Assalamu'alaikum. Arin H. Widhi

Senin, 12 Mei 2014

Esai Sastra; Meretas Bangunan Estetika Perpuisian Abdul Wachid B.S. dalam Tafsir Hermeneutika

(Artikel ini dikutip dari Jurnal Kebudayaan Islam, IBDA', Volume 3, Tahun 2005, Edisi 2, Hal. 193-215)


Meretas Bangunan Estetika Perpuisian
Abdul Wachid B.S. dalam Tafsir Hermeneutika

oleh Heru Kurniawan

Abstract: Esthetics have important role in poem, because it stand parallel with meaning, as body or container that contain meaning, idea, thought, and message. With hermeneutic interpretation, we can interpret the meaning of esthetics symbols of Abdul Wachid B.S’s poetry. From his several works, by adequate philosophic-religiosity understanding, we can find that its poem talk about transcendental love through two esthetics feature: first, based on reality awareness, and second, transcendental love which have based on love and longing to The Most Beautiful (Allah). Hence, we can obtain meaning through the real symbolism that able to brighten reader’s heart.
Keywords: poem’s esthetics, hermeneutic, symbol, profane-transcendent, feminine image.

---Pengantar

Estetika dalam karya sastra (puisi) begitu penting keberadaannya karena hakikat karya sastra merupakan karya imajinatif yang bermediakan
bahasa dan mempunyai nilai estetika yang dominan.1) Dalam hal ini, estetika dalam karya sastra menjadi suatu elemen penting yang eksistensinya berperan dalam menentukan kiblat baiknya sebuah karya sastra. Estetika dalam karya sastra selalu berdiri sejajar dengan etika. Dalam diskursus kesusas­traan, etika dapat ditafsirkan sebagai nilai moral, sedangkan estetika sebagai nilai keindahan dalam karya sastra.2)

Dalam sajak, estetika menjadi semakin penting peranannya karena sajak adalah genresastra yang mengemas peristiwa dalam diksi yang padat dan secara total memberdayakan dengan penuh aspek estetikanya. Estetika dalam sajak berdiri sejajar dengan makna. Tidak mengherankan bila kesempurnaan sajak sangat ditentukan oleh bangunan estetikanya. Pentingnya peran estetika dalam sajak ini karena secara umum merupakan makna dari nilai-nilai keindahan dan keagungan pemikiran yang terdapat di dalam sajak.

Dalam kajian ini, penafsiran makna sajak-sajak Abdul Wachid B.S. dikaji dengan membahas estetika sajak kaitannya dengan makna. Kajiannya adalah objektif, yaitu menempatkan sajak-sajak Abdul Wachid B.S. sebagai bahan utama yang dikaji aspek estetika­nya untuk mendapatkan totalitas makna secara menyeluruh.

---Membaca Biografi

Abdul Wachid B.S. lahir di dusun terpencil Bluluk, kabupaten Lamongan, Jawa Timur, 7 Oktober 1966.3) Kepenyairan Abdul Wachid B.S. dimulai saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), di SMA Negeri Argomulyo, Yogyakarta. Sampai sekarang Abdul Wachid B.S. terus berkarya, yang berupa puisi, cerpen, esai, dan pemikiran kebudayaan lainnya, dan dipublikasikan di Majalah Sastra Horison, Koran Tempo, Kompas, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Republika, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Suara Merdeka, Wawasan, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Surabaya Post, Jawa Pos, dan Bali Post.4)

Sebagian sajak Abdul Wachid B.S. terdokumentasi dalam antologi sajak: (1) Sembilu(Dewan Kesenian Yogya, 1991), (2) Ambang (DKY, 1992), (3) Oase (Titian Ilahi Press, 1994), (4) Serayu (Harta Prima Press, 1995), (5) Lirik-lirik Kemenangan (Taman Budaya Yogya, 1994), (6) Tabur Bunga (Seperempat Abad Haul Bung Karno, 1995), (7) Negeri Poci-3 (Tiara Jakarta, 1996), (8) Mimbar Penyair Abad 21 (Balai Pustaka, 1996), (9)Gerbong (Cempaka Kencana, 1998), (10) Tamansari (Festival Kesenian Yogya X, 1998), (11) Aceh Mendesah dalam Nafasku (Kampanye Seni untuk HAM Aceh, 1999), (12) Embun Tajali (Aksara Indonesia, 2000), (13) Angkatan Sastra 2000 (Grasindo, 2000), (14) Hijau Kelon (Kompas, 2002), (15) Medan Waktu (Cakrawala Sastra Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta, 2004), dan (16) Untuk Sebuah Kasihsayang (Penerbit Bukulaela, 2004).

Esai pemikiran Abdul Wachid B.S. terdokumentasi dalam antologi: (1) Kiat Menembus Media Massa (Titian Ilahi Press, 1994), dan (2) Begini Begini Begitu (Dewan Kesenian Yogya, 1997).

Abdul Wachid B.S. juga menulis cerpen sekalipun tidak produk­tif, di antaranya terdokumentasi dalam antologi: Cerita-cerita Pengantin (Galang, 2004; dieditori Triyanto Triwikromo, dikata­pengantari K.H.A. Mustofa Bisri); Bacalah Cinta (Penerbit Bukulaela, 2005; bersama cerpen K.H.A. Musofa Bisri, Dharmadi, Eko Sri Israhayu, Evi Idawati, Heru Kurniawan, Joni Ariadinata, Raudal Tanjung Banua, dan R. Toto Sugiharto).5)

Sementara itu, buku tunggal yang menghimpun karya Abdul Wachid B.S., antara lain: (1)Rumah Cahaya (Ittaqa Press, 1995; cetak ulang edisi revisi oleh Gama Media, 2003), merupakan buku sajak yang menghimpun karya awalnya. (2) Sastra Melawan Slogan(FKBA, 2000), merupakan bunga rampai esainya yang diberi kata penutup oleh Dr. Faruk. (3) Religiositas Alam : dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron (Gama Media, 2002), diangkat dari karya ilmiah S-1, yang dikatapengantari oleh Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo. (4) Buku pilihan puisi cinta 1986-2002, Ijinkan Aku Mencintaimu (Penerbit Buku Laela, 2002, cet.II-2004), dikatapengantari oleh peneliti sastra dari Jepang, Urara Numazawa. (5) buku puisi Tunjammu Kekasih (Bentang, 2003). (6) Beribu Rindu Kekasihku(Amorbooks, 2004), buku pilihan puisi cinta, dikatapengantari oleh Dr. Katrin Bandel, peneliti sastra Indonesia berkebangsaan Jerman. (7) Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (buku kajian ilmiah sastra; Grafindo, Mei 2005); dan, (8) Sastra Pencerahan (buku esai sastra; Grafindo, Juni 2005). 6)

Kiprahnya di dunia kesastrawanan, Abdul Wachid B.S. dalam sejarah kesusastraan Indonesia termasuk dalam “Angkatan 2000”, yaitu suatu generasi angkatan dalam sastra Indonesia yang basis kesusastraannya dibangun pada abad ke-20. Dalam peta kurun waktu ini, Abdul Wachid B.S. termasuk dalam generasi sastrawan tahun 1980-an. Pada generasi tersebut, kepenyairan Abdul Wachid B.S. tumbuh bersama dengan penyair Indonesia lainnya, antara lain D. Zawawi Imron, Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda, Joko Pinurbo, Dorothea Rosa Herliany, Acep Zamzam Noor, Oka Rusmini, Mathori A. Elwa, Jamal D. Rahman, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Abidah el-Khalieqy, Hamdy Salad, Soni Farid Maulana, Wiji Thukul, dan diikuti oleh generasi penyair yang lebih muda seperti Otto Sukatno C.R., Amin Wangsitalaja, Kuswaidi Syafi’ie, Evi Idawati, Aning Ayu Kusuma, Raudal Tanjang Banua, dan lainnya.7)

---Estetika dalam Sastra

Sebagai cabang filsafat dan ilmu yang berdiri sendiri, estetika terlepas dari metafisika, logika, etika, dan teologi, terjadi sejak abad ke-18, dan pandangan sebagai ilmu yang berdiri sendiri sebagian masih dipertahankan sampai masa kini. Buku paling awal yang membahas estetika sebagai ilmu tersendiri ialah karya Baumgarten, seorang filsuf rasionalis Jerman, buku itu diberi judul Aesthetica (1950). Kata “aesthetica” diambil dari kata Yunani “aesthesis”, yang artinya pengamatan indera atau sesuatu yang merangsang indera. Dari arti perkataan itu, Baumgarten mengartikan estetika sebagai penge­tahuan yang berkaitan dengan objek yang dapat diamati dan merangsang indera, khususnya karya seni. Dalam perkataan “aesthesis” juga tercakup pengertian sensasi atau reaksi organisme tubuh manusia terhadap rangsangan luar. Begitulah, dalam pengertian tersebut tercakup reaksi perasaan terhadap objek pengamatan inderawi, kecenderungan jiwa manusia terhadap segala sesuatu yang menjadi sasaran.8)

Secara umum kajian dalam estetika ini mengandung tiga unsur utama, yaitu (1) pembicaraan tentang hakikat karya seni dan objek-objek indah buatan manusia; (2) pembicaraan tentang maksud dan tujuan penciptaan karya seni, serta cara bagaimana memahami dan menafsirkannya; (3) mencari tolak-ukur penilaian karya seni dengan kaidah-kaidah tertentu. Tolok ukur bobot dan keindahan karya seni juga harus dikaitkan dengan besar-kecilnya kesempurnaan yang ditampilkan karya seni. Dalam hal ini, para ahli estetika melihat besar-kecilnya kesempurnaan dalam karya seni secara umum memberikan patokan, yaitu (1) sempurna dilihat dari sudut bobot gagasan, konsep, dan wawasannya; (2) sempurna dilihat dari besar­nya fungsi sebuah karya seni dalam kehidupan manusia; (3) sempurna dilihat dari sudut nilai-nilai yang ditawarkan karya seni dan relevansinya bagi perkembangan kebudayaan; (4) sempurna dilihat dari sudut kesesuaian karya seni dengan cita-cita kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan/keruhanian yang hendak ditegakkan manusia; dan (5) sempurna dilihat dari sudut kegunaan.9)

Keterkaitannya dengan sastra, estetika menjadi suatu elemen penting yang mengemas makna yang akan dikomunikasikan dalam karya sastra. Estetika kedudukannya seperti tubuh atau wadah yang menyimpan makna, gagasan, pemikiran, dan amanat. Kedudukan estetika dalam sastra dikemas dalam bentuk kata-kata (bahasa) yang berwujud ungkapan. Hal inilah yang membedakan antara estetika dalam seni sastra dan seni-seni lainnya. Estetika dalam sastra melesap dalam bahasa, estetika seni lukis melesap dalam warna dan garis, estetika seni musik melesap dalam bunyi/suara, sedangkan estetika seni tari melesap dalam gerak. Dengan demikian, estetika dalam sastra bisa ditafsirkan setelah karya sastradirekuperasi arti atau bahkan maknanya secara menyeluruh. Akhirnya memahami estetika dalam sastra sama kedudukannya seperti kita memahami makna dalam sastra. Oleh karena itu, antara makna dan estetika dalam karya sastra menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan.

Estetika pada akhirnya menjadi idiosinkrasi dari seni (seni sastra), di mana estetika sering menjadi hal yang paling ditonjolkan dalam karya sastra. Sastrawan dalam menciptakan karya sastra selalu mengindahkan nilai-nilai estetikanya. Nilai estetika pada gilirannya menjadi corak yang khas dalam karya sastra. Tidak mengherankan jika T.S. Elliot (sastrawan ternama dari Inggris) menafsirkan bahwa keindahan karya sastra sangat ditentukan oleh aspek kesastraannya atau estetikanya, sedangkan keagungannya sangat ditentukan oleh pemikirannya. Namun, pemikiran dalam karya sastra selalu me­lembaga di dalam aspek estetikanya. Oleh karena itu, estetika dan pemikiran dalam sastra tidak bisa dijauhkan eksistensinya. Keduanya menjadi bagian penting yang membangun karya sastra. Menafsirkan dan meretas nilai estetika di dalam karya sastra sama halnya dengan menafsirkan makna pemikiran yang terdapat di dalam karya sastra.

---Tafsir Hermeneutika

Pada awalnya keberadaan hermeneutika itu merupakan disiplin ilmu yang banyak digunakan oleh mereka yang berhubungan dengan kitab suci, terutama Injil. Hermeneutika diberdayakan sebagai ilmu untuk menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia. Model ini hanya milik kaum penafsir kitab suci, kemudian hermeneutika berkembang dalam berbagai bidang disiplin ilmu yang luas. Kajian terhadap hermeneutika sebagai sebuah bidang keilmuan mulai marak pada abad ke-20, di mana kajian hermeneutika semakin berkembang. Hermeneutika tidak hanya mencakup kajian terhadap kitab suci saja (teks keagamaan) dan teks klasik, melainkan berkembang jauh kepada ilmu yang lain. Adapun ilmu-ilmu yang terkait erat dengan hermeneutika adalah ilmu sejarah, filsafat, hukum, kesusastraan, dan bidang ilmu yang terkait dengan pengetahuan tentang kemanusiaan.

Secara etimologis kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, yaitu hermeneuein, yang berarti “menafsirkan, menerjemahkan, dan mengartikan”. Dari kata hermeneuein ini dapat ditarik kata benda hermeneia yang berarti “penafsiran” atau “interpretasi”, dan katahermeneutes yang berarti “penafsir”. Kata ini sering diasosiasikan dengan nama salah seorang dewa Yunani Hermes yang dianggap sebagai utusan dewa langit.10) KedudukanHermes adalah dewa yang me­nyampaikan pesan para dewa kepada manusia sehingga dapat dikatakan ia tidak hanya mengumumkan kepada mereka kata demi kata saja, melainkan bertindak sebagai penerjemah yang menjadikan kata-kata para dewa dapat dimengerti dengan jelas dan bermakna; di samping itu, dapat memunculkan penjelasan terhadapnya atau hal lainnya sebagai tambahan, yang hal itu disebut sebagai tafsiran hermeneutika. Dari sinilah hermeneutika terikat kepada dua tugas yaitu, pertama,memastikan isi dan makna sebuah kata atau kalimat dalam teks; kedua, menemukan instruksi-instruksi yang terdapat di dalam bentuk simbolisasi.

Menurut Bleicher,11) hermeneutika adalah disiplin ilmu yang menginterpretasikan makna di balik simbol dengan tujuan agar memperoleh nilai makna yang mentransendensikan makna literal, yaitu mengekspresikan dengan alat-alat linguistik, sebuah makna yang hanya dapat dibayangkan dan sebaliknya harus tetap diam. Usaha menafsirkan simbol akhirnya harus dilakukan dengan “menggantikan” penilaian metaforis yang dicangkokkan simbol oleh sebuah penilaian bukan metaforik, yakni mengulangi pertanyaan sekarang dari arah yang berlawanan; penerjemahan yang telah terjadi di dalamnya sebuah konteks metaforik grafis kepada konteks lain yang tidak metaforik, yaitu konteks abstraksi-diskursif; maka tujuan interpretasi simbol-simbol dalam hermeneutika tidak bertujuan mengganti makna simbolik dengan makna literal, melainkan pada sebuah pendalaman pengayaan makna simbol.

Hubungan antara makna simbol dan makna literal dalam ungkapan metaforis memberikan pedoman tepat yang memung­kinkan kita mengidentifikasi corak semantik yang tepat dari sebuah simbol. Corak-corak ini adalah suatu yang menghubungkan simbol dengan bahasa, yang untuk itu meyakinkan keutuhan simbol yang berbeda dari keberagamannya di antara tempat yang banyak di mana simbol itu muncul. Kemunculan dimensi semantik ini merupakan hasil dari sebuah pendekatan yang panjang dan membingungkan kita tentang hakikat semantik simbol dengan corak lainnya yang meresistensi transposisi apapun ke dalam bahasa. Sebagai akibatnya, simbol hanya memberikan kemunculan pada pemikiran, bila simbol pertama kali memberikan kemunculan pada pembicaraan.12)

Simbol dapat dimaknai sebagai struktur penandaan yang di dalamnya terdapat sebuah makna langsung, pokok, atau literal yang menunjuk kepada, sebagai tambahan makna lain yang tidak langsung sekunder dan figurative, dan yang dapat dipahami hanya melalui yang pertama. Pembatasan ekspresi dengan sebuah makna yang ganda ini terdapat dalam wilayah hermeneutika.13) Simbol dalam hermeneutika yang dimaksud adalah sebuah tanda yang merepresentasikan entitas lain yang menunjuk pada suatu yang ada di luarnya.14) Makna simbol dalam hermeneutika bukan hanya mengandung ranah semantik atau sistem tanda yang jelas, namun juga mengacu kepada realitas di luar bahasa, lebih jauh simbol dalam bentuk gejala menunjuk kepada kondisi-kondisi tertentu yang tersembunyi. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa hermeneutika pada dasarnya merupakan salah satu teori (disiplin ilmu) dan metode yang menyingkap makna di balik simbol sehingga dapat dikatakan bahwa tanggung-jawab utama dan pertama dari her­meneutika adalah menampilkan makna yang ada di balik simbol-simbol yang menjadi objeknya.

Pada gilirannya konsep mengenai hermeneutika, menurut Paul Ricoeur itu, mencakup interpretasi di mana interpretasi adalah karya pemikiran yang terdiri atas penguraian makna dari makna yang terlihat, pada tingkat makna yang tersirat di dalam makna yang literal. Interpretasi merupakan penggalian dan pemertahanan makna-makna awal yang tersembunyi, dengan begitu simbol dan interpretasi menjadi konsep yang saling berkaitan dalam herme­neutika, di mana interpretasi muncul karena makna jamak berada dan di dalam interpretasi simbol pluralitas makna termanifes­tasikan.15)

Interpretasi atas simbol yang terdapat dalam karya sastra tetap melandaskan penafsirannya pada tiga tahapan yang dikemukakan Ricoeur (level semantik, level refleksi, dan level eksistensial) karena hermeneutika dalam karya sastra adalah suatu usaha menyingkap, menafsirkan atau menginterpretasikan makna yang terdapat dalam simbol-simbol bahasa sebagai media (bahan baku) karya sastra. Hermeneutika dalam menafsirkan simbol yang terdapat dalam karya sastra akan melewati empat tahap, yaitu: pertama, tahap menentukan arti langsung yang primer; kedua, tahap menjelaskan arti-arti implisit dalam simbol; ketiga,tahap menentukan tema; keempat, tahap mem­perjelas arti-arti dalam teks.16)

Penafsiran hermeneutika terhadap karya sastra akan bergantung pada sisi mana yang akan diungkap sebab yang terpenting dalam penafsiran hermeneutika adalah interpretasi simbol yang jelas dengan tanpa ada unsur yang dihilangkan. Karenanya, Paul Ricoeur mengatakan bahwa hermeneutika adalah teori mengenai aturan penafsiran, yaitu penafsiran terhadap teks tertentu atau sekumpulan tanda atau simbol yang dianggap sebagai teks. Kajian hermeneutika bertujuan untuk menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung-selubung yang menutupinya sehingga dapat mengurai makna dari simbol-simbol tersebut, maka langkah kerja pemahaman atau interpretasi simbol dalam hermeneutika menurut Paul Ricoeur terdiri atas tiga langkah sebagai berikut:

1.   Langkah simbolik, atau pemahaman simbol ke simbol;
2.   Pemberian makna oleh simbol, serta penggalian yang cermat atas simbol;
3.   Langkah filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik-tolaknya.17)

Ketiga langkah di atas tidak akan lepas dari pemaknaan secara semantik karena hermeneutika sebenarnya sebuah paradigma yang berusaha menafsirkan teks atas dasar logika linguistik. Logika linguistik akan membuat penjelasan teks sastra dan pemahaman makna dengan menggunakan “makna kata”, dan selanjutnya sampai kepada tataran pemaknaan pada aspek simbol. Ketiga langkah pemaknaan yang dikemukan Ricoeur tersebut menjadi aspek langkah yang harus dilakukan dalam kajian hermeneutika sebagai usaha untuk menafsirkan atau menginterpretasikan makna yang terdapat dalam simbol.

---Karakteristik Estetika Perpuisian Abdul Wachid B.S.

Abdul Wachid B.S. adalah penyair yang oleh Korrie Layun Rampan ditahbiskan sebagai penyair Angkatan 2000. Adapun buku puisi karya Abdul Wachid B.S. yang telah diterbitkan dan diedarkan secara nasional ialah Rumah Cahaya (1995), Ijinkan Aku Mencintaimu(2002), Tunjammu Kekasih (2003), dan Beribu Rindu Kekasihku (2004). Bahkan, buku puisiRumah Cahaya dan buku puisi Ijinkan Aku Mencintaimu keduanya mengalami cetak ulang ke-2 di tahun 2004.

Secara menyeluruh, perpuisian Abdul Wachid B.S. men­citrakan puisi yang mempersoalkan hubungan transendensi, di mana dalam sebagian besar sajaknya memosisikan aku-lirik sebagai hamba yang sadar akan eksistensinya sebagai manusia yang dikodratkan untuk selalu mengingat, merindukan, dan mencintai Yang Maha Indah (Allah). Suasana yang dibangun dalam puisinya ialah suasana religius yang berpangkal pada realitas dan cinta. Tema sentralnya banyak mengangkat tema cinta-transendensi, di mana kegelisahan spiritual sangat mengental. Perpuisian Abdul Wachid B.S., banyak menyuarakan peletakan ke-Diri-an manusia untuk selalu bersandar bahkan mungkin menyatukan dirinya dengan Yang Maha Hidup.

Kesadaran transendensi sebagai tema sentral dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. yang terdapat dalam buku Rumah Cahaya, Ijinkan Aku Mencintaimu, Tunjammu Kekasih, danBeribu Rindu Kekasihku memiliki karakteristik estetika yang berbeda satu dengan lainnya. Adapun karakteristik estetika dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. memiliki dua corak, sebagai berikut.

Corak pertamakarakteristik estetika sajak Abdul Wachid B.S. memperlihatkan kesan pemberdayaan aku lirik yang melakukan hubungan transendensi sebagai wujud kegalauan hamba terhadap realitas. Dalam hal ini, aku-lirik mencitrakan manusia yang meman­dang hubungan transendensi karena adanya benturan dari realitas, baik benturan dalam bentuk kesadaran ataupun pengalaman. Kesadaran akan ketakmampuan memersepsi realitas atau kekalahan terhadap realitas membuat aku-lirik akhirnya sadar akan pentingnya hubungan transendensi. Karakteristik estetika sajak semacam ini banyak terdapat di dalam buku puisiRumah Cahaya, sebagian di dalam buku Ijinkan Aku Mencintaimu dan Tunjammu Kekasih.

Corak keduakarakteristik estetika sajak Abdul Wachid B.S. me­mosisikan aku lirik sebagai manifestasi hamba yang merindukan penyatuan dengan Yang Maha Tunggal. Pada karakteristik estetika ini, sajak Abdul Wachid B.S. banyak menyuarakan keinginan aku-lirik yang selalu memburu cinta, yang membuatnya sangat obsesif ingin bercinta (menyatu) dengan kekasihnya (Tuhan). Perburuan-perburuan cinta inilah yang pada gilirannya membuat sajak Abdul Wachid B.S. terkesan profan dan hedonistik. Karakteristik estetika semacam ini banyak terdapat dalam sajak yang terangkum buku puisi Beribu Rindu Kekasihku.

Kajian ini membahas nilai estetika sajak Abdul Wachid B.S, yang terdapat dalam buku puisiBeribu Rindu Kekasihku (selanjutnya disebut BRK); dalam buku puisi ini sajak Abdul Wachid B.S. banyak berbicara tentang cinta transendensi yang disimbolikkan secara cinta profan. Karenanya, sajak Abdul Wachid B.S. yang terdapat dalam Beribu Rindu Kekasihkuini mempunyai perbedaan estetika dari perpuisian sebelumnya yang terdapat dalam bukuRumah Cahaya (RC), Ijinkan Aku Mencintaimu (IAM), dan Tunjammu Kekasih (TK).

---Identifikasi Simbol “kau” dan “aku”

Dalam kata pengantar buku Beribu Rindu Kekasihku, seorang Doktor alumnus Hamburg University yang berkebangsaan Jerman, Katrin Bandel, mengatakan bahwa salah satu corak khas yang menarik perhatian dalam sajak Abdul Wachid B.S. adalah penggunaan istilah “kau aku”.18) Kata “kau aku” banyak terdapat dalam buku puisi Beribu Rindu Kekasihku. Kata “kau aku” dalam perspektif herme­neutika dapat ditafsirkan sebagai simbol, dan simbol “aku” ini merujuk pada “aku” sebagai aku lirik, dan “kau” sebagai objek yang dituju “aku” lirik yaitu “kau” kekasih. Dengan demikian, sebagian besar sajak Abdul Wachid B.S., merepresentasikan simbol “kau aku” sekaligus merupakan bentuk sajak yang mengungkapkan segenap pengalaman yang mengendap pada “aku” lirik.

Ungkapan yang direfleksikan “aku” dalam sajak Abdul Wachid B.S. sangat kentara dengan ungkapan perasaan kecemasan, ke­gelisahan, kecintaan, dan kerinduan “aku” kepada kekasihnya “kau”, seperti terdapat dalam sajak berikut ini.

Beribu Rindu Kekasihku 19)

dari cakrawala yang
tak sepenuh kumengerti
aku, hayati : se-jati
cahaya wajahmu membayang

malam semesta sama suara
menyebut-nyebut namamu juga
kebisingan siang di mana aku
antara mengenal dan gagu

seperti mataair di tengah jazirah
menunggu-nunggu datang orang istirah
matamu mataair seluruh gelisah
menerka-nerka aku takjub menjarah

demi cintamu yang bijaksana
bertanya lagikah surga neraka

beribu
rindu
kekasihku

seperti panorama maha sempurna
matamu cakrawala
yang datang dan pergi
yang pergi dan kembali
merengkuh seluruh aku

2003

Sajak di atas mencitrakan kerinduan dalam percintaan “aku” lirik dengan “kau” kekasih. “Kau” kekasih mencitrakan “se-jati”, yaitu “kau” yang transendental, dan “aku” yang “hayati”hidup yaitu manusia yang hidup dalam kehidupan nyata. Ada perbedaan mutlak antara “kau” dan “aku”, dan perbedaan itu bersifat esensi, sama dengan perbedaan hamba dan Tuhannya, atau perbedaan antara surga dan realita “/Tapi kau adalah kau/Dan aku adalah aku/Kau aku bersepakat dalam kita/ Hingga tak berjarak surga-realita/” (sajak “Rumah Gunung”, BRK). 

Hampir sebagian besar sajak Abdul Wachid B.S. mencitrakan hal yang sama, “aku” lirik menempati dirinya sebagai hamba, dan “kau” kekasih menempati dirinya sebagai Tuhan. Karena itu, suasana cinta, kegelisahan, dan kerinduan dalam sajak Abdul Wachid B.S. ber­pangkal pada hal-hal yang bersifat transendental.

Lebih merenik, cinta dalam estetika sajak Abdul Wachid B.S. terasa benar menyuarakan pemujaan “aku” sebagai hamba kepada Yang Maha sebagai representasi atas cinta yang tujuan utamanya adalah penyatuan, tersebab “merengkuh seluruh aku” sehingga “/Kau aku bersepakat dalam kita/ Hingga tak berjarak surga-realita//”. Di sinilah sajak Abdul Wachid B.S. mengungkapkan kerinduan yang demikian kuat seperti dalam bait sajak ini:

.....
selalu saja diammu
memanggil-manggilku dengan isyarat
menerka-nerka aku dalam lugu
hingga rindu menengadah sekarat
.....
(sajak “Hingga Bergetah Ruh Ini”, BRK)

Kerinduan inilah yang menyebabkan “aku” lirik ingin sekali bersatu dengan “kau” kekasihnya (Tuhan). Kerinduan seperti ini dicitrakan pada sajak Abdul Wachid B.S. dalam buku puisi Beribu Rindu Kekasihku, kerinduan ingin bertemunya seorang hamba dengan Tuhannya. Kerinduan dalam sajak Abdul Wachid B.S. sedemikian menaklukkan karena kenyataannya “aku” dan “kau” adalah dua realitas yang berbeda. “Kau” sebagai kekasih yang serba Maha berdiri dalam Realitas Imani, sedangkan “aku” adalah realitas empiris yang tidak bisa menjangkau Realitas “Kau” (Tuhan) sehingga kerinduan “aku” lirik dalam banyak sajak Abdul Wachid B.S. melahirkan “kesakitan”. Tetapi, kesakitan yang disebabkan oleh rasa cinta itu dipersepsi dan diposisikan oleh “aku” lirik sebagai sesuatu yang indah: “/selalu saja cintamu/ menajamkan duri-duri sunyi/ menusuk-nusuk seluruhku/ hingga bergetah ruh ini// hingga ber­getah ruh ini/ kekasih/ kesakitan tersebabmu ini/ nikmat sekali/”

Dimensi lain dari citraan “kau” dalam sajak Abdul Wachid B.S. adalah merepresentasikan “kekasih” yang bersifat feminin. “Kau” identik dengan “perempuan” yang dipuja. Karenanya, dapat ditafsir­kan bahwa pemberdayaan “kau” sebagai kekasih yang “perempuan” memberikan pemaknaan bahwa sajak Abdul Wachid B.S. berisi tentang kisah percintaan profan. Tetapi, di balik percintaan profan itu dapat ditemukan percintaan yang Ilahiah, hal ini terjadi di saat “aku” lirik melakukan percintaan dengan “kau” perempuan, maka “aku” lirik membangun kesadaran bahwa “kau” yang dicintai adalah manifestasi dari tajalli Tuhan. Hal ini tersiratkan dalam sajak berikut ini.20)

ML

/1/
Mengapa sengaja memuja
Agar karam Cinta
Mengapa mesti birahi
Untuk sampai Inti

Perempuanku, dunia megah
Tercermin pada wajah
Lekuk-liku bayang tubuh
Semakin memukau ruh

Lelaki ini asyik
Heran pada tarian-tarian
Apa yang di balik
Satin kain transparan?

Segenap indra lena
Saat-saat lelaki mengikut
Atau mengangkut mesra
Hingga gerak takberingsut

Yang takpernah merasai
Megah molek wanita
Bagaimana bisa maknai
Pertemuan yang takterbahasa

Perempuanku, sekalipun cinta
Kau bukan tujuan
Tapi adamu perantara
Pertemuan demi pertemuan

Ada yang dilambangkan
Dari puncak kenikmatan
Ada yang disembunyi
Dari tampaknya birahi

Lelaki takpunya bahasa
Takjub pada kehadiran
Dalam penyatuan cinta
Segala pakaian ditanggalkan

/2/
Mengapa sengaja memuja
Agar karam Cinta
Mengapa mesti birahi
Untuk sampai Inti

Perempuanku, jika aku
Buih mengarungi lautmu
Gelisah nasibku dipukau
Tanpa tepian keluasanmu

Kau dan aku
Senyawa sekalipun beda
Disatukan pelukan beribu
Dalam gelombang, Cahaya!

Maka aku takada
Kau saja Ada
Buih juga takada
Perempuan : Mahasempurna

2004

Sajak tersebut merepresentasikan percintaan “aku” lirik dengan kekasihnya (“kau” yang perempuan) sehingga percintaan tampaknya profan. Tetapi, “perempuan” tersebut dikatakannya sebagai yang “Mahasempuna”, dan karena itu dapat dipastikan bahwa “perem­puan” tersebut berkedudukan sebagai citra-simbolik dari manifestasi Tuhan, pasalnya “//Maka, aku takada/Kau saja Ada/Buih juga takada/ Perempuan: Mahasempurna.”

Mencitra-simbolikkan eksistensi Tuhan dalam sajak melalui “sesuatu yang bersifat feminin” atau melalui penyebutan kata “perempuan”, memang banyak diberdayakan dalam puisi yang bernapaskan sufistik (bahkan sufisme!), dan estetika serupa itu diberdayakan secara maksimal dalam buku puisi Beribu Rindu Kekasihku karya Abdul Wachid B.S. ini.

Dari penafsiran ini, sajak Abdul Wachid B.S mengetengahkan sinyalemen ironisitas paradoksal. Di satu sisi perpuisiannya meng­hembuskan risalah Cinta yang transendental, namun di segi lain jika dilihat dari perlambangannya terkesan bahwa Cinta yang transendental itu tidak meng-Ada, dan justru yang tampak adalah percintaan profan. Karenanya, sajak Abdul Wachid B.S. seperti sedang “dalam permainan petak-umpet”, yaitu sengaja menyem­bunyikan hakikat percintaan agung melalui kemasan perlambangan profan dan bahkan terkesan hedonistik. Oleh sebab itu, memaknai perpuisian Abdul Wachid B.S. tanpa bekal pemahaman filosofis religiositas yang memadai, maka pembaca akan terjebak kepada pemaknaan cinta profan belaka, percintaan lelaki-perempuan. Walaupun penafsiran cinta profan demikian juga tidak dapat disalahkan, namun pencapaian makna melalui perlambangan yang hakiki yang dapat mencerahkan Hati jika demikian tidak akan diperoleh oleh pembaca.

Memang, pengemasan tema cinta agung dalam citra-simbolik profan bahkan hedonis banyak terdapat dalam puisi Abdul Wachid B.S. Di dalam sajak “ML itu pun menggambarkan percintaan lelaki dengan kekasihnya: “... //Perempuanku, dunia megah/ Tercermin pada wajah/ Lekuk-liku bayang tubuh/ Semakin memukau ruh// Lelaki ini asyik/ Heran pada tarian-tarian/ Apa yang dibalik/ Satin kain transparan?// Segenap indra lena/ Saat-saat lelaki mengikut/ Atau mengangkut mesra/ Hingga gerak takberingsut//... “ Namun, jika pembaca lebih dalam menafsiri ungkapan selanjutnya, tentu akan sampai kepada makna hakiki sajak tersebut : “... //Perempuanku, sekalipun cinta/ Kau bukan tujuan/ Tapi adamu perantara/ Per­temuan demi pertemuan//... //Lelaki tak punya bahasa/ Takjub pada kehadiran/ Dalam penyatuan cinta/ Segala pakaian ditanggal­kan//...” Wanita sebagai subjek sekaligus objek percintaan tidaklah melulu percintaan yang fisik, melainkan sebagai perlambangan untuk menjagakan percintaan dengan Yang Mahasempurna (Tuhan).

Pemahaman citra Tuhan yang feminin dalam sastra ini sesungguhnya berangkat dari tradisi perpuisian sufisme yang menggambarkan pengalaman mistiknya. Dalam terminologi ini, Tuhan sebagai Realitas Transendental dimaknai melalui pencitraan yang indah, dan yang indah itu dimaknakan kaitannnya dengan sifat feminin Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Karenanya, dalam tradisi sastra sufi, Tuhan sebagai Yang Maha Kekasih dihadir­kan melalui citraan-citraan feminin itu. Dalam sebuah artikelnya, Abdul Wachid B.S. pun pernah menuliskan fenomena ini sebagai berikut.

Mencitrakan Allah yang feminin (dalam sajak) sebagai objek afinitas cintanya disebabkan oleh sifat-sifat Allah yang mencurah kepada penempuh jalan mistik yang berupaya keras mendekatinya agar menjadi kekasih-Nya. Di antara sifat-sifat Allah itu yang melembaga dalam nama-nama-Nya dapat diidentifikasi bahwa Allah lebih mengenal diri-Nya sebagai yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, daripada Yang Maha Murka. Sifat pengasih dan Penyayang adalah konsep yang menjurus kepada citra yang feminin.

Dengan pemahaman itu tidak berarti Tuhan selalu mencitrakan diri-Nya melalui sifat Pengasih dan Penyayang-Nya (feminin) saja, melainkan bersifat timbal-balik. Tatkala hamba sebagai makhluk-Nya yang berupaya menjalankan seluruh aturan yang bersumbu dari al-Qur’an dan al-Hadis, melalui jalan sufi sehingga memiliki tujuan utama dari pencariannya, yakni demi mengenal Allah dengan cara yang sebenarnyamaka dalam keadaan demikian pelaku sufi bertindak secara maskulin untuk mencari cinta Allah, sedangkan Allah “diposisikan” secara feminin. Begitu halnya saat Allah mencurahkan kasih-sayang-Nya, Allah bertindak secara feminin; sebaliknya tatkala hu­bungan itu dalam konteks pembalasan Allah disebabkan kemungkaran manusia, maka Allah bertindak maskulin. Namun demikian, menurut al-Hadis terkenal mengenai singgasana Allah (al-Arsy) tertulis “Sesungguhnya kasih-sayang-Ku melampaui kemurkaan-Ku”. Di dalam al-Qur’an Allah lebih sering diulang Nama-Nama-Nya yang menunjukkan sifat kasih-sayang Allah seperti al-Rahman (Maha Pengasih), al-Rahim (Maha Penyayang), al-Gaffar (Maha Pengampun), dibandingkan dengan penyebutan nama-nama lain. Bahkan, di setiap surah dalam al-Qur’an (kecuali satu surah saja) selalu diawali dengan penye­butan nama Allah Yang Maha Pengasih (al-Rahman) dan Yang Maha Penyayang (al-Rahim), dan bukan nama-nama Allah yang menunjukkan kekuasaan-Nya. Al-Qur’an juga menyatakan bahwa al-Rahim merupakan hakikat Allah, “Serulah Allah atau serulah al-Rahman” (Terj. QS., 17: 110).21)

Dari konsep tersebutlah pencitraan cinta Tuhan disimbolkan oleh Abdul Wachid B.S. dengan “sesuatu” yang bersifat feminin. Karenanya, memahami estetika perpuisian Abdul Wachid B.S. melalui perspektif realitas empirik mengesankan estetika cinta profan. Tetapi, di balik penggambaran percintaan yang terkesan profan itu, ternyata ada dimensi cinta yang transendental, yang memberi pencerahan hati kepada pembacanya.

---Identifikasi Simbol Profan HP dan SMS

Simbol lain yang banyak terdapat dalam sajak Abdul Wachid B.S. dalam buku puisi Beribu Rindu Kekasihku adalah “HP” dan “SMS”. Keprofanan dari simbol HP (Hand Phone) danSMS (Short Message Service) ini karena keduanya merupakan alat komunikasi praktis sebagai hasil peradaban modern. Penggunaan simbol HP dan SMS ini banyak terdapat dalam bagian pertama buku puisi ini, SMS Harap-harap Cemas. Dalam bagian ini, hampir seluruh sajak Abdul Wachid B.S. meng­gunakan simbol SMS sebagai judulnya, mulai dari “SMS Biru”, “SMS Putih”, “SMS Semu Merah”, “SMS Pucat Kapas”, “SMS Sahaya”, “SMS Tak Hingga”, “SMS Pagi”, “SMS Tak Terkirim”, “SMS Harap-harap Cemas”, “SMS Firdausi”, “SMS Sarie untuk Steve”, “SMS Steve untuk Sarie”, dan “SMS Rindu”.

SMS ini dapat ditafsirkan sebagai media HP yang digunakan untuk mengirim pesan yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Seseorang melakukan SMS dapat dipastikan ada keterpisahan jarak. Memang, sajak Abdul Wachid B.S. yang menggunakan simbol SMSseluruhnya berbicara tentang keterpisahan di antara sepasang kekasih. Dalam hal ini ungkapan Katrin Bandel benar bahwa sebagaian besar sajak yang terdapat dalam bagianSMS Harap-harap Cemas ini bertemakan keterpisahan secara fisik: sang “aku” lirik berjauhan dengan kekasihnya, dan segala cinta, kerinduan, dan kecemasannya diungkapkannya lewat SMS.22)

Akan tetapi, yang luput dari pemaknaan Katrin Bandel bahwa kerterpisahan “aku” lirik itu disebabkan oleh dimensi ruang-waktu yang berbeda dengan “kau”, maka SMS menjadi semacam doa yang terus-menerus dikirimkan, sebagaimana diungkapkan penggalan sajak di bawah ini:

Bila Hpmu kau matikan melulu
Lama-lama padam pula hatimu
Kau aku tersekat ruang waktu
Lantaran itu sms kukirim selalu
…..
(sajak “SMS Tak Terkirim”, BRK)

SMS dalam konteks ini menjadi lambang bagi doa yang secara terus-menerus dikirim melalui “HP jiwa” dari aku-lirik kepada kekasihnya yang “...tersekat ruang waktu”.

Dalam sajak-sajak dengan judul SMS, seluruhnya menyiratkan keterpisahan cinta yang tak mungkin bisa disatukan. Keterpisahan serupa itu hanya bisa terjadi jika Yang Dicintai dan yang mencintai “hidup” di dua dimensi yang berbeda, jelaslah yang demikian ialah antara manusia dan Tuhan. Keterpisahan dimensi inilah yang menjadikan aku-lirik dalam situasi ke-”gila”-an (jadzab) yang sangat, rindu pertemuan sekalipun sesungguhnya aku-lirik juga mengetahui bahwa pertemuan di dalam satu dimensi ruang-waktu hanyalah mustahil: “...//Kekasih/ Telah kau suguhi aku/ Tarian surga di hadapan/ Hingga aku hilang akal/ Jiwa ragaku menolak sekian pakaian/ Kecuali gila pertemuan” (sajak “SMS Pagi”).

Melalui pencitraan profan serupa itu, perpuisian Abdul Wachid B.S. mempresentasikan cinta yang transendental, diharu-biru oleh kerinduan kepada Yang Maha Indah. Karena perburuan Cinta tersebut ada keterpisahan dimensi ruang-waktu antara hamba dan Tuhannya, maka perburuan Cinta berakhir kepada puncak kemaha­rinduan sang Hamba. Tetapi, kemaharinduan itu mampu tertembus melalui “sms-sms” doa seorang hamba kepada Tuhan, dengan cara membaca terus-menerus terhadap “tanda-tanda” yang dikirimkan Yang Maha Kekasih melalui sinyal-sinyal ayat-Nya yang terbentang pada diri manusia dan alam semesta. Hal itu sebab Tuhan lebih dekat dari urat-leher manusia sehingga sebagaimana diungkapkan Nabi Muhammad SAW bahwa “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”

---Penutup

Dengan begitu, penggunaan simbol profan seperti halnya penggunaan idiomatik “HP” dan “SMS”, dan semacamnyadalam perpuisian Abdul Wachid B.S. tidak mengubah arah konsep Cinta Transendentalnya.

Dengan demikian, keseluruhan perpuisian Abdul Wachid B.S. berbicara tentang cinta yang transendental melalui karakteristik estetika: pertama, cinta transendental yang berpangkal kepada kesadaran terhadap realitas, dan karakteristik estetika ini dapat ditelaah dalam buku puisi Rumah Cahaya (1995), Ijinkan Aku Mencintaimu (2002)dan Tunjammu Kekasih(2003). Kedua, cinta transendental yang berpangkal kepada Cinta sekaligus Rindu kepada Yang Maha Indah (Allah), dan karakteristik estetika inilah yang dominan kita temui di dalam buku puisi Beribu Rindu Kekasihku (2004).


Endnote
1) Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), hal. 12.
2) Heru Kurniawan, “Etika dan Estetika dalam Sastra Sufi” (Semarang: Wawasan, 22 Mei 2005), hal. 17.
3) Abdul Wachid B.S., Ijinkan Aku Mencintaimu (Yogyakarta: Bukulaela, 2002), hal: 125.
4) Ibid., hal. 125.
5) Abdul Wachid B.S., Membaca Makna: dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2005), hal. 161-164.
6) Ibid.
7) Korrie Layun Rampan, Angkatan Sastra 2000 (Jakarta: Grasindo, 2000). Buku ini membahas tentang sastrawan dan karyanya yang oleh Korrie Layun Rampan disebutnya sebagai Sastrawan Angkatan 2000, dan Abdul Wachid B.S. termasuk di dalam Angkatan ini.
8) Abdul Hadi W.M., Hermeneutika, Estetika, dan Religiositas (Yogyakarta: Mahatari, 2004), hal. 33.
9) Ibid., hal. 34-35.
10) Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qurani: antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi(Yogyakarta: Qalam, 2003), hal. 20.
11) Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika sebagai Metode Filsafat dan Kritik (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003), hal. 5.
12) Paul Ricoeur, The Interpretation Theory (Yogyakarta: IRCISoD, 2002), hal. 121.
13) Ibid., hal. 276.
14) Josef Bleicher, Hermeneutika, hal. 53.
15) Ibid., hal. 376.
16) Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi Model Teori dan Aplikasi (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Press, 2003), hal. 45. Tentang metode-metode dalam penelitian sastra, salah satu metode yang dipaparkan adalah metode penafsiran hermeneutika. Kiblat metode penafsiran hermeneutika yang dipakai dalam buku ini adalah metode hermeneutika Paul Ricoeur.
17) Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi(Yogyakarta: Qalam, 2003), hal. 36.
18) Abdul Wachid B.S., Beribu Rindu Kekasihku (Yogyakarta: Amor Book, 2004), hal. vii. Ulasan ini ditulis oleh Katrin Bandel, Ph.D. wanita berkebangsaan Jerman yang aktif meneliti sastra Indonesia.
19) Ibid., hal. 64-65.
20) Ibid., hal. 88-90.
21) Abdul Wachid B.S. “Citraan Cinta Erotik di antara Estetika dan Etika Cinta Ilahiah dalam Puisi Sufi-Penyair”, koran Minggu Pagi, Minggu ke-I-III, Juni 2004, hal 8. Di dalam artikel panjang ini, tentang pencitraan-pencitraan erotik dan feminin dalam puisi sufi, Abdul Wachid B.S. mengungkapkan argumentasinya mengapa dalam sastra sufi sering mencitrakan Tuhan dengan sesuatu yang feminin.
22) Katrin Bandel, “Kangen Tak Terbilang Abdul Wachid B.S.”, dalam Beribu Rindu Kekasihku, hal. viii.

Daftar Pustaka
Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika sebagai Metode Filsafat dan Kritik. Yogyakarta: Fajar Pustaka.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi Model Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Press.
Faiz, Fakhruddin. 2003. Hermeneutika Qurani: antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi.Yogyakarta: Qalam.
Hadi W.M., Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiositas. Yogyakarta: Matahari.
Kurniawan, Heru. 2005. “Etika dan Estetika dalam Sastra Sufi”. Semarang, Wawasan, 22 Mei 2005, hal. 17.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2000. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press.
Rampan, Korrie Layun. 2000. Angkatan Sastra 2000. Jakarta: Grasindo.
Ricoeur, Paul. 2002. The Interpretation Theory. Yogyakarta: IRCISoD.
Wachid B.S., Abdul. 1995. Rumah Cahaya. Yogyakarta: Ittaqa Press.
______________. 2000. Sastra Melawan Slogan. Yogyakarta: FKBA.
______________. 2002. Ijinkan Aku Mencintaimu. Yogyakarta: Bukulaela.
______________. 2004. Beribu Rindu Kekasihku. Yogyakarta: Amor Book.
______________. 2004. “Citraan Cinta Erotik di antara Estetika dan Etika Cinta Ilahiah dalam Puisi Sufi-Penyair”. Minggu Pagi, Minggu ke-I-III, Juni 2004, hal. 8.
______________. 2005. Membaca Makna: dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri.Yogyakarta: Grafindo Litera Media.
______________. 2005. Sastra Pencerahan. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.



Heru Kurniawan, S.Pd., M.A., lahir di Pamengger, Brebes, 22 Maret 1982. Ia lulus studi sarjananya (cumlaude) di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dengan skripsi “Konsepsi Wachdatul-Wujud pada Buku Puisi Pohon Sidrah Karya Kuswaidi Syafi’ie (Kajian Hermeneutika dalam Perspektif Ta’wil)”. Buku puisinya yang telah terbit Jiwa-Jiwa Mawar (Penerbit Bukulaela, 2003), Untuk Sebuah Kasihsayang (Penerbit Bukulaela, 2004), dan buku cerpennya Bacalah Cinta (Penerbit Bukulaela, 2005).
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar