah rangkaian kerja membunuh, menguliti, dan mempersiapkan bulu tersebut disebut—dan berharap semua itu tidak perlu dilakukan di dalam rumah. Ada bau. Setelah bulu itu diregangkan luar-dalam pada sebuah papan panjang ayahku mengerik pelan-pelan, membuang jaringan pembuluh darah kecil yang menggumpal, gelembung-gelembung lemak; bau darah dan lemak binatang, yang merupakan odor primitif rubah itu sendiri, merasuki semua bagian rumah. Aku menganggapnya sebagai sesuatu yang musiman, sebagaimana aroma jeruk dan daun pinus.
Henry Bailey mengidap masalah bronkus. Dia akan terbatuk dan terbatuk sampai muka sempitnya berubah merah, dan mata biru mudanya yang mengejek penuh dengan air mata; lalu dia akan mengangkat penutup tungku, dan, berdiri kembali, dan menyemburkan gumpalan besar dahak—hss—tepat pada jantung api. Kami mengaguminya karena pertunjukkan ini dan untuk kemampuannya membuat menggeram semaunya, dan untuk tawanya, yang penuh dengan siulan tinggi dan degukan dan melibatkan seluruh perangkat rusak pada dadanya. Kadang-kadang sulit mengetahui apa yang sedang ditertawakannya, dan selalu ada kemungkinan kitalah yang ditertawakan.
Setelah kami pergi kami tetap bisa mencium aroma rubah dan tetap bisa mendengar tawa Henry, tapi hal-hal pengingat kehangatan, keamanan, keeterangan sinar buana ruang bawah tanah, seakan-akan berkurang dan hilang, mengambang pada udara dingin dan basi lantai atas. Kami takut mendekati musim dingin. Kami tidak takut keluar sekalipun inilah masa ketika salju meringkuk di sekitar rumah kami dan tidur seperti paus dan angin menyerbu kami sepanjang malam, datang dari ladang yang terkubur, rawa-rawa yang membeku, dengan senandung tuanya yang bermomok ancaman dan penderitaan. Kami takut pada ruangan dalam, yaitu kamar tempat kami tidur. Pada masa itu bagian atas rumah kami belum selesai. Sebongkah bata cerobong asap ada di pucuk dinding. Di tengah-tengah lantai ada lubang persegi, dengan pagar kayu di sekelilingnya; itulah tempat mulut tangga berada. Di sisi lain kecil dari tangga yang tak digunakan oleh siapapun lagi—segulung jubin linoleum, terpacak di ujung, sebuah kereta anyaman dari teluk, sebuah keranjang pakis, kendi dan baskom cina dengan retakan di dalamnya, sebuah gambar Pertempuran Balaclava, sangat sedih untuk dilihat. Pernah kubilang pada Laird, sewaktu dia sudah cukup umur untuk mengerti hal begini, bahwa para kelelawar dan tengkorak hidup di sebelah sana; tiap kali seseorang kabur dari penjara daerah, dua puluh mil jauhnya, aku membayangkan dia akan masuk dari jendela dan bersembunyi di balik linoleum. Tapi kami punya aturan-aturan agar tetap aman. Ketika lampu hidup, kami aman selama kami tidak melangkah keluar dari karpet usang persegi yang sudah ditetapkan sebagai wilayah kamar kami; sewaktu lampu sudah mati, tidak ada tempat yang aman kecuali tempat tidur kami sendiri. Aku harus mematikan lampu dengan cara berlutut pada ujung tempat tidur, dan merentangkan tangan sejauh yang aku bisa untuk meraih kabelnya.
Dalam gelap kami berbaring di atas tempat tidur, rakit hidup kami yang sempit, menetapkan mata kami pada sinar redup yang datang dari tangga, dan menyanyikan lagu-lagu. Laird menyanyikan “Jingle Bells”, yang akan dia lantunkan kapan saja, entah itu Natal atau bukan, dan aku bernyanyi “Danny Boy”. Aku suka bunyi suaraku sendiri, rapuh dan memohon, meningkat dalam gelap. Sekarang kami dapat melihat bentuk beku yang buram dan tinggi pada jendela, putih dan murung. Sewaktu aku sampai pada bagian, y the cold sheets but by pleasurable emotions almost silenced me. You’ll kneel and say an Ave there above me—apa artinya Ave? Tiap hari aku lupa untuk mencari tahu.
Laird langsung tertidur setelah bernyanyi, aku bisa mendengar napas cerianya, panjang, puas. Sekarang sisa waktunya cuma untukku, waktu pribadi yang paling sempurna dan paling bagus di sepanjang hari, kuatur badanku erat di dalam selimut dan kulanjutkan salah satu dari cerita-cerita yang kuceritakan pada diriku sendiri dari tiap malam. Cerita-cerita ini tentang diriku, sewaktu aku sudah tumbuh sedikit lebih tua; terjadinya di buana-buana yang sudah kukenal, tetapi merupakan kesempatan untuk menampilkan keberanian, kegagahan, dan pengorbanan diri yang tak pernah kulakukan. Aku menyelamatkan orang-orang dari bangunan yang dibom (perang nyata yang sudah merayap terlalu jauh dari Jubilee telah mengecilkan hatiku). Aku menembak dua serigala gila yang mengancam pekarangan sekolah (para guru meringkuk ketakutan di belakangku). Mengendarai kuda keren dengan penuh semangat di sepanjang jalan Jubilee, mengakui rasa syukur penduduk kota untuk sejumlah keping kepahlawanan yang baru-akan-aku-lakukan (tak ada yang pernah menunggang kuda di situ, kecuali King Billy sewaktu parade Hari Orangeman.[1]). Selalu ada menunggang dan menembak dalam cerita-cerita ini, sekalipun aku baru dua kali berada di atas kuda—yang pertama kami tidak punya pelana—dan yang kedua aku meluncur dan jatuh tepat di bawah kaki kuda, dengan santainya kuda itu melangkahiku. Aku pernah betulan belajar menembak, tapi tidak berhasil mengenai apapun, bahkan tidak satu kaleng pun pada tiang pagar.
Riang, rubah-rubah menempati buana yang dibuatkan ayahku. Dikelilingi oleh pagar pengaman tinggi, seperti kota abad pertengahan, dengan gerbang yang digembok pada malam hari. Di sepanjang jalanan kota ini terdapat beragam kandang besar, kokoh. Masing-masingnya mempunyai pintu sungguhan di mana orang bisa masuk, jalur kayu di sekitar kawat di mana rubah-rubah bisa berjalan naik dan turun, dan kandang—kadang seperti peti pakaian dengan lubang-lubang udara—di mana mereka akan tinggal dan tidur di musim dingin dan mengurusi anak-anak mereka. Ada wadah air dan makanan meleket sedemikian rupa sehingga bisa dikosongkan dan dibersihkan dari luar. Wadah-wadah ini terbuat dari kaleng timah tua, dan jalur-jalur dan kandang-kandang aneh dan berujung pada balok kayu tua. Semuanya dibuat secara rapi dan terampil; ayahku kreatif tanpa kenal lelah dan buku favoritnya sedunia ialah Robinson Crusoe. Dia telah memasang satu drum timah pada gerobak dorong, untuk membawa turun air menuju kandang-kandang. Inilah tugasku pada musim panas, ketika rubah-rubah memerlukan air dua kali sehari. Antara jam sembilan dan sepuluh pagi hari, dan sekali lagi setelah makan malam. Aku mengisi drum dengan pompa dan mendorongnnya turun meelintasi pekarangan peternakan menuju kandang, aku akan parkir, dan mengisi wadah-wadah air dan melintas di sepanjang jalanan. Laird juga ikut, dengan kaleng penyiram kecil berwarna krim dan hijau, mengisi terlalu penuh dan mengetuki kakinya dan menumpahkan air pada sepatu kampasnya. Aku punya kaleng penyiram sungguhan, milik ayahku, walau aku cuma kuat mengangkatnya sepertiga penuh.
Semua rubah punya nama, yang dicetak pada lempengan timah dan digantung di samping pintu. Mereka tidak dinamai semenjak lahir, tapi ketika selamat dari tahun pertama pengulitan dan ditambahkan sebagai stok ternak. Nama-nama yang telah diberikan ayahku seperti Prince, Bob, Wally, dan Betty. Nama-nama yang aku beri seperti Star atau Turk, atau Maureen atau Diana. Laird menamai salah satunya Maude dari nama gadis pernah diperkerjakan sewaktu kami kecil, Harold dari nama bocah di sekolah, dan satu lagi Mexico, dia tidak bilang kenapa.
Menamai mereka tidak menjadikan mereka peliharaan, atau yang semacam itu. Tidak seorang pun kecuali ayahku yang pernah masuk ke dalam kandang, dan dia pernah dua kali keracunan darah karena gigitan. Ketika aku membawakan air, mereka berkeliaran di atas dan bawah jalur yang telah mereka ciptakan sendiri dalam kandang, kadang-kadang menyalak—mereka sisakan juga untuk malam hari, manakala barangkali mereka terbangun akibat senandung hiruk-pikuk sekeliling—tapi yang selalu mereka lakukan ialah memerhatikanku, matai mereka membara, bening keemasan, pada wajah mereka yang jahat, runcing. Mereka menawan akibat kaki yang halus dan berat, ekor aristokratik dan bulu terang yang bertaburan dlam gelap di belakang—sebagaimana nama mereka—tapi terutama wajah mereka, secara indah terbentuk tajam dalam kebencian yang murni, dan mata keemasan mereka.
Selain membawakan air aku membantu ayahaku ketika dia memotongi rerumputan tinggi, danlamb’s quarter dan money-musk yang berbunga[2], yang tumbuh di sekitar kandang. Dia memotong dengan sabit dan aku menggaruk ke dalam tumpukan-tumpukan. Lalu dia mengambil garpu taman dan melemparkan potongan-potongan segar rerumputan ke dalam kandang agar rubah-rubah itu tetap sejuk dan jubah mereka tetap teduh, yang sudah terlanjur berwarna tembaga karena keseringan diserbu sinar matahari. Ayahkku tidak akan bicara padaku kecuali seputar kerjaan yang kami lakukan. Untuk hal inilah dia berbeda dengan ibuku, yang, apabila sedang merasa ceria, akan memberitahaku segala macam hal—nama anjing peliharaannya sewaktu dia kecil, nama bocah-bocah yang pernah kencan dengannya sewaktu dia remaja, dan seperti apa gaun-gaun tertentu yang pernah dia punya—dia tidak bisa membayangkan seperti apa bentuknya sekarang. Pikiran atau cerita apapun yang dimiliki ayahku bersifat pribadi, dan aku begitu pemalu padanya dan tidak pernah menanyainya. Meski demikian aku tetap sudi bekerja di bawaha tetapan matanya, dan dengan sebentuk perasaan bangga. Satu hari, pedagang makanan ternak dtang ke kandang kami dan berbicara padanya dan ayahku berkata, “Kenalkan rekan kerja saya yang baru.” Aku berbalik dan menggaruk dengan penuh semangat, wajahku merah kesenangan.
“Hampir saja saya tertipu,” ujar sang pedagang. “Saya kira dia perempuan.”
Setelah rerumputuan dipotong, rasa-rasanya malah semaki bersemak pada tahun-tahun selanjutnya. Aku berjalan di tunggul jerami di malam sebelumnya dan menyadari langit memerah, kesunyian musim gugur sudah mulai masuk. Keika aku meluncurkan tangki keluar dari gerbang dan menaruh gemboknya. Sudah hampir gelap. Suatu malam ketika itu aku melihat ibu dan ayahku berdiri dan berbicara di atas tanah yang sedikit tinggi yang kami sebut jalur gang, di depan kandang. Ayahku baru saja pulang dari rumah daging; dia mengenakan celemek keras berlumuran darah, dan ada seember potongan daging di tangannya.
Aneh juga melihat ibuku berada di kandang. Dia tidak sering keluar rumah kecuali hendak melakukan sesuatu—menggantung cucian atau menggali kentang-kentang di kebun. Dia tidak selaras, dengan kaki telanjangnya yang kasar, tak tersentuh oleh sinar matahari, celemek kerasnya tetap terpasang dan kemal di bagian perut akibat piring-piring makan malam. Rambutnya diikat di atas dengan sebuah kain kepala, gumpalannya jatuh. Dia akan mengikat rambutnya seperti ini pada pagi hari, berkata dia tidak punya waktu untuk mengikat sebagaimana mestinya, dan rambutnya akan tetap begitu sepanjang hari. Betul juga, sebenarnya; dia tidak punya waktu. Belakangan ini beranda belakang kami selalu dipenuhi keranjang-keranjang berisi buah persik dan anggur dan pir, dibeli dari kota, dan bawang dan tomat dan ketimun yang tumbuh di rumah, semuanya menunggu untuk dibuat menjadi agar-agar dan selai dan makanan awetan, acar dan saus cabai. Di dapur sana api kompor selalu menyala sepanjang hari, toples-toples berdenting dalam air mendidih, kadang-kadang tas kain katun tipis digantung pada tiang di antara dua kursi yang tengah mengencangkan bubur anggur biru untuk dijadikan agar-agar. Aku ditugasi dan aku akan duduk di meja mengupas buah persik yang sudah direndam di air panas, atau memotong bawang, kedua mataku perih dan mengalir. Segera setelah tugasku selesai aku langsung keluar rumah, kabur dari jangkauan pendengaran sebelum ibuku memikirkan apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Aku benci dapur yang panas dan gelap itu pada musim panas, tirai hijau dan kertas-kertas perekat penangkap lalat, meja berkain minyak yang itu-itu saja dan cermin bergelombang dan linoleum yang berjendul-jendul. Ibuku terlalu lelah dan sibuk untuk berbicara denganku, dia tak punya hati untuk memberi tahu tentang Normal School Graduation Dance; peluh menetes dari mukanya dan dia selalu menghitung sambil bernapas berat, menunjuk-nunjuk toples, suram, dan secara spesifik menyedihkan; kerja di luar, dan dalam bentuk melayani ayahku, adalah ritual yang penting.
Aku mendorong tangki menuju kandang, di mana akan disimpang, dan aku dengar ibuku berkata, “Tunggu sampai Laird lebih besar, dan kau akan mendapatkan bantuan sungguhan.”
Yang diucapkan ayahku tidak kudengar. Aku senang dengan cara dia berdiri dan mendengar, sopan sebagaimana yang akan dia lakukan pada seorang pedagang atau orang asing, tapi dengan aura ingin serius bersungguh-sungguh dengan kerjanya. Aku merasa ibuku tidak punya urusan di luar sini dan aku ingin ayahku juga merasa demikian. Apa maksudnya menyebut Laird begitu? Dia tidak membantu siapapun. Di mana dia sekarang? Berayun-ayun di ayunan, berputar-putar, atau mencoba menangkap ulat bulu. Dia tidak pernah tinggal sampai aku selesai.
“Lalu aku bisa lebih manfaatkan dia di rumah,” aku dengar ibuku bicara. Dia punya gaya menyesal yang sepi dan tenang saat bicara tentang aku yang selalu saja membuatku merasa tak nyaman. “Aku baru saja membalik punggung dan dia sudah kabur. Seolah-olah tidak ada anak perempuan di keluarga ini sama sekali.”
Aku pergi dan duduk di atas sebuah kantung pakan di sudut kandang, tidak ingin kelihatan sewaktu percakapan ini sedang terjadi. Ibuku, aku rasa, tidak bisa dipercayai. Dia lebih baik daripada ayahku dan lebih gampang dibodohi, tapi kau tak dapat bergantung padanya, alasan sebenarnya atas hal-ihwal yang dia katakan dan lakukan tidaklah patut diketahui. Dia menyayangiku, dan dia duduk sampai laarut malam cuma untuk membuaatkan baju bergaya rumit yang aku inginkan, untuk kupakai sewaktu sekolah dimulai, tapi dia juga musuhku. Dia selalu berencana jahat. Sekarang dia berencana jahat agar aku tetap tinggal di dalam rumah lebih lama, sekalipun dia tahu aku benci itu (karena dia tahu aku benci itu) dan melarangku bekerja untuk ayahku. Bagiku yang dia lakukan itu cuma tipu muslihat, dan uji coba kekuasannya saja. Tidak terbayang olehku kalau dia barangkali kesepian, atau cemburu. Tidak ada orang dewasa yang bisa begitu; mereka terlalu beruntung. Aku duduk dan menendang-nendang kantung pakan dengan hak sepatuku secara monoton, menimbulkan debu, dan tidak keluar sampai ibuku pergi.
Pokoknya, aku tidak berharap ayahku memerhatikan apa yang ibuku katakan. Siapa yang bisa bayangkan Laird melakukan tugasku—Laird mengingat gembok dan membersihkan wadah siram dengan menggunakan sebilah daun pada ujung tongkat, atau bahkan mendorong tangki tanpa perlu terpeleset? Itu saja sudah menunjukkan sungguh sedikit yang ibuku ketahui tentang apa yang sesungguhnya terjadi di sekitar sini.
Aku lupa menceritakan makanan apa yang diberikan pada rubah-rubah itu. Apron berlumuran darah yang dipakai ayahku mengingatkanku. Makanan mereka daging kuda. Ketika itu kebanyakan petani masih memelihara kuda, dan sewaktu seekor kuda terlalu tua untuk bekerja, atau kakinya patah atau terus duduk dan tidak mau berdiri, sebagaimana yang kadang-kadang mereka lakukan, pemiliknya akan menelpon ayahku, dan dia bersama Henry akan keluar menuju pertanian tersebut dengan menggunakan truk. Biasanya mereka menembak dan menjagal kuda di tempat, membayar petani mulai dari lima sampai dua puluh dolar. Kalau sudah terlalu banyak daging yang disimpan, mereka akan membawa pulang kuda hidup-hidup, dan membiarkannya begitu di dalam kandang kami sampai berhari-hari atau berminggu-minggu, sampai dagingnya dibutuhkan. Setelah perang para petani membeli traktor dan mulai menyingkirkan kuda-kuda, mereka tidak dibutuhkan lagi. Kalau ini terjadi pada musim dingin kami bisa saja tetap menyimpan kuda di kandang sampai musim semi, karena kami punya banyak jeerami dan jika banyak salju—dan bajak tidak selalu membersihkan jalanan—selalu lebih muda pergi ke kota dengan seekor kuda dan kereta eretan.
Musim dingin sewaktu aku berumur sebelas tahun kami punya dua kuda di kandang. Kami tidak tahu apa nama mereka sebelumnya, jadi kami sebut mereka Mack dan Flora. Mack seekor kuda pekerja tua berwarna hitam, berjelaga dan acuh tak acuh. Flora kuda betina coklat kemerah-merahan, seekor kuda tunggangan. Kami pergi dengan keduanya dengan kereta eretan. Mack pelan dan gampang diatur. Flora menyajikan bahaya yang sengit, menyalipi mobil-mobil bahkan kuda-kuda lain, tapi kami menyukai kecepatan dan loncatan tingginya, aura sopan dan terbuangnya yang lumrah. Pada hari Sabtu kami turun ke kandang dan segera setelah kami membuka pintu dengan nyaman, Flora si binatang pembau kegelapan membanting kepalanya, memutar-mutar bola matanya, meringkik putus asa, dan memaksa dirinya melewati krisis saraf-saraf ketika itu juga. Tak aman masuk ke dalam kandangnya, dia akan menendang.
Musim dingin itu aku juga mulai mendengar lebih banyak seputar topik yang telah disuarakan ibuku sewaktu di depan kandang. Aku tak lagi merasa aman. Seakan dalam pikiran orang-orang disekitarku ada arus mantap pemikiran, tak bisa dibelokkan, seputar topik ini. Kata anak perempuan sebelumnya tampak begitu lugu dan tanpa beban sebagaimana kata anak-anak; sekarang tidak lagi demikian. Seorang anak perempuan tidaklah, sebagaimana yang kukira, sesederhana diriku sebelumnya; itulah yang harus kujadikan diriku. Itu sebuah makna, selalu disentuh dengan penekanan, dengan celaan dan kekecewaan. Itu juga sebuah lelucon bagiku. Sekali aku dan Laird berkealhi, dan untuk pertama kalinya aku kerahkan seluruh tenagaku padanya; sekalipun demikian, dia menangkap dan memelintir tanganku untuk beberapa saat, sangat menyakitkan. Henry menyaksikan, dan tertawa, berkata, “Oh, Laird akan menunjukkanmu, belakangan ini!” Laird semakin jauh lebih besar. Taapi aku juga bertambah besar.
Nenekku tinggal bersama kami untuk beberapa minggu dan aku mendengar beberapa hal lain. “Anak perempuan tidak membanting pintu seperti itu.” “Anak perempuan menutup rapat kakinya sewaktu duduk.” Dan lebih parah lagi, sewaktu aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan, “Itu bukan urusann anak perempuan.” Aku tetap membanting pintu dan duduk seceroboh mungkin, kupikir dengan begitu aku bisa tetap bebas.
Ketika musim semi datang, kuda-kuda dibiarkan keluar di pekarangan kandang. Mack berdiri di dekat dinding kandang untuk menggaruk kepala dan pahanya, tapi Flora berderap naik dan turun di sekitar pagar-pagar, menggerincingkan kuku kaki pada jeruji. Timbunan salju menyusut cepat, menampakkan tanah coklat dan abu-abu yang keras, tanah naik dan turun yang akrab, polos dan telanjang setelah pemandangan fantastis musim dngiin. Ada perasaan besar tentang keterbukaan, tentang keterlepasan. Sekarang kami cuma memakai sandal karet, ketimbang sepatu; telapak kaki kami rasanya ringan sekali. Suatu Sabtu kami pergi ke kandang dan mendapati semua pintu terbuka, membiarkan masuk sinar matahari yang tak biasa dan udara segar. Henry ada di sana, hanya bermalasan dan melihat-lihat koleksi kalendernya yang ditempelkan di belakang kandang di bagian kandang kuda yang kemungkinan tak pernah dilihat ibuku.
“Ayo ucapkan selamat tinggal pada teman lamamu Mack?” ujar Henry. “Sini, kau biarkan dia mencicipi rasa gandum.” Dia menuangkan gandum ke dalam tangkupan tangan Laird dan Laird langsung memberikannya pada Mack. Kondisi gigi Mack buruk. Dia makan sangat pelan, dengan sabar menggeser-geser gandum dalam mulutnya, mencoba menemukan geraham untuk menggilas. “Mack tua yang malang,” ujar Henry sedih. “Kalau kuda sudah kehilngan gigi, habislah dia. Begitulah nasibnya.”
“Kau mau menembaknya hari ini?” kataku. Mack dan Flora sudah sangat lama di dalam kandang sampai-sampai aku hampir lupa mereka akan ditembak.
Henry tidak menjawabku. Sebaliknya dia malah mulai bernyanyi dengan suara tinggi, bergetar, dan pura-pura sedih. Oh, there's no more work, for poor Uncle Ned, he's gone where the good darkies go. Lidah Mack yang tebal dan kehitaman tengah sibuk di atas tangan Laird. Aku pergi sebelum lagi berakhir dan duduk di jalur gang.
Aku belum pernah menyaksikan mereka menembak kuda, tapi aku tahu di mana dilakukannya. Musim panas yang lalu aku dan Laird menemukan isi perut kuda yang belum dikubur. Kami mengira itu seekor ular besar hitam, melingkar di bawah sinar matahari. Kejadiannya di padang yang membentang di samping kandang. Aku pikir kalau kami masuk ke dalam kandang, dan menemukan celah yang lebar atau lubang pada papan untuk mengintip, kami dapat menyaksikan kejadiannya. Itu bukanlah sesuatu yang ingin aku saksikan; sama saja, jika sesuatu betul-betul terjadi akan lebih baik ikut menyaksikan, dan tahu.
Ayahku keluar dari rumah, membawa senapan.
“Apa yang kau lakukan di sini?” katanya.
“Tidak ada.”
“Pergi dan bermainlah di sekiar rumah.”
Dia menyuruh Laird keluar kandang. Aku berkata pada Laird, “Apa kau mau menyaksikan mereka menembak Mack?” dan tanpa menunggu jawaban aku tuntun dia menuju pintu depan kandang, kubuka pelan-pelan, dan masuk. “Diam atau mereka akan dengar,” kataku. Kami bisa mendengar Henry dan ayahku bicara di kandang kuda; lalu langkah-langkah berat Mack yang tengah diseret dari kandangnya.
Di kandang itu dingin dan gelap. Berkas saling-silang tipis sinar matahari jatuh melalui celah-celah. Tumpukan jerami itu rendah. Bidang yang maju dan mundur, cembung-cembung dan cekung-cekung, bergelinciran di bawah kaki kami. Sekitar empat kaki di atas adalah balok-balok kayu yang menempel di sepanjang dinding. Kami menumpuk jerami jadi satu dan aku mendorong Laird dan mengangkat diriku. Baloknya tidak terlalu lebar; kami menyusurinya dengan tangar pada dinding kandang. Ada banyak lubang papan, dan aku menemukan satu yang menghasilkan sudut pandang yang kuinginkan—satu sudut bidang pekarangan kandang, pagar, bagian dari padang. Laird tidak menemukan lubang papan dan mulai mengeluh.
Aku tunjukkan padanya sebuah retakan lebar di antara dua papan. “Diam dan tunggu. Kalau mereka mendengarmu kita bakal dapat masalah.”
Ayahku muncul membawa senapan. Henry menyeret Mack dengan tali jerat. Dia menjatuhkannya dan mengeluarkan kertas rokok dan tembakau; dia melinting rokok untuk ayahku dan dirinya sendiri. Ketika itu Mack tengah mengendus-endus rerumputan tua dan mati di sepanjang pagar. Lalu ayahku membuka gerbang dan membawa Mack keluar. Henry menyeret Mack menjauhi jalur setapak dan mereka kembali berbicara, tidak cukup keras untuk kami dengar. Mack kembali mencari-cari sesuap rumput segar, tapi tidak berhasil. Ayahku melangkah lurus, dan berhenti pada jarak pendek yang seperti sesuai menurutnya. Henry juga menjauh dari Mack, tapi ke samping, masih acuh tak acuh memegangi tali jerat. Ayahku menembak Mack.
Mack tidak langsung jatuh tapi terhuyung, meloncat ke samping, dan jatuh, pertama ke samping; lalu dia berguling terlentang dan, ajaibnya, menendang-nendangkan kakinya di udara untuk beberapa detik. Mulanya Henry tertawa, seakan-akan Mack telah melakukan semacam tipu daya. Laird, yang telah menarik napas terkejut yang panjang dan mengerang sejak tembakan meletus, berkata keras, “Dia tidak mati.” Dan bagiku seakan-akan itu betulan terjadi. Tapi kakinya berhenti, dia berguling ke samping lagi, otot-ototnya bergetar lalu redam. Kedua laki-laki itu mendekat dan menatapinya dengan cara yang praktis; mereka berjongkok dan memeriksa dahi di mana peluru tengah bersarang, dan sekarang aku melihat darahnya pada rerumputan coklat.
“Sekarang mereka tinggal menguliti dan mencincang-cincangnya,” kataku. “Ayo pergi.” Kakiku sedikit gemetar dan aku meloncat menuju tumpukan jerami. “Sekarang kau sudah tahu bagaimana mereka menembak kuda,” kataku dengan sejenis nada selamat, seakan-akan aku sudah sering menyaksikannya sebelumnya. “Ayo lihat apa kucing-kucing kandang sudah punya anak dalam jerami.” Laird meloncat. Dia seakan muda dan penurut lagi. Seketika saja aku ingat bagaimana, sewaktu dia masih kecil, aku membawa dia ke kandang dan menyuruhnya memanjat tangga menuju balok paling atas. Itu terjadi di musim semi juga, sewaktu tumpukan jerami rendah. Aku lakukan semata-mata karena butuh kesenangan, keinginan agar terjadi sesuatu sehingga aku bisa bercerita tentang itu. Dia mengenakan mantel kecil tebal berkerah berwarna coklat dan putih, dibuat dari salah satu punyaku. Dia terus naik ke atas seperti yang kusuruh, dan duduk pada salah balok yang di bawah salah satu sisinya ada tumpukan jerami, dan lantai kandang dan mesin-mesin tua di bagian lain. Lalu aku berlari dan menjerit pada ayahku. “Laird naik ke balok paling atas!” Ayahku datang, ibuku datang, ayahku naik ke atas dengan tangga, bicara pelan dan membawa Laird turun dengan tangannya, sementara ibuku bersandar pada tangga dan mulai menangis. Mereka berkata padaku, “Kenapa kau tidak awasi dia?” tapi tidak ada yang pernah tahu kenyataannya. Laird belum cukup mengerti untuk memberitahu. Tapi tiap kali aku melihat mantel berkerah berwarna coklat dan putih digantungkkan di kloset, atau pada bagian bawah tas kain, yang mana di situlah mantel itu akan berakhir, aku merasakan semacam beban pada perutku, kesedihan akan rasa bersalah yang belum terusir.
Aku menatap Laird, yang bahkan tidak ingat kejadian itu, dan aku tidak suka dengan penampilannya kali ini, wajah dingin-pucat. Ekspresinya tidak takut ataupun kesal, tapi berjarak, berkonsentrasi. “Dengar,” kataku dengan suara cerah dan bersahabat yang tak biasa, “kau tidak akan bilang, ‘kan?”
“Tidak,” katanya sambil lalu.
“Janji.”
“Janji,” katanya. Aku sambar tangannya di belakang untuk memastikan dia tidak sedang menyilangkan jari. Meskipun demikian, dia mungkin diserang mimpi buruk; mungkin saja datangnya seperti itu. Aku putuskan sebaiknya aku bekerja keras untuk mengorek segala apa yang dia pikirkan dalam kepalanya—yang, menurutku, tidak dapat menyimpan banyak hal sekalgus. Aku punya sejumlah uang yang aku simpan dan pada sore itu kami pergi menuju Jubilee dan menonton sebuah pertunjukan, dengan Judy Canova, di mana kami berdua tertawa puas. Setelah itu aku pikir segalanya akan aman-aman saja.
Dua minggu kemudian aku tahu mereka akan menembak Flora. Aku tahu dari malam sebelumnya sewaktu aku mendengar ibuku bertanya apa tumpukan jeraminya cukup, dan ayahku bilang, “Yah, setelah besok cuma akan ada sapi, dan minggu lain kita bisa saja menyuruhnya merumput di luar.” Jadi aku tahu pagi harinya giliran Flora.
Kali ini aku tidak kepikiran menyaksikan. Yang seperti itu cukuplah dilihat sekali saja. Aku tidak banyak memikirkan kejadian itu lagi, tapi kadang sewaktu aku sibuk, belajar di sekolah, atau berdiri di depan cermin sambil menyisir rambut dan bertanya-tanya apakah aku akan cantik jelita bila sudah dewasa, seluruh yang aku saksikan akan melintasi pikiranku lagi: aku akan menyaksikan cara ayahku mengangkat senapan yang tampak begitu gampang dan terlatih, dan mendengar Henry tertawa sewaktu Mack menendang-nendangkan kakinya di udara. Aku tidak merasakan sejenis perasaan horror yang amat sangat dan berlawanan, sebagaimana yang akan dirasakan anak-anak kota; aku sudah terbiasa menyaksikan kematian binatang-binatang sebagaimana itulah yang perlu kami lakukan untuk bertahan hidup. Meski demikian aku merasakan sedikit malu, dan ada kekhawatiran baru, sebuah rasa tertahan, pada sikapku terhadap ayahku dan pekerjaannya.
Ketika itu hari yang bagus, dan kami mengintari pekarangan memunguti batang-batang pohon yang berjatuhan karena badai musim dingin. Ini sesuatu yang sudah diperintahkkan pada kami, dan kami juga menginginkkannya untuk membuat teepee[3]. Kami dengar ringkikan Flora, dan kemudian suara ayahku dan sahutan Henry, dan kamu berlari menuju pekarangan kandang untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi.
Pintu kandang kuda terbuka. Henry baru saja mengeluarkan Flora, dan kuda itu telah memisahkan diri darinya. Flora berlari bebas di sepanjang pekarangan kandang, dari satu ujung ke ujung lainnya. Kami memanjat pagar. Senang sekali menyaksikan dia berlari, meringkik, menaikkan kaki belakangnya, berjingkrak dan mengancam seperti kuda di film Western[4], sebuah kuda ternak yang cacat, sekalipun dia Cuma tunggangan tua, kuda betina tua coklat kemerah-merahan. Ayahku dan Henry berlari mengejarnya dan mencoba menangkap tali jerat yang terjuntai. Mereka mencoba memojokkannya, dan mereka hampir saja berhasil sewaktu dia berlari menembus mereka, dengan mata liar, dan hilang di tikungan kandang. Kami mendengar gemerincing jeruji jatuh ketika dia meloncati pagar, dan Henry berteriak. “Dia ada di padang sekarang!”
Artinya dia ada di padang berbentuk L yang membentang di depan rumah. Jika dia berada di pusatnya, menuju jalan, pintu gerbang terbuka; truk telah dibawa menuju padang pagi ini. Ayahku berteriak padaku, karena aku ada di sisi lain padang, dekat jalan, “Tutup gerbang!”
Aku bisa berlari sangat cepat. Aku berlari melintasi kebun, melintasi pohon di mana kami berayun dan bergantung, dan meloncati selokan menuju jalanan. Pintu gerbang teruka. Flora belum keluar, aku tidak mendapatinya di bagian manapun jalan; dia pasti berlari menjuju bagian lain padang. Pintu gerbangnya berat. Aku mengankat dari kerikil-kerikil dan mendorongnya sepanjang jalur keluar. Aku sudah separuh jalan sewaktu Flora terlihat, berlari lurus ke arahku. Aku cuma perlu memasang rantai saja. Laird datang melalui selokan untuk membantuku.
Alih-alih menutup pagar, aku malah membuka selebar yang kubisa. Aku tidak memutuskan untuk melakukannya, itu kulakukan begitu saja. Flora tidak memelankan lajunya; dia berlari lurus melintasiku, dan Laird meloncat naik dan turun, berteriak, “Tutup, tutup!” walaupun sudah terlambat. Ayahku dan Henry muncul di padang sedikit terlambat untuk melihat apa yang telah kulakukan. Mereka cuma sempat menyaksikan Flora menuju jalanan kota. Mereka mengira aku tidak punya cukup waktu untuk menutup pagar.
Mereka tidak punya waktu untuk menanyai itu. Mereka langsung menuju kandang dan meraih senapan dan pisau yang pernah mereka gunakan, dan meletakkan semua itu di dalam truk; mereka memutar truk dan melaju kencang menuju arah kami. Laird berteriak pada mereka, “Aku mau ikut juga, aku mau ikut juga!” dan Henry menghentikan truk dan mereka membawanya. Aku menutup gerbang setelah mereka pergi.
Aku pikir Laird akan mengadu. Aku menduga-duga apa yang akan terjadi padaku. Aku tidak pernah tidak patuh pada ayahku sebelumnya, dan aku tidak mengerti kenapa aku melakukannya. Aku telah melakukannya. Flora tidak mungkin lolos. Mereka akan menangkapnya di truk. Atau jika mereka tidak menangkapnya pagi ini orang lain akan melihatnya dan menelepon kami pada sore hari atau besok. Di sini tak ada buana buas untuknya, kami membutuhkan dagingnya untuk makanan rubah-rubah, kami membutuhkan rubah-rubah untuk bertahan hidup. Yang baru saja kulakukan cuma menambahi beban tugas ayahku yang sendirinya sudah bekerja sangat keras. Dan ketika ayahku tahu dia tidak akan percaya lagi padaku; dia akan tahu aku tidak sepenuhnya di pihaknya. Aku di pihak Flora, dan itu akan membuatku tak lagi berguna bagi siapapun, tidak juga bagi Flora. Sama saja, aku tidak menyesalinya; ketika Flora berlari menujuku aku biarkan gerbang terbuka, cuma itu yang bisa kulakukan.
Aku kembali ke rumah, dan ibuku berkata, “Ribut-ribut apa ini?” Aku bilang padanya kalau Flora sudah menendang jatuh pagar dan kabur. “Malangnya ayahmu,” katanya, “sekarang dia harus mengejarnya di penjuru daerah. Yah, tidak perlu menyiapkan makan malam cepat-cepat.” Dia memasang papan setrika. Aku ingin memberitahunya, tetap mengira lebih baik membiarkannya dan naik ke atas dan duduk di ranjangku.
Akhir-akhir ini aku mencoba membuat bidang kamarku elok, membentangi gorden tua berenda pada ranjang, dan membuatkan satu meja rias dengan sisa-sisa cretonne untuk rok. Aku berencana untuk memasang semacam barikade antara ranjangku dan ranjang Laird, agar bidangku tetap terpisah dengan bidangnya. Di bawah tumpahan sinar matahari, gorden berenda itu cuma kain berdebu. Kami tidak bernanyi lagi di malam hari. Suatu malam aku bernyanyi dan Laird berkata, “Kau konyol,” dan aku tetap terus saja tapi malam selanjutnya tidak lagi. Bagaimanapun juga sudah begitu banyak hal yang dibutuhkan, kami tak lagi ketakutan. Kami sudah tahu yang di sebelah sana itu cuma perabotan-perabotan tua, tumpukan kekacauan tua. Kami tidak lagi memerlukann aturan-aturan. Aku tetap terjaga ketika Laird telah tidur dan tetap menceritai diriku sendiri, tetapi bahkan cerita-cerita ini berbeda dari apa yang telah terjadi, perubahan-perubahan misterius terjadi. Sebuah cerita boleh jadi dimulai dengan cara-cara lama, dengan suatu bahaya yang spektakuler, sebuah kebakaran atau binatang-binatang buas, dan untuk sesaat aku mungkin saja menyelamatkan orang-orang; lalu hal-hal tersebut akan berubah, dan malah, seseorang yang justru menyelamatkanku. Yang melakukannya mungkin saja anak laki-laki dari kelas kami di sekolah, atau Pak Campbell, guru kami, yang suka menggelitiki lengan-lengan muridnya.
Dan pada titik ini cerita itu memusatkan sebagian besarnya pada bagaimana penampilanku—sepanjang apa rambutku, dan pakaian apa yang aku kenakan; saat itu aku punya rerincian yang membuat kegembiaraan nyata dari cerita itu hilang.
Sudah lewat pukul satu malam sewaktu truk kembali. Terpal menutupi bagian belakang, yang artinya ada daging di dalamnya. Ibuku harus memanasi makan malam lagi. Henry dan ayahku sudah mengganti terusan berlumuran darahnya dengan terusan kerja yang biasa dipakai di kandang, dan mereka mencuci tangan dan leher dan muka di wastafel, dan menyiramkan air pada rambut dan menyisirinya. Laird mengangkat tangannya untuk menunjukkan coretn darah. “Kami menembak Flora tua,” katanya, “dan memotongnya menjadi lima puluh potongan.”
“Baiklah aku tidak mau mendengarnya,” kata ibuku, “dan jangan datang ke mejaku seperti itu.”
Ayahku menyuruhnya mencuci bersih berkas darah itu.
Kami duduk dan ayahku memanjat doa syukur dan Henry menyisipkan permen karetnya pada ujung garpu, sebagaimana yang sering dilakukannya; ketika dia melepaskannya dia akan membuat kami mengagumi pola yang terbentuk. Kami mulai saling menyerahkan mangkuk-mengkuk mengepul beerisi sayur-mayur kelewat matang. Laird menatapku dari seberang meja dan berkata dengan kebanggaan yang khas, “Pokoknya salahnya dia Flora kabur.”
“Apa?” kata ayahku.
“Dia seharusnya sempat menutup gerbang tapi tidak dilakukannya. Dia buka begitu saja dan Flora kabur keluar.”
“Betul begitu?” kata ayahku.
Semua orang yang ada di meja menatapku. Aku mengangguk, menelan makanan dengan kesusahan yang amat-sangat. Atas rasa maluku, air mata mulai membanjiri mataku.
Ayahku membuat suara jijik yang ketus. “Untuk apa kau lakukan itu?”
Aku tidak menjawab. Aku letakkan garpuku dan menunggu diusir dari meja, tetap tidak berani mendongak.
Tapi itu tidak juga terjadi. Untuk beberapa waktu tidak ada yang bicara, lalu Laird bicara blak-blakan, “Dia menangis.”
“Sudahlah,” kata ayahku. Dia bicara dengan menahan diri, bahkan rasa humor yang bagus yang berhasil menghentikan dan membesarkan hatiku. “Dia cuma seorang anak perempuan,” katanya.
Aku tidak protes, bahkan dalam hatiku. Barangkali betul juga.
[1968]


[1] Hari Orangemen (atau Orangemen’s Day) merupakan peringatan untuk Pertempuran Boyne, yang berlangsung pada tahun 1690 di wilayah luar Drogheda, sekarang Irlandia. Ini adalah hari libur di provinsi Newfoundland dan Labrador, pada hari Senin yang paling dekat dengan 12 Juli.
[2] Lamb’s quarters & money-musk ini sebutan untuk sejenis tanaman liar.
[3] Teepee (atau tipi) sejenis kemah tradisional, biasanya terbuat dari kulit binatang dan batang-batang.
[4] Film western atau western movie maksudnya jenis (genre) film-film yang menceritakan kehidupan American Old West yang bersetting sekitar pertengahan abad ke 19 (tahun 1800an).


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar